Tokoh


Ditempa oleh kondisi alam Silungkang yang sempit, kejam dan berbukit- bukti batu, serta sulit untuk bercocok tanam membuat orang Silungkang harus berpikir keras untuk mengatasi keadaan kehidupannya, dari keadaan itu terlahirlah orang Silungkang yang tangguh, ulet, berani menghadapi segala tantangan demi untuk kelangsungan kehidupannya. Berawal dari situ mulai orang Silungkang mencoba berwarung-warung minuman dan makanan dilingkungannya, dari berdagang minuman dan makanan setapak demi setapak mereka maju, dan mulailah berdagang barang-barang lain dari satu desa ke desa lainnya dari satu nagari ke nagari lainnya dari satu daerah ke daerat lainnya, ternyata berdagang cocok untuk orang Silungkang sehingga sekitar abad ke-12 dan ke-13 orang Silungkang sudah mulai berdagang mengarungi samudera dan sudah sampai ke semenanjung Malaka bahkan sampai di Patani di Siam (Thailand) sekarang. Di negeri Siam inilah perantau Silungkang dapat belajar bertenun dan setelah mereka pandai dan mengerti cara bertenun sewaktu mereka kembali ke Silungkang, ilmu bertenun ini mereka ajarkan kepada kaum ibu di Silungkang dan semenjak itu mulailah beberapa orang wanita Silungkang bertenun songket, pada awalnya bertenun hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya saja, kemudian mulai menerima pesanan dari tetangga setelah itu baru mulai menerima pesanan dari pembesar nagari seperti dari pembesar kerajaan dan penghulu- penghulu nagari.

(lebih…)

Hadirilah …….
Semua warga negara Indonesia dan Mancanegara

PAMERAN dan FASHION SHOW SONGKET SILUNGKANG di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini Jakarta Pusat

30 – 31 Oktober 2012Los Lambung (Stand Makanan) diisi ALE-ALE ANGEK (panas), COKI, LUPI (lupis), SOP DAN SOTO WARGA SILUNGKANG JAKARTA, dll.Undangan yang akan hadir Duta Besar Negara Sahabat, Menteri, Pejabat Negara, Bisnismen, Investor dan lain-lain.Setiap hari dihadiri kurang lebih 1500 orang (Insya Allah)

Musik : Talempong, Randai, Gamad, Badiki dan KIM

KIM mulai jam 20.00 WIB

Pameran dibuka jam 14.00 WIB

Makan Bajamba diutamakan masyarakat LUAR KOTA SAWAHLUNTO sebanyak 50 Jambai = 250 orang. Pada tanggal 31 Oktober 2012. Jam 18.30 WIB

AGENDA ACARA

Selasa, 30 Oktober 2012

10.00 – Selesai

  • Pameran Ekonomi Kreatif & Parawisata Sawahlunto
  • Demo Pembuatan Songket Silungkang
  • Pameran Foto
  • Los Lambuang
  • Pameran Songket Silungkang

18.00 – Selesai

  • Kesenian rakyat
  • Talempong
  • Randai
  • Saluang
  • Rabab
  • Kim

Rabu, 31 Oktober 2012

10.00 – Selesai

  • Pameran Ekonomi Kreatif & Parawisata Sawahlunto
  • Demo Pembuatan Songket Silungkang
  • Pameran Foto
  • Los Lambuang
  • Pameran Songket Silungkang

19.00 – Selesai

  • Makan Bajamba

20.00 – Selesai

  • Malam puncak Sawahlunto Kreatif
    • Sambutan Walikota Sawahlunto
    • Launching Buku Sahabat Sawahlunto dan Ragam Hias Songket Silungkang
    • Sambutan Gubernur Sumatera Barat
    • Orasi menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif tentang “Ekonomi Kreatif” Sekaligus membuka acara.
    • Pertunjukan Sendra tari karya Hartati dengan tema “ Restorasi Songket Silungkang”
    • Fashion Show oleh Ria Miranda dengan tema “Minang Heritage”

Agenda acara diatas dikutip dari Undangan yang telah dan akan diedarkan. Sekapur sirih atau sambutan Walikota Sawahlunto dalam undangan tersebut semuanya mengangkat songket Silungkang. Berikut sedikit cuplikannya:

Aktifitas tenun Silungkang yang bernilai ekonomi itu tidak diragukan lagi eksistensinya. Perjalanan tenun Silungkang dengan berbagai produk songket telah mengalami berbagai dinamika dan pasang surut. Tenun songket Silungkang dimasa silam telah menorehkan prestasi hingga ke pentas dunia. Sejarah mencatat dimasa pemerintahan Hindia Belada, pengrajin tenun Silungkang telah ikut serta dalam Pekan Raya Ekonomi Eropa, tepatnya di Brussel Ibukota Belgia ditahun 1920.

FYI: Warga perantau asal Sawahlunto diharapkan meramaikan acara hari pertama dan hari kedua dengan datang berbondong-bondong ke TIM. Acara makan bajamba dan malam puncak di dalam gedung diutamakan untuk undangan karena sifatnya untuk promosi parawisata sawahlunto dan songket Silungkang

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Membaca tabloid Koba Silungkang edisi April 2003 dalam tulisan “Seputar Kota Kita” mengkritisi sikap PKS Jakarta soal “Balon” Wako dan Wawako saat itu, Who Wants To Be The Mayor Part 2.

Kami teringat pengalaman Alm. Sdr. Syafar Habib yang diceritakannya pada kami 3 bulan sebelum dia meninggal dunia. Sebelum dia menceritakan pengalamannya itu, dia minta kepada kami agar kami berfikir secara filosofis, sebagai berikut :

Dalam pertemuan ‘acara Minang’ dia duduk; di sebelah kanannya Bapak Emil Salim dan di sebelah kirinya Bapak Menteri Abdul Latif. Bapak Emil Salim berkata kepada Sdr. Syafar Habib : Engku Syafar, saya bangga dengan perantau Silungkang, di mana-mana orang Silungkang jarang yang menjadi pegawai negeri, kebanyakan menjadi pedagang. Tetapi setelah saya menjadi menteri saya perhatikan tidak ada orang Silungkang menjadi pengusaha menengah ke atas.

Mendengar ucapan kedua tokoh Minang itu Sdr. Syafar Habib hanya terdiam, tetapi dalam hatinya berkata : apakah baju putih yang sedang saya pakai ini sama warna putihnya dengan pakaian dalam ?

Mendengar pengalaman Sdr. Syafar Habib ini kami juga merenung dan terpikir bagaimanakah orang Silungkang di abad 21 ini.

Menjelang Sdr. Zuhairi Muhammad Panai Empat Rumah meninggal dunia, kami sekali dalam tiga bulan sengaja datang ke rumahnya di Komplek Perindustrian di Jalan Perdatam Pancoran, rasanya kalau kita berbicara dengannya seperti kita berbicara dengan mamaknya Alm. Pakiah Akuk. Dia mengatakan pendapatnya kepada kami, bahwa orang Silungkang bukan orang aktif tetapi reaktif. Semula kami tidak sependapat dengannya, tetapi setelah kami renungi kami sependapat pula dengannya.

Tahun 80-an kami pernah membaca buku karangan Mr. Muhammad Rasyid berjudul ‘Sejarah Perjuangan Minangkabau’ sebelum peristiwa PRRI beliau menjadi duta besar RI di Perancis merangkap di Italia, di halaman 45 kami membaca waktu pemberontakan rakyat Silungkang tahun 1927. Penjajah Belanda sangat kejam, tentara Belanda memperkosa gadis-gadis Silungkang.

Begitu tersinggungnya kami, buku itu tidak tamat dibaca tetapi diserahkan kepada PKS di Bendungan Hilir, karena waktu itu PKS masih menumpang di kantor Koperasi Kemauan bersama di Bendungan Hilir (Bendhill). Kenapa buku itu diserahkan karena menurut Mr. Muhammad Rasyid kalau isi buku ini tidak sesuai dengan kenyataannya (buku ini jilid pertama) bisa diralat pada jilid kedua nanti.

Akhirnya buku itu dikembalikan kepada kami setelah buku tersebut berubah warna, mungkin waktu itu tidak ada reaksi dari PKS, entahlah !

Waktu kami mendapat musibah, kami mendatangi Buya Duski Samad , untuk minta nasihat, kepada beliau kami curahkan musibah yang kami terima, jawab beliau singkat: tetapi kita harus berfikir, kata beliau : jika sekarang saya mempunyai uang 100 juta rupiah, uang itu akan habis dalam seminggu, kami bertanya : kenapa begitu Buya ? jawab beliau, saya bukan pedagang. Kami renungkan jawaban beliau itu, kemudian kami menjawab sendiri; “Kerjakanlah apa yang ada ilmunya pada kita”, betul kata beliau. Kemudian beliau bertanya murid-murid beliau dulu yang berasal dari Silungkang, a.l., Yakub Sulaiman (Pakiah Akuk) dan Abdullah Usman (Guru Dullah Sw. Jawai) beliau bangga dengan murid-murid beliau itu.

Lelah bersaing menjadikan takut bersaing
Di zaman Gajah Tongga Koto Piliang Dulu, kemungkinan besar orang Silungkang pintar dan cerdas, tetapi sayang kenapa orang Silungkang mendiami lungkang sempit, hampir tidak ada tanah yang subur untuk ditanami padi, tidak seperti belahan kita di Padang Sibusuk dan Allah mentakdirkan kita orang Silungkang menjadi pedagang.

Pedagang itu sarat dengan persaingan, bisa terjadi persaingan itu antara saudara sesuku, sekampung, sepupu, bahkan antara saudara sendiri clan yang paling riskan terjadi antara Pembayan dengan Pembayan yang sama-sama mendiami rumah panjang (rumah adat).

Coba kita pikirkan Silungkang itu seperti kotak korek api dibandingkan Indonesia yang luas ini.

Menurut perkiraan kami sebelum Jepang menjajah Indonesia, 50% perempuan Silungkang yang sudah bersuami dimadu suaminya, mungkin juga lebih.
Kenapa bisa seperti itu ? Mana mungkin perempuan Silungkang bisa menikah dengan orang luar Silungkang, karena adat melarangnya, terpaksa atau tidak perempuan-perempuan Silungkang harus bersedia menjadi isteri kedua atau menikah dengan duda yang jauh lebih tua umurnya.

Madu itu obat, tetapi bagi perempuan yang di’madu’ menyakitkan hati, bersaing memperebutkan kasih sayang sang suami, anak-anak yang . ibunya dimadu, pun merasa dimadu pula dengan ibu-tiri, saudara tirinya. Persaingan itu menimbulkan kecemburuan, kecemasan, dengki, irihati clan was-was, penyakit itu bisa,, berketurunan.

Menurut Prof. Zakiah Deradjat dalam buku “Menghadapi Liku-Liku Hidup”, beliau menulis dari segi kejiwaan, perkembangan dan pertumbuhan anak, anak dalam kandungan telah menerima pengaruh-pengaruh yang berarti baginya. Suasana emosi dan tolak pikir ibu yang sedang mengandung mempunyai kesan tersendiri bagi janin dalam kandungan.

Jadi orang Silungkang mendiami lungkang yang sempit, persaingan hidup yang tidak sehat, sangat mempengaruhi cara berfikirnya. Jadi apa yang dikatakan Bapak Emil Salim di atas, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Silungkang, jika dilihat dari luar semuanya baik. Coba kita perhatikan semenjak dahulu organisasi apapun yang dibentuk, dan bangunan apapun yang didirikan hampir semua meninggalkan kesan-kesan yang kurang baik.

Kemudian apa yang dikatakan Bapak Menteri Abdul Latif di atas, mungkin juga akibat “Lima Penyakit Di atas”. Seterusnya pendapat Sdr. Zuhairi Muhammad (Alm), kita orang Silungkang bukan aktif tetapi reaktif, kemungkinan ini juga diakibatkan oleh orang kita (SLN) tidak bisa bersaing khususnya dengan orang di luar Silungkang, bisanya hanya bersaing dengan orang sekampung sendiri.

Yang menang membusungkan dada dan yang kalah bak perempuan tua memakan sirih, daun sirih habis, tinggal tembakaunya yang masih dikunyah-kunyah.

Orang-orang Silungkang Diabad 21
(Silungkang People Must Be Brave To Up Side Hand Down)

Mengkritisi PKS., maaf … tentu maksudnya ketua PKS, kalau kita perhatikan latar belakang ketua PKS ini, lahir di Silungkang, kecil dibawa merantau oleh orang tuanya ke Medan, SD, SMP dan SMU di Medan, kuliah di Jakarta. Bekerja dan berusaha, bukan dalam lingkungan Silungkang. Bidang usahapun berlainan dengan kebiasaan orang-orang Silungkang, bergaul selama sekolah di Medan dengan komunitas “Batak” tapi tidak kelihatan pengharuh “Batak”-nya, dia supel, demokrat dan moderat. Menurut kami PKS belum pernah mempunyai ketua yang seperti ini.

Banyaknya balon (lebih dari satu) Wako – Wawako, orang belum tentu menilai kita tidak bersatu, bukan Bapak Emil Salim saja yang menilai kita bersatu, banyak yang lain.

Kita bisa belajar dari cara pemerintahan kita di zaman Soeharto, yang memproteksi pengusha-pengusaha nasional, waktu datang krisis karena globalisasi, pengusaha-pengusaha nasional tidak bisa bersaing, oknum pemerintah korup dan pengusaha menyuap, akhirnya semuanya berantakan, jangan hendaknya Silungkang ini seperti Indonesia kita sekarang.

Jangan pula kita hanya terkesan dengan kata-kata keputusasaan Eva Peron dalam sebuah lagu “Don’t Cry For My Argentina”.

Sampai sekarang lagu itu masih dipopulerkan Madonna, kita tak pernah kenal dengan siapa Eva Peron dan Madonna itu ? Coba kita berpedoman kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana nama beliau kita sebut-sebut setidak-tidaknya 29 x sehari dalam shalat 5 waktu dan lagi beliau itu ada tertulis dalam AI-Qur’an. Mengapa beliau sampai menangis waktu akan meninggal dunia dan berkata : ummati, ummati, ummati, begitu perhatian Nabi Muhammad SAW pada umatnya. Putus asa apa hukumnya ? Haram.

Buletin Silungkang jangan hanya terbit untuk kepentingan sesaat tetapi berlanjut untuk kepentingan orang Silungkang yang dirantau dan yang di kampung dengan harga yang bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, semoga …

Sekarang ilmuan Silungkang sudah banyak di Jakarta dan di kota-kota lainnya, bahkan di mancanegara. Dalam berbagai disiplin ilmu, mintalah kepada mereka sumbangan pikiran untuk ditulis dalam buletin Silungkang. Tentu, dengan tulisan dan kata-kata yang menyejukan dan juga artikel-artikel (rubrik) yang dibutuhkan oleh pelajar, mahasiswa Silungkang dan ditulis pula pengalaman-pengalaman orang Silungkang yang bisa menjadi pelajaran bagi pembacanya.

Apalagi ada ruangan agama terutama di bidang zakat, penulisannya itu ‘bak azan bilal’ sahabat Nabi Muhammad, yang suaranya itu menghimbau orang segera sholat.

Bisa jadi buletin Silungkang itu kelak bak harian Republika yang mempunyai dompet dhuafa untuk orang Silungkang yang berkekurangan dan mengajak orang Silungkang untuk berdoa dan menangis serta berbut, beramal untuk kemaslahatan kampung kita, jauh dari berkorban karena ada sesuatu di belakangnya. Amin ya robbal ‘alamin.

Billahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

“Mucho Gracias Amigo – Arigato Gozaimatsu Tomodachi”

Esemmes

Tembusan dikirim kepada Yth.
1. Tabloid KOBA
2. Koordinator LAZ / PKS
3. PT. Estetika (Percetakan)
4. Sdr. Fadil Abidin (Pengajian PKS)

Mendukung para keponakan bermusik, ambo baritahukan jadwal panggung mereka di Jakarta Rock Parade sebagai berikut :

Tanggal 18 Juli, hari Jumat, akan tampil bersama group LAST WARNING dari Austria.

Tempat : BACK STAGE Ancol
Waktu : 20.00 WIB
Support dari teman semua merupakan modal utama kami.

salam GRIBS
Reza : Vocal
Arief : Bass
Dion : Gitar
Rashta : Dram

MySpace.com/ gribsrock
MySpace.com/ anakangin
RUMAH MUSIK INDONESIA

Sumber Jadwal berasal dari : Remmy Soetansyah

Berita di Suara Merdeka :

Muda dan Ngerock

SATU dari sedikit grup band yang patut dicatat dari Jakarta Rock Parade 2008, Jumat-Minggu (11-13/7), adalah Grib. Di empat panggung yang tersebar di Tennis Indoor dan Outdoor Senayan, Grib yang tampil di Rock Lounge setelah Monkey to Millionare, Idealego, menawarkan warna tersendiri.

Tak sebagaimana band sesudahnya seperti Bite, Acid Speed, IMI, The Adams dan Denovement, mereka menawarkan sikap bercita rasa rock. Rezanov, sang vokalis yang bercitra tak ubahnya vokalis rock era 70 atau 80-an seperti Robert Plant (Led Zeppelin), Ian Gillan (Deep Purple), atau David Coverdale (White Snake), misalnya, menyajikan tontonan tersendiri.

Gion (Gitar), Rashta (drum), dan Arief (bas) nyaris setali tiga uang. Untuk alasan kemiripan gaya dandan itulah, grup band yang bernaung di bawah manajemen Rumah Musik Indonesia tersebut menamakan diri Gribs: gondrong kribo bersaudara.

Ya, keempat personel yang punya ikatan saudara itu tak cuma jual tampilan. Musik adalah perhatian utama mereka. Lagu cadas yang diyakini tak sejalan dengan selera pasar yang lebih pop dan mudah dengar tetap mengalir dengan garang dan solid.

Pada “Ruang Besi”, “Pejuang” dan “Malam Frustasi”, harmonisasi nuansa rock cadas kental sekali. ”Mengingatkan pada corak Motley Crue,” komentar pengamat musik Remmy Soetansyah.

Sisanya, musik mereka meraung dan berlarian kencang. Tak ayal, perhatian puluhan orang yang lalu lalang pun terpantik untuk menonton aksi mereka. Ya, ya, Grib memang punya cita rasa tersendiri.

Bukan tak mungkin grup band yang dibimbing rocker dan vokalis Elpamas, Doddy Katamsi, itu bakal berbicara lebih banyak kelak. Superglad, The Upstair, dan Shaggy Dog yang tampil di Park Stage pada kemunculan perdana pun belum jadi magnet. Namun karena tekun berkarya, seperti The Changcuters, Pas Band, Suckerhead, dan Koil yang tampil di Tennis Outdoor, mereka akhirnya meraih kesuksesan.

Apalagi Gilang Ramadhan dan Donny Suhendra pun turut campur mematangkan musikalitas mereka. Grib juga mengikuti workshop di Malang bareng Eet Syahrani, Adit Element, dan musikus lain.

Karena mereka berani tampil dan menyetiai rock yang cenderung dijauhi produser kaset, bos Deteksi Production, promotor Soundrenaline, memberi kesempatan Grib tampil pada Sound-renaline 2008.

”Tampil di dua kota pada ajang seakbar Soundrenaline 2008 adalah pencapaian tersendiri,” ujar Rezy, manajer Grib. Dia akan memimpin pasukannya bermain di Malang (3/8) dan Yogya (10/8). (Benny Benke-53)

Jakarta. SS. Pada hari Minggu tanggal 16 Maret 208, Tim SS (Suara Silungkang) Jakarta yang terdiri dari Erland Erwin, Herson Dasmir dan Pak Pikar Rahim berkesempatan berkunjung ke rumah salah seorang pelaku sejarah pertempuran 10 November 1945 Surabaya yaitu Bapak H. Ali Darman Al Hajj SH yang beralamat di Jl. Bukit Duri No. 22 RT 010/01 Tebet – Jakarta Selatan.

Beliau adalah orang Padang, lahir 18 Oktober 1926, dan beliau adalah salah seorang cucu dari Kepala/Tuanku Laras Silungkang yang bernama Djaar Soeltan Pamoentjak (Dalimo Godang) dan pernah tinggal di Silungkang sebelum berangkat ke Surabaya.

Di Surabaya beliau banyak berhubungan dan berkawan dengan orang Silungkang yang tinggal di Surabaya.

Dari paparan beliau banyak sekali jasa-jasa dan kontribusi orang Silungkang terhadap perjuangan rakyat Indonesia dalam masa-masa sekitar tahun 1945 tersebut terutama pada pertempuran 10 November yang sangat terkenal itu.

Di sini Tim SS tidak bisa banyak menuliskan kisah-kisah perjuangan beliau dan hubungan-hubungan beliau dengan orang Silungkang karena dalam kunjungan Tim SS yang singkat itu tidak mungkin bagi Tim SS untuk bisa mengetahui dengan detail dan seutuhnya. Untuk itu Tim SS memohon kepada beliau untuk menuangkan kisah perjuangan beliau waktu itu terutama yang berhubungan dengan orang Silungkang. Beliau sangat gembira sekali dengan kedatangan Tim SS dan berjanji akan mencoba menuangkannya ke dalam tulisan.

Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita akan bisa membacanya. Di akhir kunjungan Tim SS beliau berpesan kalau ada acara-acara Silungkang supaya beliau diundang agar bisa bertemu dengan sesepuh-sesepuh Silungkang yang mungkin masih ada yang mengenal beliau. Beliau juga berpesan supaya setiap bulannya bisa diantarkan tabloid SS untuk berlangganan. (Tim SS Jakarta)

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kesepuluh April 2008

Alkisah, lebih kurang tahun 1600 Masehi, ada sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana, rakyatnya hidup rukun dan damai.

Kerajaan kecil tersebut bernama Kerajaan Sitambago, sesuai dengan nama rajanya Sitambago. Daerah kekuasaannya di sebelah utara berbatas dengan nagari Kolok, di sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Buar / Koto Tujuh, di sebelah selatan berbatas dengan nagari Pamuatan dan di sebelah barat berbatas dengan nagari Silungkang dan nagari Kubang.

Kerajaan Sitambago mempunyai pasukan tentara yang kuat dan terlatih. Pusat kerajaan Sitambago berada di sebuah lembah yang dilalui oleh sebuah sungai yang mengalir dari Lunto, pusat kerajaan Sitambago tersebut diperkirakan berada di tengah kota Sawahlunto sekarang. Sudah menjadi adat waktu itu, nagari-nagari dan kerajaan-kerajaan berambisi memperluas wilayahnya masing-masing, memperkuat pasukannya dan menyiapkan persenjataan yang cukup seperti tombak, galah, keris, parang, panah baipuh (panah beracun) dan lain-lain, senjata tersebut digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk mempertahankan diri apabila diserang.

Di Silungkang / Padang Sibusuk, pasukan Gajah Tongga Koto Piliang disamping mempunyai senjata tombak, keris, galah, parang dan panah juga punya senjata yang tidak punyai oleh daerah lain, yaitu senjata api SETENGGA, senjata api standar Angkatan Perang Portugis. Orang Portugis yang ingin membeli emas murni ke Palangki harus melalui Buluah Kasok (Padang Sibusuk sekarang) dan berhadapan dengan Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang terlebih dahulu, entah dengan cara apa, senjata api SETENGGA lengkap dengan peluruhnya berpindah tangan ke Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang.

Guna memperluas wilayah, diadakanlah perundingan antara Pemuka Nagari Silungkang / Padang Sibusuk dengan pemuka Nagari Kubang untuk menyerang kerajaan Sitambago, maka didapatlah kesepakatan untuk menyerang kerajaan Sitambago tersebut, penyerangan dipimpin oleh Panglima Paligan Alam. Strategi penyerangan diatur dengan sistim atau pola pengepungan, dimana tentara Silungkang / Padang Sibusuk mengepung dari daerah Kubang Sirakuk dan tentara Kubang dari jurusan Batu Tajam dan dataran tinggi Lubuak Simalukuik, dengan sistim atau pola pengepungan tersebut akan membuat tentara Sitambago tidak dapat bergerak dengan leluasa.

Maka tibalah hari H pertempuran, kerajaan Sitambago telah dikepung, tentara dan penduduk kerajaan Sitambago jadi panik, ruang gerak semakin sempit. Melihat kepanikan tersebut, agar tidak terjadi pertumpahan darah dan korban yang banyak, Panglima Paligan Alam menyerukan supaya Raja Sitambago beserta tentara dan rakyatnya menyerah, namun seruan niat baik Panglima Paligan Alam itu tidak digubris sedikitpun oleh Raja Sitambago, malahan Raja Sitambago siap untuk berperang, terbukti dihimpunnya balatentara dengan jumlah yang besar dan dikibarkannya bendera perang, pasukan langsung dipimpin oleh Raja Sitambago dengan gagah berani dan terjadilah pertempuran yang sengit.

Secara perdana, untuk jolong-jolong kalinya tentara Silungkang / Padang Sibusuk mempergunakan senjata api SETENGGA, suara letusan senjata SETENGGA menggelegar dan balatentara beserta penduduk kerajaan Sitambago baru kali ini mendengar letusan yang dahsyat serta membuat ciut hati mereka. Banyak tentara dan penduduk kerajaan Sitambago yang tewas akibat peluru SETENGGA, termasuk Raja Sitambago tersungkur bersimbah darah terkena tembakan senjata SETENGGA yang kemudian senjata tersebut dinamakan oleh mereka senjata HANTU TOPAN. Tentara dan penduduk kerajaan Sitambago mundur dan lari kocar-kacir meninggalkan wilayahnya, pusat kerajaan dan kemudian dikuasai oleh balatentara Panglima Paligan Alam.

Setelah perang usai, balatentara Silungkang / Padang Sibusuk dan Kubang yang dipimpin oleh Panglima Paligan Alam kembali ke nagari masing-masing, sedangkan wilayah pusat kerajaan Sitambago (kota Sawahlunto sekarang) terbiar begitu saja. lahan yang terbiar dan terlantar itu dimanfaatkan oleh anak nagari Lunto untuk bercocok tanam, dibuatlah persawahan, sehingga wilayah tersebut menjadi SAWAH yang digarap oleh orang Lunto. Sementara kepemilikan dan hak tanah tetap berada pada anak nagari Silungkang / Padang Sibusuk dan anak nagari Kubang yang telah memenangi peperangan dengan kerajaan Sitambago.

Disisi lain kaum keturunan Sitambago masih ada sampai sekarang disekitar daerah Pamuatan dan Santur.

Kisah ini disajikan oleh Djasril Abdullah untuk kedua kalinya yang sebelumnya dimuat pada Buletin Silungkang-Koba Anak Nagori edisi Desember 2002 / Januari 2003, halaman 54 yang disalin dan divariasi dari arsip Kantor Wali Nagari Silungkang dan kisah ini diriwayatkan oleh Datuak Podo Khatib kampuang Dalimo Kosiak-Penghulu Kepala Nagari Silungkang. Panggilan akrab beliau ONGKU PALO PENSIUN seiring dengan masa pensiun yang beliau jalani sejak tahun 1914 sebagai Penghulu Kepala. Beliau menyampaikan kisah ini secara lisan kepada dua orang tokoh Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia yang kini sudah almarhum yaitu SULAIMAN LOBAI dan M. SALEH BAGINDO RATU. Selanjutnya kisah ini ditulis untuk pertama kalinya oleh M. SALEH BAGINDO RATU.

Sumber : Suara Silungkang – Edisi Kesembilan Maret 2008

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

BAGIAN KELIMA

BAGIAN KEENAM

BAGIAN KETUJUH

BAGIAN KEDELAPAN

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia

BAGIAN KESEMBILAN

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Kedatangan empat orang pengrajin songket Silungkang di Seri Menanti membuat kegembiraan tersendiri bagi kami. Betapa tidak, kami merasa mempunyai anak empat orang lagi yang sudah remaja. Kami menyayangi mereka sebagaimana menyayangi anak sendiri. Kami beranggapan – anggapan kami ini entah betul entah tidak – yaitu berkemungkinan orang tua mereka bisa merelakan melepas mereka merantau ke Malaysia dikarenakan kami ada sebagai pengganti orang tua di Malaysia. Maklumlah tidak mudah bagi orang tua melepas anak gadisnya merantau jauh ke negara lain. Kami menerima mereka dan merasa mereka adalah bagian dari keluarga kami, juga kami mempersiapkan diri untuk waspada dan berkewajiban akan keselamatan mereka sebagaimana juga terhadap anak-anak kami. Mereka disediakan sebuah rumah disebelah rumah kami. Pada suatu malam, setelah shalat Isya mereka berkumpul di rumah kami dan saya mengambil kesempatan untuk menasehati mereka karena disadari mereka masih muda dan belum berpengalaman lagi cara “dimano bumi dipijak, disitu langik dijujuang”, lagi pula mereka kelihatannya dalam masa puber, dunia ini terasa mereka yang punya.

(lebih…)

Silungkang, SS.

Ternyata, orang Silungkang yang selama ini dikenal sebagai pedagang, dan jarang yang menjadi pegawai pemerintahan serta jadi pejabat negara di rantau orang sangat sedikit sekali, bahkan boleh dikatakan tidak terdengar sama sekali.

Tapi tahun 2008 ini, Silungkang kembali mengukir sejarah, salah seorang perantau Silungkang yang sudah lama menetap di negeri Jiran Malaysia yaitu Datuk Amirsham A. Aziz, FIBM, dalam kabinet baru Malaysia diangkat sebagai Menteri Perancangan Ekonomi pada jabatan Perdana Menteri. Beliau sudah lama menetap di Malaysia sejak dari orang tuanya. Latar belakang beliau adalah seorang Bankir pada sebuah Bank di sana.

Hal ini sangat membanggakan sekali nagari Silungkang, sehingga akan dapat menjadi motivasi bagi para generasi muda Silungkang lainnya untuk bisa lebih maju lagi. Mari kita do’akan semoga beliau dapat mengemban tugas ini dengan sebaik-baiknya.

Biodata :
Kampung : Melawas Silungkang
Suku : Payabadar
Orang Tua Laki-laki : A. Aziz Podo / Patopang
Orang Tua Perempuan : Marsinah Djamil / Melawas

Sumber : Tabloid Suara Silungkang, Edisi Kesepuluh April 2008

Oleh H. Abu Nawar (Dalimo Jao)

Perantau Silungkang pertama kali menginjak bumi Surabaya tahun 1930 dipelopori oleh Bapak P. Basir (Tanah Sirah) membuka toko tekstil di Tunjungan. Disusul perantau Silungkang lainnya yaitu Bp. Tayeb Saleh (Panay) dan Bp. M. Usman (Sawah Juai), keduanya di Wonokromo. Bp. M. Saini (Talak Buai) di Keputran, Bp. M. Noor (Guguek) di Blauran, H. Hasan Basri (Dalimo Tapanggang) di Praban, Bp. Salim Djalil (Dalimo Tapanggang) di Slompretan, dan sebagainya. Mereka semua membuka toko tekstil. Para perantau bertujuan datang ke Surabaya untuk mencari nafkah, dipilihnya kota Surabaya karena saat itu Surabaya sebagai kota transit perdagangan/pusat perdagangan.

Sebelum pendudukan tentara Jepang (1942), perantau masih merasa aman dibawah pemerintaha Belanda. Saat itu tidak ada pembebanan listrik, air, kebersihan, pajak dan keamanan terhadap warga negara Indonesia, semua ditanggung pemerintah Belanda. Namun deskriminasi dan tidak adanya persamaan hak antara orang Belanda dengan orang Pribumi itulah yang membuat bangsa Indonesia merasa terinjak-injak hak asasi manusianya, mereka berjuang untuk merebut kembali tanah air Indonesia tercinta, MERDEKA ATAOE MATI.

Masuknya tentara Jepang ke Indonesia khususnya ke Surabaya membuat para perantau Silungkang banyak yang mengungsi, namun hanya dalam waktu singkat mereka kembali lagi. Bapak Abu Nawar mengisahkan bahwa beliau mengungsi ke daerah Tretes, bertempat tinggal di kediamanan Organisasi Silungkang. Pengungsi hanya berbekal baju seadanya sedangkan harta benda yang lain (rumah dan toko) ditinggalkan begitu saja. Beliau mengungsi tidak kurang dari 1 bulan, selanjutnya kembali ke Surabaya dan membuka toko baru, karena toko semula sudah diambil oleh orang WNA (Cina).

Semenjak perjuangan, Bp. Abu Nawar ikut berjuang baik perjuangan di Jembatan Merah, Don Boscho, Hotel Yamatho, Rungkut, Panjang Jiwo dan sebagainya. Perantau Silungkang, Bpk. Basir (Malowe) gugur sebagai pejuang saat Agresi Militer I.

Kedatangan sekutu pasca kemerdekaan (1945), membuat para perantau banyak yang mengungsi kembali. Bpk. Abu Nawar mengungsi ke Blitar sampai tahun1948, diteruskan perjalannya ke Silungkang, beliau berdagang ke Jambi. Yang menarik disini, beliau ke Jambi, menumpang di M. Yunus di kebun kelapa Jambi karena uang ORI tidak berlaku saat Belanda masuk. Pak Abu hanya makan daun singkong disekitar kediaman. Liku-liku beliau untuk berusaha kembali ke Surabaya merupakan hal yang tidak masuk akal. Dimulai dari permohonan ke Camat (Raden Syahrudin) untuk meminta ijin kembali ke Surabaya, yang tidak dikabulkan, dilanjutkan ke Residen Jambi dan kepolisian Jambi tetap baru dapat ijin. Tiba suatu saat, truk berpenumpang tentara Belanda menuju ke Pelabuhan Pal Merah, beliau “menggandol” truk tersebut dengan dua orang awak sampai ketujuan. Tentara Belanda dalam truk tersebut plus tiga orang awak menumpangi pesawat menuju Palembang. Akhirnya dari Palembang setelah menghubungi Surabaya, beliau diperbolehkan kembali ke Surabaya dengan kapal laut.

Di Surabaya, beliau menetap di rumah M. Usman (Sawah Juai) di toko Indonesia kapasan. Dan mulailah kembali usaha toko beliau (tahun 1950).

Demikianlah sekelumit kisah sejarah yang dialami Bapak Abu Nawar dan para perantau Silungkang yang ada di Surabaya. Semoga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi para pembaca. (HAR).

Dari tahun 1963 sampai sekarang SMP SDI mulai stabil. Guru telah banyak, murid telah banyak dan keuangan telah membaik.Pada tahun 1963 didirikannya “Yayasan Sekolah Dagang Islam”. Pada tahun 1972 di Jakarta dibentuk “Ikatan Keluarga Alumni (IKA SDI)”. Pada tahun 1980 di Jakarta dibentuk “Ikatan Keluarga Alumni (IKA SDI)”.

Dengan dana yang dikumpulkan IKA SDI, dimulailah membangun gedung sekolah SDI yang baru berikut jembatan penyeberangan. Gedung dan jembatan ini menelan biaya sebesar Rp. 64.000.000,-. Gedung ini diresmikannya pemakaiannya oleh Gubernur. Sumatera Barat, Bapak Azwar Anas pada tanggal 3 Juli 1984.

Pembenahan manajemen sekolah dan penambahan guru-guru yang berstatus pegawai negeri sipil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara bertahap diupayakan oleh IKA SDI bersama Yayasannya.

IKA SDI secara bertahap membenahi SDI ini. Dewasa ini sedang memasang dan untuk memperlebar pekarangan sekolah.

Murid SDI tahun 1990 :
SMP : laki-laki = 80 orang; wanita = 134 orang = 214 orang.
SMA : laki-laki = 80 orang, wanita = 122 orang = 202 orang.

Prosentase lulus tahun1989 :
SMP = 98,5 persen
SMA = 84,8 persen

Fasilitas-fasilitas yang ada dewasa ini :

  1. Lokal belajar = 8 buah
  2. Laboratorium = 1 set
  3. Mesin ketik = 12 unit (untuk belajar)
  4. Komputer PC = 1 unit
  5. Organ Yamaha = 1 unit
  6. Mesin jahit = 8 set
  7. Alat-alat PKK = 1 set
  8. Mesin ketik kantor = 1 unit
  9. Pemancar radio = 1 set
  10. Alat-alat olahraga = 2 set lengkap
  11. Buku-buku pelajaran = 1300 exlempar

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

Mulai tahun 1952 keadaan SMP SDI telah memulai membaik. Perbaikan ini disebabkan : mulai tahun 1952, anak perempuan diterima menjadi murid. Penerimaan murid perempuan ini adalah atas inisiatif dan keberanian majelis guru yaitu Hasan Muhammad, Idroes Katoen, Syarifuddin, Ibrahim Said (Mamak Surau Tenggi).

Murid mulai meningkat jumlahnya :
Tahun 1952 = 67 orang
Tahun 1953 = 80 orang
Tahun 1954 = 115 orang
Tahun 1955 = 119 orang
Tahun 1956 = 172 orang
Tahun 1957 = 167 orang
Tahun 1958 = 123 orang
Tahun 1959 = 98 orang
Tahun 1960 = 141 orang
Tahun 1961 = 119 orang
Tahun 1962 = 114 orang

Buku pegangan guru telah ada. Murid telah dapat meminjam buku di sekolah. Honor guru telah dapat ditingkatkan. Keuangan telah mulai membaik. Bantuan dari Jakarta yang dikumpulkan dari Alumni dan pencinta SDI yang diprakarsai oleh Danil Yusuf, Nazwar Samin, dan Marius Harun telah mulai mengalir.

Tahun 1954/1955 lokal ditambah 2 buah lagi dengan biaya Rp. 40.000,- seluruh ditanggung oleh Salim Jalil. Bangku dan peralatan lainnya seharga Rp. 14.000,- ditanggung oleh PKS Padang.

Bertepatan dengan HUT SMP SDI, majelis guru memberanikan diri pula untuk mendirikan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA SDI). Dasar didirikannya ialah untuk menampung anak-anak perempuan yang lulus dan tidak lulus dari SMP. Usaha ini disokong penuh oleh Dr. Johor Rukun (waktu itu belum jadi dokter). Johor Rukun diwaktu senggangnya ikut mengajar.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

7 Desember 1941 Admiral Nagumo menyerang Pearl Harbour. 8 Desember 1941, Belanda ikut memaklumkan perang kepada Jepang. Situasi di Indonesia mulai panas dan gawat. Perantau-perantau Silungkang yang bertebaran di seluruh pelosok tanah air, memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan sama-sama sependapat walau tidak pernah bersepakat terlebih dahulu, untuk mengirim istri dan anak mereka ke kampung (Silungkang).

Disebabkan banyaknya anak-anak yang berkumpul di kampung, yang mana kebanyakan di perantauan bersekolah HIS (Hollands Inlansche School), maka Kepala Nagari bersama M. Nour Guguak dan Haroen Rajo Sampomo, mendirikan sekolah HIS pelarian yang kemudian dizaman Jepang ditukar namanya menjadi NIG (Nippon Indonesia Ghako). Tepat sekolah di rumah sekolah Silungkang Institut dipinjamkan satu lokal.

Pada umumnya anak-anak yang dari perantauan terdiri dari anak orang berada, tentu punya pakaian dan perlengkapan sekolah yang cukup dan bagus. Anak-anak Silungkang Institut terikat oleh disiplin sekolahnya, pakai pakaian seragam, kepala gundul dan tidak pakai sepatu. Perbedaan yang menyolok ini telah mulai menampakkan gejala yang tidak baik. Untuk menjaga bentrokan antar murid, oleh pengurusnya dipindahkanlah sekolah HIS ke lokal Volkschool di pasar Silungkang.

Supaya lekas membaurnya anak-anak dari rantau dengan anak-anak yang di kampung, oleh kedua pengurus kedua sekolah itu didirikan Pandu KBI (Kepanduan Kebangsaan Indonesia). Semua murid laki-laki di kedua sekolah itu diwajibkan untuk masuk di kepanduan itu. Pimpinannya diambil dari sekolah yang kedua itu yaitu Idroes Katoen dan Agusnar Alimin dari Silungkang Institut, Anuarby Jamal dan Kamaruzzaman dari HIS pelarian.

Yang patut menjadi perhatian kita bersama, ialah cepat tanggap dan cepatnya bertindak pemimpin-pemimpin Silungkang waktu itu, dan nyatanya semenjak diadakannya pandu KBI itu, baiklah hubungan antara anak-anak perantauan dengan yang di kampung. Kemajuan tentara Jepang diluar dugaan sekutu. Dalam waktu yang singkat, tentara Jepang telah sampai di Malaya. Singapura, benteng Inggris yang terkuat di Asia, telah terancam dan diragukan untuk bisa dipertahankan. Tentara Inggris telah banyak yang berhamburan lari, ada yang ke Pekanbaru, ke Rengat ke Jambi dan lain-lainnya.

Tentara Belanda yang gagah berani terhadap rakyat jajahannya selama ini walaupun belum pernah berhadapan dengan tentara Jepang, telah ketakutan pula. Telah banyak yang panik bahkan telah banyak yang lari meninggalkan kesatuannya. Dalam situasi yang demikian, Silungkang diberi jatah oleh Belanda minyak tanah sebanyak 700 kaleng yang disuruh tempatkan di rumah sekolah Silungkang Institut. Konon kabarnya kemudian diperdapat berita, maksud Belanda memberi minyak tanah itu adalah untuk membumi hanguskan Silungkang Institut dan negeri Silungkang.

9 Maret 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang. Penandatanganan penyerahan tanpa syarat oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Tjarda Van Starkenburg Stachhouwer dan Luitnam Jendral Hein Ter Poorten dilakukan di Kalijati. Pada tanggal 8 Maret 1942, Jepang mulai memasuki kota Sawahlunto dari Sijunjung. Rakyat menyambutnya dengan gembira sekali, lebih-lebih rakyat Silungkang yang dengan masuknya Jepang dan kalahnya Belanda terobat rasanya jerih payah, pengorbanan dan penderitaan tahun 1927.

17 Maret penyerahan di Padang Silungkang Institut ditukar namanya menjadi SDI (Sekolah Dasar Islam) nama mana disesuaikan dengan niat waktu mendirikannya.

Keadaan sekolah SDI selama pendudukan Jepang.

Sama seperti sekolah-sekolah lainnya di Sumatera Barat ini, SDI inipun mengalami nasib yang memprihatinkan, antara lain pada keadaan guru yang pada tahun 1943 terdiri dari Guru Hasan Muhamad, Guru Suginoi, Guru Rustam. Tahun 1944 yaitu Guru Hasan Muhamad, Guru Umir Usman, Guru Idroes Katoen. Tahun 1945 yaitu Guru Hasan Muhamad, Guru Idroes Katoen, dan Guru Syamsuddin Sawah Juai.

Keadaan murid tahun 1942 berjumlah 72 orang, tahun 1943 yaitu 52 orang, tahun 1944 hanya 46 orang dan tahun 1945 adalah 51 orang.

Honor guru dengan beras, itupun penuh ke bawah. Buku pegangan bagi guru tidak ada. Buku serta peralatan sekolah sulit diperdapat.

Untungnya, kalau ditempat-tempat lain sekolah dan guru-gurunya telah banyak yang kehilangan wibawa, siswa SDI tetap mematuhi peraturan/disiplin sekolah.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

Lebih kurang 6 bulan sekolah yang dibangun berjalan, diadakanlah pemeriksaan oleh badan pemeriksaan yang dipimpin oleh Guru Arifin. Dari hasil pemeriksaan, Guru Arifin sangat gembira dengan hasil yang telah dicapai. Menurut pendapat Beliau, bahasa Belanda di sekolah ini telah dapat disamakan dengan kelas V di sekolah HIS. Kira-kira satu tahun kemudian, sekolah ini ditukar namanya menjadi “Silungkang Institut”. Ditukarnya karena banyak yang mengusulkan bahwa nama Limau Poeroet Institut, nama ini terlalu khusus sedangkan sekolah ini kepunyaan Silungkang. Pada tahun ajaran kedua guru ditambah, yaitu guru Sugino M. Wigono. Pada tahun ketiga guru telah 6 orang karena ditambah dengan guru Sofyan Jamanuri, guru Nazarirrudin dan guru M. Zein.

Akhir tahun 1941, datang rombongan pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Controleur untuk memeriksa sekolah ini, waktu itu tentara Jepang telah menduduki Philipina. Diperiksanya sekolah ini karena pemerintah Belanda curiga terhadap sekolah ini. Kecurigaan ini disebabkan antara lain :

  • Tentara Jepang disamping memakai pakaian seragam, kepalanya semuanya gundul. Peraturan di sekolah ini juga begitu. Apakah sekolah ini ada hubungannya dengan tentara Jepang itu.
  • Karena dapat laporan dari intelegennya, bahwa guru-guru “Silungkang Institut” sedang giat-giatnya mempelajari bahasa Jepang.
  • Belanda masih khawatir terhadap Silungkang. Kekhawatiran ini mungkin akibat pemberontakan Silungkang 1927.

Untunglah sebelum ada pemeriksaan, kepala negeri Silungkang M. Joesoef Penghulu Sati yang menjadi pelindung sekolah ini, telah mengetahuinya dan segera memberitahukan kepada guru-guru bahwa akan ada pemeriksaan. Oleh karenanya guru-guru mana yang patut disingkirkan, disingkirkanlah segera. Nyatanya waktu itu guru Bahaudin memang sedang asyiknya mempelajari bahasa Jepang.

Segala pertanyaan yang diajukan oleh Controleur itu, dapat dijawab oleh guru Bahaudin dan guru Sugino, sehingga Controleur pulang dengan tangan hampa, tapi masih menampakkan kecurigaannya. Lebih kurang satu bulan kemudian, datang rombongan pemerintah Belanda dari Padang, yaitu rombongan dari O & E (Onder Wys en Eeredienst). Kalau istilah sekarang rombongan DEBDIKNAS. Kedatangannya itu untuk membujuk pemimpin-pemimpin Silungkang agar sekolah Silungkang Institut dijadikan saja sekolah pemerintah. Ini mungkin rentetan dari periksaan Controleur tempo hari. Usul ini ditolak dengan tegas oleh pemimpin-pemimpin Silungkang. Tidak ada basa-basi karena pemimpin-pemimpin Silungkang telah tahu bahwa situasi di Indonesia telah mulai gawat. Negeri Belanda telah diduduki Jerman, sedangkan tentara Jepang telah mendekati Singapura.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

BAGIAN PERTAMA
BAGIAN KEDUA
BAGIAN KETIGA
BAGIAN KEEMPAT
BAGIAN KELIMA
BAGIAN KEENAM
BAGIAN KETUJUH

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia

BAGIAN KEDELAPAN

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Dalam perjalanan menuju Malaysia tidak banyak percakapan yang terjadi karena suasana hati masih mengandung kesedihan, bayangan almarhum semasa hidup selalu menjelma diingatan dan suaranya masih terngiang ditelinga.

Biasanya disepanjang jalan kami selalu menikmati keindahan alam yang dilewati, tapi kali ini pemandangan yang indah itu berlalu begitu saja, cuacapun mendung, hujan tidak panaspun tidak. Tanpa terasa dikarenakan perasaan hampa, kami telah mendarat di pelabuhan Melaka. Di Melaka saya sengaja belum mencari kendaraan menuju Seri Menanti, saya bawa isteri dan anak saya jalan-jalan melihat objek wisata serta peninggalan sejarah, setelah puas barulah saya menuju ketempat perhentian taksi yang tak jauh dari pelabuhan. Kami naik taksi menuju Seri Menanti lewat Tampin, jadi kami tidak melalui Seremban karena jalannya jauh dan berbelit-belit. Jalan yang ditempuh Melaka – Tampin – Kuala Pilah – Seri Menanti jauh lebih pendek dari Melaka – Seremban – Kuala Pilah – Seri Menanti.

15 Maret 1999 kami kembali sampai di Seri Menanti, tetangga, teman sekerja dan orang-orang yang kami kenal ikut menyampaikan duka cita, karena kami sudah dianggap oleh mereka sebagai keluarga sendiri, karena kami juga apabila ada kemalangan disana kami menyempatkan diri hadir untuk takziah dan berdoa, asal kami tahu ada kemalangan di tetangga ata orang-orang yang kami kenal, kami tetap berusaha untuk datang, tak kira yang meninggal itu rakyat biasa atau kerabat raja.

Tidak saja sewaktu kemalangan, berhelat kawin, acara adat di kampung-kampung pun kami sering diundang dan dengan senang hati kami menghadirinya. Begitu juga halnya dengan keluarga kerajaan, sewaktu T. Khursiah meninggal saya ikut mengantar ke Makam Diraja, selesai penguburan saya juga ikut membaca yasin, tahlil dan berdoa. T. Khursiah adalah Permaisuri Tuanku Abdul Rahman. Di hari raya Idul Fitri, sesudah shalat hari raya saya juga pergi ke Istana Besar menjamu selera, karena waktu itu Istana Besar terbuka untuk umum, seluruh lapisan masyarakat bersilaturahmi di halaman Istana Besar Seri Menanti. Ini semua saya lakukan supaya saya dan keluarga membaur dengan masyarakat, sebagaimana pepatah mengatakan “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, disamping itu kesempatan tersebut saya gunakan untuk menambah pengetahuan saya tentang pengamalan Adat Perpatih di Negeri Sembilan serta membandingkannya dengan pengamalan Adat Minangkabau di Sumatera Barat. Saya merasa beruntung sekali bekerja di Seri Menanti, karena disinilah pusat kegiatan Upacara Adat Perpatih, jadi dengan mudah saya dapat mengamati pelaksanaan upacara tersebut dan saya pun juga dibawah ikut serta menjadi Urus Setia (Panitia).

Kami mulai bekerja seperti biasa, di samping itu acara demi acara juga berlangsung di sekitar tempat kami bekerja, kegiatan latihan Caklempong oleh Putera/Puteri Seri Menanti dan juga latihan Rebana oleh orang dewasa ditambah lagi dengan adanya Shooting Sinetron TV dan Shooting Iklan TV serta Shooting Video Klip juga ada Pameran oleh instansi pemerintah, kesemua itu menambah semarak suasana.

Caklempong dengan lagu Minang, Rebana dengan pukulan Rentak Melayu, Rentak Arab dan Rentak India sungguh mengasyikkan.

Pada suatu hari datang satu bus pengunjung dari negara India, semuanya sebaya, pemuda- pemuda tampan dan gadis-gadis cantik seperti aktor dan aktris Bollywood, pertama sekali mereka menuju ke tempat kumpulan rebana latihan, seorang diantara mereka yang mungkin sebagai ketua rombongan berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, nampanya mereka ingin menyumbangkan sebuah lagu dan tari-tarian India serta mengajarkan rentak pukulan rebana yang diinginkan atau yang sesuai dengan lagu yang akan dinyanyikan. Maka mulailah dipalu rebana dengan serentak oleh anggota kumpulan rebana yang jumlahnya 10 orang, diikuti oleh seorang pemuda menyanyikan lagu India (berbahasa Urdu) dan pemuda-pemuda serta gadis-gadis lainnya menari dengan riangnya seperti yang kita lihat pada film-film India.

Tersentuh juga hati saya melihatnya, karena saya juga hobby nonton film India, biasanya saya melihat melalui layar bioskop-bioskop atau layar kaca televisi, sekarang langsung melihatnya. Panjang juga lagu yang dinyanyikannya, setelah berhenti semuanya bertepuk tangan. Saya maju kedepan menyalami penyanyi sambil berkata kepadanya supaya ditambah nyanyinya lagi, dia minta maaf tidak bisa, waktunya terbatas karena sudah diatur jadwal.

yamtuan5.jpgAwal bulan April 1999, terlihat kesibukan-kesibukan di Istana Lama dan di Istana Besar Seri Menanti, suatu acara yang langka dan diadakan pada hari Sabtu, 24 April 1999 yaitu acara ISTIADAT KEBERANGKATAN BALIK DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG, SETELAH TAMAT TEMPOH BERTAKHTA SEBAGAI DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG KE KE X. Yaitu acara penyambutan kepulangan Tuanku Jaafar ibni Al Marhum Tuanku Abdul Rahman dari Istana Negara Kualalumpur setelah bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang di-Pertuan Agung Malaysia dan kembali ke Istana Besar Negeri Sembilan, yang mana jabatan Yang Di-Pertuan Agung selanjutnya digulirkan kepada Raja/Sultan dari Negeri (Propinsi) lainnya, dan bertakhta selama 5 tahun, kecuali meninggal dunia. Raja/Sultan yang akan mendapat giliran tersebut sebanyak 9 orang.

Bisa kita bayangkan bahwa acara penyambutan ini diadakan di Seri Menanti sekali 45 tahun atau hampir setengah abad. Acara penyambutan ini diadakan selama 9 hari 9 malam, penuh dengan Upacara Adat serta Hiburan Kesenian Tradisional, Kesenian Modern juga ada pertandingan-pertandingan Olah Raga.

Pada tanggal 24 April 1999 tibalah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu acara penyambutan Baginda. Pagi-pagi sekali pertama-tama saya mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun kepada salah seorang anak saya yang lahir pada tanggal 24 Aprl 1987, setelah itu baru berangkat menuju halaman Istana Lama, disana sudah ramai orang terutama Pemangku Adat yang sebagian mereka memakai TENGKOLOK DANDAN TAK SUDAH, yaitu destar (deta) kebesaran di Negeri Sembilan. Masyarakat mulai berdatangan, panitia sibuk dengan pekerjaan bagian mereka masing-masing, Seri Menanti penuh dengan hiasan, disepanjang jalan menuju Istana Besar seluruh lapisan masyarakat berbaris di tepi jalan, Pelajar dan Mahasiswa masing-masing membawa bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia, pertunjukan kesenian tradisional diadakan disepanjang jalan ditambah lagi dengan persembahan Kebudayaan kumpulan Cina, India dan Sikh. Di tepi jalan sebelah kiri dipagari oleh orang-orang pembawa Bunga Manggar sedangkan di tepi jalan sebelah kanan dipagari oleh group Vespa, Motor Klasik dan Mobil Antik.

Tepat pukul 4.45 ptg. (16.45 sore) iring-iringan mobil yang membawa kepulangan Baginda sampai di Seri Menanti, Gendang Perang dan Kompang dipalu silih berganti, tak kalah meriahnya sewaktu gendang Cina, India dan Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh meraung-raung diiringi pula oleh seruling kelompok India sungguh indah didengar, rakyat yang berjejar ditepi jalan mengibarkan bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia yang terbuat dari plastik berukuran kecil.

Setiba di Pintu Gerbang Istana, Baginda dan Permaisuri turun dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana diiringi tiupan seruling dan gurindam, setibanya di Pintu Istana beras kunyit pun ditabur, di Istana diadakan jamuan teh dan dilanjutkan dengan Acara Istiadat Menyimpan Alat-alat Kebesaran.

Pada malamnya pukul 8.30 malam (20.30), di Padang Bola Sepak (lapangan bola kaki) Seri Menanti dan Londa Naga (semacam telaga yang terletak di antara Istana Besar dengan lapangan bola kaki) diadakan persembahan Tatoo dan Ketrampilan oleh ATM (Angkatan Tentera Malaysia) 1 Briged. Persembahan ini mendapat perhatian besar dari pengunjung.

Seri Menanti sangat ramai dikunjungi, siang malam pengunjung silih berganti, para pedagang memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual bermacam-macam barang dagangan, disini saya juga mengambil kesempatan untuk menjual Songket Silungkang dan barang-barang souvenir lainnya yang sengaja saya bawa dari Silungkang setiap saya pualng. Songket yang banyak laku waktu itu adalah songket cuki ponuah warna hitam dan warna merah dengan mokou warna emas, saya juga membawa sapu ijuk, karena sapu ijuk sedikit, banyak yang tidak kebagian, sapu ijuk oleh mereka bukan digunakan untk menyapu sampah, tetapi digangunt di dinding sebagai hiasan antik, mainan kunci berbentuk rangkiang (rumah adat Minangkabau) sangat laris terjual untuk digantung di mobil.

Acara demi acara dilaksanakan dengan lancar, aman dan tertib, acara Adat Istiadat, Kesenian Tradisional seperti Caklempong, Randai (ala Negeri Sembilan), Silat dan kesenian tradisional lainnya, dan juga kesenian-kesenian modern seperti persembahan lagu-lagu populer, pementasan drama, persembahan sastra. Disamping itu juga dimeriahkan dengan pertandingan-pertandingan olahraga.

Yang paling berkesan oleh saya adalah persembahan kesenian tradisional GHAZAL yang sengaja didatangkan dari Negeri Johor. Ghazal adalah lagu Melayu asli yang diiringi gabungan alat musik Melayu (biola), Arab (kecapi), India (gendang). Konon kabarnya musik Ghazal ini digunakan oleh Sultan Johor sebagai pengantar tidur. Saya tertarik dengan lagu Ghazal ini dari tahun 1968 lagi, sehingga koleksi kaset saya juga terdiri dari kaset lagu Ghazal. Mengenai kesenian tradisional yang ada di Malaysia, saya juga tertarik dengan Dondang Sayang dari Melaka, Mak Inang Pulau Kampai dari Negeri Sembilan, Dikir Barat dari Kelantan dan Boria dari Pulau Pinang, ini semua dapat saya tonton melalui TV 1 RTM (TV 1 Radio Talivisen Malaysia).

Tuanku Jaafar ibni A-Marhum Tuanku Abdul Rahman adalah satu-satunya keturunan Raja Pagaruyung yang masih berdaulat atau masih di Raja kan dan masih mempunyai Kerajaan yaitu Kerajaan Negeri Sembilan.

Selama Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang Di-Pertuan Agong, Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan dijabat oleh Putera Baginda yang tertua Tunku Laxamana Naquiyuddin ibni Tuanku Jaafar Al-Haj dengan gelar Paduka Seri Pemangku Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus. Kepulangan Baginda disambut mesra oleh Paduka Seri Pemangku dengan TITAH ALU-ALUAN (kata sambutan) yang saya salinkan berikut dengan teks sebagaimana aslinya :
Tanggal 24 April 1999 bersamaan 8 Muharram 1420 pasti tercatat sebagai salah satu lagi tarikh dalam sejarah Alam Beraja di Negeri Sembilan Darul Khusus apabila rakyat dari segenap lapisan masyarakat akan menyambut keberangkatan balik, D.Y.M.M. Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman yang menamatkan tempo bertakhta Baginda sebagai Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong ke X dari 26 April 1994 hingga 25 April 1999.

Peristiwa ini akan disambut dengan penuh adat istiadat menandakan kembalinya Raja yang dikasihi ke pangkuan rakyat negeri, dengan keunikan Adat Perpatih yang menjadi pegangan rakyat Negeri Sembilan Darul Khusus.

Sebagai satu-satunya negeri beradat, pastinya seluruh rakyat yang cintakan Rajanya tidak mau melepaskan peluang untuk bersama-sama meraih peristiwa yang penuh bermakna yang hanya berlaku hampir setengah abad sekali. Apa yang lebih membanggakan Beta, Kerajaan Negeri dengan dokongan pada rakyat dari segala lapisan masyarakat telahpun mengaturkan pelbagai program sebagai tanda kasih untuk menyambut keberangkatan balik Tuanku. Beta yakin, adat yang unik ini akan dapat diteruskan sepanjang zaman karena sesuatu yang datang dari rakyat itu adalah pancaran sebenar hati budi mereka.

Selain daripada acara menyambut keberangkatan balik Baginda, pelbagai acara telah disusun di Daerah Kuala Pilah, antaranya persembahan Tatoo, Larian Raja Melewar. Pementasan peristiwa di Bukit Candu dan pelbagai pertunjukan kebudayaan yang lain.

Pada kesempatan ini, Beta inigin merekamkan setinggi-tingginya penghargaan dan terima kasih diatas kesungguhan yang ditunjukkan oleh pimpinan negeri yang mendapat sokongan padu pihak Pentadbiran dan rakyat keseluruhannya bagi menjayakan adat istiadat ini dengan penuh gilang-gemilang.

Sesungguhnya Beta yakin, sesuatu yang lahir dengan penuh hati yang luhur itu akan membawa keberkatan.

Keterangan dari saya, D.Y.M.M adalah kependekan dari Duli Yang Maha Mulia. Pentadbiran artinya pemerintah atau Yang Berwenang, Beta artinya saya (diucapkan oleh Raja-raja Melayu).

Saya juga sempat menyaksikan pementasan Peristiwa di Bukit Candu, yaitu pertempuran perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pementasan ini diadakan di Padang Bola Sepak Seri Menanti dari pukul delapan malam sampai pukul 12.00 malam.

Pada suatu sore Tan Sri Samad Idris datang ke tempat saya bekerja, beliau mengajak saya naik mobilnya. “Pak Djasril, jom (ayoh) kite ke Kuala Pilah sekejap (sebentar)”. “Okey, Tan Sri”, jawab saya. Di Kuala Pilah kami masuk ke sebuah Kedai Minum dan langsung memesan minuman yang disukai masing-masing. “Macam ni Pak Djasril”, kata Tan Sri membuka kata, “Tahun ni adalah dijadikan Tahun Melawat Negeri Sembilan, pelancong tempatan (Malaysia) dan pelancong Antara Bangsa (Manca Negara) datang mengunjungi Negeri Sembilan, terlebih-lebih Istana Lama akan banyak dikunjungi, saye berhajat nak tambah tenun songket empat lagi, dan tentu sahaje ditambah lagi empat pengrajin dari Silungkang, tapi saye inginkan pengrajin yang lepas, kalau perempuan belum punye laki, kalau lelaki belum punye bini, untuk ini saye serahkan pade Pak Djasril macam mane baiknye,” lanjut Tan Sir.

“Baiklah Tan Sri,” jawab saya. “Nanti saya telepon Pak Djasril Munir Pengurus Kopinkra di Silungkang, karena beliaulah nanti yang akan merekrut pengrajin tersebut,” kata saya lagi.

Setelah selesai minum kami langsung saja kembali ke Seri Menanti, sesampainya di Seri Menanti saya terus saja ke kantor Muzium untuk menelepon ke Silungkang yaitu kepada Pak Dasril Munir, saya sampaikan rencana Tan Sri tersebut, Pak Dasril Munir menyambut baik rencana Tan Sri itu, dan akan memberi jawaban seminggu lagi.

Seminggu kemudian saya mendapat kabar dari Silungkang bahwa akan dikirim empat orang pengrajin lagi, semuanya wanita dan belum berumah tangga, 2 orang dari Batu Manonggou, 1 orang dari Sungai Durian dan 1 orang dari Panai Ompek Rumah.

BERSAMBUNG

Cerita Asli dari Djasril Abdullah

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kedelapan Februari 2008

1. Pengajian
Jauh sebelum ada sekolah umum, tingkat pendidikan di Silungkang hanyalah pendidikan surau. Sama seperti di negeri-negeri lainnya di Minangkabau, suraulah yang memegang peranan penting dalam mencerdaskan rakyat. Anak-anak yang telah berumur 7 tahun, telah disuruh tidur di surau. Kalau masih tidur di rumah orang tua akan ditertawakan dan akan digelari dengan “Kongkong Induk Ayam”.

Di surau ini dapat dipelajari/diajarkan :

  1. Pelajaran dan didikan agama setidak-tidaknya sekedar yang pokok-pokok yang harus dimiliki oleh seorang Islam.
  2. Pelajaran adat, tambo, pidato-pidato adat, hariang gendiang sampai-sampai bagaimana tata tertib di atas rumah orang (cara berumah tangga).
  3. Tidur bersama, mengaji bersama, shalat bersama, adalah didikan bagaimana cara bermasyarakat, dan bagaimana supaya pandai menyesuaikan diri.
  4. Anak-anak akan dekat berkomunikasi dengan gurunya, ditempat untuk tidak penakut dan berjiwa besar, dan diberi pelajaran bela diri (silat).
  5. Di surau ini juga dapat dipelajari bagaimana cara berdagang, cara bertenun ataupun cara-cara serta pengalaman merantau.
  6. Setelah ada kaum pergerakan sekitar tahun 1915/1926, di surau-surau juga diadakan kursus-kursus politik.

Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, untuk mengetahui tinggi rendahnya pendidikan di suatu negeri dapat dilihat dari banyaknya surau serta murid yang mengaji disurau tersebut. Pada waktu itu, jumlah surau yang ada di Silungkang 25 buah, suatu jumlah yang besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Surau terbesar adalah surau Godang, (tempatnya di sekolah Muhammadiyah sekarang), surau ini didirikan pada tahun 1870 M / 1287 H dengan tujuan sebagai induk surau-surau yang sudah ada.

Yang mempelopori dan memimpin berdirinya adalah Syekh Barau (nama aslinya M. Saleh bin Abdullah). Syekh Barau ini adalah seorang ulama besar, punya murid dan pengikut yang banyak. Beliau pernah bermukim di Makkah untuk mempelajari seluk-beluk agama Islam. Beliau sangat disegani masyarakat Silungkang setara negeri-negeri sekitarnya. Di Batang Air Silungkang ada ikan bernama ikan Barau, untuk menghormati beliau dan ada yang berpendapat supaya jangan kualat, oleh masyarakat nama ikan itu ditukar dengan ikan tobang, yang sampai sekarang masih bernama ikan tobang. Beliau meninggal hari Sabtu, 29 Zulhijjah 1288 H.

Surau Godang ini ada hubungannya dengan Ulakan Pariaman, dan Syekh Barau sebagai wakil Khalifah dari Khalifah yang ada di Ulakan. Antara tahun 1920 – 1926, yang mengaji di Silungkang tidak terbatas pada warga Silungkang saja, tapi banyak pula yang berdatangan dari negeri lain, seperti dari Garabak Data, Simiso, Aie Luo, Batu Manjulur, Kobun, Koto Baru, Padang Sibusuk dan lain-lain.

Diantara yang ikut mengaji di Silungkang adalah Dr. Amir, Prof. Mr. M. Yamin dan Jamaludin Adinegoro. Beliau-beliau ini mengaji dan tinggal di surau Jambak dibawah asuhan H.M. Rasad. Paginya beliau-beliau ini sekolah HIS di Solok.

2. Sekolah Umum
Sekolah dasar (Volkschool) yang pertama untuk bumi putra Minangkabau didirikan di Bukit Tinggi pada tahun 1940. Sekolah ini didirikan dengan tujuan utama untuk mempersiapkan rakyat Minangkabau untuk menjadi pegawai Belanda. Di Silungkang kapan berdirinya Volkschool tidak diperdapat keterangan yang pasti, yang jelas sebelum tahun 1921 sudah ada Volkschool dan Vervolgschool (sekolah desa 3 tahun dan sekolah gubernaman 5 tahun). Besar kemungkinan adanya Volkschool itu sebelum tahun 1900, sebab setelah tahun1900 Silungkang telah banyak yang pandai tulis baca, pergi merantau ke Jawa, Singapura, Kelang (julukan untuk Malaysia waktu itu) bahkan ada yang telah bermukim dan berdagang di Makkah.

Pada tahun 1915 telah ada beberapa orang Silungkang yang berhubungan dagang ke negeri Belanda dan Belgia dengan korespondensi dengan berbahasa Belanda, diantaranya Sulaiman Lapai dan Zoon, Datuk Sati & Co., Muchtar & Co., Fa. Baburai dan lain-lainnya.

Pada tahun 1920 Sulaiman Labai resmi mendapat izin untuk menjadi pengacara di Pengadilan Sawahlunto dan pada tahun itu juga M. Lilah Rajo Nan Sati ditunjuk oleh General Manager Ford sebagai Dealer Ford untuk order Afdeling Sawahlunto dan sekitarnya.

3. Sekolah Diniyah
Pada tahun 1923, didirikan di Silungkang sekolah Diniyah, cabang dari sekolah Diniyah Padang Panjang. Yang mempelopori berdirinya yang masih diketahui adalah :
a. H. Jalaludin
b. Joli Ustaz
c. Sulaiman Labai

Guru-gurunya dikirim dari Padang Panjang yaitu :
a. Guru Syariat dari Bukit Tinggi
b. Guru Murad dari Bukit Tinggi
c. Guru Adam dari Batipuh Padang Panjang
d. Guru Bagindo Syaraf dari Kampuang Dalam Pariaman

Putra Silungkang yang pernah menjadi gurunya antara lain :
a. Guru Ibrahim Jambek
b. Guru Ya’kub Sulaiman
c. Guru Syamsuddin
d. Guru Abdul Jalil Mahmud
e. Guru Abdoellah Desman
f. Guru Abdoellah Mahmoed
g. Guru A. Bakar

4. Kursus-kursus
Setelah adanya kaum pergerakan, sering diadakan kursus-kursus politik. Hampir disetiap surau yang tidak kolot, setelah selesai pengajian diadakan kursus politik.

Kaum pergerakan itu tidak sedikit andilnya dalam mencerdaskan dan membukakan mata rakyat, bukan rakyat Silungkang saja, tapi jangkauannya mencakup distrik Sawahlunto, distrik Sijunjung, distrik Solok, bahkan sampai ke daerah Riau dan Jambi.

Jauh sebelum tahun 1927, di Silungkang telah ada Bibliotik yang dikelola oleh Salim Sinaro Khatib. Beberapa surat kabar seperti Pemandangan Islam, jago-jago dan Silungkanglah dibagi-bagikan untuk daerah sekitarnya.

5. Tempaan Alam
Didesak oleh alamnya yang sempit, tidak punya sawah yang memadai, apalagi karena tanahnya tidak subur, rakyat Silungkang terpaksa memilih usaha dibidang perdagangan dan pertenunan (perindustrian). Perdagangan dan pertenunan sudah pasti menghendaki kecerdasan, setidak-tidaknya sekedar untuk bisa memperhitungkan pokok, laba rugi, atau prosentase untuk mengaduk celup.

Sebelum tahun 1937, pada umumnya rakyat Silungkang laki-laki, walaupun tidak pernah duduk dibangku sekolah, akan berusaha belajar sendiri walaupun hanya sekedar pandai tulis baca. Disamping itu perdagangan dan pertenunan ini memaksa rakyat Silungkang untuk merantau. Bertebaranlah rakyat Silungkang di seluruh pelosok tanah air, ke Singapura dan Malaysia.

Keuntungan utama dari merantau ini adalah terbukanya mata melihat kemajuan-kemajuan di negeri orang. Kemajuan-kemajuan ini mana yang cocok dibawa pulang ke kampung.

Beberapa contoh :

  • Menurut uraian yang kita terima, tenunan kampung Silungkang ini dipelajari dan dibawa dari petani (Siam) oleh perantau-perantau Silungkang pada abad ke 15.
  • Tenunan ATBM, ilmu dan modalnya didapat dari Pamekasan Madura, yang digabungkan dengan ilmu dan model ATBM buatan Bandung.
  • Pada tahun 1925, yang dipelopori oleh Ongku Kadhi Gaek (Tankadi gelar Pokiah Kayo), khotbah Jum’at di Silungkang telah mulai menggunakan bahasa Indonesia, padahal waktu itu, kecuali di kota-kota, pada umumnya khotbah Jum’at masih memakai bahasa Arab.
  • Sebelum Perang Dunia Kedua, kenduri-kenduri di rumah kematian seperti kenduri 3, 7, 14 atau 40 hari sudah tidak ada lagi, jangan harap akan ada orang yang datang kalau dipanggil untuk kenduri tersebut.

Hubungan lalu lintas seperti Auto dan kereta api yang melalui Silungkang juga ikut memberi kemajuan bagi Silungkang.

Demikian kira-kira gambaran pendidikan di Silungkang sebelum tahun 1927.

Sumber : Buletin Silungkang, Nomor : 001/SM/JUNI/1998

Tidak beberapa hari setelah usainya konferensi, pada permulaan tahun 1940, dibentuklah Panitia Pembangunan untuk sekolah yang akan didirikan itu. Susunan Panitia Pembangunan yang terbentuk adalah sebagai berikut :

  1. Ketua : H. Muhammad Zein
  2. Wakil Ketua : Datok Rangkayo Nan Godang
  3. Sekretaris I : Haroen Rajo Sampono
  4. Sekretaris II : Ibrahim Jambak
  5. Keuangan : Hasan Yahya
  6. Komisaris I : H. Khatab
  7. Komisaris II : Abdoellah Oesman
  8. Penasihat : M. Joesoef Panghulu Sati

Kepada Pemerintah Belanda dimintakan izin hanya mendirikan sekolah agama. Izin mudah didapat karena Belanda waktu itu sedang pusing dengan situasi yang telah mulai panas di Eropa. Atas usaha Syarief Sulaiman Malawas, didapat tanah di Limau Poeroet. Tanah ini kepunyaan kaum H. Ibrahim / H. Wahid Panai Batu Bagantuang. Syarief Sulaiman ini sama-sama berdagang dengan H. Wahid di Sawahlunto dan H. Wahid sayang kepada beliau.

Tanah ini dibeli dengan harga f 4000 – (empat ratus Gulden) atau senilai 0,25 kg emas murni. Kalau dinilai dengan pasaran tanah di Silungkang pada waktu itu, harga ini adalah harga yang termurah. Diperdapatnya harga yang murah itu dengan perjanjian :

  • Tanah ini akan dipergunakan untuk kepentingan sekolah agama.
  • Kemanakan H. Ibrahim, Hasan Muhammad yang baru lulus Normal School akan ikut menjadi guru disitu.

Kalau tidak diterima syarat itu, tanah ini tidak akan diperdapat karena pemiliknya terbilang orang yang berada waktu itu yang sudah tentu malu akan menjual tanah. Panitia diberi keringanan untuk menyelesaikan pembayarannya dapat dilunaskan Panitia pada akhir tahun itu juga (segel jual beli terlampir).

Sepakatlah Panitia untuk memberi nama sekolah yang akan didirikan itu dengan nama tempatnya yaitu “Limau Poeroet Instituut”. Disebarlah panitia untuk mencari dana (keuangan), terutama kepada SSP yang pada waktu konperensi telah menjanjikannya. Waktu itu diperantauan telah bermunculan pedagang-pedagang Silungkang yang berkapital besar seperti :

  1. Boerhan Dalimo Godang, Datuak Onga Basir, Salim Jalil dan lain-lain di kota Surabaya.
  2. Dt. Sati, M. Joesoef, Ismail, Jalil, H. Ibrahim, dan lain-lain di Betawi (Jakarta).
  3. A. Fatah St. Malano, A. Moerad Bagindo Tan Pokieh, Naali dan lain-lain di kota Padang.
  4. Mahmud Yahya, Thaib Yahya, M. Lilah Rajo Nan Sati, H. Syamsuddin, dan lain-lain di kota Medan.
  5. Oedin Podo, Guur Maafoef, M. Sirin di Malaya
  6. H. Joemoes Dalimo Godang, M. Joesoef Ngaciek, M. Ibrahim, Maafief Pito Gagah, Manggoto, dan H. Jamin di daerah Jambi.
  7. Abdoelah, H. Joenoes Dalimo Kosiak, H. Jama dan lain-lian di daerah Riau.
  8. H. Yahya, H. Kamaluddin, H. Taher, H. Soelaiman dan lain-lain di kota Sawahlunto.

Sementara panitia mengusahakan keuangan itu, rakyat di kampung gotong royong untuk mendatarkan tanah. Dalam waktu yang singkat, dengan mudah keuangan telah diperdapat dan mulailah dibangun sekolah itu sebanyak 3 lokal. Dalam waktu yang hanya tiga bulan, pembangunan selesai. Cepat selesainya karena seluruh konsen dibeli dari Solok.

Pembangunan gedung berikut bangku dan peralatan lainnya menelan biaya f 3000,- (tiga ribu Gulden) atau f 3.400,- dengan harga tanah. Jumlah ini kalau dinilai dengan emas seharga dua seperdelapan kg emas murni.

10 Mei 1940 Jerman menyerang negeri Belanda. Dalam tempo hanya lima hari, Jerman telah menduduki seluruh negeri Belanda tersebut. Setelah selesai pembangunan gedung, dibentuklah pengurus yang akan mengurus sekolah tersebut, dengan susunan pengurusnya sebagai berikut :

  1. Pelindung : M. Joesoef Panghulu Sati
  2. Penasehat : Mr. Aboebakar Jaar
  3. Ketua I : H. Muhammad Zein
  4. Ketua II : Abdoellah Oesman
  5. Sekretaris I : Salim Sinaro Khatib
  6. Sekretaris II : M. Dalil Sutan Pamuncak
  7. Bendahara : M. Khatab
  8. Pembantu I : Harun Rajo Sampono
  9. Pembantu II : Abdoellah Mahmoed
  10. Badan Pemeriksa : Guru Arifin

Guru yang akan mengajari adalah :

  1. Hasan Muhammad keluaran Normaal School Padang (sekolah guru yang didirikan oleh Prof. Mahmud Yunus).
  2. Bahaudin Talawi lulusan INS Katu Tanam (Indische Nederlands School pimpinan M. Syafa’i). Bahaudin ini langsung diangkat menjadi Kepala Sekolah.

Disusunlah mata pelajaran dan ketenuan (disiplin) sekolah.
Mata Pelajaran ditetapkan :

  1. Agama terdiri dari Tauhid, Fikih, Tarekh Nabi, Akhlak, Hadis, Tafsir, Hukum Dagang Islam.
  2. Dagang terdiri dari Boekhouding, Handels Rekenen, Handelskennis, Handelscrackt, Handelscorespondensie.
  3. Umum terdiri dari Bahasa Belanda, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Sejarah Dunia, Tata Negara, Stenografis.

Syarat penerimaan murid : Tamatan Gubernemen 5 tahun
Jumlah murid yang diterima : 40 orang (nyatanya terpaksa menerima 44 orang)
Mulai belajar : 1 Agustus 1940
Peraturan atau disiplin sekolah adalah baju seragama hijau cap kunci, kepala gundul, tidak dibenarkan pakai sepatu/sandal, tidak dibenarkan membawa uang, tidak boleh keluar malam, tidak boleh merokok.

Tepat menurut rencana, tanggal 1 Agustus 1940 sekolah ini resmi mulai belajar.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

Link yang terkait lainnya :
Surat Dari Hamka

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

BAGIAN KELIMA

BAGIAN KEENAM

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia (Part. 7)

BAGIAN KETUJUH

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Lama kelamaan isteri saya curiga juga melihat perubahan sikap saya, memang saya sangat sulit untuk menyembunyikan kegelisahan didalam diri saya, saya harus berbohong kepadanya guna kestabilan suasana. “Tako talepon daghi Silungkang,” kata saya memulai berbicara setelah isteri saya disuruh duduk mendengarkan kata saya. “Bapak sadang manjadi sakiknyo dikampuang, kini Bapak tu tempo di Rumah Sakik Solok, awak nyo suruah pulang, jadi awak mintak permisi limo boleh aghi pulang baliak, bisuak pagi awak barangkek, ambo lah manalepon ka Tan Sri Samad Idris dan ka Seremban, awak lah dapek izin untuak pulang ka Silungkang, kata saya dengan sangat hati-hati. “Jadi na, mudah-mudahan Bapak tu ndak bakpo-bakpo,” jawab isteri saya dengan nada cemas.

Setelah itu saya langsung pulang ke rumah, sedangkan isteri saya masih bekerja di Muzium, sampainya saya di rumah, saya panggil anak-anak saya. “Bisuak pagi Bapak jo Mama ka kampuang limo bole aghi pulang baliak, sobok Ongku jo Nenek lah maningga, tapi ka Mama indak buliah dikecek-an bahaso lah maningga do, bakecekan ajo bahaso Ongku sadang sakik dan tempo di Rumah Sakik Solok, awak taposo baduto, kalau ndak baitu, akan timbu pulo masalah baru, lai mangaroti kalian da,” kata saya memberi pengertian. “Jadi dek karano kalian sadang sikolah, kalian manunggu disiko, untuang untuang ndak sampai limo bole aghi do, Bapak jo Mama baliak kasiko,” sambung saya lagi. Anak-anak saya cepat paham apa yang saya maksud. “Jadi Pak, tapi usahoan copek baliak di Pak,” kata anak-anak saya.

Di Seremban seakan-akan orang tidak percaya setelah saya ceritakan bahwa mertua saya kedua-duanya meninggal dunia hanya dengan selisih waktu lebih kurang tiga jam, biasanya yang terjadi seperti itu kalau ada kecelakaan atau musibah lainnya, tetapi ini meninggal secara wajar, seakan-akan sudah ada janji diantara beliau sebagaimana pameo remaja bercinta “Sehidup Semati”, nyatanya terjadi pada kedua orang mertua saya, bahkan beliau sekubur berdua.

Lebih kurang setahun sebelum beliau meninggal, Bapak mertua saya pernah berkata kepada isteri saya : “Kok mati, bialah Bapak mati dulu daghi ande kau, kok ande kau nan dulu mati, mungkin den gilo dek nyo.” Kenyataannya memang demikian, Bapak mertua saya meninggal duluan dan berselang tiga jam kemudian disusul oleh Ibu mertua.

Berita meninggalnya Ibu dan Bapak isteri saya tersebut tidak diketahui oleh isteri saya. Dada saya mengandung rahasia yang dijaga erat-erat. Saya tidak mau isteri pingsan atau jatuh sakit karena dia tahu bahwa Ibu Bapaknya sudah meninggal, saya berusaha menyimpan rahasia, minimal sampai di Silungkang nanti.

Malamnya, segala sesuatu dipersiapkan, barang, surat-surat dan lain-lain. Tetangga diberitahu bahwa besok pagi kami pulang dan tidak lupa menitip dua orang anak-anak yang masih sekolah, sedangkan anak saya yang kecil (5 tahun) dibawa, karena tidak mungkin ditinggalkan, taksi yang akan membawa kami ke Melaka sudah dipesan yaitu taksi kepunyaan tetangga diseberang rumah.

Pukul 05.00, pagi kami berangkat dari Seri Menanti dan pukul 08.00, kami sampai di Melaka, saya langsung membeli tiket Ferry Indomal yang akan berangkat pukul 11.00 siang ke Dumai, jadi dapat juga kesempatan untuk makan, minum dan membeli makanan yang akan dibawa ke kampung. Isteri saya tetap yakin bahwa Bapaknya sakit, sedangkan saya pun tetap menjaga rahasia, sehingga suasana selalu normal.

Pukul sebelas kurang seperempat kami naik Ferry Indomal, barang-barang bisa kami angkat sendiri karena ringan dan tidak memerlukan bantuan buruh angkat. Tepat pukul 11.00, Ferry berangkat, kami memilih tempat duduk ditengah karena kalau Ferry mengarungi ombak yang agak besar kedudukan tetap stabil, di sudut kiri ruangan dimana kami duduk ada sebuah meja tulis untuk keperluan petugas imigrasi menstempel paspor sehingga di pelabuhan Dumai nanti hanya tinggal pemeriksaan barang, diatas Ferry kami diberi snack berupa nasi lemak dan segelas air Aqua. Lebih kurang empat jam berlayar kami sampai di Dumai, diluar pelabuhan, agen travel sudah ramai menunggu penumpang, saya sudah berlangganan dengan travel Simawang Indah karena pusatnya ada di Solok. Di atas travel tersebut hanya ada saya tiga beranak, tidak lama kemudian ditambah lagi dengan seorang ibu yang akan menuju Bukittinggi, dikarenakan tidak ada lagi penompang kami dikenakan bayaran Rp. 50.000,- seorang yang biasanya Rp. 35.000,- per orang. Travel berangkat dari Dumai, saya sudah mengatakan kepada supirnya bahwa nanti tolong antarkan kami ke Silungkang, karena travel tersebut hanya sampai di Solok dan saya bersedia menambah ongkosnya, supir setuju dan ongkosnya ditambah Rp. 20.000,- lagi.

Di kota-kota tertentu dimana ada wartel, saya minta supir untuk berhenti sebentar untuk menelepon ke Silungkang bahwa kami dalam perjalanan pulang sambil menyebutkan nama kota tempat saya menelepon, seperti Duri, Minas, Bangkinang, Payakumbuh dan terakhir Bukittinggi. Keberadaan Wartel waktu itu sangat penting karena ponsel belum merakyat seperti sekarang.

Pukul 01.00 dini hari, kami sampai di Lubuk Kubang Silungkang Oso, kelihatan orang ramai menanti kami, isteri saya disongsong oleh saudara-saudaranya.

“Toruilah awak ka Rumah Sakik Solok sakali,” kata isteri saya kepada adik-adiknya.<

“Ka uma lah awak dulu,” kata adik-adiknya. Di rumah orang pun sudah ramai pula.

“Bakpo dek rami,” kata isteri saya heran. Lalu isteri saya dirangkul oleh adiknya yang perempuan sambil menangis dia berkata :
“Bapak ndak ado lai”; Maka meraunglah isteri saya sejadi-jadinya menelengkup dipangkuan seorang ibu yang hadir malam itu, banyak orang yang menyabarkan isteri saya dan saya menyarankan supaya orang membiarkan isteri saya menangis-nangis sepuas-puasnya untuk menguras kesedihan yang menyesak didadanya. Setelah puas menangis, lalu dia duduk, tengok kiri, tengok kanan mencari ibunya sambil menanyakan dimana ibunya, kembali menanyakan dimana ibunya, kembali adik perempuannya merangkul dan menangis, sambil mengatakan bahwa ibunya juga menyusul pergi. Isteri saya kembali menangis, “Ondee …… lah poi bulo,” katanya sambil menelungkup kembali di lantai, saya menghampiri, “Jan talalu laruik, ingek anak awak baduo tingga di Malaysia, kalau laruik beko sakik lo, tontu susah hati lo anak-anak awak,” kata saya menyabarkan. Kebenaran yang saya katakan itu dapat diterima oleh isteri saya, dia berhenti menangis, lalu duduk kembali, kemudian dia sudah mulai menegur orang-orang yang hadir di rumah itu. Hari sudah mulai subuh, badan letih dan mata pun sudah mengantuk. Isteri tidak tahu bahwa saya menyimpan rahasia karena telah mengetahui hal ini sebelumnya.

Berangsur-angsur isteri saya mulai menerima kenyataan serta merelakan kepergian kedua orang tuanya, tetapi kesedihannya kambuh sewaktu dia berdoa setiap sesudah sholat, dengan tersedu-sedu menangis dia mengharapkan Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang tuanya dan mengharapkan supaya orang tuanya diterima dengan baik oleh Allah SWT, keadaan seperti ini berlangsung berbulan-bulan lamanya. Selama kami berada di Silungkang tiap hari orang ramai berkunjung, hati yang sedih terobat juga olehnya.

Sepuluh hari sudah berlalu, tibalah saatnya bagi kami untuk kembali ke Malaysia, sehari sebelum keberangkatan saya minta kepada Kepala Desa Silungkang Oso untuk dibuatkan Surat Keterangan Meninggal Dunia kedua orang mertua saya tersebut untuk diserahkan kepada Pengurus Muzium di Malaysia sebagai bukti kebenaran meninggalnya kedua orang mertua saya itu, sebab jarang terjadi hal yang semacam itu, seakan-akan ada perjanjian sehidup semati. Menurut keterangan yang saya terima. Bapak mertua meninggal di Rumah Sakit Umum Solok pukul 19.30 (setengah delapan senja), sedangkan Ibu mertua yang matanya tidak menampak lagi itu berada di Silungkang tidak diberitahu bahwa Bapak mertua sudah meninggal, pada jam meninggal Bapak mertua itu, Ibu mertua langsung lemah dan pingsan (ndak tau diughang), kira-kira pukul 21.30 beliau sudah kelihatan akan pergi menghadap Yang Maha Kuasa, supaya jangan terjadi penyesalan oleh anak-anak beliau dibisikkanlah bahwa Bapak telah meninggal, kemudian dibisikkan pula ucapan dua kalimat syahadat, tidak lama kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir menyusul suami yang telah dahulu pergi. Dua mayat terbujur di atas rumah, kesedihan menyelimuti seluruh keluarga, orang yang melayatpun sangat ramai dan yang menyembahyangkan pun ramai pula bertempat di Surau Lubuk Andai.

Kalau dikenang semasa hidup beliau termasuk keluarga miskin mangkoke dulu baru makan, diwaktu itu belum ada program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan seperti sekaran, untuk mengharungi kehidupan dan guna mencukupi kebutuhan rumah tangga telah bermacam-macam pekerjaan dilaksanakan, namun kemiskinan tidak juga mau renggang dari beliau. Dengan mendiami 4 m x 4 m beliau membina rumah tangga serta membina anak-anak, beliau dikaruniai 15 orang anak dan yang hidup sampai sekarang 8 orang (2 orang perempuan, 6 orang laki-laki) sedangkan yang 7 orang lagi meninggal semasa kecil.

Pahit getirnya kehidupan yang diselimuti kemiskinan dilalui dengan tabah dan sabar dan punya prinsip ado samo dimakan, ndak ado samo dicaghi, terpaan kesusahan hidup ini dijadikan sebagai alat perekat kasih sayang dalam kehidupan beliau berumah tangga. Pernah suatu waktu dulu (menurut penuturan isteri saya), pukul setengah enam pagi beliau suami isteri berjalan kaki dari Lubuk Kubang ke Lubuak Cokuang dekat Cinto Moni lebih kurang tiga kilometer dengan membawa jala ikan. Beliau suami isteri menangkap ikan masai di sungai, sampai pukul delapan pagi sudah berhasil menangkap ikan beberapa joghek (joghek yang terdiri dari lidi daun kelapa), kemudian berjalan kaki lagi menuju pulang, sebelum sampai di rumah singgah dulu di balai (pasar) menjual ikan tersebut dan uangnya dibelikan beras, cabe, bawang dan maco (ikan kering), sampai dibiarkan anak-anak makan terlebih dulu dan sisanya baru dimakan oleh beliau berdua.

Untuk menambah pendapatan beliau juga menerima upahan bertenun kain sarung, memintal benang dan ada kalanya mencelup benang.

Saya juga melihat sendiri kesetiaan beliau suami isteri dan saya pun tidak pernah mendengar pertengkaran diantara beliau, kalau si isteri sakit, si suami sibuk mencarikan obat, begitu juga sebaliknya, mesra dan harmonis, dan benar-benar keadaan seperti itu terlihat sampai akhir hayat.

Setelah kami mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi kembali ke Malaysia, mobil travel yang akan membawa kami ke Dumai pun telah siap menanti, isteri saya minta izin untuk pergi ke pusaran, Ibu Bapaknya guna berdoa dan pamit sampai dipusaran dia membersihkan daun-daun kering yang gugur dan berserakkan, berdoa serta minta izin untuk pergi. Kembali pemandangan yang mengharukan terlihat, dipeluknya gundukan tanah yang masih merah itu, seakan-akan dia memeluk Ibu Bapaknya, air mata meleleh dipipinya sambil berkata : “Salamek tingga Ibu jo Bapak, ambo baliak dulu ka Malaysia, semoga Ibu jo Bapak tonang dalam peristirahatan tarakhir.” Pelan-pelan dia meninggalkan pusaran sambil sering menengok ke belakang di mana Ibu Bapaknya terbaring, sambil berjalan ditempat mobil menunggu. Ramai juga orang mengantar keberangkatan kami, sebelum naik mobil isteri saya bersalaman dengan orang-orang yang mengantarkan itu dan minta terima kasih, kemudian dirangkul adik-adiknya dan isteri saya menatap kepada saya sambil berkata : “Tuak … Datuak adolah suami ambo, diantaro ambo jo adiak-adiak ambo, datuak lah nan ta tuo, dek kami adiak baradiak datuaklah lah nan ka gonti ughang tuo kami, nan ka manunjuak aja, nan ka maingek jo menegeur kami, jan di sio sio an kami, itulah minta kami ka datuak.”

BERSAMBUNG …

Cerita Asli dari Djasril Abdullah

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Tujuh Januari 2008

Dimana dalam Peringatan Hari Koperasi ke 60, Kota Sawahlunto berhasil mendapat tiga penghargaan sekaligus, pertama : Kota Sawahlunto dinobatkan sebagai Kota Koperasi, berdasarkan Surat Kementrian Negara Koperasi dan UKM No. 85/Dep.I/VII/2007 Tertanggal 9 Juli. Kedua : Ir. Amran Nur terpilih sebagai salah satu Kepala Daerah yang mendapatkan tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan. Ketiga : Kopinkra (Koperasi Industri Kerajinan Rakyat) Silungkang dinobatkan sebagai Koperasi Berprestasi Nasional, atas keberhasilan tersebut, Ir. Amran Nur, Walikota Sawahlunto bersama H. Fidar Kasim, Ketua Kopinkra Silungkang, diundang oleh Kementrian Negara Koperasi dan UKM untuk menerima Penghargaan serta menghadiri Puncak Peringatan Hari Koperasi Nasional ke 60, 12 Juli 2007 yang dipusatkan dikawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bukit Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali.

Kopinkra Silungkang, salah satu dari sekian Koperasi yang berada di Kota Sawahlunto, terletak di Blok D No. 3 – 4 Pasar Inpres Silungkang, Desa Silungkang Tigo, Kecamatan Silungkang, pada mula berdiri tahun 1973 bernama KKPPS (Koperasi Kerajinan Pembina Pertenunan Silungkang). Pada tahun 1996 melalui SK Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No. 238/PAD/KWK3/1996, KKPPS, berganti nama dengan Kopinkra (Koperasi Industri Kerajinan Rakyat) Silungkang dengan anggota pertamanya sebanyak 25 orang. Namun pada tahun 2000, semenjak dinahkodai, H. Fidar Kasim, aset dan modal yang dimiliki Kopinkra Silungkang berkisar 100 juta rupiah (bersumber dari bantuan subsidi BBM), hingga tahun 2007 ini saja asset dan modal Kopinkra sudah mencapai angka 900 juta rupiah, dengan anggotanya tidak kurang dari 184 orang yang terhimpun didalamnya dari berbagai kalangan masyarakat seperti : Pengrajin Tenun Songket, Pertenunan ATBM/ATM, Pedagang serta Pengrajin Industri Rumah Tangga. Apabila kita bandingkan pada awal pertama kali berdiri maka Kopinkra Silungkang telah menunjukkan grafik peningkatan yang signifikan sekali. Mengapa demikian ? Karena pada tahun 2005 saja, Kopinkra Silungkang mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU) mencapai 45 juta Rupiah, yang mana telah dibagikan kepada Anggotanya dan dalam RUPS tahun 2006, Kopinkra Silungkang membuat terobosan baru dengan jalan melakukan undian, bagi peserta RUPS yang mendapatkan undian tersebut maka peserta itu mendapatkan tiket pergi Jakarta Padang dengan pesawat sedangkan SHU tahun 2006 mencapai 45 juta Rupiah sama dengan SHU tahun 2005.

Disamping itu, Kopinkra Silungkang, selain bergerak disetor simpan pinjam, pada tahun 2004, Kopinkra Silungkang mulai merambah di sektor lainnya dengan menyediakan Bahan Baku berupa Benang Emas yang dipasok dari Singapura serta benang ulat sutera dari Cina yang dipasok melalui perantara, H. ERWIN ISMAIL (pengusaha sukses Silungkang di Batam). Kemudian pada tahun 2006, Kopinkra Silungkang telah memasarkan hasil kerajinan Silungkang berupa songket dan pada tahun 2007 ini, Insya Allah bekerja sama dengan Dinas Perindustrian akan mendirikan Pusat Pertenunan yang rencana berlokasi di Kebun Jeruk, Desa Silungkang Oso, Kota Sawahlunto.

Kalau Kopinkra Silungkang, yang dipimpin, H. Fidar Kasim (mantan guru dan Kepala Sekolah SDI) mendapatkan penghargaan sebagai Koperasi berprestasi Nasional, dalam hal ini sudah sewajarnya. Mengapa demikian …? Sebab selain berprestasi yang telah disebutkan tadi, Kopinkra Silungkang ini pun telah menorehkan penghargaan dari Pemko Sawahlunto, diantaranya tahun 2001 Juara Tiga Lomba Koperasi tingkat Kota Sawahlunto, tahun 2002 sampai tahun 2006 berturut-turut, memperoleh Juara Pertama Lomba Koperasi Tingkat Kota Sawahlunto serta sederet penghargaan lainnya.

Sebagaimana diungkapkan, H. Fidar Kasim, ketika ditemui Suara Silungkang, Selasa (17/7), di Kantornya, “Keberhasilan Kopinkra Silungkang memperoleh penghargaan sebagai Koperasi Berprestasi Nasional 2007 ini, berkat adanya dukungan dan kebersamaan dari semua pihak baik itu, Pemko Sawahlunto, Penguurs dan Anggota maupun Pihak Perantau yang mau peduli dengan keberadaan kami ini (KOPINKRA), “Ambo, ate namo Pengurus Kopinkra ko, manyampaikan ucapakan tarimo kasieh yang indak ta inggo kapada sagalo pihak yang tuwiek peduli dan mendukuang Koperasi awak ko, sahingga awak mandapekan prediket sebagai Koperasi Berprestasi Nasional”, ujar H. Fidar Kasim dengan logat Silungkang khasnya.

Ditanya soal siapa yang pendukung Kopinkra dari Pihak Perantau, H. Fidar Kasim menuturkan bahwasannya orang yang mendukung dari pihak perantau adalah H. Erwin Ismail (pengusaha sukses di Batam), bantuan beliau berupa pembelian benang emas dari Singapura dan pembelian benang ulat sutra dari Cina. Kedua : Jhoni Harson (pengusaha sukses dari Pekalongan), bantuan beliau berupa pembelian benang biasa sebagai bahan baku pembuatan songket dan kain sarung. Ketiga, H. Irzal Mudatsir, Toko Serayu (Pengusaha Sukses di Padang), bantuan beliau berupa pinjaman tanpa bunga kepada Kopinkra.

“Selain itu, apabila disetujui oleh semua Pengurus Kopinkra Silungkang, Insya Allah, kami, pada tahun 2008 atau 2009 nanti, akan mengucurkan dana berupa pinjaman tanpa bunga kepada anggota dan masyarakat Silungkang, doakan sajalah”, ujar H. Fidar Kasim mengakhiri pembicaraan dengan Suara Silungkang.

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

BAGIAN KELIMA

BAGIAN KEENAM

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Dalam ketegangan jiwa dan pikiran tersebut pertama sekali saya harus berusaha mencari jalan keluarnya, kalau tidak kesehatan saya bisa terganggu. Obat menenangkan jiwa satu-satunya adalah mengadukannya dan berserah diri kepada Allah, untuk itu saya berusaha selalu mendekatkan diri kepadaNya, berdoa supaya saya diberi kekuatan iman, kekuatan mental dan kesehatan jiwa dan raga. Saya memohon kepada Allah supaya ditunjukan jalan keluar dan supaya terhindar dari apa yang dinamakan stress.

Alhamdulillah, Allah mendengarkan dan mengabulkan doa saya, secara berangsur-angsur jiwa saya mulai tenang, rasa percaya diri kembali timbul, rasa cengeng dan pengecut hilang. Maka saya bertekad sepenuh hati untuk mengurus surat-surat sekolah anak-anak, saya akan coba mengurusnya sendiri, kalau tidak tahu caranya harus bertanya, saya ingat “malu bertanya, sesat dijalan”.

Saya isi borang (formulir) permohonan cuti satu hari, begitu juga isteri saya, kami besok pagi akan pergi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (Kedubes RI) di Kualalumpur untuk membuat paspor anak-anak saya. Pagi-pagi benar kami sudah bangun, anak-anak dibangunkan karena juga akan dibawa. Tepat pukul 06.00 pagi kami berangkat dari Seri Menanti. Untuk sampai di Kualalumpur kami tiga kali naik mobil, pertama Seri Menanti – Kuala Pilah, kedua Kuala Pilah – Seremban dan ketiga Seremban – Kualalumpur. Dari Seri Menanti ke Kualalumpur kira-kira 90 km.

Pukul 09.30 kami sampai di Kualalumpur, saya sengaja tidak turun di BAS STESEN (terminal bus), saya turun disebuah BAS STOP (halte) di tengah kota Kualalumpur supaya mudah naik taksi, kemudian saya ikut antri menunggu taksi. Setelah berada di atas taksi, derebar (sopir) taksi bertanya, “Nak kemane Ncik ?”, “Tolong hantar saya ke Kedutaan Indonesia”, jawab saya. “Okey, mudah-mudahan sahaje tak jem (macet)”, jawabnya lagi.

Hanya lebih kurang lima belas menit saya sampai di Gedung Kedubes RI, di gerbang masuk ada sebuah pos yang dijaga oleh dua orang Satpam, saya menghampirinya lalu saya katakan bahwa saya ingin masuk untuk mengurus pembuatan paspor anak-anak saya. “KTP Bapak mana?”, kata Satpam tadi. Lalu saya berikan KTP kepadanya. KTP saya disimpan disitu dan ditukar dengan sebuah kokarde untuk disematkan diatas saku kiri baju yang bertuliskan TAMU KEDUTAAN RI KUALALUMPUR. “Nanti sewaktu Bapak keluar tukarkan kembali kartu ini dengan KTP Bapak”, kata Satpam itu lagi.

Saya terus masuk ke dalam. Saya jumpai bagian konsuler untuk menanyakan prosedur pengurusan membuat paspor anak-anak saya yang sebelum ini tercantum sebagai pengikut didalam paspor ibunya. Bagian Konsuler tersebut menerangkan kepada saya cara pengurusannya dari awal sampai akhir. Mula-mulai saya pergi dulu ke Bagian Pendidikan di lantai empat meminta rekomendasi, setelah rekomendasi didapatkan kemudian turun lagi ke lantai dasar menuju loket tempat pengambilan formulir, disitu juga ramai warga negara Indonesia yang berurusan menurut keperluan masing-masing. Karena ramainya saya harus antri, setelah formulir didapatkannya cari tempat untuk mengisi formulir tersebut, disamping itu banyak juga orang yang menawarkan jasanya untuk menolong mengisi formulir, tetapi setelah membaca formulir tersebut saya bisa mengisinya sendiri tanpa memerlukan jasa seseorang.

Setelah selesai mengisi formulir, saya pergi ke loket tempat penyerahan formulir. Disana berkas yang saya serahkan diteliti. Adapun berkas yang saya serahkan itu antara lain paspor isteri, rekomendasi dari Bagian Pendidikan Kedubes RI dan formulir yang telah saya isi tadi beserta foto anak-anak. Setelah semua berkas tersebut diteliti, saya disuruh membuat pembayaran di loket lain dan tanda lunasnya harus diperlihatkan kepadanya, kemudian saya diberi tanda terima bahwa berkas dan paspor isteri ada di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk pengurusan pemisahan dan pembuatan paspor anak-anak yang ikut tercantum didalam paspor isteri dan akan selesai selama tiga hari setelah tanggal surat ini. Surat ini penting kalau-kalau ada Pemeriksaan Polis (razia polisi), tanpa surat tanda terima itu bisa-bisa dicap sebagai Pendatang Haram (Pendatang Tanpa Izin).

Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, waktu istirahat pegawai-pegawai Kedutaan sudah tiba, untung saja segala pengurusan saya sudah selesai. Kami sudah mulai lapar, di kompleks Kedutaan itu ada juga warung nasi, jadi saya tidak usah mencari rumah maka kemana-mana lagi. Selesai makan siang saya keluar dari kompleks Kedutaan dan tak lupa menukarkan kokarde dengan KTP yang diminta Satpam sewaktu saya masuk tadi. Di luar kompleks adalah jalan raya (Jln. Tun Razak) maka dengan mudah saya langsung menyetop taksi, menyetop kendaraan atau menerima/memberi sesuatu di Malaysia dengan tangan kiri tidak masalah, kita tidak akan dikatakan kurang ajar, tetapi akan lebih baik dengan tangan kanan. Setelah duduk diatas taksi, derebar (sopir) bertanya : “Kemane Ncik?”. “Tolong hantar saya ke BAS STESEN (terminal bus). “Oh … Pudu Raye kan ?”, kata sopir taksi itu lagi. “Ya, Ncik”, jawab saya singat. Pudu Raya adalah nama lain dari terminal bus tersebut karena terminl bus itu terletak di Jalan Pudu. Sesampainya saya di terminal bus saya langsung saja naik bus jurusan Seremban. Tiket bus dibayar diatas bus saja, keberangkatan bus menurut jadwal, walaupun belum penuh. Di Seremban saya pindah jurusan Kuala Pilah dan di Kuala Pilah pindah lagi naik Kereta Sewa (oplet, yaitu mobil sedang yang bukan taksi) menuju Seri Menanti.

Saya dan juga pegawai-pegawai lainnya mempunyai hak cuti 14 hari dalam satu tahun, cuti tersebut boleh diambil bila diperlukan, satu lagi sistem, bila seseorang itu sedang cuti, tidak boleh diganggu seperti dipanggil oleh atasan atau ditelepon dan jika hari cuti itu tidak dihabiskan dalam satu tahun maka hari cuti itu akan hangus, jadi hari cuti harus dihabiskan. Bila sakit yang memerlukan istirahat, juga ada hak cuti diluar cuti tahunan yang dinamakan Cuti Sakit, tetapi harus ada Surat Keterangan Sakit dari Kelinik atau Hospital (Rumah Sakit).

Pernah satu kali, sewaktu saya sedang kerja, saya demam, kadang-kadang badan terasa panas, kadang-kadang dingin. Saya minta izin untuk pergi ke Kelinik (semacam Puskesmas), setelah diperiksa, saya diberi obat dan juga diberi Surat Keterangan Sakit supaya istirahat dua hari, sekembalinya saya dari Kelinik saya terus ke Pejabat (kantor) Muzium, saya serahkan Surat Keterangan Sakit itu kepada staf disana, lalu dicatat bahwa saya cuti sakit selama dua hari, kemudian saya pulang ke rumah, setelah makan nasi saya makanlah obat yang dibawa dari Kelinik tadi, setelah itu tidur, malamnya makan lagi obat tersebut. Keesokannya, bangun seperti biasa, sesudah shalat fardhu Subuh, sarapan pagi, merasa badan sudah segar bugar, tidak ada demam lagi, normal seperti biasa. Pagi itu pergi kerja. Sedang bekerja, saya dipanggil ke Pejabat (kantor), lalu saya bertanya : “Apa hal saya dipanggil ?”. Seraya saya duduk dikursi. “Bapak tidak boleh masuk kerja, karena Bapak sedang cuti sakit, seeloknya Bapak rehat aje dirumah”, katanya. “Tapi saya kan sudah sehat, tidak demam lagi”, kata saya meyakinkan. “Betul …., walau Bapak sudah sihat, Bapak tetap tidak boleh bekerja, kerana Bapak sudah dicatat untuk cuti sakit dua hari. Kalau Bapak disini juga tak pe, Bapak hanya dianggap sebagai tamu atau pengunjung, tapi kalau Bapak ingin menikmati hari cuti sakit Bapak ini untuk urusan peribadi, terserah Bapak, kami tidak menyalahkan Bapak,” kata staf itu lagi. Memang aneh tapi nyata, saya nikmatilah hari cuti sakit itu untuk keperluan pribadi.

Waktunya untuk mengambil paspor anak-anak saya di Kedubes RI Kualalumpur sudah tiba. Lagi-lagi saya minta cuti satu hari, kali ini saya pergi seorang saja, karena hanya mengambil paspor tanpa ada urusan lain. Memang, yang saya urus di Kedutaan RI Kualalumpur itu telah siap. Pulangnya saya membawa tiga paspor yaitu paspor isteri saya, paspor kedua anak saya, sedangkan anak saya yang kecil masih tertera sebagai pengikut didalam paspor ibunya. Karena saya tidak ada urusan lain selain menjemput paspor itu, tepat pukul 14.00 saya sudah berada kembali di Seri Menanti. Saya langsung menemui Guru Besar (Kepala Sekolah) Sekolah Kebangsaan Tunku Laksmana Nasir untuk meminta rekomendasi yang akan dibawa ke Pejabat Pendidikan Seremban (Kantor Dinas Pendidikan Seremban) bersama-sama paspor anak-anak saya, Guru Besar (Kepala Sekolah) memberinya dengan senang hati tanpa dipungut bayaran. Supaya cepat tuntas besoknya minta cuti lagi untuk ke Seremban, pegawai Muzium memaklumi akan urusan saya ini, jadi tidak keberatan memberi izin cuti.

Di Seremban saya sudah tahu alamat Pejabat Pendidikan, saya langsung saja kesana. Disana saya disambut dengan ramah. “Macam mane, dah selesai pasport anak Pak Cik ?,” katanya. “Sudah”, jawab saya singkat. “Tunggu kejap ye, kami buatkan rekomendasinya, lepas ni Pak Cik terus aje ke Pejabat Imigresen (Kantor Imigrasi)”.

Katanya sambil menuju komputer yang terletak disudut ruangannya. Tidak menunggu lama selesailah rekomendasi tersebut. “Berapa saya harus bayar?”, kata saya. “Untuk ini Pak Cik tak dikenakan bayaran apapun”, katanya. Saya telah diberi tahu oleh teman-teman Malaysia, kalau pejabat dimana saja di Malaysia ini mengatakan bahwa tidak dikenakan bayaran, jangan coba-coba memberi pribadinya uang sebagai balas jasa, kita akan dipersalahkan dan dituduh Rasuah (menyogok/memberi suap) dan akan berhadapan dengan undang-undang.

Dari Pejabat Pendidikan, saya menuju sebuah gedung bertingkat, entah berapa tingkatnya saya tidak tahu karena tidak dihitung. Gedung itu dinamakan Wisma Persekutuan yang tidak berapa jauh dari Pejabat Pendidikan. Di lantai dasar Wisam Persekutuan itu saya baca daftar yang terpampang didinding, melihat dilantai ke berapa kantor imigrasi tersebut, kiranya di lantai empat. Saya menunggu pintu lift terbuka, setelah terbuka saya masuk dengan beberapa orang lainnya, masing-masing memencet nomor lantai yang dituju. Di lantai empat saya keluar, memang disanalah kantor imigrasi, di dinding tertulis dengan huruf yang besar, MESRA DAN TEGAS, maksudnya ramah dalam melayani dan tegas dengan peraturan, dan di loket-loket pelayanan tertulis ANTI RASUAH (anti sogok/suap). Juga nasehat teman-teman Malaysia, kalau akan berurusan dimana-mana kantor di Malaysia ini harus dipastikan terlebih dulu persyaratan yang harus kita sediakan, satu saja kurang, pengurusan akan ditunda. Saya terus masuk dan menuju sebuah meja disebuah sudut, disitu tertulis TEMPAT BERTANYA yang dilayani oleh seorang pegawai imigrasi. Disana saya menanyakan bagaimana prosedur pengurusan Pas Pelajar, pegawai tersebut menerangkan dari awal sampai akhir, setelah saya mengerti, maka mulailah saya laksanakan sebagaimana petunjuk yang diberikan pegawai imigrasi itu. Karena saya telah mengerti urutan pengurusannya dan juga segala persyaratannya telah tersedia, tidak memerlukan waktu lama, semuanya lancar, terakhir saya membayar biayanya kepada Bendahara yang berada di lantai lima, saya bayar semuanya 150 ringgit dengan perincian pembayaran VISA MULTIPLE ENTRY (izin keluar masuk Malaysia) 15 ringgit, pembayaran PAS PELAJAR 60 ringgit, jumlahnya 75 ringgit, untuk dua orang anak 150 ringgit, dan berlaku untuk satu tahun. Kemudian saya diberi Resit Pengambilan (Surat Pengambilan) dan akan siap tiga hari lagi. Setelah siap semuanya saya pulang dengan hati lega.

Tepat tiga hari setelah itu saya pergi lagi ke Wisma Persekutuan Seremban untuk menjemput paspor anak-anak saya dengan Pas Pelajarnya. Saya serahkan Surat Pengambilan di loket Pengambilan Surat-Surat, pegawai disana memberikan dua paspor kepada saya. Saya lihat didalamnya sudah direkatkan semacam stiker sebanyak dua buah yaitu Visa Multiple Entry disatu halaman dan Pas Pelajar dihalaman sebelahnya, setelah saya mengucapkan terima kasih, saya langsung pulang.

Alhamdulillah, berkat pertolonganMu ya Allah, dengan waktu tidak sampai satu bulan anak-anak saya resmi menjadi pelajar di Malaysia, jadi apa yang saya cemaskan sebelumnya tidak bertemu, semua pengurusan lancar, kenapa sebelumnya saya menjadi seorang “Olun Poi Lah Babaliak” (belum pergi telah berbalik) sehingga saya pengecut dan cengeng ?

Kini semuanya telah beres, saya dapat dengan tenang menghadapi pekerjaan. Anak-anak saya pun telah mulai banyak kawan, pulang sekolah, dia senang bergaul dan bermain dengan anak-anak tempatan, mereka bermain dengan riang dan gembira hampir tidak terdengar lagi anak-anak saya menggunakan kecek kampuang (berbicara bahasa kampung), mereka selalu menggunakan cakap Malaysia.

Suasana didalam rumah tangga saya pun cukup tenang dan harmonis karena ekonomi rumah tangga boleh dikatakan mencukupi untuk membiayai keperluan sehari-hari, karena disamping saya mendapat gaji, isteri saya pun juga mendapat gaji perbulannya, ditambah lagi setiap bulan masing-masing kami mendapat jatah beras, gula pasir dan susu.

Ditempat kerja, bila ada pengunjung, sangat ramai, kadang-kadang sampai 4 atau 5 bus yang datang, lebih-lebih dihari libur ramai yang datang, ada wisatawan tempatan yang terdiri dari Melayu, India dan Cina dan ada juga wisatawan mancanegara, saya mengambil kesempatan menjual kain songke dan barang-barang souvenir yang sengaja saya bawa dari Silungkang. Kadang-kadang juga diramaikan oleh pembuatan sinetron, video klip, pembuatan iklan TV. Juga sering yang datang wartawan-wartawan koran dan tabloid untuk mewawancarai, dan juga ada salah satu TV swasta Malaysia mengambil gambar dan mewawancarai tentang tenun songket untuk ditayangkan di TV swasta tersebut. Adakalanya diramaikan dengan pameran-pameran instansi pemerintah dan tak kalah hebatnya adalah pameran senjata dan alat-alat perang militer Malaysia. Halaman Muzium penuh dengan peralatan-peralatan perang, sungguh suatu pemandangan yang mengasyikkan.

Bulan Februari 1999, saya telah melaksanakan pekerjaan dengan tenang, pagi pukul 08.00 masuk kerja, pukul 12.00 sampai pukul 13.00 istirahat, pukul 16.00 pulang. Saya dan isteri saya beserta anak-anak mulai senang tinggal di Malaysia, tetangga sebelah rumah semuanya ramah dan senang bergaul dengan kami karena sama-sama etnis Melayu. Lidah kami mulai terbiasa dengan sarapan pagi masakan Malaysia seperti Nasi Lemak, Roti Canai dan yang lebih saya sukai ialah Nasi Goreng masakan Kedai Mamak yaitu warung nasi keturunan India.

Tanggal 2 Maret 1999, pukul 09.00 pagi, sewaktku saya sedang bekerja, datang seorang staf kantor Muzium kepada saya. “Pak, ada talipon”, katanya. “Baiklah”, kata saya sambil mengikutinya ke kantor Muzium. Saya angkat telepon, kiranya telepon dari Silungkang yang mengatakan bahwa Bapak isteri saya telah berpulang ke Rahmatullah pukul 19.30 senja kemarin. 3 jam kemudian Ibu isteri saya menyusul pula berpulang ke Rahmatullah kedua-duanya karena sakit. Dikatakan supaya saya bijaksana menyampaikan berita tersebut kepada isteri saya, dan izin dari saya untuk dilaksanakan penguburannya karena tidak mungkin ditunggu isteri saya pulang. Lama saya duduk dan termenung, untuk menyampaikannya kepada isteri saya, rasanya saya tak sanggup, karena memang inilah yang dicemaskan isteri saya sewaktu akan berangkat ke Malaysia dulu. Saya kembali ketempat kerja seakan-akan tidak terjadi apa-apa, isteri saya pun tidak pula bertanya telepon dari mana, karena biasanya telepon dari Seremban atau dari Tan Sri Samad Idris.

BERSAMBUNG …

Source :
Tabloid Suara Silungkang
Edisi Keenam, Desember 2007
Kisah Nyata Djasril Abdullah

Atas jasa Sdr. Musahar Malintang (orang Silungkang) maka H. Bustamam (pemilik Rumah Makan SEDERHANA) mengurungkan niatnya untuk pulang ke Lintau, kampung halamannya.

Sdr. Musahar M. menyarankan untuk memulai mendirikan rumah makan dengan merek “Sederhana” di Bendungan Hilir (Jakarta Pusat) yang sekarang bangunannya masih menempel di dinding pagar BRI dan dari sanalah rumah makan Sederhana berangkat merambah Jakarta dan sampai ke Malaysia dengan sistem waralaba.

Sedangkan manfaatnya masih diperoleh anak Musahar (Drs. Endi, MM) meneruskan pelayanan catering untuk kenduri berkas kerjasama dengan rumah makan Sederhana.

Sumber :

Masri Ayat Siri Dirajo

Suara Silungkang – Edisi Keenam Desember 2007

Laman Berikutnya »