Sejarah


Ditempa oleh kondisi alam Silungkang yang sempit, kejam dan berbukit- bukti batu, serta sulit untuk bercocok tanam membuat orang Silungkang harus berpikir keras untuk mengatasi keadaan kehidupannya, dari keadaan itu terlahirlah orang Silungkang yang tangguh, ulet, berani menghadapi segala tantangan demi untuk kelangsungan kehidupannya. Berawal dari situ mulai orang Silungkang mencoba berwarung-warung minuman dan makanan dilingkungannya, dari berdagang minuman dan makanan setapak demi setapak mereka maju, dan mulailah berdagang barang-barang lain dari satu desa ke desa lainnya dari satu nagari ke nagari lainnya dari satu daerah ke daerat lainnya, ternyata berdagang cocok untuk orang Silungkang sehingga sekitar abad ke-12 dan ke-13 orang Silungkang sudah mulai berdagang mengarungi samudera dan sudah sampai ke semenanjung Malaka bahkan sampai di Patani di Siam (Thailand) sekarang. Di negeri Siam inilah perantau Silungkang dapat belajar bertenun dan setelah mereka pandai dan mengerti cara bertenun sewaktu mereka kembali ke Silungkang, ilmu bertenun ini mereka ajarkan kepada kaum ibu di Silungkang dan semenjak itu mulailah beberapa orang wanita Silungkang bertenun songket, pada awalnya bertenun hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya saja, kemudian mulai menerima pesanan dari tetangga setelah itu baru mulai menerima pesanan dari pembesar nagari seperti dari pembesar kerajaan dan penghulu- penghulu nagari.

(lebih…)

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Membaca tabloid Koba Silungkang edisi April 2003 dalam tulisan “Seputar Kota Kita” mengkritisi sikap PKS Jakarta soal “Balon” Wako dan Wawako saat itu, Who Wants To Be The Mayor Part 2.

Kami teringat pengalaman Alm. Sdr. Syafar Habib yang diceritakannya pada kami 3 bulan sebelum dia meninggal dunia. Sebelum dia menceritakan pengalamannya itu, dia minta kepada kami agar kami berfikir secara filosofis, sebagai berikut :

Dalam pertemuan ‘acara Minang’ dia duduk; di sebelah kanannya Bapak Emil Salim dan di sebelah kirinya Bapak Menteri Abdul Latif. Bapak Emil Salim berkata kepada Sdr. Syafar Habib : Engku Syafar, saya bangga dengan perantau Silungkang, di mana-mana orang Silungkang jarang yang menjadi pegawai negeri, kebanyakan menjadi pedagang. Tetapi setelah saya menjadi menteri saya perhatikan tidak ada orang Silungkang menjadi pengusaha menengah ke atas.

Mendengar ucapan kedua tokoh Minang itu Sdr. Syafar Habib hanya terdiam, tetapi dalam hatinya berkata : apakah baju putih yang sedang saya pakai ini sama warna putihnya dengan pakaian dalam ?

Mendengar pengalaman Sdr. Syafar Habib ini kami juga merenung dan terpikir bagaimanakah orang Silungkang di abad 21 ini.

Menjelang Sdr. Zuhairi Muhammad Panai Empat Rumah meninggal dunia, kami sekali dalam tiga bulan sengaja datang ke rumahnya di Komplek Perindustrian di Jalan Perdatam Pancoran, rasanya kalau kita berbicara dengannya seperti kita berbicara dengan mamaknya Alm. Pakiah Akuk. Dia mengatakan pendapatnya kepada kami, bahwa orang Silungkang bukan orang aktif tetapi reaktif. Semula kami tidak sependapat dengannya, tetapi setelah kami renungi kami sependapat pula dengannya.

Tahun 80-an kami pernah membaca buku karangan Mr. Muhammad Rasyid berjudul ‘Sejarah Perjuangan Minangkabau’ sebelum peristiwa PRRI beliau menjadi duta besar RI di Perancis merangkap di Italia, di halaman 45 kami membaca waktu pemberontakan rakyat Silungkang tahun 1927. Penjajah Belanda sangat kejam, tentara Belanda memperkosa gadis-gadis Silungkang.

Begitu tersinggungnya kami, buku itu tidak tamat dibaca tetapi diserahkan kepada PKS di Bendungan Hilir, karena waktu itu PKS masih menumpang di kantor Koperasi Kemauan bersama di Bendungan Hilir (Bendhill). Kenapa buku itu diserahkan karena menurut Mr. Muhammad Rasyid kalau isi buku ini tidak sesuai dengan kenyataannya (buku ini jilid pertama) bisa diralat pada jilid kedua nanti.

Akhirnya buku itu dikembalikan kepada kami setelah buku tersebut berubah warna, mungkin waktu itu tidak ada reaksi dari PKS, entahlah !

Waktu kami mendapat musibah, kami mendatangi Buya Duski Samad , untuk minta nasihat, kepada beliau kami curahkan musibah yang kami terima, jawab beliau singkat: tetapi kita harus berfikir, kata beliau : jika sekarang saya mempunyai uang 100 juta rupiah, uang itu akan habis dalam seminggu, kami bertanya : kenapa begitu Buya ? jawab beliau, saya bukan pedagang. Kami renungkan jawaban beliau itu, kemudian kami menjawab sendiri; “Kerjakanlah apa yang ada ilmunya pada kita”, betul kata beliau. Kemudian beliau bertanya murid-murid beliau dulu yang berasal dari Silungkang, a.l., Yakub Sulaiman (Pakiah Akuk) dan Abdullah Usman (Guru Dullah Sw. Jawai) beliau bangga dengan murid-murid beliau itu.

Lelah bersaing menjadikan takut bersaing
Di zaman Gajah Tongga Koto Piliang Dulu, kemungkinan besar orang Silungkang pintar dan cerdas, tetapi sayang kenapa orang Silungkang mendiami lungkang sempit, hampir tidak ada tanah yang subur untuk ditanami padi, tidak seperti belahan kita di Padang Sibusuk dan Allah mentakdirkan kita orang Silungkang menjadi pedagang.

Pedagang itu sarat dengan persaingan, bisa terjadi persaingan itu antara saudara sesuku, sekampung, sepupu, bahkan antara saudara sendiri clan yang paling riskan terjadi antara Pembayan dengan Pembayan yang sama-sama mendiami rumah panjang (rumah adat).

Coba kita pikirkan Silungkang itu seperti kotak korek api dibandingkan Indonesia yang luas ini.

Menurut perkiraan kami sebelum Jepang menjajah Indonesia, 50% perempuan Silungkang yang sudah bersuami dimadu suaminya, mungkin juga lebih.
Kenapa bisa seperti itu ? Mana mungkin perempuan Silungkang bisa menikah dengan orang luar Silungkang, karena adat melarangnya, terpaksa atau tidak perempuan-perempuan Silungkang harus bersedia menjadi isteri kedua atau menikah dengan duda yang jauh lebih tua umurnya.

Madu itu obat, tetapi bagi perempuan yang di’madu’ menyakitkan hati, bersaing memperebutkan kasih sayang sang suami, anak-anak yang . ibunya dimadu, pun merasa dimadu pula dengan ibu-tiri, saudara tirinya. Persaingan itu menimbulkan kecemburuan, kecemasan, dengki, irihati clan was-was, penyakit itu bisa,, berketurunan.

Menurut Prof. Zakiah Deradjat dalam buku “Menghadapi Liku-Liku Hidup”, beliau menulis dari segi kejiwaan, perkembangan dan pertumbuhan anak, anak dalam kandungan telah menerima pengaruh-pengaruh yang berarti baginya. Suasana emosi dan tolak pikir ibu yang sedang mengandung mempunyai kesan tersendiri bagi janin dalam kandungan.

Jadi orang Silungkang mendiami lungkang yang sempit, persaingan hidup yang tidak sehat, sangat mempengaruhi cara berfikirnya. Jadi apa yang dikatakan Bapak Emil Salim di atas, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Silungkang, jika dilihat dari luar semuanya baik. Coba kita perhatikan semenjak dahulu organisasi apapun yang dibentuk, dan bangunan apapun yang didirikan hampir semua meninggalkan kesan-kesan yang kurang baik.

Kemudian apa yang dikatakan Bapak Menteri Abdul Latif di atas, mungkin juga akibat “Lima Penyakit Di atas”. Seterusnya pendapat Sdr. Zuhairi Muhammad (Alm), kita orang Silungkang bukan aktif tetapi reaktif, kemungkinan ini juga diakibatkan oleh orang kita (SLN) tidak bisa bersaing khususnya dengan orang di luar Silungkang, bisanya hanya bersaing dengan orang sekampung sendiri.

Yang menang membusungkan dada dan yang kalah bak perempuan tua memakan sirih, daun sirih habis, tinggal tembakaunya yang masih dikunyah-kunyah.

Orang-orang Silungkang Diabad 21
(Silungkang People Must Be Brave To Up Side Hand Down)

Mengkritisi PKS., maaf … tentu maksudnya ketua PKS, kalau kita perhatikan latar belakang ketua PKS ini, lahir di Silungkang, kecil dibawa merantau oleh orang tuanya ke Medan, SD, SMP dan SMU di Medan, kuliah di Jakarta. Bekerja dan berusaha, bukan dalam lingkungan Silungkang. Bidang usahapun berlainan dengan kebiasaan orang-orang Silungkang, bergaul selama sekolah di Medan dengan komunitas “Batak” tapi tidak kelihatan pengharuh “Batak”-nya, dia supel, demokrat dan moderat. Menurut kami PKS belum pernah mempunyai ketua yang seperti ini.

Banyaknya balon (lebih dari satu) Wako – Wawako, orang belum tentu menilai kita tidak bersatu, bukan Bapak Emil Salim saja yang menilai kita bersatu, banyak yang lain.

Kita bisa belajar dari cara pemerintahan kita di zaman Soeharto, yang memproteksi pengusha-pengusaha nasional, waktu datang krisis karena globalisasi, pengusaha-pengusaha nasional tidak bisa bersaing, oknum pemerintah korup dan pengusaha menyuap, akhirnya semuanya berantakan, jangan hendaknya Silungkang ini seperti Indonesia kita sekarang.

Jangan pula kita hanya terkesan dengan kata-kata keputusasaan Eva Peron dalam sebuah lagu “Don’t Cry For My Argentina”.

Sampai sekarang lagu itu masih dipopulerkan Madonna, kita tak pernah kenal dengan siapa Eva Peron dan Madonna itu ? Coba kita berpedoman kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana nama beliau kita sebut-sebut setidak-tidaknya 29 x sehari dalam shalat 5 waktu dan lagi beliau itu ada tertulis dalam AI-Qur’an. Mengapa beliau sampai menangis waktu akan meninggal dunia dan berkata : ummati, ummati, ummati, begitu perhatian Nabi Muhammad SAW pada umatnya. Putus asa apa hukumnya ? Haram.

Buletin Silungkang jangan hanya terbit untuk kepentingan sesaat tetapi berlanjut untuk kepentingan orang Silungkang yang dirantau dan yang di kampung dengan harga yang bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, semoga …

Sekarang ilmuan Silungkang sudah banyak di Jakarta dan di kota-kota lainnya, bahkan di mancanegara. Dalam berbagai disiplin ilmu, mintalah kepada mereka sumbangan pikiran untuk ditulis dalam buletin Silungkang. Tentu, dengan tulisan dan kata-kata yang menyejukan dan juga artikel-artikel (rubrik) yang dibutuhkan oleh pelajar, mahasiswa Silungkang dan ditulis pula pengalaman-pengalaman orang Silungkang yang bisa menjadi pelajaran bagi pembacanya.

Apalagi ada ruangan agama terutama di bidang zakat, penulisannya itu ‘bak azan bilal’ sahabat Nabi Muhammad, yang suaranya itu menghimbau orang segera sholat.

Bisa jadi buletin Silungkang itu kelak bak harian Republika yang mempunyai dompet dhuafa untuk orang Silungkang yang berkekurangan dan mengajak orang Silungkang untuk berdoa dan menangis serta berbut, beramal untuk kemaslahatan kampung kita, jauh dari berkorban karena ada sesuatu di belakangnya. Amin ya robbal ‘alamin.

Billahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

“Mucho Gracias Amigo – Arigato Gozaimatsu Tomodachi”

Esemmes

Tembusan dikirim kepada Yth.
1. Tabloid KOBA
2. Koordinator LAZ / PKS
3. PT. Estetika (Percetakan)
4. Sdr. Fadil Abidin (Pengajian PKS)

12. Fungsi Pusako

  • Untuk menghargai jerih payah nenek moyang yang telah “mancancang malateh, manambang dan manaruko” mulai dari niniek-*niniek zaman dulu sampai kita sendiri.
  • Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah clan supaya tali darah tidak putus, kait-kait jangan pecah, sehingga harta pusaka ini menjadi harta sumpah satie ( setia ) dan siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidup dan keturunannya.
  • Sebagai jaminan kehidupan kaum yang sejak dulu hingga sekarang masih terikat pada tanah ( kehidupan agraris ).
  • Sebagai lambang kedudukan sosial sesuai kata pepatah : Dengan emas segala beres, dengan padi semua jadi, hilang warna karena penyakit dan hilang bangsa tak beremas.
13. Hubungan Individu dan Kelompok

  • Sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya dan setiap kelompok itu ( suku ) menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa-saling memiliki ini menjadi sumber timbulnya rasa setia kawan ( solidaritas ) yang tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa saling tolong menolong. Setiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi setiap individu anggota sukunya. Kehidupan tersebut ibarat ikan dengan air atau pepatah mengatakan : suku yang tidak bisa dianjak dan malu yang tidak bisa dibagi.
  • individu yang berwatak baik akan membentuk masyarakat yang rukun, dan damai serta kelompok yang tertata rapi akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik.

Bersambung ….

2. Arti Adat

Adat
adalah peraturan hidup sehari-hari yang menyangkut hal-hal mendasar, khususnya tentang landasan berpikir, nilai-nilai dalam kehidupan, norma-norma dalam pergaulan, falsafah hidup dan hukum-hukum yang harus dipatuhi.

Adat Minang adalah suatu konsep kehidupan yang disiapkan oleh nenek moyang orang Minang untuk anak cucunya dengan tujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat.


3. Nagari, Adat, Hukum dan Undang-undang Nan Ampek

Nagari Nan Ampek :
Pertama : Banjar
Kedua : Taratak
Ketiga : Koto
Keempat : Nagari

Adat Nan Ampek :
1. Adat Nan Sabana Adat
2. Adat Nan Diadatkan
3. Adat Nan Teradatkan
4. Adat Istiadat

Hukum Nan Ampek :

1. Hukum Bajinah : Saksi Keterangan
2. Hukum Qarinah : Tingkah Laku
3. Hukum Ijtihad : Dalil Nyata
4. Hukum Ilmu : Penelitian

Undang Nan Ampek :
1. Undang-undang Luhak Rantau
2. Undang-undang Pembentukan Nagari
3. Undang-undang Dalam Nagari
4. Undang-undang Nan 20

Bersambung ……

1. Arti Lambang Minangkabau

Tuan Sakato
: lambang masyarakat yang semufakat, yaitu Saciok Bak Ayam, Sadanciang nak basi.

Bola Bulan Bintang : lambang tauhid Islam, yaitu adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah (Al Qu’ran).

Tanduk Kerbau : Lambang 4 K (Kearifan, Kecerdikan, Ketekunan dan Keuletan), yaitu belum membayang sudah paham, hidup berakal (rasional), berukur dan berjangka (berencana).

Payung Panji
: Lambang kemuliaan, keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan masyarakat, yaitu bumi damai padi berbuah, padi masak jagung merekah, masyarakat senang sentosa, ternak berkembang biak, bapak kaya ibu bertuah dan mamak disembah orang pula.

Keris dan Pedang
: Lambang kesatuan hukum adat dan hukum Islam, yaitu untuk menjamin ketertiban masyarakat melalui pelaksanaan adat yang kuat dan syarak yang wajib.

Tombak : lambang ketahanan masyarakat, yaitu kampung yang berpagar aturan, negeri yang berpagar undang-undang. Dalam urusan suku memagar suku, dalam urusan kampung memagar kampung dan dalam urusan negeri memagar negeri.

Marawa (umbul-umbul) : Lambang wilayah Adat Luhak Yang Tiga, yaitu warna kuning melambangkan Luhak Tanah Datar (airnya jernih, ikannya jinak dan buminya dingin), warna merah melambangkan Luhak Agam (airnya keruh, ikannya liar dan buminya hangat) dan warna hitam melambangkan Luhak 50 Kota (airnya manis, ikannya banyak dan buminya tawar).

Bersambung ……

Jakarta. SS. Pada hari Minggu tanggal 16 Maret 208, Tim SS (Suara Silungkang) Jakarta yang terdiri dari Erland Erwin, Herson Dasmir dan Pak Pikar Rahim berkesempatan berkunjung ke rumah salah seorang pelaku sejarah pertempuran 10 November 1945 Surabaya yaitu Bapak H. Ali Darman Al Hajj SH yang beralamat di Jl. Bukit Duri No. 22 RT 010/01 Tebet – Jakarta Selatan.

Beliau adalah orang Padang, lahir 18 Oktober 1926, dan beliau adalah salah seorang cucu dari Kepala/Tuanku Laras Silungkang yang bernama Djaar Soeltan Pamoentjak (Dalimo Godang) dan pernah tinggal di Silungkang sebelum berangkat ke Surabaya.

Di Surabaya beliau banyak berhubungan dan berkawan dengan orang Silungkang yang tinggal di Surabaya.

Dari paparan beliau banyak sekali jasa-jasa dan kontribusi orang Silungkang terhadap perjuangan rakyat Indonesia dalam masa-masa sekitar tahun 1945 tersebut terutama pada pertempuran 10 November yang sangat terkenal itu.

Di sini Tim SS tidak bisa banyak menuliskan kisah-kisah perjuangan beliau dan hubungan-hubungan beliau dengan orang Silungkang karena dalam kunjungan Tim SS yang singkat itu tidak mungkin bagi Tim SS untuk bisa mengetahui dengan detail dan seutuhnya. Untuk itu Tim SS memohon kepada beliau untuk menuangkan kisah perjuangan beliau waktu itu terutama yang berhubungan dengan orang Silungkang. Beliau sangat gembira sekali dengan kedatangan Tim SS dan berjanji akan mencoba menuangkannya ke dalam tulisan.

Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita akan bisa membacanya. Di akhir kunjungan Tim SS beliau berpesan kalau ada acara-acara Silungkang supaya beliau diundang agar bisa bertemu dengan sesepuh-sesepuh Silungkang yang mungkin masih ada yang mengenal beliau. Beliau juga berpesan supaya setiap bulannya bisa diantarkan tabloid SS untuk berlangganan. (Tim SS Jakarta)

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kesepuluh April 2008

Alkisah, lebih kurang tahun 1600 Masehi, ada sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana, rakyatnya hidup rukun dan damai.

Kerajaan kecil tersebut bernama Kerajaan Sitambago, sesuai dengan nama rajanya Sitambago. Daerah kekuasaannya di sebelah utara berbatas dengan nagari Kolok, di sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Buar / Koto Tujuh, di sebelah selatan berbatas dengan nagari Pamuatan dan di sebelah barat berbatas dengan nagari Silungkang dan nagari Kubang.

Kerajaan Sitambago mempunyai pasukan tentara yang kuat dan terlatih. Pusat kerajaan Sitambago berada di sebuah lembah yang dilalui oleh sebuah sungai yang mengalir dari Lunto, pusat kerajaan Sitambago tersebut diperkirakan berada di tengah kota Sawahlunto sekarang. Sudah menjadi adat waktu itu, nagari-nagari dan kerajaan-kerajaan berambisi memperluas wilayahnya masing-masing, memperkuat pasukannya dan menyiapkan persenjataan yang cukup seperti tombak, galah, keris, parang, panah baipuh (panah beracun) dan lain-lain, senjata tersebut digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk mempertahankan diri apabila diserang.

Di Silungkang / Padang Sibusuk, pasukan Gajah Tongga Koto Piliang disamping mempunyai senjata tombak, keris, galah, parang dan panah juga punya senjata yang tidak punyai oleh daerah lain, yaitu senjata api SETENGGA, senjata api standar Angkatan Perang Portugis. Orang Portugis yang ingin membeli emas murni ke Palangki harus melalui Buluah Kasok (Padang Sibusuk sekarang) dan berhadapan dengan Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang terlebih dahulu, entah dengan cara apa, senjata api SETENGGA lengkap dengan peluruhnya berpindah tangan ke Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang.

Guna memperluas wilayah, diadakanlah perundingan antara Pemuka Nagari Silungkang / Padang Sibusuk dengan pemuka Nagari Kubang untuk menyerang kerajaan Sitambago, maka didapatlah kesepakatan untuk menyerang kerajaan Sitambago tersebut, penyerangan dipimpin oleh Panglima Paligan Alam. Strategi penyerangan diatur dengan sistim atau pola pengepungan, dimana tentara Silungkang / Padang Sibusuk mengepung dari daerah Kubang Sirakuk dan tentara Kubang dari jurusan Batu Tajam dan dataran tinggi Lubuak Simalukuik, dengan sistim atau pola pengepungan tersebut akan membuat tentara Sitambago tidak dapat bergerak dengan leluasa.

Maka tibalah hari H pertempuran, kerajaan Sitambago telah dikepung, tentara dan penduduk kerajaan Sitambago jadi panik, ruang gerak semakin sempit. Melihat kepanikan tersebut, agar tidak terjadi pertumpahan darah dan korban yang banyak, Panglima Paligan Alam menyerukan supaya Raja Sitambago beserta tentara dan rakyatnya menyerah, namun seruan niat baik Panglima Paligan Alam itu tidak digubris sedikitpun oleh Raja Sitambago, malahan Raja Sitambago siap untuk berperang, terbukti dihimpunnya balatentara dengan jumlah yang besar dan dikibarkannya bendera perang, pasukan langsung dipimpin oleh Raja Sitambago dengan gagah berani dan terjadilah pertempuran yang sengit.

Secara perdana, untuk jolong-jolong kalinya tentara Silungkang / Padang Sibusuk mempergunakan senjata api SETENGGA, suara letusan senjata SETENGGA menggelegar dan balatentara beserta penduduk kerajaan Sitambago baru kali ini mendengar letusan yang dahsyat serta membuat ciut hati mereka. Banyak tentara dan penduduk kerajaan Sitambago yang tewas akibat peluru SETENGGA, termasuk Raja Sitambago tersungkur bersimbah darah terkena tembakan senjata SETENGGA yang kemudian senjata tersebut dinamakan oleh mereka senjata HANTU TOPAN. Tentara dan penduduk kerajaan Sitambago mundur dan lari kocar-kacir meninggalkan wilayahnya, pusat kerajaan dan kemudian dikuasai oleh balatentara Panglima Paligan Alam.

Setelah perang usai, balatentara Silungkang / Padang Sibusuk dan Kubang yang dipimpin oleh Panglima Paligan Alam kembali ke nagari masing-masing, sedangkan wilayah pusat kerajaan Sitambago (kota Sawahlunto sekarang) terbiar begitu saja. lahan yang terbiar dan terlantar itu dimanfaatkan oleh anak nagari Lunto untuk bercocok tanam, dibuatlah persawahan, sehingga wilayah tersebut menjadi SAWAH yang digarap oleh orang Lunto. Sementara kepemilikan dan hak tanah tetap berada pada anak nagari Silungkang / Padang Sibusuk dan anak nagari Kubang yang telah memenangi peperangan dengan kerajaan Sitambago.

Disisi lain kaum keturunan Sitambago masih ada sampai sekarang disekitar daerah Pamuatan dan Santur.

Kisah ini disajikan oleh Djasril Abdullah untuk kedua kalinya yang sebelumnya dimuat pada Buletin Silungkang-Koba Anak Nagori edisi Desember 2002 / Januari 2003, halaman 54 yang disalin dan divariasi dari arsip Kantor Wali Nagari Silungkang dan kisah ini diriwayatkan oleh Datuak Podo Khatib kampuang Dalimo Kosiak-Penghulu Kepala Nagari Silungkang. Panggilan akrab beliau ONGKU PALO PENSIUN seiring dengan masa pensiun yang beliau jalani sejak tahun 1914 sebagai Penghulu Kepala. Beliau menyampaikan kisah ini secara lisan kepada dua orang tokoh Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia yang kini sudah almarhum yaitu SULAIMAN LOBAI dan M. SALEH BAGINDO RATU. Selanjutnya kisah ini ditulis untuk pertama kalinya oleh M. SALEH BAGINDO RATU.

Sumber : Suara Silungkang – Edisi Kesembilan Maret 2008

Oleh H. Abu Nawar (Dalimo Jao)

Perantau Silungkang pertama kali menginjak bumi Surabaya tahun 1930 dipelopori oleh Bapak P. Basir (Tanah Sirah) membuka toko tekstil di Tunjungan. Disusul perantau Silungkang lainnya yaitu Bp. Tayeb Saleh (Panay) dan Bp. M. Usman (Sawah Juai), keduanya di Wonokromo. Bp. M. Saini (Talak Buai) di Keputran, Bp. M. Noor (Guguek) di Blauran, H. Hasan Basri (Dalimo Tapanggang) di Praban, Bp. Salim Djalil (Dalimo Tapanggang) di Slompretan, dan sebagainya. Mereka semua membuka toko tekstil. Para perantau bertujuan datang ke Surabaya untuk mencari nafkah, dipilihnya kota Surabaya karena saat itu Surabaya sebagai kota transit perdagangan/pusat perdagangan.

Sebelum pendudukan tentara Jepang (1942), perantau masih merasa aman dibawah pemerintaha Belanda. Saat itu tidak ada pembebanan listrik, air, kebersihan, pajak dan keamanan terhadap warga negara Indonesia, semua ditanggung pemerintah Belanda. Namun deskriminasi dan tidak adanya persamaan hak antara orang Belanda dengan orang Pribumi itulah yang membuat bangsa Indonesia merasa terinjak-injak hak asasi manusianya, mereka berjuang untuk merebut kembali tanah air Indonesia tercinta, MERDEKA ATAOE MATI.

Masuknya tentara Jepang ke Indonesia khususnya ke Surabaya membuat para perantau Silungkang banyak yang mengungsi, namun hanya dalam waktu singkat mereka kembali lagi. Bapak Abu Nawar mengisahkan bahwa beliau mengungsi ke daerah Tretes, bertempat tinggal di kediamanan Organisasi Silungkang. Pengungsi hanya berbekal baju seadanya sedangkan harta benda yang lain (rumah dan toko) ditinggalkan begitu saja. Beliau mengungsi tidak kurang dari 1 bulan, selanjutnya kembali ke Surabaya dan membuka toko baru, karena toko semula sudah diambil oleh orang WNA (Cina).

Semenjak perjuangan, Bp. Abu Nawar ikut berjuang baik perjuangan di Jembatan Merah, Don Boscho, Hotel Yamatho, Rungkut, Panjang Jiwo dan sebagainya. Perantau Silungkang, Bpk. Basir (Malowe) gugur sebagai pejuang saat Agresi Militer I.

Kedatangan sekutu pasca kemerdekaan (1945), membuat para perantau banyak yang mengungsi kembali. Bpk. Abu Nawar mengungsi ke Blitar sampai tahun1948, diteruskan perjalannya ke Silungkang, beliau berdagang ke Jambi. Yang menarik disini, beliau ke Jambi, menumpang di M. Yunus di kebun kelapa Jambi karena uang ORI tidak berlaku saat Belanda masuk. Pak Abu hanya makan daun singkong disekitar kediaman. Liku-liku beliau untuk berusaha kembali ke Surabaya merupakan hal yang tidak masuk akal. Dimulai dari permohonan ke Camat (Raden Syahrudin) untuk meminta ijin kembali ke Surabaya, yang tidak dikabulkan, dilanjutkan ke Residen Jambi dan kepolisian Jambi tetap baru dapat ijin. Tiba suatu saat, truk berpenumpang tentara Belanda menuju ke Pelabuhan Pal Merah, beliau “menggandol” truk tersebut dengan dua orang awak sampai ketujuan. Tentara Belanda dalam truk tersebut plus tiga orang awak menumpangi pesawat menuju Palembang. Akhirnya dari Palembang setelah menghubungi Surabaya, beliau diperbolehkan kembali ke Surabaya dengan kapal laut.

Di Surabaya, beliau menetap di rumah M. Usman (Sawah Juai) di toko Indonesia kapasan. Dan mulailah kembali usaha toko beliau (tahun 1950).

Demikianlah sekelumit kisah sejarah yang dialami Bapak Abu Nawar dan para perantau Silungkang yang ada di Surabaya. Semoga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi para pembaca. (HAR).

Dari Sawahlunto, kereta api berangkat pukul 10.00. Ini adalah rit yang kedua. Tampaknya tak ada yang berminat bergelantungan. Kereta memang tidak menyediakan gerbong penumpang. Yang ada cuma gerbong besi hitam berisi batu bara. Inilah yang dinamakan “Mak Itam”.

Jejeran gerbong ditarik oleh sebuah diesel. Satu dari 29 diesel yang ada dijajaran Perumka Sumbar.

Baru saja keluar dari stasiun Sawahlunto, kereta sudah memasuki terowongan. Selama lebih kurang sepuluh menit di dalam lubang gelap itu, membuat pemandangan jadi kabur. Keluar dari terowongan, pakaian jadi kumal. Penuh debu hitam batu bara.

Kereta tidak berhenti di stasiun Muaro Kalaban tetapi terus saja melaju. Stasiun-stasiun kecil sepanjang rel dilewati. Pemandangan cukup indah. Berkali-kali rel memutus jalan Lintas Sumatra yang mulus dan ramai oleh bus jarak jauh. Sepanjang jalan tampak bukit-bukit karang yang tandus. Hanya dibeberapa puncak tertentu yang ada pohon pinusnya. Rel kereta seolah berada dalam lembah yang panjang. Di kedua sisinya berjejer bukit sambung-menyambung.

Petani Minang yang ulet dan tak kenal lelah, menarah bukit sampai ke pinggang, membentuk jenjang-jenjang hijau yang kecil. Tipografi tanah tampaknya kurang menguntungkan untuk bertani.

Di stasiun Solok, kereta berhenti. Bagi saya ini adalah perjalanan nostalgia. Dahulu, tiap lebaran selalu begini. Saat itu pihak Perumka menyediakan gerbong penumpang. Suasana lebaran berlangsung selama seminggu, selama pesta Danau Singkarak berlangsung. Saat itu penumpang membeludak bahkan ada yang naik ke atap.

Kini peminatnya tidak seramai dahulu. Ada perasaan rendah diri penduduk bila naik “Mak Itam”. Memang, angkutan bus jauh lebih maju. Jalan-jalan mulus sampai ke pelosok. Trayek kereta api yang khusus menyediakan gerbong penumpang hanya antar Padang – Naras (Pariaman). Padahal rel sepanjang 196 km, peninggalan Belanda ini sangat potensial untuk alat transportasi murah.

Dari Solok, deretan gerbong mulai bergerak. Sekarang pemandangan lain. Yang tampak adalah hamparan sawah yang luas dan datar. Sedangkan di sebelah kanan bukit-bukit yang agak rendah dan ditumbuhi ilalang.

Memasuki danau Singkarak, pemandangan menjadi menawan. Rel kereta api melintasi belahan timur pinggir danau yang luasnya 13.011 ha dan merupakan danau terbesar di Sumatra Barat. Selain danau ini ada tiga danau lagi yang telah dijadikan sebagai objek wisata yaitu Danau Maninjau, Danau Di Atas dan Danau Di Bawah.

Beberapa orang turis asing tampak mandi dan berenang di tempat yang dinyatakan sebagai objek wisata seperti di Singkarak, Tanjung Mutiara, dan Ombilin. Di pinggir danau ini baru ada 2 buah hotel yang layak untuk turis yaitu Hotel Jayakarta dan Minang Hotel di Ombilin.

Di sepanjang jalur pinggir danau, antara bus dan kereta api seperti berlomba. Jalurnya memang sejajar. Rel kereta api diatas sedangkan jalan raya di bawah.

Di tempat-tempat tertentu yang merupakan tepian penduduk, gadis-gadis pinggir danau kelihatan sedang mandi dan mencuci. Beberapa anak berenang sampai ketengah.

Dahulu kami menamakannya sebagai puteri duyung dan melempari dengan batu bara, kayu, dan sandal jepit. Mereka membalas dengan sorakan mengejek, mencibir, dan menunggingkan pantatnya.Sebagai objek wisata, Danau Singkarak cukup menjanjikan. Namun pengelolaannya tampak belum merata. Di sepanjang pinggir danau, rumah-rumah liar semakin banyak. Tiangnya dipanjangkan ke dalam air. Juga rumah makan dan restauran tumbuh tak beraturan, sehingga menimbulkan kesan kumuh.

Di stasiun Batu Tebal, kereta api berhenti. Diesel penarik gerbong ditambah. Kini diesel menjadi dua, yang satu di depan dan lainnya di belakang untuk mendorong sebab jalan mulai menanjak. Rel kereta api bagian tengahnya juga diberi gir.

Tanjakan berakhir di stasiun Padang Panjang. Di sana kereta berhenti. Dari sini perjalanan mulai menurun memasuki Lembah Anai. Di Lembah Anai perjalanan menjadi mengerikan. Rel melayang di atas jalan raya, di atas sungai, di atas lembah, dan menembus bukit, memasuki terowongan. Namun demikian, pemandangan Lembah Anai yang terkenal indah dengan air terjunnya yang curam kelihatan cukup jelas. Cukup menawan.

Memang cukup beralasan pemerintah Sumatra Barat menggalakkan kereta api angkutan khusus turis. Ruas-ruas jalan yang ditempuh oleh jalur kereta sangat menarik dan bisa merupakan salah satu paket tujuan wisata.

Tiba di stasiun Sicincin, perjalanan mulai mendatar dan di kiri kanan yang ada cuma pohon kelapa, rawa, dan sawah. Kereta terus melaju menuju Padang. Pukul sepuluh malam baru tiba di Teluk Bayur dengan tubuh yang tak karuan. Seandainya saya naik kereta api turis tentu keadaannya menjadi lain.

Sumber : No Name, from Buletin Silungkang tahun 1998

Dari tahun 1963 sampai sekarang SMP SDI mulai stabil. Guru telah banyak, murid telah banyak dan keuangan telah membaik.Pada tahun 1963 didirikannya “Yayasan Sekolah Dagang Islam”. Pada tahun 1972 di Jakarta dibentuk “Ikatan Keluarga Alumni (IKA SDI)”. Pada tahun 1980 di Jakarta dibentuk “Ikatan Keluarga Alumni (IKA SDI)”.

Dengan dana yang dikumpulkan IKA SDI, dimulailah membangun gedung sekolah SDI yang baru berikut jembatan penyeberangan. Gedung dan jembatan ini menelan biaya sebesar Rp. 64.000.000,-. Gedung ini diresmikannya pemakaiannya oleh Gubernur. Sumatera Barat, Bapak Azwar Anas pada tanggal 3 Juli 1984.

Pembenahan manajemen sekolah dan penambahan guru-guru yang berstatus pegawai negeri sipil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara bertahap diupayakan oleh IKA SDI bersama Yayasannya.

IKA SDI secara bertahap membenahi SDI ini. Dewasa ini sedang memasang dan untuk memperlebar pekarangan sekolah.

Murid SDI tahun 1990 :
SMP : laki-laki = 80 orang; wanita = 134 orang = 214 orang.
SMA : laki-laki = 80 orang, wanita = 122 orang = 202 orang.

Prosentase lulus tahun1989 :
SMP = 98,5 persen
SMA = 84,8 persen

Fasilitas-fasilitas yang ada dewasa ini :

  1. Lokal belajar = 8 buah
  2. Laboratorium = 1 set
  3. Mesin ketik = 12 unit (untuk belajar)
  4. Komputer PC = 1 unit
  5. Organ Yamaha = 1 unit
  6. Mesin jahit = 8 set
  7. Alat-alat PKK = 1 set
  8. Mesin ketik kantor = 1 unit
  9. Pemancar radio = 1 set
  10. Alat-alat olahraga = 2 set lengkap
  11. Buku-buku pelajaran = 1300 exlempar

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

Mulai tahun 1952 keadaan SMP SDI telah memulai membaik. Perbaikan ini disebabkan : mulai tahun 1952, anak perempuan diterima menjadi murid. Penerimaan murid perempuan ini adalah atas inisiatif dan keberanian majelis guru yaitu Hasan Muhammad, Idroes Katoen, Syarifuddin, Ibrahim Said (Mamak Surau Tenggi).

Murid mulai meningkat jumlahnya :
Tahun 1952 = 67 orang
Tahun 1953 = 80 orang
Tahun 1954 = 115 orang
Tahun 1955 = 119 orang
Tahun 1956 = 172 orang
Tahun 1957 = 167 orang
Tahun 1958 = 123 orang
Tahun 1959 = 98 orang
Tahun 1960 = 141 orang
Tahun 1961 = 119 orang
Tahun 1962 = 114 orang

Buku pegangan guru telah ada. Murid telah dapat meminjam buku di sekolah. Honor guru telah dapat ditingkatkan. Keuangan telah mulai membaik. Bantuan dari Jakarta yang dikumpulkan dari Alumni dan pencinta SDI yang diprakarsai oleh Danil Yusuf, Nazwar Samin, dan Marius Harun telah mulai mengalir.

Tahun 1954/1955 lokal ditambah 2 buah lagi dengan biaya Rp. 40.000,- seluruh ditanggung oleh Salim Jalil. Bangku dan peralatan lainnya seharga Rp. 14.000,- ditanggung oleh PKS Padang.

Bertepatan dengan HUT SMP SDI, majelis guru memberanikan diri pula untuk mendirikan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA SDI). Dasar didirikannya ialah untuk menampung anak-anak perempuan yang lulus dan tidak lulus dari SMP. Usaha ini disokong penuh oleh Dr. Johor Rukun (waktu itu belum jadi dokter). Johor Rukun diwaktu senggangnya ikut mengajar.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

Keadaan sekolah SDI dari tahun 1946 sampai tahun 1951 keadaannya semakin parah, karena :

  1. Kemiskinan akibat Jepang belum lagi terobati, bahkan semakin parah akibat blokade Belanda. Dimana-mana rakyat telah banyak yang memakai baju kulit kayu/baju tarok. Alhamdulillah Silungkang selamat dari itu.
  2. Kebutuhan sekolah semakin sulit.
  3. Murid bertambah menciut pada tahun 1946 berjumlah 42 orang, tahun 1947 = 35 orang, tahun 1948 = 18 orang, tahun 1949 = 25 orang, tahun 1950 = 41 orang, tahun 1951 = 43 orang.
  4. Honor guru bertambah seret. Kadang-kadang menerima kadang-kadang tidak.

UNTUNGNYA : sekolah tetap berjalan dan peraturan sekolah tetap dipatuhi walaupun telah ada yang memakai baju yang ditambal.

Setelah perjanjian KMB, nama sekolah ditambah dengan SMP, lengkapnya SMP SDI.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

7 Desember 1941 Admiral Nagumo menyerang Pearl Harbour. 8 Desember 1941, Belanda ikut memaklumkan perang kepada Jepang. Situasi di Indonesia mulai panas dan gawat. Perantau-perantau Silungkang yang bertebaran di seluruh pelosok tanah air, memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan sama-sama sependapat walau tidak pernah bersepakat terlebih dahulu, untuk mengirim istri dan anak mereka ke kampung (Silungkang).

Disebabkan banyaknya anak-anak yang berkumpul di kampung, yang mana kebanyakan di perantauan bersekolah HIS (Hollands Inlansche School), maka Kepala Nagari bersama M. Nour Guguak dan Haroen Rajo Sampomo, mendirikan sekolah HIS pelarian yang kemudian dizaman Jepang ditukar namanya menjadi NIG (Nippon Indonesia Ghako). Tepat sekolah di rumah sekolah Silungkang Institut dipinjamkan satu lokal.

Pada umumnya anak-anak yang dari perantauan terdiri dari anak orang berada, tentu punya pakaian dan perlengkapan sekolah yang cukup dan bagus. Anak-anak Silungkang Institut terikat oleh disiplin sekolahnya, pakai pakaian seragam, kepala gundul dan tidak pakai sepatu. Perbedaan yang menyolok ini telah mulai menampakkan gejala yang tidak baik. Untuk menjaga bentrokan antar murid, oleh pengurusnya dipindahkanlah sekolah HIS ke lokal Volkschool di pasar Silungkang.

Supaya lekas membaurnya anak-anak dari rantau dengan anak-anak yang di kampung, oleh kedua pengurus kedua sekolah itu didirikan Pandu KBI (Kepanduan Kebangsaan Indonesia). Semua murid laki-laki di kedua sekolah itu diwajibkan untuk masuk di kepanduan itu. Pimpinannya diambil dari sekolah yang kedua itu yaitu Idroes Katoen dan Agusnar Alimin dari Silungkang Institut, Anuarby Jamal dan Kamaruzzaman dari HIS pelarian.

Yang patut menjadi perhatian kita bersama, ialah cepat tanggap dan cepatnya bertindak pemimpin-pemimpin Silungkang waktu itu, dan nyatanya semenjak diadakannya pandu KBI itu, baiklah hubungan antara anak-anak perantauan dengan yang di kampung. Kemajuan tentara Jepang diluar dugaan sekutu. Dalam waktu yang singkat, tentara Jepang telah sampai di Malaya. Singapura, benteng Inggris yang terkuat di Asia, telah terancam dan diragukan untuk bisa dipertahankan. Tentara Inggris telah banyak yang berhamburan lari, ada yang ke Pekanbaru, ke Rengat ke Jambi dan lain-lainnya.

Tentara Belanda yang gagah berani terhadap rakyat jajahannya selama ini walaupun belum pernah berhadapan dengan tentara Jepang, telah ketakutan pula. Telah banyak yang panik bahkan telah banyak yang lari meninggalkan kesatuannya. Dalam situasi yang demikian, Silungkang diberi jatah oleh Belanda minyak tanah sebanyak 700 kaleng yang disuruh tempatkan di rumah sekolah Silungkang Institut. Konon kabarnya kemudian diperdapat berita, maksud Belanda memberi minyak tanah itu adalah untuk membumi hanguskan Silungkang Institut dan negeri Silungkang.

9 Maret 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang. Penandatanganan penyerahan tanpa syarat oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Tjarda Van Starkenburg Stachhouwer dan Luitnam Jendral Hein Ter Poorten dilakukan di Kalijati. Pada tanggal 8 Maret 1942, Jepang mulai memasuki kota Sawahlunto dari Sijunjung. Rakyat menyambutnya dengan gembira sekali, lebih-lebih rakyat Silungkang yang dengan masuknya Jepang dan kalahnya Belanda terobat rasanya jerih payah, pengorbanan dan penderitaan tahun 1927.

17 Maret penyerahan di Padang Silungkang Institut ditukar namanya menjadi SDI (Sekolah Dasar Islam) nama mana disesuaikan dengan niat waktu mendirikannya.

Keadaan sekolah SDI selama pendudukan Jepang.

Sama seperti sekolah-sekolah lainnya di Sumatera Barat ini, SDI inipun mengalami nasib yang memprihatinkan, antara lain pada keadaan guru yang pada tahun 1943 terdiri dari Guru Hasan Muhamad, Guru Suginoi, Guru Rustam. Tahun 1944 yaitu Guru Hasan Muhamad, Guru Umir Usman, Guru Idroes Katoen. Tahun 1945 yaitu Guru Hasan Muhamad, Guru Idroes Katoen, dan Guru Syamsuddin Sawah Juai.

Keadaan murid tahun 1942 berjumlah 72 orang, tahun 1943 yaitu 52 orang, tahun 1944 hanya 46 orang dan tahun 1945 adalah 51 orang.

Honor guru dengan beras, itupun penuh ke bawah. Buku pegangan bagi guru tidak ada. Buku serta peralatan sekolah sulit diperdapat.

Untungnya, kalau ditempat-tempat lain sekolah dan guru-gurunya telah banyak yang kehilangan wibawa, siswa SDI tetap mematuhi peraturan/disiplin sekolah.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

BAGIAN PERTAMA
BAGIAN KEDUA
BAGIAN KETIGA
BAGIAN KEEMPAT
BAGIAN KELIMA
BAGIAN KEENAM
BAGIAN KETUJUH

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia

BAGIAN KEDELAPAN

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Dalam perjalanan menuju Malaysia tidak banyak percakapan yang terjadi karena suasana hati masih mengandung kesedihan, bayangan almarhum semasa hidup selalu menjelma diingatan dan suaranya masih terngiang ditelinga.

Biasanya disepanjang jalan kami selalu menikmati keindahan alam yang dilewati, tapi kali ini pemandangan yang indah itu berlalu begitu saja, cuacapun mendung, hujan tidak panaspun tidak. Tanpa terasa dikarenakan perasaan hampa, kami telah mendarat di pelabuhan Melaka. Di Melaka saya sengaja belum mencari kendaraan menuju Seri Menanti, saya bawa isteri dan anak saya jalan-jalan melihat objek wisata serta peninggalan sejarah, setelah puas barulah saya menuju ketempat perhentian taksi yang tak jauh dari pelabuhan. Kami naik taksi menuju Seri Menanti lewat Tampin, jadi kami tidak melalui Seremban karena jalannya jauh dan berbelit-belit. Jalan yang ditempuh Melaka – Tampin – Kuala Pilah – Seri Menanti jauh lebih pendek dari Melaka – Seremban – Kuala Pilah – Seri Menanti.

15 Maret 1999 kami kembali sampai di Seri Menanti, tetangga, teman sekerja dan orang-orang yang kami kenal ikut menyampaikan duka cita, karena kami sudah dianggap oleh mereka sebagai keluarga sendiri, karena kami juga apabila ada kemalangan disana kami menyempatkan diri hadir untuk takziah dan berdoa, asal kami tahu ada kemalangan di tetangga ata orang-orang yang kami kenal, kami tetap berusaha untuk datang, tak kira yang meninggal itu rakyat biasa atau kerabat raja.

Tidak saja sewaktu kemalangan, berhelat kawin, acara adat di kampung-kampung pun kami sering diundang dan dengan senang hati kami menghadirinya. Begitu juga halnya dengan keluarga kerajaan, sewaktu T. Khursiah meninggal saya ikut mengantar ke Makam Diraja, selesai penguburan saya juga ikut membaca yasin, tahlil dan berdoa. T. Khursiah adalah Permaisuri Tuanku Abdul Rahman. Di hari raya Idul Fitri, sesudah shalat hari raya saya juga pergi ke Istana Besar menjamu selera, karena waktu itu Istana Besar terbuka untuk umum, seluruh lapisan masyarakat bersilaturahmi di halaman Istana Besar Seri Menanti. Ini semua saya lakukan supaya saya dan keluarga membaur dengan masyarakat, sebagaimana pepatah mengatakan “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, disamping itu kesempatan tersebut saya gunakan untuk menambah pengetahuan saya tentang pengamalan Adat Perpatih di Negeri Sembilan serta membandingkannya dengan pengamalan Adat Minangkabau di Sumatera Barat. Saya merasa beruntung sekali bekerja di Seri Menanti, karena disinilah pusat kegiatan Upacara Adat Perpatih, jadi dengan mudah saya dapat mengamati pelaksanaan upacara tersebut dan saya pun juga dibawah ikut serta menjadi Urus Setia (Panitia).

Kami mulai bekerja seperti biasa, di samping itu acara demi acara juga berlangsung di sekitar tempat kami bekerja, kegiatan latihan Caklempong oleh Putera/Puteri Seri Menanti dan juga latihan Rebana oleh orang dewasa ditambah lagi dengan adanya Shooting Sinetron TV dan Shooting Iklan TV serta Shooting Video Klip juga ada Pameran oleh instansi pemerintah, kesemua itu menambah semarak suasana.

Caklempong dengan lagu Minang, Rebana dengan pukulan Rentak Melayu, Rentak Arab dan Rentak India sungguh mengasyikkan.

Pada suatu hari datang satu bus pengunjung dari negara India, semuanya sebaya, pemuda- pemuda tampan dan gadis-gadis cantik seperti aktor dan aktris Bollywood, pertama sekali mereka menuju ke tempat kumpulan rebana latihan, seorang diantara mereka yang mungkin sebagai ketua rombongan berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, nampanya mereka ingin menyumbangkan sebuah lagu dan tari-tarian India serta mengajarkan rentak pukulan rebana yang diinginkan atau yang sesuai dengan lagu yang akan dinyanyikan. Maka mulailah dipalu rebana dengan serentak oleh anggota kumpulan rebana yang jumlahnya 10 orang, diikuti oleh seorang pemuda menyanyikan lagu India (berbahasa Urdu) dan pemuda-pemuda serta gadis-gadis lainnya menari dengan riangnya seperti yang kita lihat pada film-film India.

Tersentuh juga hati saya melihatnya, karena saya juga hobby nonton film India, biasanya saya melihat melalui layar bioskop-bioskop atau layar kaca televisi, sekarang langsung melihatnya. Panjang juga lagu yang dinyanyikannya, setelah berhenti semuanya bertepuk tangan. Saya maju kedepan menyalami penyanyi sambil berkata kepadanya supaya ditambah nyanyinya lagi, dia minta maaf tidak bisa, waktunya terbatas karena sudah diatur jadwal.

yamtuan5.jpgAwal bulan April 1999, terlihat kesibukan-kesibukan di Istana Lama dan di Istana Besar Seri Menanti, suatu acara yang langka dan diadakan pada hari Sabtu, 24 April 1999 yaitu acara ISTIADAT KEBERANGKATAN BALIK DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG, SETELAH TAMAT TEMPOH BERTAKHTA SEBAGAI DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG KE KE X. Yaitu acara penyambutan kepulangan Tuanku Jaafar ibni Al Marhum Tuanku Abdul Rahman dari Istana Negara Kualalumpur setelah bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang di-Pertuan Agung Malaysia dan kembali ke Istana Besar Negeri Sembilan, yang mana jabatan Yang Di-Pertuan Agung selanjutnya digulirkan kepada Raja/Sultan dari Negeri (Propinsi) lainnya, dan bertakhta selama 5 tahun, kecuali meninggal dunia. Raja/Sultan yang akan mendapat giliran tersebut sebanyak 9 orang.

Bisa kita bayangkan bahwa acara penyambutan ini diadakan di Seri Menanti sekali 45 tahun atau hampir setengah abad. Acara penyambutan ini diadakan selama 9 hari 9 malam, penuh dengan Upacara Adat serta Hiburan Kesenian Tradisional, Kesenian Modern juga ada pertandingan-pertandingan Olah Raga.

Pada tanggal 24 April 1999 tibalah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu acara penyambutan Baginda. Pagi-pagi sekali pertama-tama saya mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun kepada salah seorang anak saya yang lahir pada tanggal 24 Aprl 1987, setelah itu baru berangkat menuju halaman Istana Lama, disana sudah ramai orang terutama Pemangku Adat yang sebagian mereka memakai TENGKOLOK DANDAN TAK SUDAH, yaitu destar (deta) kebesaran di Negeri Sembilan. Masyarakat mulai berdatangan, panitia sibuk dengan pekerjaan bagian mereka masing-masing, Seri Menanti penuh dengan hiasan, disepanjang jalan menuju Istana Besar seluruh lapisan masyarakat berbaris di tepi jalan, Pelajar dan Mahasiswa masing-masing membawa bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia, pertunjukan kesenian tradisional diadakan disepanjang jalan ditambah lagi dengan persembahan Kebudayaan kumpulan Cina, India dan Sikh. Di tepi jalan sebelah kiri dipagari oleh orang-orang pembawa Bunga Manggar sedangkan di tepi jalan sebelah kanan dipagari oleh group Vespa, Motor Klasik dan Mobil Antik.

Tepat pukul 4.45 ptg. (16.45 sore) iring-iringan mobil yang membawa kepulangan Baginda sampai di Seri Menanti, Gendang Perang dan Kompang dipalu silih berganti, tak kalah meriahnya sewaktu gendang Cina, India dan Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh meraung-raung diiringi pula oleh seruling kelompok India sungguh indah didengar, rakyat yang berjejar ditepi jalan mengibarkan bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia yang terbuat dari plastik berukuran kecil.

Setiba di Pintu Gerbang Istana, Baginda dan Permaisuri turun dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana diiringi tiupan seruling dan gurindam, setibanya di Pintu Istana beras kunyit pun ditabur, di Istana diadakan jamuan teh dan dilanjutkan dengan Acara Istiadat Menyimpan Alat-alat Kebesaran.

Pada malamnya pukul 8.30 malam (20.30), di Padang Bola Sepak (lapangan bola kaki) Seri Menanti dan Londa Naga (semacam telaga yang terletak di antara Istana Besar dengan lapangan bola kaki) diadakan persembahan Tatoo dan Ketrampilan oleh ATM (Angkatan Tentera Malaysia) 1 Briged. Persembahan ini mendapat perhatian besar dari pengunjung.

Seri Menanti sangat ramai dikunjungi, siang malam pengunjung silih berganti, para pedagang memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual bermacam-macam barang dagangan, disini saya juga mengambil kesempatan untuk menjual Songket Silungkang dan barang-barang souvenir lainnya yang sengaja saya bawa dari Silungkang setiap saya pualng. Songket yang banyak laku waktu itu adalah songket cuki ponuah warna hitam dan warna merah dengan mokou warna emas, saya juga membawa sapu ijuk, karena sapu ijuk sedikit, banyak yang tidak kebagian, sapu ijuk oleh mereka bukan digunakan untk menyapu sampah, tetapi digangunt di dinding sebagai hiasan antik, mainan kunci berbentuk rangkiang (rumah adat Minangkabau) sangat laris terjual untuk digantung di mobil.

Acara demi acara dilaksanakan dengan lancar, aman dan tertib, acara Adat Istiadat, Kesenian Tradisional seperti Caklempong, Randai (ala Negeri Sembilan), Silat dan kesenian tradisional lainnya, dan juga kesenian-kesenian modern seperti persembahan lagu-lagu populer, pementasan drama, persembahan sastra. Disamping itu juga dimeriahkan dengan pertandingan-pertandingan olahraga.

Yang paling berkesan oleh saya adalah persembahan kesenian tradisional GHAZAL yang sengaja didatangkan dari Negeri Johor. Ghazal adalah lagu Melayu asli yang diiringi gabungan alat musik Melayu (biola), Arab (kecapi), India (gendang). Konon kabarnya musik Ghazal ini digunakan oleh Sultan Johor sebagai pengantar tidur. Saya tertarik dengan lagu Ghazal ini dari tahun 1968 lagi, sehingga koleksi kaset saya juga terdiri dari kaset lagu Ghazal. Mengenai kesenian tradisional yang ada di Malaysia, saya juga tertarik dengan Dondang Sayang dari Melaka, Mak Inang Pulau Kampai dari Negeri Sembilan, Dikir Barat dari Kelantan dan Boria dari Pulau Pinang, ini semua dapat saya tonton melalui TV 1 RTM (TV 1 Radio Talivisen Malaysia).

Tuanku Jaafar ibni A-Marhum Tuanku Abdul Rahman adalah satu-satunya keturunan Raja Pagaruyung yang masih berdaulat atau masih di Raja kan dan masih mempunyai Kerajaan yaitu Kerajaan Negeri Sembilan.

Selama Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang Di-Pertuan Agong, Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan dijabat oleh Putera Baginda yang tertua Tunku Laxamana Naquiyuddin ibni Tuanku Jaafar Al-Haj dengan gelar Paduka Seri Pemangku Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus. Kepulangan Baginda disambut mesra oleh Paduka Seri Pemangku dengan TITAH ALU-ALUAN (kata sambutan) yang saya salinkan berikut dengan teks sebagaimana aslinya :
Tanggal 24 April 1999 bersamaan 8 Muharram 1420 pasti tercatat sebagai salah satu lagi tarikh dalam sejarah Alam Beraja di Negeri Sembilan Darul Khusus apabila rakyat dari segenap lapisan masyarakat akan menyambut keberangkatan balik, D.Y.M.M. Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman yang menamatkan tempo bertakhta Baginda sebagai Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong ke X dari 26 April 1994 hingga 25 April 1999.

Peristiwa ini akan disambut dengan penuh adat istiadat menandakan kembalinya Raja yang dikasihi ke pangkuan rakyat negeri, dengan keunikan Adat Perpatih yang menjadi pegangan rakyat Negeri Sembilan Darul Khusus.

Sebagai satu-satunya negeri beradat, pastinya seluruh rakyat yang cintakan Rajanya tidak mau melepaskan peluang untuk bersama-sama meraih peristiwa yang penuh bermakna yang hanya berlaku hampir setengah abad sekali. Apa yang lebih membanggakan Beta, Kerajaan Negeri dengan dokongan pada rakyat dari segala lapisan masyarakat telahpun mengaturkan pelbagai program sebagai tanda kasih untuk menyambut keberangkatan balik Tuanku. Beta yakin, adat yang unik ini akan dapat diteruskan sepanjang zaman karena sesuatu yang datang dari rakyat itu adalah pancaran sebenar hati budi mereka.

Selain daripada acara menyambut keberangkatan balik Baginda, pelbagai acara telah disusun di Daerah Kuala Pilah, antaranya persembahan Tatoo, Larian Raja Melewar. Pementasan peristiwa di Bukit Candu dan pelbagai pertunjukan kebudayaan yang lain.

Pada kesempatan ini, Beta inigin merekamkan setinggi-tingginya penghargaan dan terima kasih diatas kesungguhan yang ditunjukkan oleh pimpinan negeri yang mendapat sokongan padu pihak Pentadbiran dan rakyat keseluruhannya bagi menjayakan adat istiadat ini dengan penuh gilang-gemilang.

Sesungguhnya Beta yakin, sesuatu yang lahir dengan penuh hati yang luhur itu akan membawa keberkatan.

Keterangan dari saya, D.Y.M.M adalah kependekan dari Duli Yang Maha Mulia. Pentadbiran artinya pemerintah atau Yang Berwenang, Beta artinya saya (diucapkan oleh Raja-raja Melayu).

Saya juga sempat menyaksikan pementasan Peristiwa di Bukit Candu, yaitu pertempuran perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pementasan ini diadakan di Padang Bola Sepak Seri Menanti dari pukul delapan malam sampai pukul 12.00 malam.

Pada suatu sore Tan Sri Samad Idris datang ke tempat saya bekerja, beliau mengajak saya naik mobilnya. “Pak Djasril, jom (ayoh) kite ke Kuala Pilah sekejap (sebentar)”. “Okey, Tan Sri”, jawab saya. Di Kuala Pilah kami masuk ke sebuah Kedai Minum dan langsung memesan minuman yang disukai masing-masing. “Macam ni Pak Djasril”, kata Tan Sri membuka kata, “Tahun ni adalah dijadikan Tahun Melawat Negeri Sembilan, pelancong tempatan (Malaysia) dan pelancong Antara Bangsa (Manca Negara) datang mengunjungi Negeri Sembilan, terlebih-lebih Istana Lama akan banyak dikunjungi, saye berhajat nak tambah tenun songket empat lagi, dan tentu sahaje ditambah lagi empat pengrajin dari Silungkang, tapi saye inginkan pengrajin yang lepas, kalau perempuan belum punye laki, kalau lelaki belum punye bini, untuk ini saye serahkan pade Pak Djasril macam mane baiknye,” lanjut Tan Sir.

“Baiklah Tan Sri,” jawab saya. “Nanti saya telepon Pak Djasril Munir Pengurus Kopinkra di Silungkang, karena beliaulah nanti yang akan merekrut pengrajin tersebut,” kata saya lagi.

Setelah selesai minum kami langsung saja kembali ke Seri Menanti, sesampainya di Seri Menanti saya terus saja ke kantor Muzium untuk menelepon ke Silungkang yaitu kepada Pak Dasril Munir, saya sampaikan rencana Tan Sri tersebut, Pak Dasril Munir menyambut baik rencana Tan Sri itu, dan akan memberi jawaban seminggu lagi.

Seminggu kemudian saya mendapat kabar dari Silungkang bahwa akan dikirim empat orang pengrajin lagi, semuanya wanita dan belum berumah tangga, 2 orang dari Batu Manonggou, 1 orang dari Sungai Durian dan 1 orang dari Panai Ompek Rumah.

BERSAMBUNG

Cerita Asli dari Djasril Abdullah

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kedelapan Februari 2008

1. Pengajian
Jauh sebelum ada sekolah umum, tingkat pendidikan di Silungkang hanyalah pendidikan surau. Sama seperti di negeri-negeri lainnya di Minangkabau, suraulah yang memegang peranan penting dalam mencerdaskan rakyat. Anak-anak yang telah berumur 7 tahun, telah disuruh tidur di surau. Kalau masih tidur di rumah orang tua akan ditertawakan dan akan digelari dengan “Kongkong Induk Ayam”.

Di surau ini dapat dipelajari/diajarkan :

  1. Pelajaran dan didikan agama setidak-tidaknya sekedar yang pokok-pokok yang harus dimiliki oleh seorang Islam.
  2. Pelajaran adat, tambo, pidato-pidato adat, hariang gendiang sampai-sampai bagaimana tata tertib di atas rumah orang (cara berumah tangga).
  3. Tidur bersama, mengaji bersama, shalat bersama, adalah didikan bagaimana cara bermasyarakat, dan bagaimana supaya pandai menyesuaikan diri.
  4. Anak-anak akan dekat berkomunikasi dengan gurunya, ditempat untuk tidak penakut dan berjiwa besar, dan diberi pelajaran bela diri (silat).
  5. Di surau ini juga dapat dipelajari bagaimana cara berdagang, cara bertenun ataupun cara-cara serta pengalaman merantau.
  6. Setelah ada kaum pergerakan sekitar tahun 1915/1926, di surau-surau juga diadakan kursus-kursus politik.

Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, untuk mengetahui tinggi rendahnya pendidikan di suatu negeri dapat dilihat dari banyaknya surau serta murid yang mengaji disurau tersebut. Pada waktu itu, jumlah surau yang ada di Silungkang 25 buah, suatu jumlah yang besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Surau terbesar adalah surau Godang, (tempatnya di sekolah Muhammadiyah sekarang), surau ini didirikan pada tahun 1870 M / 1287 H dengan tujuan sebagai induk surau-surau yang sudah ada.

Yang mempelopori dan memimpin berdirinya adalah Syekh Barau (nama aslinya M. Saleh bin Abdullah). Syekh Barau ini adalah seorang ulama besar, punya murid dan pengikut yang banyak. Beliau pernah bermukim di Makkah untuk mempelajari seluk-beluk agama Islam. Beliau sangat disegani masyarakat Silungkang setara negeri-negeri sekitarnya. Di Batang Air Silungkang ada ikan bernama ikan Barau, untuk menghormati beliau dan ada yang berpendapat supaya jangan kualat, oleh masyarakat nama ikan itu ditukar dengan ikan tobang, yang sampai sekarang masih bernama ikan tobang. Beliau meninggal hari Sabtu, 29 Zulhijjah 1288 H.

Surau Godang ini ada hubungannya dengan Ulakan Pariaman, dan Syekh Barau sebagai wakil Khalifah dari Khalifah yang ada di Ulakan. Antara tahun 1920 – 1926, yang mengaji di Silungkang tidak terbatas pada warga Silungkang saja, tapi banyak pula yang berdatangan dari negeri lain, seperti dari Garabak Data, Simiso, Aie Luo, Batu Manjulur, Kobun, Koto Baru, Padang Sibusuk dan lain-lain.

Diantara yang ikut mengaji di Silungkang adalah Dr. Amir, Prof. Mr. M. Yamin dan Jamaludin Adinegoro. Beliau-beliau ini mengaji dan tinggal di surau Jambak dibawah asuhan H.M. Rasad. Paginya beliau-beliau ini sekolah HIS di Solok.

2. Sekolah Umum
Sekolah dasar (Volkschool) yang pertama untuk bumi putra Minangkabau didirikan di Bukit Tinggi pada tahun 1940. Sekolah ini didirikan dengan tujuan utama untuk mempersiapkan rakyat Minangkabau untuk menjadi pegawai Belanda. Di Silungkang kapan berdirinya Volkschool tidak diperdapat keterangan yang pasti, yang jelas sebelum tahun 1921 sudah ada Volkschool dan Vervolgschool (sekolah desa 3 tahun dan sekolah gubernaman 5 tahun). Besar kemungkinan adanya Volkschool itu sebelum tahun 1900, sebab setelah tahun1900 Silungkang telah banyak yang pandai tulis baca, pergi merantau ke Jawa, Singapura, Kelang (julukan untuk Malaysia waktu itu) bahkan ada yang telah bermukim dan berdagang di Makkah.

Pada tahun 1915 telah ada beberapa orang Silungkang yang berhubungan dagang ke negeri Belanda dan Belgia dengan korespondensi dengan berbahasa Belanda, diantaranya Sulaiman Lapai dan Zoon, Datuk Sati & Co., Muchtar & Co., Fa. Baburai dan lain-lainnya.

Pada tahun 1920 Sulaiman Labai resmi mendapat izin untuk menjadi pengacara di Pengadilan Sawahlunto dan pada tahun itu juga M. Lilah Rajo Nan Sati ditunjuk oleh General Manager Ford sebagai Dealer Ford untuk order Afdeling Sawahlunto dan sekitarnya.

3. Sekolah Diniyah
Pada tahun 1923, didirikan di Silungkang sekolah Diniyah, cabang dari sekolah Diniyah Padang Panjang. Yang mempelopori berdirinya yang masih diketahui adalah :
a. H. Jalaludin
b. Joli Ustaz
c. Sulaiman Labai

Guru-gurunya dikirim dari Padang Panjang yaitu :
a. Guru Syariat dari Bukit Tinggi
b. Guru Murad dari Bukit Tinggi
c. Guru Adam dari Batipuh Padang Panjang
d. Guru Bagindo Syaraf dari Kampuang Dalam Pariaman

Putra Silungkang yang pernah menjadi gurunya antara lain :
a. Guru Ibrahim Jambek
b. Guru Ya’kub Sulaiman
c. Guru Syamsuddin
d. Guru Abdul Jalil Mahmud
e. Guru Abdoellah Desman
f. Guru Abdoellah Mahmoed
g. Guru A. Bakar

4. Kursus-kursus
Setelah adanya kaum pergerakan, sering diadakan kursus-kursus politik. Hampir disetiap surau yang tidak kolot, setelah selesai pengajian diadakan kursus politik.

Kaum pergerakan itu tidak sedikit andilnya dalam mencerdaskan dan membukakan mata rakyat, bukan rakyat Silungkang saja, tapi jangkauannya mencakup distrik Sawahlunto, distrik Sijunjung, distrik Solok, bahkan sampai ke daerah Riau dan Jambi.

Jauh sebelum tahun 1927, di Silungkang telah ada Bibliotik yang dikelola oleh Salim Sinaro Khatib. Beberapa surat kabar seperti Pemandangan Islam, jago-jago dan Silungkanglah dibagi-bagikan untuk daerah sekitarnya.

5. Tempaan Alam
Didesak oleh alamnya yang sempit, tidak punya sawah yang memadai, apalagi karena tanahnya tidak subur, rakyat Silungkang terpaksa memilih usaha dibidang perdagangan dan pertenunan (perindustrian). Perdagangan dan pertenunan sudah pasti menghendaki kecerdasan, setidak-tidaknya sekedar untuk bisa memperhitungkan pokok, laba rugi, atau prosentase untuk mengaduk celup.

Sebelum tahun 1937, pada umumnya rakyat Silungkang laki-laki, walaupun tidak pernah duduk dibangku sekolah, akan berusaha belajar sendiri walaupun hanya sekedar pandai tulis baca. Disamping itu perdagangan dan pertenunan ini memaksa rakyat Silungkang untuk merantau. Bertebaranlah rakyat Silungkang di seluruh pelosok tanah air, ke Singapura dan Malaysia.

Keuntungan utama dari merantau ini adalah terbukanya mata melihat kemajuan-kemajuan di negeri orang. Kemajuan-kemajuan ini mana yang cocok dibawa pulang ke kampung.

Beberapa contoh :

  • Menurut uraian yang kita terima, tenunan kampung Silungkang ini dipelajari dan dibawa dari petani (Siam) oleh perantau-perantau Silungkang pada abad ke 15.
  • Tenunan ATBM, ilmu dan modalnya didapat dari Pamekasan Madura, yang digabungkan dengan ilmu dan model ATBM buatan Bandung.
  • Pada tahun 1925, yang dipelopori oleh Ongku Kadhi Gaek (Tankadi gelar Pokiah Kayo), khotbah Jum’at di Silungkang telah mulai menggunakan bahasa Indonesia, padahal waktu itu, kecuali di kota-kota, pada umumnya khotbah Jum’at masih memakai bahasa Arab.
  • Sebelum Perang Dunia Kedua, kenduri-kenduri di rumah kematian seperti kenduri 3, 7, 14 atau 40 hari sudah tidak ada lagi, jangan harap akan ada orang yang datang kalau dipanggil untuk kenduri tersebut.

Hubungan lalu lintas seperti Auto dan kereta api yang melalui Silungkang juga ikut memberi kemajuan bagi Silungkang.

Demikian kira-kira gambaran pendidikan di Silungkang sebelum tahun 1927.

Sumber : Buletin Silungkang, Nomor : 001/SM/JUNI/1998

Tidak beberapa hari setelah usainya konferensi, pada permulaan tahun 1940, dibentuklah Panitia Pembangunan untuk sekolah yang akan didirikan itu. Susunan Panitia Pembangunan yang terbentuk adalah sebagai berikut :

  1. Ketua : H. Muhammad Zein
  2. Wakil Ketua : Datok Rangkayo Nan Godang
  3. Sekretaris I : Haroen Rajo Sampono
  4. Sekretaris II : Ibrahim Jambak
  5. Keuangan : Hasan Yahya
  6. Komisaris I : H. Khatab
  7. Komisaris II : Abdoellah Oesman
  8. Penasihat : M. Joesoef Panghulu Sati

Kepada Pemerintah Belanda dimintakan izin hanya mendirikan sekolah agama. Izin mudah didapat karena Belanda waktu itu sedang pusing dengan situasi yang telah mulai panas di Eropa. Atas usaha Syarief Sulaiman Malawas, didapat tanah di Limau Poeroet. Tanah ini kepunyaan kaum H. Ibrahim / H. Wahid Panai Batu Bagantuang. Syarief Sulaiman ini sama-sama berdagang dengan H. Wahid di Sawahlunto dan H. Wahid sayang kepada beliau.

Tanah ini dibeli dengan harga f 4000 – (empat ratus Gulden) atau senilai 0,25 kg emas murni. Kalau dinilai dengan pasaran tanah di Silungkang pada waktu itu, harga ini adalah harga yang termurah. Diperdapatnya harga yang murah itu dengan perjanjian :

  • Tanah ini akan dipergunakan untuk kepentingan sekolah agama.
  • Kemanakan H. Ibrahim, Hasan Muhammad yang baru lulus Normal School akan ikut menjadi guru disitu.

Kalau tidak diterima syarat itu, tanah ini tidak akan diperdapat karena pemiliknya terbilang orang yang berada waktu itu yang sudah tentu malu akan menjual tanah. Panitia diberi keringanan untuk menyelesaikan pembayarannya dapat dilunaskan Panitia pada akhir tahun itu juga (segel jual beli terlampir).

Sepakatlah Panitia untuk memberi nama sekolah yang akan didirikan itu dengan nama tempatnya yaitu “Limau Poeroet Instituut”. Disebarlah panitia untuk mencari dana (keuangan), terutama kepada SSP yang pada waktu konperensi telah menjanjikannya. Waktu itu diperantauan telah bermunculan pedagang-pedagang Silungkang yang berkapital besar seperti :

  1. Boerhan Dalimo Godang, Datuak Onga Basir, Salim Jalil dan lain-lain di kota Surabaya.
  2. Dt. Sati, M. Joesoef, Ismail, Jalil, H. Ibrahim, dan lain-lain di Betawi (Jakarta).
  3. A. Fatah St. Malano, A. Moerad Bagindo Tan Pokieh, Naali dan lain-lain di kota Padang.
  4. Mahmud Yahya, Thaib Yahya, M. Lilah Rajo Nan Sati, H. Syamsuddin, dan lain-lain di kota Medan.
  5. Oedin Podo, Guur Maafoef, M. Sirin di Malaya
  6. H. Joemoes Dalimo Godang, M. Joesoef Ngaciek, M. Ibrahim, Maafief Pito Gagah, Manggoto, dan H. Jamin di daerah Jambi.
  7. Abdoelah, H. Joenoes Dalimo Kosiak, H. Jama dan lain-lian di daerah Riau.
  8. H. Yahya, H. Kamaluddin, H. Taher, H. Soelaiman dan lain-lain di kota Sawahlunto.

Sementara panitia mengusahakan keuangan itu, rakyat di kampung gotong royong untuk mendatarkan tanah. Dalam waktu yang singkat, dengan mudah keuangan telah diperdapat dan mulailah dibangun sekolah itu sebanyak 3 lokal. Dalam waktu yang hanya tiga bulan, pembangunan selesai. Cepat selesainya karena seluruh konsen dibeli dari Solok.

Pembangunan gedung berikut bangku dan peralatan lainnya menelan biaya f 3000,- (tiga ribu Gulden) atau f 3.400,- dengan harga tanah. Jumlah ini kalau dinilai dengan emas seharga dua seperdelapan kg emas murni.

10 Mei 1940 Jerman menyerang negeri Belanda. Dalam tempo hanya lima hari, Jerman telah menduduki seluruh negeri Belanda tersebut. Setelah selesai pembangunan gedung, dibentuklah pengurus yang akan mengurus sekolah tersebut, dengan susunan pengurusnya sebagai berikut :

  1. Pelindung : M. Joesoef Panghulu Sati
  2. Penasehat : Mr. Aboebakar Jaar
  3. Ketua I : H. Muhammad Zein
  4. Ketua II : Abdoellah Oesman
  5. Sekretaris I : Salim Sinaro Khatib
  6. Sekretaris II : M. Dalil Sutan Pamuncak
  7. Bendahara : M. Khatab
  8. Pembantu I : Harun Rajo Sampono
  9. Pembantu II : Abdoellah Mahmoed
  10. Badan Pemeriksa : Guru Arifin

Guru yang akan mengajari adalah :

  1. Hasan Muhammad keluaran Normaal School Padang (sekolah guru yang didirikan oleh Prof. Mahmud Yunus).
  2. Bahaudin Talawi lulusan INS Katu Tanam (Indische Nederlands School pimpinan M. Syafa’i). Bahaudin ini langsung diangkat menjadi Kepala Sekolah.

Disusunlah mata pelajaran dan ketenuan (disiplin) sekolah.
Mata Pelajaran ditetapkan :

  1. Agama terdiri dari Tauhid, Fikih, Tarekh Nabi, Akhlak, Hadis, Tafsir, Hukum Dagang Islam.
  2. Dagang terdiri dari Boekhouding, Handels Rekenen, Handelskennis, Handelscrackt, Handelscorespondensie.
  3. Umum terdiri dari Bahasa Belanda, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Sejarah Dunia, Tata Negara, Stenografis.

Syarat penerimaan murid : Tamatan Gubernemen 5 tahun
Jumlah murid yang diterima : 40 orang (nyatanya terpaksa menerima 44 orang)
Mulai belajar : 1 Agustus 1940
Peraturan atau disiplin sekolah adalah baju seragama hijau cap kunci, kepala gundul, tidak dibenarkan pakai sepatu/sandal, tidak dibenarkan membawa uang, tidak boleh keluar malam, tidak boleh merokok.

Tepat menurut rencana, tanggal 1 Agustus 1940 sekolah ini resmi mulai belajar.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

Link yang terkait lainnya :
Surat Dari Hamka

Renovasi kembali Masjid Raya Silungkang yang pembiayaannya dikumpulkan dari masyarakat Silungkang sendiri baik yang di kampung ataupun yang di perantauan. Masjid Raya ataupun Surau Godang (kini jadi sekolah Muhammadiyah) yang akan direnovasi itu dulu dibangun oleh leluhur kita tidak hanya dengan swadaya masyarakat Silungkang saja, tetapi juga dengan bantuan/partisipasi murid-murid dari Syech-syech di Silungkang dan sekitarnya serta guru besar dari semua Syech-syech itu adalah SYECH MOHAMAD SALEH BIN ABDULLAH alias SYECH BARAU yang peranannya sangat besar dalam pembangunan Surau Godang dan Masjid Raya di Silungkang.

Adapun murid-murid beliau antara lain adalah :

  1. Syech Mohammad Taib (Engku Surau Lurah), adik kandung dari Barau (Tanah Sirah).
  2. Syech Ahmad (Engku Surau Tanjung), urang sumando dari Barau (Dalimo Tapanggan).
  3. Syech Abdul Rahman (Engku Surau Bulek), anak kandung dari Barau (Dalimo Jao).
  4. Syech Abdullah (Engku Surau Godang).
  5. Syech Abdul Rahman (Engku Talawi).
  6. Syech Abdullah (Engku Lunto).
  7. Syech Abubakar (Engku Surau Palo) Panai Ruman Nan Panjang.
  8. Syech Abdulah (Engku Surau Ambacang Koto Anau).
  9. Syech Muhammad (Syech Kampung Baru).

Jadi tidak heranlah kita kalau di Silungkang pada tahun seribu delapan ratus itu terdapat kira-kira 40 (empat puluh) buah surau, antara lain dapat disebutkan mulai dari Surau Lubuak Kubang, Surau Ambacang, Surau Lurah Cupuik, Surau Palakoto, Surau Kotomaparak, Surau Nyiak Goduang di Lubuk Taweh, Surau Ongku Balampi di Lubuk Lawa-lawa, Surau Ongku Jaluddin dekat Kutianyar, Surau Lomba, disini ada 3 surau yaitu kepunyaan Kampung Palakoto, Piliang Ateh, dan Tanah Sirah – Surau Topi Air, Surau Lolo, Surau Pangka Titi, Surau Dibawajui, Surau Cobodak, Rumah Sekolah, Surau Masjid, Surau Bulek, Surau Lokuak, Surau Belakang, Surau Ongku, Surau Tanjung, Surau Lurah, Surau Baru Melawas, Surau Sepan, Surau Jambak, Surau Tinggi, Surau Palo – sampai Surau Bangkang – Pada umumnya tanah tempat surau-surau itu didirikan adalah TANAH WAKAF.

Pada waktu itu (tahun seribu delapan ratusan) timbul niat dari Syech Barau untuk membangun sebuah surau yang agak besar (belakang dikenal dengan nama Surau Godang. Sekarang berdiri disana sekolah Muhammadiyah), niat mana setelah beliau musyawarah dengan murid-murid dari murid beliau yang 9 orang tersebut di atas, disokong 100 persen secara moril dan material. Murid-murid dari murid beliau itu telah tersebar di negari sekitar Silungkang seperti Taruang-taruang, Indudur, Pianggu, Koto Anau, Kotobaru, Kampuang Baru, dan Batu Manjulur. Oleh karena itu soal bahan-bahan seperti batu, pasir, kayu-kayu dan lain-lain serta tukang tidak menjadi masalah sama sekali karena mereka bersedia menanggulangi semuanya.

Untuk mewujudkan niat beliau itu, didirikanlah Surau Godang di atas tanah kaum beliau sendiri (Tanah Sirah), karena tanah sekitar tempat akan didirikanlah Surau Godang itu adalah tanah kaum beliau semuanya dimana juga telah berdiri Surau Lurah, Surau Lakuak, Surau Bulek, dan Surau Belakang. Sedangkan tanah Surau Tanjuang adalah tanah kepunyaan kaum Dalimo Kosiak. Jadi semuanya tanah disekitar Surau Godang dan Masjid Raya adalah tanah wakaf didekat Surau Godang itu beliau dirikan pula rumah famili beliau (kemenakan beliau) yaitu Habibullah. Haji Hasan dan Ande dari Upiak (Nenek dari Herman Nawas). Surau tersebut berukuran kurang lebih 20 x 8 m bertingkat tujuh akan tetapi yang dipakai hanya dua tingkat yang pertama saja. Pembangunan Surau Godang berpedoman kepada sebuah miniatur/maket yang dibuat dari batang Pipiang, oleh Ahmad Ongku Surau Tanjung.

Tiap-tiap surau memerlukan “kolam air” seperti Surau Lolo, Surau Lokuak dan Surau Godang yang gunanya semula untuk penampung air buangan dari berwuduk dan buangan hajad kecil/besar yang semuanya untuk menjaga kebersihan. Kolam air yang agak besar adalah kolam Surau Lokuak, di lokasi ini memang banyak surau, jadi banyak orang buang hajad di kolam Surau Lokuak. Satu lagi kolam yang agak besar adalah kolam Surau Godang, guna mengurangi bau yang tidak sedap dari kolam-kolam ini, kolam-kolam itu harus diisi dengan ikan yang banyak (Kaluih dan Limbek), untuk itu dibuatlah mufakat bahwa guna mengisi ikan kolam tersebut dicari orang-orang yang berminat dan terutama tentu yang mampu. Dengan catatan bahwa orang-orang yang mengisi kolam tersebut mendapat “Hak Mengelola” (hasil ikannya untuk orang yang mengisinya). Di zaman saya masih bujang-bujang tanggung dulu, setahu saya Haji M. Taher Tanah Sirah dan Surau Lurah adalah Haji Said. Sedangkan pengelola kolam lainnya tidak diketahui dengan pasti sampai sekarang.

Surau Godang selesai dibangun pada tahun 1870 dan tidak berapa lama setelah itu, karena masih ada tanah tersisa (areal Masjid sekarang) yang merupakan wakaf dari kaum Tanah Siram, kaum Petopang/Sawajui dan kaum Dalimo Godang. Timbul pula keinginan dari Syech Barau untuk membangun sebuah masjid yang lebih besar karena pada tiap-tiap hari Jum’at, murid-murid beliau dari berbagai daerah datang ke Silungkang untuk melaksanakan shalat Jum’at. Mulai pukul 9 pagi murid-murid beliau itu sudah berdatangan dan makin hari makin bertambah sehingga mulai dirasakan surau Godang tidak mencukupi lagi untuk menampung jamaah yang datang untuk beribadah.

Untuk keinginan seperti itu, beliau pergi ke Padang dan waktu melihat masjid Ganting, niat itu semakin kuat. Beliau berkeinginan membuat sebuah masjid seperti masjid Ganting itu. Beliau langsung menemui tukang yang membuat masjid Ganting itu dan mengajaknya untuk bekerja membangun sebuah masjid di Silungkang. Tukang atau adman tersebutlah yang kemudian membangun Masjid Silungkang dan beliau dikenal di Silungkang dengan panggilan Ongku Siak Masojik atau Ongku Padang. Masjid Raya Silungkang selesai dibangun pada tahun 1900 dengan ukuran 24 x 24 m. tersebutlah beranda dan koridornya. Luas masjid kurang lebih dua kali lebih besar dari Surau Godang. Sebelum direnovasi pada tahun 1950 masjid kita mirip sekali dengan masjid Ganting yang di Padang itu.

Pada tahun 1950, masjid itu diperbesar dan dibuat bertingkat atas inisiatif dan sponsorin H. Aziz Udin. Pembangunan dilakukan secara bertahap dan beliau menyisihkan keuntungan dagang bebelok ke Singapura untuk melaksanakan pembangunan Masjid tersebut. Setiap kali beliau kembali membawa barang dengan selamat dari Singapura, maka sebagian labanya diberikan kepada bendahara pembangunan masjid yaitu Bp. Samin Tagatuang dengan panitianya Bp. Said Rajo Bandaro Talakbuai. Perluasan dan pembangunan masjid tersebut dapat diselesaikan pada tahun 1958. Bentuk itulah yang dapat kita lihat sekarang ini, masih kokoh diluarnya, tapi sudah mulai lapuk bagian dalamnya terutama bahan-bahan perkayuannya. Pada waktu diguncang gempa tahun 1929 (meletusnya Gunung Merapi) tidak ada kerusakan masjid ini, akan tetapi pada waktu gempa tahun 1942 (meletusnya Gunung Talang) Migrab masjid menjadi retak dan ayam-ayam yang ada di puncak atap masjid jatuh dan tidak diganti sampai sekarang.

Karena kondisi Masjid Raya yang sangat memprihatinkan itu, timbul keinginan dan kesepakatan masyarakat Silungkang (yang dicetuskan di rumah Drs. H. Nazir Ahmad, Lukuak Kubang) untuk membangun kembali Masjid Raya Silungkang yang lebih besar, dimana untuk itu diperlukan areal tanah yang luas dari yang ada sekarang, maka peran serta positif dan keridhoannya warga “Pemilik” tanah sekitar Masjid itu sangat diharapkan. Kiranya tidak terlepas dari semangat untuk meneruskan tradisi dan cita-cita leluhur kita dalam meningkatkan syiar Islam serta keinginan untuk menjadikan Silungkang sebagai pusat pengembangan agama Islam bagi daerah sekitarnya. Oleh karena itu, marilah kita dukung bersama upaya pembangunan masjid ini berupa dukungan material maupun moril.

Silungkang, Ied 1415 H
Disarikan oleh H. Munir Taher berdasarkan cerita generasi tua-tua Silungkang, terbanyak bersumber dari Almarhumah Ongah Timah Malowe.

Catatan Admin :
Sekarang Masjid Raya Silungkang sudah lama selesai pembangunannya. Terima kasih kepada semua donatur yang telah menyumbang.

Sumber : Bulletin Warga Silungkang, No. 001/SM/JUNI 1999

Saat peresmian Tugu Peringatan Pemberontakan Silungkang terhadap Penjajah oleh Wakil Presiden Dr. Moh. Hatta pada tahun 1947 menanyakan kepadal Talaha St. Langit (Ex. Digulis), “Apa lagi yang dibutuhkan Silungkang?”. Talaha St. Langit meminta agar di Silungkang dimasukkan aliran listrik karena Silungkang merupakan desa industri.

Tidak berapa lama permintaan tersebut terkabul. Waktu pergolakan PRRI, listrik tetap menyala dengan tekhnisi putra Silungkang (Umar Kamin, Mustafa Jalil, Johan Nur, Dermawan Rauf dan Syamsir Sarif).

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Keenam Desember 2007 oleh Masri Ayat Siri Dirajo

Titah Sambutan Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung
Pada Acara Penobatan Gajah Tongga Koto Piliang
Tanggal 12 Desember 2002 di Nagari Silungkang

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
A’uzubillahiminashaithonirojim
Bismillahirrahmanirrohim
Alhamdulillahrabil A’lamin
Wa sholatu Washollamu A’la Asrafil Ambyai Mursalin Wa’ala Waashabihi Ajmain
Ashadu Allailahailollah Waashaduana Muhammadarasulullah
Allahumma Sholi Muhammad Wa’ala Ali Muhammad

  • Yang sama-sama kita hormati, Bapak Gubernur Sumatera Barat selaku pucuk undang Sumatera Barat
  • Yang terhormat Ketua DPRD Sumatera Barat
  • Yang terhormat Bapak-bapak Unsur Muspida Sumatera Barat
  • Yang terhormat Sdr. Bupati/Walikota Sumatera Barat beserta seluruh pejabat sipil dan militer yang hadir pada acara ini
  • Yang saya muliakan ketua umum pucuk pimpinan LKAAM Sumatera Barat
  • Yang sangat saya muliakan Ibunda yang Dipertuan Gadih Pagaruyung
  • Yang amat mulia orang kaya-orang kaya kami Basa nan Ampek Balai dan Tuan Gadang Batipuah
  • Yang amat mulia yang Dipertuan/Tuanku/Raja, Sapiah Balahan, Kaduang Karatan, Kapak Radai dan Langgam nan Tujuah Koto Piliang
  • Khususnya yang mulia Gajah Tongga Koto Piliang, Datuak Pucuak nan Sabaleh di Nagari Silungkang dan Padang Sibusuk
  • Angku-angku, niniak mamak nan gadang basa batuah, para alim ulama suluah bendang dalam nagari, para cadiak pandai yang arif bijaksana, para bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang dan beserta hadirin-hadirat yang saya muliakan.

Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat karunianya sehingga dapat terselenggaranya acara penobatan pucuak adat nagari Silungkang dan Padang Sibusuk yakni Gajah Tongga Koto Piliang beserta lima orang penghulu pucuak nagari Silungkang.

Selanjutnya kita ucapkan pula salawat dan salam pada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi umat Islam berupa kitab suci Al Qur’an dan Hadist.

Pada hari ini kita semua telah sama-sama menyaksikan penobatan Irwan Husein Sutan Bagindo sebagai Pucuak Adat Kanagariaan Silungkang – Padang Sibusuak yang bergelar Datuak Pahlawan Gagah Malintang Labieh Kasaktian Gajahtongga Kotopiliang dan Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid MS yang bergelar Datuak Pahlawan Panungkek Gajahtongga Kotopiliang serta penghulu pucuak nan balimo di Nagari Silungkang. Peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat bersejarah baik bagi anak nagari Silungkang dan Padang Sibusuak pada khususnya maupun bagi masyarakat Minangkabau pada umumnya. Kami katakan demikian karena upacara penobatan Gajah Tongga Koto Piliang dan datuak pucuak nan balimo ini adalah suatu wujud untuk membangkitkan batang tarandam yang sekaligus merupakan perwujudan dari program kembali ka nagari dan kembali basurau yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat melalui Perda No. 9 Tahun 2000. Dengan telah dibangkitkan kembali kebesaran nagari Silungkang dan Padang Sibusuak yakni Gajah Tongga Koto Piliang yang merupakan salah satu kebesaran Langgam Nan Tujuah Koto Piliang, yaitu :

  1. Tampuak Tangkai Koto Piliang di Pariangan – Padang Panjang.
  2. Pasak Kunkuang Koto Piliang di Labuatan – Sungai Jambu.
  3. Pardamaian Koto Piliang di Simawang – Bukit Kanduang.
  4. Cemeti Koto Piliang di Sulit Aia – Tanjuang Balik.
  5. Camin Taruih Koto Piliang di Singkarang – Saniang Baka.
  6. Harimau Campo Koto Piliang di Batipuah X Koto.
  7. Gajah Tongga Koto Piliang di Silungkang – Padang Sibusuak.

Langgam Nan Tujuah Koto Piliang ini merupakan Pembantu Utama dari Rajo nan Tigo Selo dibawah koordinasi Basa Ampek Balai. Gajah Tongga Koto Piliang ini adalah Panglima wilayah selatan dalam alam Minangkabau. Di bawah pimpinan Gajah Tongga Koto Piliang inilah pasukan hulubalang Minangkabau dapat mengalahkan dan menghancurkan serangan dari pasukan Singosari yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu I pada tahun 1276 Masehi. Pertempuran besar-besaran ini terjadi di suatu lembah sempit yang pada waktu itu dikenal dengan Lembah Kupitan dan Sungai Batang Kariang. Karena banyaknya mayat-mayat bergelimpangan dan tidak sempat dikuburkan sehingga menimbulkan bau yang sangat busuk sehingga tempat itu dan sekitarnya dikenal kemudian dengan nama Padang Sibusuak. Perlu juga dicatat para peristiwa pertempuran besar-besaran tersebut muncullah hulubalang muda yang dengan gemilang dan tangkasnya membantu Gajah Tongga Koto Piliang dalam mengalahkan pasukan Singosari. Hulubalang muda itu adalah Gajah Mada yang dikenal kemudian dengan Maha Patih Kerajaan Majapahit.

Bapak-bapak, ibu-ibu, angku-angku niniek mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang serta hadirin hadirat yang saya muliakan.

Cuplikan singkat dari sejarah Nagari Silungkang dan Padang Sibusuak yang kami uraikan tadi hendaknya dapat dijadikan sebagai latar belakang historis dan motivasi bagi anak nagari Silungkang dan Padang Sibusuak untuk menggali, mendalami dan memahami latar dasar dalam menata kembali kehidupan banagari, membangun nagari serta memajukan dan mencerdaskan sumber daay manusia anak nagari ini.

Dengan dibangkitkan kembali kebesaran “Gajah Tongga Koto Piliang” kami mengharapkan Datuak Tan Pahlawan Gagah Labiah yang pada dirinya melekat kebesaran Gajah Tongga Koto Piliang bersama-sama dengan Datuak Pucuak nan sabaleh (Datuak Pucuak Nan Balimo di Silungkang dan Datuak Pucuak Nan Baranam di Padang Sibusuak), kiranya dapat menata kembali dengan sebaik-baiknya susunan masyarakat adat, hukum adat, adat istiadat dan tradisi yang berlaku serta kehidupan beragama dikalangan masyarakat anak nagari Silungkang dan Padang Sibusuak. Hanya dengan tatanan masyarakat adat yang kuat, adat budaya yang dipahami dan diamalkan oleh masyarakatnya. Pemahaman dan pengamalan syariat Islam yang benar oleh suku bangsa Minangkabau pada khususnya, bangsa dan Negara pada umumnya akan dapat mempertahankan eksistensinya dari hantaman globalisasi serta pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita.

Demikianlah titah sambutan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan akan ada manfaatnya bagi kita semua dan akhirnya kepada Irwan Husein Sutan Bagindo sebagai Pucuak Adat Kanagarian Silungkang – Padang Sibusuak yang bergelar Datuak Pahlawan Gagah Malintang Labieh Kasaktian Gajah Tongga Koto Piliang dan Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid MS yang bergelar Datuak Pahlawan Gagah Panungkek Gajah Tongga Koto Piliang, Datuak Pucuak nan Balimo Nagari Silungkang serta seluruh Niniak mamak, Alim ulama, Cadiak pandai dan Bundo Kanduang serta seluruh anak nagari Silungkang dan Padang Sibusuak kami ucapkan selamat ataslah tabangkiknyo batang tarandam.

Akhirnya kami mohon maaf seandainyo alam Titah Sambutan ini terdapat sesuatu yang tidak pada tempatnya “Kok indak di barih nan bapaek, kok indak ditakuak nan ditabang disusun jari nan sapuluah, ditakuahkan kapalo nan satu, kapado Allah ambo minta ampun, kapada kito basamo ambo minta maaf”.

Wabillahi Taufiq walhidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.

Pagaruyung, 12 Desember 2002
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung

TTD

H.S.M. TAUFIQ THAIB, SH
(Tuanku Mudo Mahkota Alam)

Dalam keadaan asli tercantum tanda tangan Raja Alam Pagaruyung.


TITAH

DAULAT YANG DIPERTUAN RAJO ALAM PAGARUYUNG

Nomor : III/DYRAP/XI/2002
Tentang : PENOBATAN GELAR SAKO ADAT GAJAHTONGGA KOTOPILIANG KEPADA ENGKU IRWAN HUSEIN SUTAN BAGINDO DAN PANUNGKEKNYA ENGKU DR. IR. YUZIRWAN RASYID, MS.
Membaca : Surat Permohonan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Silungkang Nomor 20/KAN-SLN/XI/2002 tanggal 15 November 2002 perihal penobatan gelar Sako Adat kepada Engku Irwan Husein Sutan Bagindo dari Nagari Silungkang dan Panungkeknya Engku Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid MS bergelar “ Datuk Pahlawan Gagah Panungkek Gajahtongga Kotopiliang ” dari Padang Sibusuak.



Menimbang : 1. Bahwa Nagari Silungkang dan Padang Sibusuak dalam tatanan adat dan sejarah Minangkabau mempunyai sako kebesaran yang disebut sebagai Gajahtongga Kotopiliang sebagai salah satu anggota kerapatan Langgam Nan Tujuah Kotopiliang yang merupakan perangkat dari Kerajaan Pagaruyung.


2. Bahwa dalam rangka melestarikan adat dan budaya Minangkabau dan dalam rangka kembali Banagari, sudah selayaknya gelar sako kebesaran adat Minangkabau yang sudah terliput dihidupkan / dibangkitkan kembali termasuk gelar sako kebesaran Gajahtongga Kotopiliang dari Nagari Silungkang dan Nagari Padang Sibusuak.


3. Bahwa Engku Irwan Husein Sutan Bagindo dan Engku Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid, MS telah disepakati oleh Kerapatan Adat Nagari Silungkang dan Kerapatan Adat Nagari Padang Sibusuak untuk dinobatkan sebagai Datuak Pahlawan Gagah Malintang Labiah Kasatian Gajahtongga Kotopiliang dan Datuak Pahlawan Gagah panungkek Gajahtongga Kotopiliang.


4. Bahwa Kesepakatan Kerapatan Adat Nagari Silungkang dan Kerapatan Adat Nagari Padang Sibusuak tersebut angka 3 diatas telah disetujui dalam Musyawarah Raja Alam Pagaruyung dengan Basa Ampek Balai dan Tuan Gadang Batipuah pada tanggal 21 November 2002.


5. Bahwa untuk penobatan gelar sako Gajahtongga Kotopiliang dan Panungkek Gajahtongga Kotopiliang perlu dikeluarkan Titah Penobatan dimaksud.




Mengingat : 1. Mamanan Adat “BATAGAK PENGHULU SAKATO KAUM, MENOBATKAN RAJO SAKATO ALAM”


2. Hasil Keputusan Musyawarah Raja Alam Pagaruyung dan Basa Ampek Balai dan Tuan Gadang Batipuah pada tanggal 21 November 2002.

MENITAHKAN :


1. Menobatkan Engku Irwan Husein Sutan Bagindo selaku Gajahtongga Kotopiliang dengan gelar Datuak Pahlawan Gagah Malintang Labiah Kasatian Gajahtongga Kotopiliang sekaligus sebagai Pucuk Adat Nagari Silungkang dan Padang Sibusuk.
2. Menobatkan Engku Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid, MS selaku Panungkek Gajahtongga Kotopiliang dengan gelar Datuak Pahlawan Gagah Panungkek Gajahtongga Kotopiliang sekaligus sebagai Panungkek Pucuak Adat Nagari Silungkang dan Padang Sibusuak.
3. Penobatan gelar sako tersebut angka 1 dan 2 dilakukan dalam suatu upacara kebesaran adat Minangkabau di Nagari Silungkang ditandai pemasangan saluak dan penyisipan keris oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung.
4. Pidato Adat Pati Ambalau Penobatan Gajahtongga Kotopiliang dan Panungkek tersebut dilakukan oleh Ketua Umum Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat.
5. Titah ini mulai berlaku sejak penobatan.





Dikeluarkan di : Pagaruyung

Pada tanggal : 25 November 2002.


1. Pangkat Raja Pagaruyung dengan huruf kecil.
2. Diatas Stempel Kerajaan Pagaruyung terdapat tanda tangan Raja Pagaruyung.
3. Posisi Stempel agak kekiri dan tanda tangan berada ditengah antara Pangkat dan nama Raja.
4. Nama lengkap Raja Pagaruyung diberi garis bawah dengan kesluruhan berhuruf kapital
5. Gelar Raja Pagaruyung dengan huruf kecil.


Tindasan Titah Disampaikan Kepada :
1. Yth. Bapak Gubernur Sumatera Barat/Pucuk Undang Sumatera Barat di Padang.
2. Yth. Ketua Umum Pucuk Pimpinan LKAAM Sumber di Padang.
Asli Titah ini disampaikan kepada :
– Yth. Engku Irwan Husein Sutan Bagindo.
– Yth. Engku Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid MS.
– Arsip.






Source : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Keempat Oktober 2007




Source : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Keempat Oktober 2007

Tenun Songket merupakan seni budaya spesifik dibelahan benua Asia yang berasal dari daratan negeri Cina, keberadaannya lebih kurang sejak 1000 tahun yang lalu. Dalam kisah perjalanan yang cukup panjang. Tenun Songket setelah itu hadir di Negeri Siam (Thailand), kemudian menyebar ke beberapa negara bagian di Semenanjung Negeri Jiran Malaysia. Seperti ke Selangor, Kelantan, Trengganu dan Brunai Darussalam kemudian menyeberang ke pulau Andalas yaitu ke Silungkang, Siak dan Palembang. Yang mana Songket Silungkang berasal dari Negara Bagian Selangor, sedangkan Songket Pandai Sikek berasal dari Silungkang dan Songket Payakumbuh berasal dari Pandai Sikek. Yang membawa ilmu songket dari Selangor ke Silungkang yaitu Baginda Ali asal Kampung Dalimo Singkek beserta hulubalang beliau yang diperkirakan pada abad ke 16 dan lebih kurang sudah sejak 400 tahun yang lalu.

Pada tahun 1910 Songket Silungkang telah berkiprah di gelanggang Internasional pada Pekan Raya Ekonomi yang berlangsung di Brussel ibukota Belgia. Yang mendemonstrasikan cara bertenun pada waktu itu yaitu Ande BAENSAH dari Kampung Malayu, dan dikala itu hanya dua daerah penghasil Songket dari Indonesia yang ikut didalam Pekan Raya Ekonomi tersebut yaitu Silungkang dan Bali. Seperti Songket Bali itu sendiri berasal dari Negeri Sungai Gangga India. Di tahun 1920, Ismail, Kampung Dalimo Godang, adik dari Ongku Palo pergi merantau kenegeri Indo Cina, seperti Vietnam, Birma dan Laos yang membawa barang dagangan berupa kain Songket, kain Batik, kain Lurik serta kain sarung Bugis dari Makasar.

Kemudian menyusul pada tahun 1921 yaitu Muhammad Yasin kampung Panai Empat Rumah pergi merantau ke Calcutta sebuah kota yang terletak diujung pantai timur India, membawa barang dagangan yang sejenis dengan barang dagang yang dibawa Ismail ke Indo China. Apa kata Om Frans dari Maluku, bagi kami orang Maluku belum bisa dibilang Dehafe (Elite) apabila salah satu keluarga disana belum menyimpan sekurang-kurangnya 20 helai kain Songket tenunan Silungkang. Begitu juga pakaian adat perkawinan di Minahasa Sulawesi Utara, seperti penganten wanitanya juga memakai kain Songket tenunan Silungkang, yang mana warga dari kedua daerah tersebut sangat bangga sekali memakai kain Songket tenunan Silungkang, sebagaimana bangganya masyarakat Minangkabau memaki kain sarung Bugis dari Makasar. Di era tahun 50-an, Abidin kampung Dalimo Godang berdagang kain Songket dengan mempergunakan jasa Pos dan mengirimkan dengan pos paket ke berbagai kota di Indonesia, antara lain : Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar.

Masih pada era yang sama, Songket Silungkang hadir sebagai peserta di arena Pasar Malam dibeberapa kota besar di pulau Jawa, seperti pasar malam Gambir di Jakarta, pasar malam Andir di Bandung, pasar malam Simpang Lima di Semarang, pasar malam Alun-Alun di Yogyakarta, pasar malam Yand Mart di Surabaya.

Pada tahun 1974 diruangan Bali Room Hotel Indonesia Jakarta diadakan pameran Industri Kecil yang diselenggarakan oleh Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) pimpinan DR. Dewi Motik Pramono.

Dari sekian banyak hasil kerajinan industri kecil dari seluruh Nusantara yang dipamerkan pada waktu itu, merasa kagum dan bangga akan Nagari Silungkang, setelah melihat didalam sebuah kotak kaca, disana tersimpan sehelai kain Songket karya anak nagari yang telah berumur 234 tahun pada waktu itu, warna dasar merah hati ayam yang memakai benang Mokou Bulek Soriang tak sudah, bermotif Pucuk Rebung, yang mana kain Songket tersebut bukanlah milik kolektor, tetapi milik sebuah Museum di Den Haag Negeri Belanda.

Informasi dari seorang sarjana asal Koto Anau Solok, di era tahun 1990-an pernah mengikuti bidang studi di Canada, ibu kost dari sarjana tersebut menyimpan lima helai kain Songket tenunan Silungkang. Memang sudah selayaknya kampung Batu Manonggou dijadikan sebagai kawasan penghasil Songket di Nagari Silungkang, karena hampir disetiap rumah disana memiliki alat tenun (palantai) untuk memproduksi kain Songket sebagai Home Industri, istimewanya lagi bukan kaum wanitanya saja yang pandai bertenun Songket, tetapi kaum prianya juga mahir bertenun Songket.

Di masa lampau jika ada tamu yang berkunjung ke Silungkang untuk melihat bagaimana cara bertenun Songket, mereka diajak ke bawah rumah, karena disanalah diletakkan alat tenun, sekarang ini sudah ada dua show room kain Songket yang terletak ditepi jalan lintas Sumatera, lebih tepatnya dibawah kampung batu Manongou, disana juga tersedia alat tenun untuk mendemontrasikan cara bertenun Songket. Keunggulan dari kain Songket Silungkang selama ini, jika dipakai akan terlihat indah cemerlang, Songket Silungkang bukan saja berjaya di Bumi Merah Putih ini, bahkan juga berkibar dibeberapa negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Perancis, Swiss dan Belgia bahkan ada diantara ibu rumah tangga disana yang mengoleksi kain tenun Songket Silungkang yang telah berumur antara 100 hingga 200 tahun. Bahkan di Nagari Silungkang sendiri Songket yang seumur itu sudah sangat sulit untuk ditemui.

Begitulah kisah perjalanan sejarah ilmu bertenun songket yang datangnya dari daratan negeri Cina. (SS/DAPESA)

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kelima November 2007

Laman Berikutnya »