PKS


Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Membaca tabloid Koba Silungkang edisi April 2003 dalam tulisan “Seputar Kota Kita” mengkritisi sikap PKS Jakarta soal “Balon” Wako dan Wawako saat itu, Who Wants To Be The Mayor Part 2.

Kami teringat pengalaman Alm. Sdr. Syafar Habib yang diceritakannya pada kami 3 bulan sebelum dia meninggal dunia. Sebelum dia menceritakan pengalamannya itu, dia minta kepada kami agar kami berfikir secara filosofis, sebagai berikut :

Dalam pertemuan ‘acara Minang’ dia duduk; di sebelah kanannya Bapak Emil Salim dan di sebelah kirinya Bapak Menteri Abdul Latif. Bapak Emil Salim berkata kepada Sdr. Syafar Habib : Engku Syafar, saya bangga dengan perantau Silungkang, di mana-mana orang Silungkang jarang yang menjadi pegawai negeri, kebanyakan menjadi pedagang. Tetapi setelah saya menjadi menteri saya perhatikan tidak ada orang Silungkang menjadi pengusaha menengah ke atas.

Mendengar ucapan kedua tokoh Minang itu Sdr. Syafar Habib hanya terdiam, tetapi dalam hatinya berkata : apakah baju putih yang sedang saya pakai ini sama warna putihnya dengan pakaian dalam ?

Mendengar pengalaman Sdr. Syafar Habib ini kami juga merenung dan terpikir bagaimanakah orang Silungkang di abad 21 ini.

Menjelang Sdr. Zuhairi Muhammad Panai Empat Rumah meninggal dunia, kami sekali dalam tiga bulan sengaja datang ke rumahnya di Komplek Perindustrian di Jalan Perdatam Pancoran, rasanya kalau kita berbicara dengannya seperti kita berbicara dengan mamaknya Alm. Pakiah Akuk. Dia mengatakan pendapatnya kepada kami, bahwa orang Silungkang bukan orang aktif tetapi reaktif. Semula kami tidak sependapat dengannya, tetapi setelah kami renungi kami sependapat pula dengannya.

Tahun 80-an kami pernah membaca buku karangan Mr. Muhammad Rasyid berjudul ‘Sejarah Perjuangan Minangkabau’ sebelum peristiwa PRRI beliau menjadi duta besar RI di Perancis merangkap di Italia, di halaman 45 kami membaca waktu pemberontakan rakyat Silungkang tahun 1927. Penjajah Belanda sangat kejam, tentara Belanda memperkosa gadis-gadis Silungkang.

Begitu tersinggungnya kami, buku itu tidak tamat dibaca tetapi diserahkan kepada PKS di Bendungan Hilir, karena waktu itu PKS masih menumpang di kantor Koperasi Kemauan bersama di Bendungan Hilir (Bendhill). Kenapa buku itu diserahkan karena menurut Mr. Muhammad Rasyid kalau isi buku ini tidak sesuai dengan kenyataannya (buku ini jilid pertama) bisa diralat pada jilid kedua nanti.

Akhirnya buku itu dikembalikan kepada kami setelah buku tersebut berubah warna, mungkin waktu itu tidak ada reaksi dari PKS, entahlah !

Waktu kami mendapat musibah, kami mendatangi Buya Duski Samad , untuk minta nasihat, kepada beliau kami curahkan musibah yang kami terima, jawab beliau singkat: tetapi kita harus berfikir, kata beliau : jika sekarang saya mempunyai uang 100 juta rupiah, uang itu akan habis dalam seminggu, kami bertanya : kenapa begitu Buya ? jawab beliau, saya bukan pedagang. Kami renungkan jawaban beliau itu, kemudian kami menjawab sendiri; “Kerjakanlah apa yang ada ilmunya pada kita”, betul kata beliau. Kemudian beliau bertanya murid-murid beliau dulu yang berasal dari Silungkang, a.l., Yakub Sulaiman (Pakiah Akuk) dan Abdullah Usman (Guru Dullah Sw. Jawai) beliau bangga dengan murid-murid beliau itu.

Lelah bersaing menjadikan takut bersaing
Di zaman Gajah Tongga Koto Piliang Dulu, kemungkinan besar orang Silungkang pintar dan cerdas, tetapi sayang kenapa orang Silungkang mendiami lungkang sempit, hampir tidak ada tanah yang subur untuk ditanami padi, tidak seperti belahan kita di Padang Sibusuk dan Allah mentakdirkan kita orang Silungkang menjadi pedagang.

Pedagang itu sarat dengan persaingan, bisa terjadi persaingan itu antara saudara sesuku, sekampung, sepupu, bahkan antara saudara sendiri clan yang paling riskan terjadi antara Pembayan dengan Pembayan yang sama-sama mendiami rumah panjang (rumah adat).

Coba kita pikirkan Silungkang itu seperti kotak korek api dibandingkan Indonesia yang luas ini.

Menurut perkiraan kami sebelum Jepang menjajah Indonesia, 50% perempuan Silungkang yang sudah bersuami dimadu suaminya, mungkin juga lebih.
Kenapa bisa seperti itu ? Mana mungkin perempuan Silungkang bisa menikah dengan orang luar Silungkang, karena adat melarangnya, terpaksa atau tidak perempuan-perempuan Silungkang harus bersedia menjadi isteri kedua atau menikah dengan duda yang jauh lebih tua umurnya.

Madu itu obat, tetapi bagi perempuan yang di’madu’ menyakitkan hati, bersaing memperebutkan kasih sayang sang suami, anak-anak yang . ibunya dimadu, pun merasa dimadu pula dengan ibu-tiri, saudara tirinya. Persaingan itu menimbulkan kecemburuan, kecemasan, dengki, irihati clan was-was, penyakit itu bisa,, berketurunan.

Menurut Prof. Zakiah Deradjat dalam buku “Menghadapi Liku-Liku Hidup”, beliau menulis dari segi kejiwaan, perkembangan dan pertumbuhan anak, anak dalam kandungan telah menerima pengaruh-pengaruh yang berarti baginya. Suasana emosi dan tolak pikir ibu yang sedang mengandung mempunyai kesan tersendiri bagi janin dalam kandungan.

Jadi orang Silungkang mendiami lungkang yang sempit, persaingan hidup yang tidak sehat, sangat mempengaruhi cara berfikirnya. Jadi apa yang dikatakan Bapak Emil Salim di atas, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Silungkang, jika dilihat dari luar semuanya baik. Coba kita perhatikan semenjak dahulu organisasi apapun yang dibentuk, dan bangunan apapun yang didirikan hampir semua meninggalkan kesan-kesan yang kurang baik.

Kemudian apa yang dikatakan Bapak Menteri Abdul Latif di atas, mungkin juga akibat “Lima Penyakit Di atas”. Seterusnya pendapat Sdr. Zuhairi Muhammad (Alm), kita orang Silungkang bukan aktif tetapi reaktif, kemungkinan ini juga diakibatkan oleh orang kita (SLN) tidak bisa bersaing khususnya dengan orang di luar Silungkang, bisanya hanya bersaing dengan orang sekampung sendiri.

Yang menang membusungkan dada dan yang kalah bak perempuan tua memakan sirih, daun sirih habis, tinggal tembakaunya yang masih dikunyah-kunyah.

Orang-orang Silungkang Diabad 21
(Silungkang People Must Be Brave To Up Side Hand Down)

Mengkritisi PKS., maaf … tentu maksudnya ketua PKS, kalau kita perhatikan latar belakang ketua PKS ini, lahir di Silungkang, kecil dibawa merantau oleh orang tuanya ke Medan, SD, SMP dan SMU di Medan, kuliah di Jakarta. Bekerja dan berusaha, bukan dalam lingkungan Silungkang. Bidang usahapun berlainan dengan kebiasaan orang-orang Silungkang, bergaul selama sekolah di Medan dengan komunitas “Batak” tapi tidak kelihatan pengharuh “Batak”-nya, dia supel, demokrat dan moderat. Menurut kami PKS belum pernah mempunyai ketua yang seperti ini.

Banyaknya balon (lebih dari satu) Wako – Wawako, orang belum tentu menilai kita tidak bersatu, bukan Bapak Emil Salim saja yang menilai kita bersatu, banyak yang lain.

Kita bisa belajar dari cara pemerintahan kita di zaman Soeharto, yang memproteksi pengusha-pengusaha nasional, waktu datang krisis karena globalisasi, pengusaha-pengusaha nasional tidak bisa bersaing, oknum pemerintah korup dan pengusaha menyuap, akhirnya semuanya berantakan, jangan hendaknya Silungkang ini seperti Indonesia kita sekarang.

Jangan pula kita hanya terkesan dengan kata-kata keputusasaan Eva Peron dalam sebuah lagu “Don’t Cry For My Argentina”.

Sampai sekarang lagu itu masih dipopulerkan Madonna, kita tak pernah kenal dengan siapa Eva Peron dan Madonna itu ? Coba kita berpedoman kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana nama beliau kita sebut-sebut setidak-tidaknya 29 x sehari dalam shalat 5 waktu dan lagi beliau itu ada tertulis dalam AI-Qur’an. Mengapa beliau sampai menangis waktu akan meninggal dunia dan berkata : ummati, ummati, ummati, begitu perhatian Nabi Muhammad SAW pada umatnya. Putus asa apa hukumnya ? Haram.

Buletin Silungkang jangan hanya terbit untuk kepentingan sesaat tetapi berlanjut untuk kepentingan orang Silungkang yang dirantau dan yang di kampung dengan harga yang bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, semoga …

Sekarang ilmuan Silungkang sudah banyak di Jakarta dan di kota-kota lainnya, bahkan di mancanegara. Dalam berbagai disiplin ilmu, mintalah kepada mereka sumbangan pikiran untuk ditulis dalam buletin Silungkang. Tentu, dengan tulisan dan kata-kata yang menyejukan dan juga artikel-artikel (rubrik) yang dibutuhkan oleh pelajar, mahasiswa Silungkang dan ditulis pula pengalaman-pengalaman orang Silungkang yang bisa menjadi pelajaran bagi pembacanya.

Apalagi ada ruangan agama terutama di bidang zakat, penulisannya itu ‘bak azan bilal’ sahabat Nabi Muhammad, yang suaranya itu menghimbau orang segera sholat.

Bisa jadi buletin Silungkang itu kelak bak harian Republika yang mempunyai dompet dhuafa untuk orang Silungkang yang berkekurangan dan mengajak orang Silungkang untuk berdoa dan menangis serta berbut, beramal untuk kemaslahatan kampung kita, jauh dari berkorban karena ada sesuatu di belakangnya. Amin ya robbal ‘alamin.

Billahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

“Mucho Gracias Amigo – Arigato Gozaimatsu Tomodachi”

Esemmes

Tembusan dikirim kepada Yth.
1. Tabloid KOBA
2. Koordinator LAZ / PKS
3. PT. Estetika (Percetakan)
4. Sdr. Fadil Abidin (Pengajian PKS)

Karena adanya PILKADA Tangerang yang jatuh pada tanggal 26 Oktober 2008, maka dengan ini Halal bi Halal PKS diundur menjadi tanggal 9 November 2008 pada waktu dan tempat yang sama.

Agar maklum adanya

Pada tanggal 7 September 2008, Suku Supanjang telah mengadakan Buka Puasa Bersama. Sebelum itu, diadakan Pengukuhan Penghulu Panukek Suku Supanjang yang dipegang oleh Irland. Foto-foto buka puasa bersama bisa dilihat di sini.

Pada tanggal  14 September 2008, seluruh dunsanak Silungkang yang berada di Jakarta buka puasa bersama. Sebagai penyelenggara adalah PKS (Persatuan Keluarga Silungkang) Jakarta. Foto-foto buka puasa bersama bisa dilihat di sini atau di sini.

Tanggal 21 September 2008, giliran suku-suku dalam lingkup PATAS.

Terima kasih atas konstribusi foto dari Pak Azhari Boerhan dan Ananda Maradona Dias.

peta pulang basamo

Sumber : Zulfikar Chaniago

Sejujurnya Dewan Redaksi dari Koba PKS sangat menyadari konsekwensi dari judul tersebut di atas, dan kami telah siap menerima segala protes yang akan dilayang kepada kami. Disadari atau tidak – bagi yang terbiasa tentu tak ada masalah – namun bagi yang belum terbiasa dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk acara seperti ini, tentu akan membuat jantung berdetak keras, tangan berkeringat dingin dan muuka jadi pucek dadai, kalau mau sedikit kehilangan muka, cara lain yang biasa dipakai adalah manyolang mamak kakampuang dalam andiko (meminjam paman ke kampung), celakanya kalau dalam keandikoan itu, juga tidak ada yang sanggup melaksanakannya maka taposolah (terpaksalah) bamamak kamamak urang (berpaman ke paman) lain. Berabe, kan ..!

Inilah tips dari Redaksi Koba PKS, pelajarilah dan nikmatilah.

KATA PEMBUKA SEBELUM MAKAN.

Datuk kampuang Pihak Laki-laki :
“Bismillahirrohmanrrohim. Assalamu’alaikum Wr. Wb. Partamo-tamo, marilah kita panjekkan puja sarato puji kapado Tuhan seluruh Alam, semoga kebahagiaan dan keselamatan tercurah bagi arwah junjungan kito Nabi Besar Muhammad SAW. Kamudian dari pado itu marilah kito mengucek syukur kapado Allah SWT, nan ateh izin Baliau juo pa tomuan ko dapek dilansuangkan. Mana Baliau nan bagolai ……”.

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Iyo, ambo !”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Agiah mo’o ambo la banyobuik golai, datuak ….”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Sapanjang biaso, tu ma !”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Kami silang nan bapangka karojo nan bapokok, karakok nan banjunjuang mangucapkan tarimo kasi ateh kadatangan datuak …. saroto jo rombongan. Agia mo’o kami jiko manduduakan datuak …. jo rombongan indak pado tompeknyo.

Bak pituah rang tuo kitomah datuak …, batanyo salope orak, mardeso jo powuik konyang. Baapo tuh tantang hidangan nan la talatak dihadapan kito nan basamo, iyo nak mintak disalamekkan. Kok jauah mintak dijangakau, nan dokok mintak dicotok. Sakian somba dari Ambo …”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“La sampai dek datuak …… da!”

Datuak Kampuang Pihak Laki-laki :
“La, babilang sampai nu …!”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Apolah kato nan talimpah kabakeh Ambo, indak kaambo ulang kilin. Indak kaambo tikam jojak. Diulang kilin kok lope, ditikam jojak kok sopuak, diulang kato kok ditimbang. Baapo kok kini, iyolah bak pituah rang kito juo, lomak lawuak dek bakunyah. Lomak kato dilega bunyi. Kami dek lai baduo, batigo disiko, nak ambo ambiak dulu kato baiyo. Mananti datuak …. sakatiko”

Datuk Kampuang PIhak Laki-laki :
“La sapanjang nan biasto tuh, ma …!”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
Baiyo jo rombongan.
“Anu … iko la tibo imbauan dari silang nan bapangka, karojo nan bapokok ma …, tontang hidangan nan la talatak, nak minta disalamek an. Baapo dek kito.

Dijawab oleh salah seorang anggota rombongan :
“Kok iyo la disorahkan, yo batarimo sajo dek kito. Indak ado do’a panulak rasoki, do … !”

Setelah selesai bermufakat, maka ketua rombongan menyambung kembali pembicaraan. “Mano baliau datuak ….. tako ?”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Ambo …”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Talambek talamo ambo mamulangkan kato ka datuak, dek jalanlah banyak nan bakelok, pamatang lah banyak nan baliku. Lah bulek aie dek pambuluah, lah bulek kato dek mupokek. Kalau iyo lah diagiah dek sipangka, sapanjang adek kami tarimo basamo-samo. Mulailah dek sipangka nak kami tutuah dari ujuang.

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Nan kami kondak i bona tu, ma … Dibukak tuduang lai. Bismillahirrohmanirrohim …”

SASUDAH MAKAN.

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Mano baliau nan bagolai datuak …?”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Ambo …”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Baulang-ulang ambo maimbau datuak, ma …!”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Sanpanjang nan biaso tu, mah …”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Olun duduak la maju ma, tuak. Nampak-nampaknyo sabolun golek tibo, bone-bone bak ata, iyolah kabaguliang-guliang toruih juo inyo”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Manitahlah datuak … !”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Tontangan partomuan kito, iyolah malanjuik an etongan induak-induak nan lah disapokek i, nan kini la sampai ka awak. Kabaapo kok dek awak kini …?”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“La sampai dek datuak …”
Apolah kato nan bapulangkan dek datuak …, kapado ambo, iyolah kato nan sabona kato, tapi samantang baitu, Adek limbago barapek, adek pusako duduak basamo – duduak sorang basompik-sompik, duduak basamo balapang – lapang. Kok ambo ambiak kato baiyo, ambo bawo kato mupokek, lai kok didalam adek kami datuak … ?

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Lai dalam adek bona tu datuak …!

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Kok, iyo lai didalam adek … mananti datuak sakatiko”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Biasotu, ma … !”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
Berunding dengan para Tungganai, lalu …
“Mano baliau, datuak … tako ?”

Datuk Kampuangn Pihak Laki-laki :
“iyo, ambo … !”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Adopun makosuk patomuan ko, iyolah : Nak mampatomua rueh jo buku antaro anak kamanakan kami nan banamo … anak dari ….. babako ka ….. nan kapatomuan jo kamanakan datuak ……. nan banamo ………. anak dari ……… babako ka ……..

Gayuang iyo nak minta disambuik, kato iyo nan minta dijawek ma, tuak … !”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Nampaknya lah sajalan, sapangona kito mah. Kami iyo nak mananyoan, datuak iyo nak mangatokan pulo.”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Sabarih lai datuak, tontang nike jo nazar ko. Kok lai disetujui, kami la marancanokan ka manyalanggarokan pada hari …. batompek di ….. Pestanyo hari ……….. tanggal …………. di …………. jam ………

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Mengulang jadual yang dikemukakan pihak wanita. Kok baitu, iyolah nak samo-samo kito pakorongkampuangkan”

MINTA DIBACAKAN DO’A

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Mano baliau nan bagolai datuak …. !”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Ambo … ?”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Tontang karojo awak mampatomuan rueh jo buku diantaro kamanakan awak, olah salamek. Baapo kini lai, handaknyo kaduo kamanakan kito itu sajak kin saakua jo sakato sajo, samo-samo pandai manjago diri, sahinggo salamek sampai ka palaminan. Kamudian daripado itu, iyo nan dibacokan do’a jo Al Fathiha dek datuak …. Sakian sambah dari ambo.”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Apo kato nan talimpa ka bakeh ambo, iyolah tontang karojo awak mampatomuan rueh jo buku diantaro kamanakan awak, kan olah salamek. Kamudian dari pado itu, iyo nak dibacokan do’a jo Al Fathiha, dek datuak …. Kan baitu bona kato datuak …. Ndak ado lai, kok nan kamambacoan do’a, tontu basoraan Ongku Malin kito juo.

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Kok Ongku Malin nan ka mambacoan, iyo datuak …. nan kamampalalukannyo, mah … !”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Iyo, baapo to lai …”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Meminta tolong ka Ongku Malin atau mambaco sendiri”

CONTOH DO’A PENDEK
“Alaa ha-dza niyyatin wa likulli niyyatin sholihah, Al Fathiha :
A’uzubillahiminasy syaitonir rojim.
Bismillahirrohmanirrohim.
Alhamdulillahir Robbil’alamin.
Was shoolatu was salaamu’ala sayyidina Muhammadin wa’ala aalihi ajma’in.

“Ya, Allah ampunilah dosa kami, dosa kedua orang tua kami. Sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka menyayangi dan mengasuh kami dari kecil hingga dewas dan ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang hidup dan yang telah tiada. Wahai Tuhan kami, karunialah kami dengan istri-istri kami dan anak-anak kami yang menyenangkan hati kami dan jadikanlah kami ikutan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Wahai, Tuhan kami berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat dan lindungilah kami dari azab api neraka.”

MINTA IZIN PULANG

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Mano baliau datuak …… tako ?”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
“Ambo …”

Datuk Kampuang Pihak Wanita :
“Tantang karojo kito nan basamo, kok dipandang olah baiak muko, kok didonga olah elok bunyi. Nan diam olah pocah. Kok makosuk olah sampai. Kok makan olah konyang. Kok minum olah taraso sojuak. Kamudian la dimonton i jo do’a sarato Al Fathiha.

Baapo kini dek kami nan sabondong datang sairing samo tibo. Jikok duduak la taraso ponek, jikok togak la taraso poniang. Nan taniek didalam hati, nan tarogak dalam tabuah. Paham babosiak di nan batin, budi manuntuik ka elemu. Jikok duduak nan maurak selo, jikok togak nan maasak langkah. Nak pulang ka tompek masiang-masiang. Sekian ijin jo sombah kabakeh datuak …”

Datuk Kampuang Pihak Laki-laki :
Nan sapanjang kato dari datuak. Nan taserak ka marapek. Nan tatabua ka nan banyak. Nan talimpah ka bakeh ambo. Dek kami lai baduo jo batigo, saukua mako takanak, sasuai mangko manjadi. Nak nyo bulek aie ka pambuluah. Nak nyo bulek kato ka mupokek, ambo bao kato baiyo …. mananti datuak sakatiko (baiyo jo anggota si pangka).

Sumber : Buya Damra Ma’alin

Koba PS Jakarta, II/Des. 01

Sekembalinya dari shalat Tarawih, Pemred Suara Silungkang terlibat percakapan telepon dengan korespondesi/perwakilan Suara Silungkang di Surabaya Hj. Nino Hesni Amsir, nampaknya percakapan ini sangat penting dan hampir terlupakan, yaitu hubungan histories antara Silungkang dengan Padang Sibusuk, duo nagori badunsanak.

“Alangkah eloknya Suara Silungkang juga memuat berita kampung dan rantau dunsanak kito di Padang Sibusuk, di Surabaya ada seorang pengusaha Padang Sibusuk bernama Amrizal Zen, Dt. Rangkayo Mulia, beliau sangat tertarik setelah membaca Tabloid Suara Silungkang edisi Jolong-Jolong, Edisi Kedua dan Edisi Ketiga, beliau juga mengharapkan supaya Suara Silungkang menjadi alat untuk merekat rasa badunsanak Silungkang dan Padang Sibusuk dan juga memuat berita kampung dan rantau dari Padang Sibusuk, untuk itu beliau bersedia menjadi donatur Suara Silungkang”. Demikian Hj. Nino Hesni Amsir yang juga Pengurus PKS Surabaya menyampaikan kepada Pemred Suara Silungkang melalui percakapan telepon tersebut.

Besoknya langsung dimusyawarahkan hasil percakapan tersebut di Redaksi Suara Silungkang, terwujudlah kata sepakat untuk menemui Wali Nagari Padang Sibusuk yang baru saja terpilih dan dilantik ASRIL KARIM Mantari Alam. Wali Nagari beserta jajarannya menyambut baik gagasan ini bahkan Wali Nagari bersedia menunjuk Koresponden/Reporter/Perwakilan di Padang Sibusuk dan akan mengadakan duduk bersama sesudah hari raya Idul Fitri lalu dan akan mengundang Redaksi Suara Silungkang.

Kami dari Redaksi Suara Silungkang juga mengharapkan akan muncul Korespondensi/Reporter/Perwakilan Suara Silungkang dari perantau-perantau Padang Sibusuk dimana saja berada.

Alamat Redaksi :
Lantai Atas, Blok C, Pasar Inpres Silungkang, Kec. Silungkang, Kota Sawahlunto 27431
Telp. 0755 – 91353, Fax. 0755 – 91353
Email : suara_silungkang@yahoo.com

Alhamdulillah Rabbal ‘Alamin. Acara Silaturahmi (halal bi halal) warga Silungkang Jakarta telah berlangsung hari Minggu 11 Nopember 2007 di Gedung PKS (Persatuan Keluarga Silungkang.

Seperti yang sudah-sudah, tetap dibanjiri pengunjung. Tapikali ini terasa lain karena pengunjung berdatangan silih berganti (putus-berulas) sehingga setiap waktu sepanjang hari (antara jam 09.00 – 17.00) baik diluar maupun didalam ruangan selalu penuh oleh anggota masyarakat.

Selain itu acaranya sudah diatur sedemikian rupa oleh Panitia; ada acara anak-anak balita dengan berbagai permainan yang sangat riuh dan ramai, ada lelang kue, ada penampilan band IGMS, dan lain-lain. Keteraturan acara ini adalah berkat kerja keras Panitia yang terdiri dari puluhan generasi muda Silungkang (IGMS), dengan komandannya Joni Ref (ex Ketua IGMS) dan Thomas Alexander (Ketua IGMS).

Selamat dan Salut untuk panitia.

Para pedagangpun merasa puas karena dagangannya laku, dan banyak yang pulang ke rumah tanpa membawa barang sisa.

Terlampir beberapa photo pada waktu acara tersebut.

Sumber : Azhari Boerhan

Dimano Garubang Hilang,
Di Aia Tojun-manojun
Dimano Bujang Hilang,
Di baliak Asok Bukik Takobun.

Ka ili ka mudiak mancari Dompet
Dompet dapek kobek pinggang ilang
Dek talendo daun lado mudo
La ili kamudiak mancari ubek
Ubek dapek Nan Kanduang ilang
Ba tamba sansai badan ambo
Begitulah bunyi bait/syair Marungui
dan Ratok Silungkang Tuo

Seperti kita ketahui, Budaya Rakyat Minangkabau di setiap Nagari mempunyai ciri/kebiasaan dimasing-masing daerah, termasuk juga di Nagari Silungkang, mempunyai budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu, sebahagian masih tetap dipakai sampai sekarang, seperti budaya kesenian Tak Tumbin (Rebana) yang dipakai atau dipertunjukkan pada setiap ada pesta Baroleh Kawin. Tapi ada satu Budaya Silungkang asli yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu yang terlupakan atau mungkin sudah dilupakan oleh masyarakat Silungkang, bahkan generasi muda Silungkang saat ini ada yang tidak tahu sama sekali tentang budaya tersebut, sehingga membuat mereka terheran-heran. Budaya tersebut adalah MARUNGUI, RATOK SILUNGKANG TUO SERTA RATOK INYIAK PORIANG. Budaya ini sangat unik sekali, karena Silungkang adalah satu-satunya yang mempunyai budaya ini di seluruh Minangkabau, sehingga mendatangkan decak kagum bagi masyarakat Minangkabau lainnya bahkan juga Negara Malaysia.

Budaya atau kesenian Marungui ini dimainkan oleh satu orang dengan cara berkelumun kain sarung, juga Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriang dimainkan oleh satu orang dengan diiringi musik Saluang dan Talempong Botuang. Dalam permainan Marungui ini, Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriang, si pemain menceritakan keadaan yang terjadi pada seseorang maupun yang dialami oleh Nagari, seperti seorang yang putus cinta, atau seseorang yang ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya, sehingga akan menimbulkan kesedihan serta keharuan bagi orang yang mendengarnya. Pada saat sekarang ini yang masih menguasai budaya ini, hanya tinggal satu orang lagi di Nagari Silungkang ini, yaitu Bapak UMAR MALIN PARMATO, Kepala Dusun Sawah Darek Desa Silungkang Oso, bahkan sampai saat ini belum ada satupun dari generasi penerus yang mewarisi budaya ini, beliau ingin sekali menurunkan atau mengajarkan budaya ini kepada generasi muda Silungkang, supaya budaya ini tetap lestari serta terpelihara dengan baik, sehingga akan menimbulkan kebanggaan bagi masyarakat Silungkang khususnya dan Sawahlunto pada umumnya, karena budaya ini adalah sebuah aset daerah yang sangat berharga sekali, dan nantinya juga bisa menunjang pariwisata di Kota Sawahlunto, terutama sekali wisatawan akan lebih mengenal lagi Nagari Silungkang, tidak hanya terkenal dengan tenunan songketnya, tapi juga dikenal sebagai Nagari yang mempunyai budaya yang sangat unik sekali.

Sewaktu SS (Suara Silungkang) berkunjung kekediaman Bapak Umar Malin Parmato di Sawah Darek, menanyakan sejak kapan budaya ini ada di Silungkang, beliau menjawab menurut cerita dari orang-orang tua dahulu, budaya ini sudah ada sejak Masyarakat Silungkang masih menganut agama Hindu dan Animisme, atau sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau. Sewaktu ditanyakan siapa yang pertama sekali memperkenalkan budaya ini, beliau tidak tahu persis siapa orang yang pertama yang memperkenalkan budaya ini, yang jelas Bapak Umar MP ini sudah menguasai budaya ini sejak tahun 1942 yang lalu. Juga waktu ditanya, dengan siapa beliau mempelajari budaya ini, Bapak Umar MP mengatakan, dia belajar dari Inyiak SAURA Kampung Talak Buai yang tinggal di Sungai Cocang pada tahun 1940.

Bapak Umar MP juga mengatakan, bahwa pada tanggal 10-18 April tahun 2005 yang lalu, budaya ini pernah ditampilkan pada “Pesta Gendang Nusantara 8” di Banda Raya Melaka Bersejarah, Negeri Sembilan Malaysia sebagai utusan dari Pemerintah Kota Sawahlunto. Kita sebagai warga Silungkang patut bangga sekali karena budaya kita sangat dikenal di negeri orang, tapi sungguh sangat ironis sekali, kenapa tidak ada dari warga Silungkang yang ingin melestarikan serta menghidupkan kembali budaya ini, sehingga nantinya akan bisa menjadi salah satu kunjungan wisatawan ke Silungkang, kalau dapat budaya ini bisa dijadikan salah satu agenda bagi kita masyarakat Silungkang untuk mengelolanya secara profesional.

Diharapkan kepada PKS Jakarta, ke depan untuk bisa memperkenalkan secara rutin budaya ini ditingkat Nasional, mungkin bisa dimulai pada acara Halal bi Halal warga Silungkang Jakarta sehabis lebaran nanti, sehingga nantinya budaya ini akan tetap lestari dan tidak akan hilang ditelan waktu. Kedepan marilah sama-sama kita jaga aset budaya kita ini yang sangat berharga seklai, sehingga budaya ini tidak akan diambil oleh daerah lain.

Oleh Rizal F. Daniel

Tabloid Suara Silungkang – Edisi Ketiga September 2007

Orang Malowe adalah sepesukuan : Payabadar. Malowe terdiri dari 2 (dua) keandikoan : Malowe Hilir dan Malowe Mudiek (Mudik). Hingga kini perkawinan tidak terjadi antara Malowe Hilir dengan Malowe Mudiek. Meskipun menurut keputusan Kerapatan Adat di Silungkang tahun 30-an telah dibuka kemungkinan untuk perkawinan antar Keandikoan. Tujuan dari dibukanya perkawinan yang demikian agar orang awak jangan sampai berumah tangga dengan orang lain.

Dulunya jangankan antara Keandikoan, antar Suku saja pernah tidak diperbolehkan, yang boleh hanya antara 3 Niniek (Dalimo, Supanjang dan Payabadar) dengan 10 Niniek (Patopang dan Melayu).

Dibanding dengan Keandikoan-keandikoan yang lain maka Keandikoan Malowe Hilir dan Malowe Mudiek yang hingga kini tidak menggunakan kesempatan yang telah dibuka itu. Keandikoan yang lain dalam sepesukuan telah membukanya.

Kenyataan itu menunjukkan betapa kuatnya rasa kekerabatan antara Malowe Hilir dengan Malowe Mudiek. Dasar materiil dari kuatnya rasa kekerabatan itu mungkin karena proses sejarah. Dulunya orang Malowe bertempat tinggal di satu tempat yang kini dikenal dengan Malowe Mudiek. Dari tempat itulah bertebaran ada yang ke hilir dan kelain tempat. Dari situlah lahirnya Malowe Hilir dan Malowe Mudiek.

Di kalangan Niniek-Mamak Malowe hingga kini tak terpikirkan untuk membuka kemungkinan terjadinya perkawinan antara Malowe Hilir dan Malowe Mudiek. Kekerabatan ini makin diperkuat dengan di Silungkang berdiri Malowe Sakato, sedang di Jakarta berdiri Malowe Sepakat.

Beberapa masalah jang bersangkoet dengan masjarakat negeri kita Siloengkang jang sangat benar besar gelombangnja sekarang dalam dada rata-ratanja anak negeri Siloengkang jang tinggal di kampoeng, lebih-lebih jang tinggal di rantau.

Masalah itoe menoeroet garis besarnja, adalah :
1. Jang bersangkoet dengan masalah air boeat mandi. Oleh karena kekoerangan tempat mandi, maka ntjata-ntjata tersinggoeng kesoetjian dan kesopanan negeri kita Siloengkang :

  1. Lihatlah tapian mandi indoek-indoek kita di batang air, dengan terang kelihatan oleh orang banjak waktoe mandi dan boeang air.
  2. Dengan mandi di batang air, maka gampang sadja penjakit menoelar menghinggapi badan kita, lebih-lebih badan anak-anak. Dan penjakit t.b.c serta decentry gampang benar berdjangkitnja.
  3. Dan karena kekoerangan air, maka apabila ada kecelakaan roemah jang terbakar, amat soesah sekali oentoek memberi pertolongan ditempat jang soelit-soelit.

2. Jang bersangkoet dengan masalah kesoetjian nama negeri Siloengkang. Oleh karena kelalaian kita anak negeri Siloengkang, maka dengan leloeasa sadja soerat-soerat kabar menjiarkan kabar jang boekan-boekan oentoek memboesoekkan nama negeri kita.

3. Jang bersangkoet dengan pendidikan anak-anak. Oleh karena kita anak negeri Siloengkang selama ini tidak mengatjoehkan tentang pendidikan anak-anak kita, maka sekarang terasalah bagi kita bersama betapa roeginja bagi kita anak negeri Siloengkang. Betapa lagi sekarang orang dirantau sangat bersoebhat dengan keadaan sekolah agama jang ada di Siloengkang sekarang, tentang boeah pendidikannja. Dan dimanakah tersimpangnja sikroep itoe, entah digoeroe-goeroe entah pada anak negeri Siloengkang sendiri.

4. Soal jang bersangkoet dengan kain tenoenan Siloengkang.

  1. Sebahagian besar penghidoepan indoek-indoek kita di Siloengkang tergantoeng dengan kain tenoenan Siloengkang. Djika kain tenoenan Siloengkang koerang lakoe, tentoelah hal-hal jang tidak baik, moengkin akan terdjadi di dalam negeri kita.
  2. Oleh karena banjak anak negeri Siloengkang jang dalam soesah hidoepnja di rantau, karena itoe oeang Belandja boeat indoek-indoek, koerang poela datangnja. Dan djika koerang poela lakoenja kain tenoenan Siloengkang, tentoe bahaja akan lebih besar mengantjam negeri Siloengkang.
  3. Oleh karena K.O.T.S. tidak diberi bantoean oleh anak negeri Siloengkang, sedangkan bantoean dar oeang Leenfonds soedah dikembalikan, maka akan perdjalanan K.O.T.S. jang soedah ditangah djalan sekarang, akan dihidoepkan teroes, amatlah soesahnja, dan kalaoe dimatikan sadja amat sajang kita.

5. Soal jang bersangkoet dengan perantaun anak negeri Siloengkang.

  1. Oleh karena kebanjakan anak negeri Siloengkang jang berjalan ke rantau, djarang sekali jang berdjalan dengan membawa pokok, maka tak heran lagi kita, tentoe hidoepnja berkoetjar-katjir, betapa lagi jang djadi personel toko oerang awak djoega, djarang sekali jang berketjotjokan. Personel tadi tentoe terpaksa bertjerai kembali. Gadjinja terpaksa ditjari orang negeri lain, dan dengan ini penganggoeran anak negeri Siloengkang bertambah banjak, sedangkan pengharapan dari kampoeng dari iboe bapaknja dan anak istrinja, merekalah jang diharapkan akan mengirimkan oeang Belandja tiap boelan. Djangankan oeang jang akan dikirimkannja, malahan kabar kesoesahan hidoepnja di rantau jang hanja 100 dapat dikirimkannja ke kampoeng.
  2. Di beberapa tempat ada jang banjak sekali anak orang awak jang menganggoer, padahal dibeberapa tempat masih banjak lapangan oentoek mentjari penghidoepan. Dan karena tak ada persatoean kita, maka banjaklah lapangan rantau oerang awak jang telah direboet orang lain.

—oOo—

 

LAMANJA CONFERENTIE

Conferentie diadakan seboelan lepas poeasa jaitoe dari 15 sampai 22 Desember 1939.

HARI PERTAMA, Senin 15 – 12 – ’39

Receptie
Bertempat dalam Loods kajoe
el 3.30 sore

Tentoonstelling diboeka dari poekoel 10 pagi sampai djam 12
Boeat laki-laki

Agenda :

  1. Lagoe Conferentie dari anak-anak
  2. Pembitjaraan dari voorzitter C.v.O
  3. Pidato dari secretaris C.v.O
  4. Soembangan pembitjaraan dari hadirin
  5. Djawaban dari C.v.O

MALAMNJA
Besloten vergadering oetoesan
Bertempat di Taman Pembatjaan
moelai poekoel 8 malam

Agenda :

  1. Menerima pendapatan-pendapatan dari oetoesan tentang Conferentie.
  2. Memperbintjangkan soal Waterleiding.

HARI KEDUA, Selasa, 19-12-’39

Besloten vergadering dari orang jang diundang special
Bertempat di roemah sekolah agama moelai poekoel 8 pagi

Tentoonstelling diboeka moelai poekoel 9 pagi sampai jam 12

Agenda :

  1. Pengoemoeman dari Secretaris C.v.O
  2. Menerima pemandangan-pemandangan
  3. Memperbintjangkan soal memperloeas toean Textiel lakoenja tenoenan Siloengkang

MALAMNJA
Besloten vergadering oetoesan
Bertempat di Taman Pembatjaan
moelai poekoel 8 malam

Agenda :

  1. Memperloeas rantau anak Siloengkang
  2. Menjaga kesoetjian nama negeri Siloengkang

HARI KETIGA
Rebo 13-12-’39

Openbare vergadering
Bertempat dalam Loods Kajoe
moelai poekoel 8 pagi

Agenda :

  1. Lagoe Conferentie anak-anak
  2. Pidato dari Comite van Ontvangst
  3. Memperbaiki sangka antara orang di rantau
  4. Pidato dari oetoesan dari rantau
  5. Pidato toean Textiel

Tentoonstelling diboeka dari poekoel 12 siang sampai poekoel 2 sore.

Pemeriksaan anak-anak dari oemoer 1 sampai 6 boelan oleh 2 dokter serta dapat hadiah mana jang bagoes didikannja

Di Fort de kock dalam tahoen 1906, sesoedah itoe di Djawa djuga pasar tahoenan di Brussel dalam tahoen 1910 dikoenjdoengi oleh kaoem iboe Siloengkang jang banjak kemaoean itoe, gambar mana dari mereka ada tergantoeng di bangsal ini, adalah menolong besar atas perniagaan dari tenoenan Siloengkang ini.

Lakoenja tenoenan itoe mendjadi besar, jang mendjadikan perkakas tenoenan jang moelanja sangat sederhana. Ta’ sanggup lagi mengisi permintaan orang jang mana orang moelailah membeli perkakas jang lebih bagoes, ditolong dengan wang getah. Selandjoetnja benang-benang sendiri makin lama makin banjak ditoekar dengan benang-benang dari negeri-negeri loearan, poen begitoe dari hal mentjeloep.

Lebih-lebih diwaktoe getah masih mahal kira-kira dari tahoen 1926 sampai 1929, lakoenja tenoenan Siloengkang ta’ terkira-kira banjaknja, seperti ke Koentan dan Djambi, djoega kelain-lain tempat, waktoe mana boleh dibilang waktoe mas bagi negeri Siloengkang, dan jang dikenang-kenang oleh anak negeri dengan sedih itoe.

Diwaktoe itoe perlawan dengan barang-barang Japan moelai poelalah perdjuangan mana masih teroes ada.

Selandjoetnja djoega moelai naiknja peroesahaan saroeng Djawa dan perlawanan tenoenan negeri-negeri Minangkabau jang lain-lain, beserta bikin koerang madjoenja pertenoenan Siloengkang dalam beberapa tahoen, jang berkesoedahan Siloengkang hanja tinggal memakai nama sadja lagi.

Perlawanan ini dilawan teroes, soenggoehpoen sebeatas oleh pertenoenan Siloengkang dengan mengeloearkan barang-barang jang kwaliteitnja lebih rendah, jang mendjadikan perniagaan tenoenan Siloengkang bertambah ketjil.

Kedjadian jang sekarang itoe memaksa pendoedoek Siloengkang memboeat barang jang soekar-soekar didapati, jang tidak dikeloerkan oleh fabriek-fabriek djoega tanoenan tangan jang mahal-mahal.

Karena tenoenan Siloengkang sekarang telah mendjadi barang lux dan tidak djadi barang pakaian lagi, Siloengkang memang dalam kemadjuan tiap-tiap economic, tetapi kalah dalam tiap-tiap ketoeroenan harga. Dari sebab itoe perniagaan tenoenan Siloengkang sedjak tahoen 1929 sangat koerangnja, dan berada sekarang ditempat jang rendah. Hanja dengan pertoekaran perkakas berdikit-dikit, dengan jang baroe-baroe, djoega dengan bekerdja bersama dari segala pihak jang bersangkoetan dengan peroesahaan ini, akan memberi Siloengkang kesempatan oentoek merampas kedoedoekannja dahoeloe itoe.

Inilah sebabnja, padoeka Njonja Besar, maka pendoedoek Siloengkang dengan penghoeloe-penghoeloe serta kantor jang didirikan oleh beberapa handelaar-handelaar jang berkemaoean menjamboet kedatangan padoeka Njonja Besar seperti tanda, dimana pengharapan mereka terletak.

Moga-moga kedatangan padoeka Njonja Besar itoe beserta menoloh perhatian besar berbalik lagi ke Siloengkang moelai lagi mengeloearkan tenaganja, agar perhatian padoeka Njonja Besar itoe tetap hendaknja.

Sumber : Bulletin Silungkang, Edisi 001/SM/JUNI/1998

conferentie-silungkang-1939-1 conferentie-silungkang-1939-2

Keterangan Gambar : 

Conferentie Pertemoean Anak Siloengkang I, Tahoen 1939 di Los Kayu Silungkang.

Koleksi : Bp. Alwis Munaf (Dalimo Jao), Jl. H. Soleh II / 6 Jakarta.
Disampaikan oleh: Bp. Azhari Boerhan, via email.

Perantau Silungkang di Batavia, tahun 1935 berfoto di halaman rumah seorang warga Silungkang di Jl. Kramat.

Sumber : Bpk. A. Murad Rivai (Dalimo), Silungkang.
Koleksi : Bpk. Alwis Munaf (Dalimo Jao) Jl. H. Soleh II / 6, Jakarta
Disampaikan oleh: Bp. Azhari Boerhan

cikalbakalPKS

PENGHORMATAN

Diatas nama Konferensi ke – I daripada negeri Siloengkang, e. Dt. Kajo telah meminta kepada saja soepaja saja menjalankan pendapatan saja sedikit tentang maksoed jang itoe.

Tentoe sadja kegirangan hatilah jang akan saja njatakan mendengar maksoed jang baik itoe. Orang Siloengkang akan berkonferensi, memperkatakan nasib negerinja, boeroek baik jang akan ditempoeh di zaman jang akan datang, baik jang doedoek di kampoeng, atau jang tinggal dirantau. Satoe hal jang kelak akan diikoeti poela oleh pendoedoek negeri lain.

Sebenarnya soedah sedjak tahoen 1931 saja kenal kegiatan orang Siloengkang, orang jang ternjata mempoenyai semangat dagang dalam pipa darahnja. Saja datang pada tahoen terseboet ke Mangkasar, disana saja bertemoe toko besar orang Siloengkang. Saja pergi ke Soerabaja, bertemoe toko besar Siloengkang, saja datang ke Betawi, orang Siloengkang djoega perintis djalan.

Bala bentjana jang menimpa negerinja lantaran perboetan orang-orang jang telah salah memilih djalan, jaitoe kaoem kominis, tidak mematikan segenap dagang orang Siloengkang, tetapi menghidoepkan.

Banjak kenalan saja orang Siloengkang, dan boekan sadja kenalan tetapi sahabat mereka poen terhadap saja djoedjoer poela, memandang sahabat poela, baik di Betawi, atau Soerabaja, apalagi di Medan, tempat tinggal saja jang sekarang.

Maka sebagai penghormatan, saja oetjapkan kepada Toehan moga-moga konferensi pertama ini beroleh djaja (success), mendjadi tingkatan oentoek konferensi (conferentie) jang kedoe, ketiga dan seteroesnja, bagi kemoeslihatan tanah tempat darah tertoempah. Sebab bagi jang tinggal di kampoeng, oesaha jang berdaganglah jang diharapnja, dan bagi jang berdagang : “Setinggi-tinggi melamboeng, akan kembali ke tanah djoega”.

Apalagi bagi kita anak Minangkabau, hati kita telah terikat kepada kampoeng dan halaman, tepian tempat mandi, roemah nan gedang, lomboeng berpereng, sawah berdjendjang, bandar boetan, poesaka nenek mojang kita …. adanja.

Selamat konferensi !

Medan, awal December 1939

H. ABDOELMALIK K.A. (HAMKA)

Sumber : Edisi Perdana, Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

Malewa Pangulu Pucuak Nan Balimo, semula dikategorikan sebagai sesuatu yang “tak mungkin”, mengingat kompleknya permasalahan yang akan dihadapi panitia dan saratnya acara yang harus dibuat – ini sebuah perhelatan akbar – kolosal – serta sempitnya waktu yang tersedia dalam rentang Agustus sampai dengan Desember 2002.Semua itu seolah mustahil !

Didasari hal ini maka kami yang bergulat dalam kancah kobamangobaan, hanya menempatkan berita besar sebagai KOBA DAGHI KAMPUANG dalam kolom yang cukup sederhana “Kobakobaan”.

Namun setelah tokoh sentralnya – Dua Husin Bersaudara, Irwan dan Sukri yang semula hanya ingin malewakan pangulu pucuak Suku Malayu memPKSkan wacana ini setelah mendapat restu dari pemuka adat di kampung halaman sebagai oleh-oleh setelah melaksanakan hajat besar “Pulbas Bakor Sawahlunto 2002”, menjadikannya sebagai acara Malewakan Pangulu Pucuak nan Balimo.

Setelah rapat pleno PKS (Persatuan Keluarga Silungkang) Jakarta yang mengeluarkan fatwa “mendukung” dan menyatakan acara ini sebagai OLEK SILUNGKANG, yang berarti semua masyarakat Silungkang akan terlibat dalam perhelatan besar ini, kelima suku yang ada di Silungkang akan bahu membahu – tupangmanupang – tumpahruah menyingsingkan lengan baju guna menyukseskan acara ini, kami sadari kami keliru.

Untuk semua itu berita Malewa Pangulu nan Balimo ini akan selalu kami tempat pada posisi yang sangat terhormat “Kobautamo”

Tak bisa dibayangkan sukacitanya warga menyambut acara ini dan tumpah ruahnya penduduk Silungkang yang akan berbaur dengan para mudikers serta hiruk pikuknya Nagari Silungkang saat acara tersebut dilangsungkan yang menurut rencana akan berlangsung pada tanggal 14 dan 15 Desember 2002.

Berdo’alah pada Sang Pencipta semoga kami mampu, mengingat dalam rubrik ini tentu kami harus mangobaan perkembangan persiapan yang dilakukan panitia mungkin semacam progress repot, sampai pada pelaksanaan.

KESERIUSAN

Sebuah bukti keseriusan panitia pelaksana malewakan pangulu pucuak nan balimo adalah dengan diserahkannya kepanitian kepada PKS Jakarta yang sebelumnya hanya terdiri dari para petinggi suku Malayu.

Pada awalnya memang hanya suku Malayu yang akan malewakan pangulunya, namun setelah didapat kata mufakat bahwa acara tersebut akan ditingkatkan menjadi acara malewa pangulu pucuak nan balimo yang berarti melibatkan seluruh suku yang ada.

Tegasnya acara ini menjadi olek nagori – bukan hanya suku Malayu maka kepanitianpun diserahkan kepada PKS Jakarta.

Kenyataan tokoh sentral dalam kepanitian malewa pangulu pucuak suku Malayu (panitia lama – Irwan Husin) tersebut terpilih kembali secara aklamasi sebagai tokoh sentral dalam kepanitian malewa pangulu pucuak nan balimo dengan jabatan Koordinator Seluruh Acara adalah sesuatu yang wajar mengingat kesiapan yang telah dimilikinya.

“Setidaknya, tokoh ini telah lancar melafazkan petatah-petitih, walau harus dengan terpaksa mengganti kata biduak menjadi sampan,” ujar seorang peserta disela obrolan santai sejenak setelah rapat berakhir.

“Sakali mandayuang sampan duo tigo pulang talampaui – seharusnya adalah sakali mandayuang biduak duo tigo pulau talampaui, namun hal ini bukanlah sebuah kesalahan yang fatal sebam sampan adalah biduak dan biduak adalah sampan.

Babenso saketeknyo, Tuak !

Untuk sekedar perbendaharaan kata : Malewa berarti batogak – mengangkat dan mengambil sumpah pangulu pucuak sebaai pimpinan tertinggi dalam strata suku yang akan menjadi tokoh panutan dan contoh serta suri tauladan bagi kemenakan dan persukuannya serta menjadi public Figure dan utusan bagi persukuannya.

Kembali pada seputar kepanitian Malewa Pangulu Pucuak nan Balimo.

Keberhasilan yang diharapkan tentu mustahil dicapai apabila hanya dilimpahkan kepundak tokoh ini tapa ada uluran tangan dan bantuan moril serta materil dari para codiak pandai nan copek kaki ringan tangan.

Untuk itu dalam rapat andhiko tersebut telah dicapai kata mufakat bahwa pada tiap-tiap suku harus membentuk kepanitian sendiri dalam kesukuannya, untuk itu dari kedelapan belas andhiko yang bernaung dalam kelima suku yang ada telah mengirimkan daftar nama kelima suku yang ada telah mengirimkan daftar nama warganya yang akan menjabat dalam kepanitian Malewa Pangulu Pucuak nan Balimo 2002.

 

Tercatat delapan belas orang tungganai telah menyatakan kesediaannya untuk mewakili kedelapan belas andhiko kampuang, diantaranya : H. Hussein Yunus, Akman Burhan, H. Jamaran Turut, H. Syafrie Rauf, BBA, H. Rijal Jalil dan lain-lain.

 

Dalam kepanitian ini, Koordinator Acara lebih berkonsentrasi untuk melaksanakan pekerjaan yang berorientasi keluar, seperti : KAN, PEMDA, LKAAM dan lain-lain

 

MAMBANGKIK BATANG TARONDAM

 

Sudah sedemikian parahkah kondisi Silungkang sehingga generasi sekarang harus memikul beban untuk mambangkik batang tarondam ?

 

Atau sudah seberapa dalam keterpurukan nama Silungkang dalam kancah percaturan adat alam Minangkabau ?

 

Tidak !

 

Silungkang tidak tertinggal apalagi tenggelam. Sekali tidak ! Silungkang tetap eksis dalam percaturan regional atau nasional.

 

Hanya saja, Silungkang sedikit ketinggalan untuk mengekpresikan diri dan menempatkan diri pada bidang kepemerintahan.

 

Kenyataannya, memang belum ada warga Silungkang yang berkesempatan menjadi amtenaar dengan menduduki jabatan sebagai Camat, Bupati, Gubernur dan seterusnya.

 

Inilah kenyataannya !

 

Namun, hal ini tentu tidak bisa dijadikan indikator atau barometer mutlak untuk mengukur ketertinggalan Silungkang.

 

Karena disisi lain, ternyata sudah ada beberapa orang warga Silungkang yang menduduki jabatan terhormat (bila jabatan dalam keperintahan dianggap begitu), namun biasanya, bila ada warga Silungkang yang berkesempatan menduduki posisi penting jarang sekali yang mau menonjolkan diri.

 

Dalam hal dunia bisnis ?

 

Tentu adalah suatu hal yang wajar apabila ada yang jatuh dan yang bangun karena memang begitulah irama kehidupan pedagang.

 

Dalam Lembaga KAN, apakah Silungkang dan Padang Sibusuak yang pernah berjaya dengan sebutan Gajah Tongga Koto Piliang sudah diperhitungkan lagi ?

 

Tidak juga, buktinya Rajo Pagaruyuang (dalam hal ini simbolik) nan duduak samo rondah togak samo tinggi jo Silungkang (duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan Silungkang) berpesan “Apabila Silungkang nan bagola harimau campo koto piliang ingin malewa pangulu, persiapkanlah dengan matang karena itu bisa jadi barometer”.

 

Artinya, Silungkang masih diperhitungkan dan Silungkang punya banyak kaum codiak pandai, alim ulama dan pengusaha serta kaum intelektual.

 

Lantas apa gunanya kita Malewakan Pangulu Pucuak nan Balimo ?

 

Malewa Pangulu dengan tuntutan kemajuan Silungkang memang tak terkait erat, tapi tak berarti tidak berkaitan.

 

Sejak Silungkang dipaksa ikut Kotamadya Sawahlunto pada tahun delapan puluhan, Silungkang yang bersahaja seolah kehilangan jati diri.

 

Silungkang harus melaksanakan sistim pemerintahan desa di bawah kepemimpinan seorang Kepala Desa – sebuah sebutan yang sangat tidak akrab ditelingo (telinga) warga Silungkang yang sudah terlanjur akrab dengan sistim pemerintahan nagari bersama Pak Woli-nya (Wali-nya).

 

Kerapatan Adat Nagori – KAN – sebuah lembaga atau limbago – wadah yang dibentuk guna mengkoordinir (menggantikan ?) peran para kepala suku, pangulu pucuak yang dalam sistim pemerintahan nagari sangat dominan berperan secara aktif dan sebagai filter atau penyaring sebelum sebuah persoalan sampai ke tingkat pengadilan dan perangkat hukum negara lainnya.

 

Dalam sistem pemerintahan nagari, setiap persoalan yang timbul dalam suatu kampung akan diselesaikan dalam kampuang itu sendiri dengan segenap perangkat kampuang yang ada.

 

Bila hal tersebut tak bisa diselesaikan dalam kampuang tersebut, barulah bisa naik ketingkat Suku dan apabila masih tak juga mampu diselesaikan maka baru bisa naik ke tingkat nagari dan begitu seterusnya sampai ke tingkat tertinggi.

 

Tidak seperti yang berlaku sekarang di Silungkang dengan sistim pemerintahan desanya – hampir semua urusan diselesaikan di kantor polisi atau pengadilan – sehingga fungsi niniak mamak, codiak pandai dan alim ulama semakin kabur dan pada akhirnya sirna dengan sendirinya – musnah.

 

Tentu, kita tak ingin hal tersebut berlaku di tanah leluhur kita tercinta ini.

 

Lantas, apa saja yang dikerjakan lembaga Kerapatan Adat Nagari ?

 

Banyak ! Kami dapat memastikan, lembaga KAN telah berbuat banyak untuk Silungkang dan warganya.

 

Hanya saja, entah kenapa lembaga yang tumbuh dari bawah ini selalu saja mendapat cibiran dan perlakuan sinis dari warga masyarakat.

 

Banyak warga yang enggan memanfaatkan lembaga ini bahkan keberadaannya sering dianggap bak angin lalu saja.

 

Mana mungkin, saya bisa menjalankan roda KAN ini seorang diri” kata Ketuanya dalam suatu kesempatan berbincang santai.

 

Banyak warga masyarakat dan pengurus yang ada di dalam KAN bila diundang rapat tidak mau hadir, jadi …. yah saya terpaksa kerja sendiri sebatas kemampuan yang ada.”

 

Jangan sekali-kali mencap saya sebagai ketua yang tidak kooperatif apalagi mau menjadi single fighter – otoriter – karena saya telah mencoba bekerja sebaik mungkin sesuai ketentuan yang ada dan selalu menghimbau agar setiap warga untuk memanfaatkan keberadaan lembaga KAN dan meminta seluruh pengurus KAN untuk aktif bersama-sama” tambahkan lagi dengan serius.

 

Jadi, KAN itu … berhasil atau gagal ?

 

Penilaian setiap orang tentu berbeda, apalagi KAN ini adalah lembaga pelayanan masyarakat, tentu sangat kompleks permasalahan yang dihadapinya.

 

Apapun penilaian Anda – apapun hasil yang telah dicapai – KAN adalah sebuah lembaga yang telah berbuat banyak untuk kita – untuk negeri kita tercinta – untuk kerapatan adat nagari.

 

“Malewakan pangulu pucuak ini adalah sebuah upaya guna menghidupkan kembali sesuatu yang sudah tak pernah kita nikmati lagi” kata ketua koordinator seluruh acara – Irwan Husein.

 

Mudah-mudahan dengan cara Malewa Pangulu Pucuak nan Balimo, yang Insya Allah akan dilaksanakan 11 dan 12 Desember 2002, kita dapat mengoptimalkan kembali fungsi niniak mamak jo codiak pandai saroto alim ulamo nan redup selama era berselang.

 

Sekarang era reformasi, Bung !

 

Ayo, kita reformasi nagori kita demi kemaslahatan anak cucu.

 

Langkah pertama, reform diri kita sebelum memulai sebuah rencana besar – mengembalikan Silungkang menjadi nagari sebagai nagari pertama dalam sebuah kota madya yang kembali kepemerintahan nagari.

 

Jadilah pionir !

 

Buktikan bahwa Kenagarian Silungkang yang pernah hilang dan meliputi wilayah Silungkang Oso, Duo, Tigo dan Muarokalaban bukanlah sebuah nagari pecundang walau sedikit terlambat bila dibanding saudara kembar kita Padang Sibusuak atau Taratak Bancah yang dulu sempat bernaung dibawah panji kenagarian Silungkang.

 

Late is better than nothing, toh ….

 

Pasan Mandeh,

Tanyai diri Anda – apa yang bisa Anda perbuat untuk Silungkang, bukan apa yang bisa Silungkang perbuat untuk Anda. (plagiat dari ucapan mendiang John F.Kennedy).

 

SUSUNAN PANITIA PENYELENGGARA MALEWA PANGULU NAN BALIMO

SILUNGKANG 11 – 12 DESEMBER 2002

 

PANITIA PENGARAH

KOORDINATOR ACARA, Drs. IRWAN HUSEIN.

KOORDINATOR SEMINAR ADAT, Ir. IRLAND Y. M, MM.

KOORDINATOR PUBAS, Drs. JHONY REFF ALBERT

 

PENANGGUNG JAWAB : PKS JAKARTA (Persatuan Keluarga Silungkang)

 

DEWAN PAKAR : ABDULLAH USMAN, HASAN RAID, PROF. DR. AMRI MARZALI, KOL. (PURN) H.M. ARIEF, Drs. DASLI NOERDIN, Msc, PROF. DR. AZHAR KASIM

 

KETUA PELAKSANA : H. FAUZI HASAN, BA

WAKIL KETUA : H. RIJAL JALIL, SE

SEKRETARIS : Drs. AL FEBRI

 

BIDANG NASKAH PIDATO ADAT

KOORDINATOR : Ir. H. HUSSEIN YUNUS

ANGGOTA : AKMAN BURHAN, H. MUNIR TAHER, H. MUSTAFA KAMAL, H. NAWIR SAID

 

BIDANG PENDANAAN

KETUA : H. DJAMARAN TURUT

WAKIL KETUA : H. HEFRIZAL HASMIR

 

BIDANG HUBUNGAN MASYARAKAT

KETUA : BUYA DAMRA MA’ALIM

WAKIL KETUA : H. DASTONI

 

BIDANG DOKUMENTASI

H. ARSAL CHAIPADMOOL, YAHDI JAMHUR

 

BIDANG ACARA

PROTOKOL : Drs. SABIRIN SARIN

ANGGOTA :

KOORDINATOR MAAGHAK PANGULU : H. MARWIN UMAR

KOORDINATOR MEDAN NAN BAPANEH : YOES CHAIDIR

KOORDINATOR MEDAN NAN BALINDUANG : H. HELMY YAN JALIL

 

 

Catatan :
Pelaksanaan Malewa Pangulu Pucuak Nan Balimo dinyatakan dengan sukses dan meriah.

 

Sumber : bulletin dwi bulanan Silungkang, edisi 7, 1 Oktober 2002 tahun ke 2, anniversary edition

 

Dalam Edisi Juli – Agustus 2002 telah dibahas pula tentang acara ini. Berikut isinya :

Malewa berasal dari bahasa Silungkang asli atau setidak-tidaknya adalah bahasa yang sudah umum dipakai di Ranah Minang, alam Minangkabau yang penuh pesona.

 

Malewa mungkin bisa berarti mengangkat, memaklumatkan, mengabarkan, memproklamirkan, memasyarakatkan, merilis, me-launching dan atau apa saja yang senada dengan itu (mohon ma’af kalau salah).

 

Pangulu bukanlah penghulu seperti yang lazim kita pahami sehari-hari. Kalau Penghulu yang lazim kita ketahui adalah petugas dari Kantor Urusan Agama yang bertugas menikahkan pasangan calon suami istri sehingga menjadi pasangan suami istri yang syah menurut hukum adat dan agama.

 

Pangulu adalah Ketua Adat dalam satu Suku atau kaum, mungkin juga bisa atau layak disebut Kepala Suku, seperti Pangulu Pucuak Suku Dalimo, Pangulu Pucuak Suku Patopang, Pangulu Pucuak Suku Malayu, Pangulu Pucuak Suku Payaboda dan Pangulu Pucuak Suku Supanjang dan lainnya.

 

Pangulu atau di bagian lain Minangkabau yang super demokrasi ini biasa disebut dengan “Datuak” adalah pimpinan strata tertinggi dalam kepemimpinan Adat Alam Minangkabau.

 

Untuk itulah, para Pangulu atau Datuak dipilih melalui seleksi yang amat ketat atau dengan kata lain tak sembarang orang bisa menjadi Pangulu atau Datuak ini.

 

Gelar dan atau jabatan yang pangku oleh para Pangulu atau Datuak ini biasa diberikan kepada seorang lelaki dalam sebuah suku yang telah dikenai dan telah teruji dedikasi, ilmu pengetahuan, kepiawaian dan tentu pengetahuan.

 

Oleh karena itulah tak sembarang orang bisa memakai gelar-gelar tersebut, kalaupun dalam suatu kurun waktu gelar tersebut “harus” berpindah kepada yang tidak memiliki garis keturunan langsung, itu biasanya hanya untuk kurun waktu yang sementara saja karena gelar tersebut pada waktunya harus dikembalikan ke keturunan langsung si empunya.

 

Kalau saja Malewa dapat kita artikan mengangkat dan memproklamirkan, maka arti Malewa Pangulu adalah mengangkat dan memproklamirkan Kepala Suku.

 

Jelas ini bukan sebuah pekerjaan yang ringan. Perhelatannya tentu juga bukan sebuah helat atau hajat yang kecil, Iko Baolek Godang !

 

Tak terbayangkan, di Silungkang, yang konon menurut sejarah belum pernah ada acara Malewa Pangulu sejak setengah abad berselang, yang artinya generasi Silungkang yang berusia 60 tahun pada tahun 2002 ini mungkin belum pernah mengalami peristiwa akbar seperti ini kalaupun pernah berkesempatan melihat tentu belum dapat menarik arti dan peristiwa tersebut – kesibukan yang akan dialami panitia penyelenggara yang mau tidak mau harus bekerja kerja mulai dari tahap penyeleksi Bakal Calon Penghulu sampai pada penentuan “Calon Jadi” sesuai tahapan-tahapan dan kaidah-kaidah yang berlaku sampai pada mempersiapkan sebuah penghelatan besar yang akan melibatkan kelima suku yang di Silungkang.

 

Bisa jadi solusinya yang diambil adalah melibatkan semua unsur yang tersedia di Silungkang dan mengambil lokasi di Cintomoni – stadion utama Silungkang semata wayang – yang posisinya memang terletak di tengah-tengah Kenagarian Silungkang karena populasi warga Silungkang tersebar mulai dan Silungkang Oso yang berbatas dengan Kabupaten Solok, Silungkang Duo, Silungkang Tigo sampai ke Muarokalaban berbatas dengan Padang Sibusuak dan kota Sawahlunto – mungkin saja.

 

Namun bila ditilik dan hari H-nya atau hari pelaksanaannya yang bertepatan dengan awal bulan Syawal 1423 H, sekitar awal Desember, yang berarti adalah masa liburan hari raya Idul Fitri, sebuah momen yang tak pernah ditinggalkan oleh warga Silungkang di perantauan untuk melaksanakan acara pulang kampuang atau pulang basamo, sementara jauh-jauh hari Ikatan Generasi Muda Silungkang (IGMS) di Jakarta telah memaklumatkan dan menyebarkan brosur tentang jadual pelaksanaan PULBAS IGMS 2002 yang akan berlangsung pada tanggal 7 s/d 16 Desember 2002. Bisa dibayangkan betapa hiruk pikuknya Silungkang yang akan dibanjiri oleh perantauan yang akan dibanjiri oleh perantaunya sendiri karena beberapa momen penting yang melibatkan banyak orang akan berlangsung pada kurun waktu yang bersamaan.

 

Silungkang baolek godang, koordinasi dan komunikasi tentu adalah kunci utamanya, dedikasi yang tinggi segenap panitia dan masyarakat perantau serta penduduk setempat sangat dibutuhkan untuk keselamatan dan kemashatan perhelatan akbar ini.

 

Demi menghindari pergesekan yang bukan mustahil bisa terjadi antara para perantau yang pulang kampuang, Mudikers, yang pasti tentu sudah banyak lupa dan atau malah sama sekali tidak mengerti adat istiadat dan kebiasaan yang boleh atau lazim berlaku di tanah leluhur mengingat kebiasaan yang telah berlangsung lama selama di kota-kota besar adalah sangat sulit untuk dihilangkan begitu saja, kiranya perlu diantisipasi oleh panitia untuk membuat semacam buku saku tentang “Apa yang harus dan Apa yang Jangan Diperbuat selama di Silungkang” (seperti “Do’s and Don’t”nya Brunei Darussalam yang dengan mudah bisa didapat pada outlet penjualan karcis pesawat udara Brunei Air Lines dan travel bironya), sebab penduduk setempat tentu tak ingin adat istiadat dan kebiasaan serta kepatutan yang telah berlaku turun temurun dan telah berurat berakar tidak diindahkan keberadaannya.

 

Yang tak kalah penting, tentu akan banyak penduduk setempat yang akan memanfaatkan peristiwa akbar ini misalnya dengan berjualan aneka penganan khas dan souvenir agar dihimbau untuk tidak menaikkan harga berlipat ganda, mengingat hal tersebut bisa merugikan si pedagang tersebut, karena tentu para mudikers akan berpikir panjang sebelum membeli, betapa ironisnya bila uang rupiah yang dibawa para mudikers yang notabene adalah dun sanak awak juo harus beredar di kota Sawahlunto, Solok, Bukittinggi, Padang dan kota-kota lainnya sebab selang beberapa tahun terakhir gejala tersebut mulai terlihat nyata. Bijaksanalah !

 

Naikkanlah pendapatan dengan cara menjual sebanyak-banyaknya barang dagangan namun tetaplah pada harga standard yang sudah berlaku sehari-hari agar para mudikers menjadi betah dapat merasakan kenikmatan yang tak terlupakan selama berada di tanah leluhurnya tanpa mengeluarkan biaya yang semestinya ia keluarkan atau dengan kata lain pra mudikers tak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk kenikmatan yang sama pada acara akbar tersebut.

 

Tentu peran para petugas keamanan akan sangat penting adanya. Betapa tidak, bila diprediksi pada mudikers tahun 2002 ini sebanyak 2.000 orang saja maka akan ada sekitar 500 – 600 buah kendaraan dengan berbagai jenis dan ukuran.

 

Sementara areal parkir utama yang ada di Silungkang adalah sepanjang jalan lintas Sumatera yang melintasi Silungkang. Tingginya volume kendaraan yang melintas di Silungkang – ingat Silungkang adalah jalur vital Trans Sumatera jalur tengah. Ini tentu sangat riskan !

 

Disampaikan oleh Buya

Revisi oleh admin

 

Sesungguhnya kemunduran Islam sudah begitu rupa di Silungkang, namun hingga tahun 1984 tidak ada yang menyatakan secara terbuka kepada umum. Paling-paling perasaan yang demikian dikemukakan dengan andai-andai saja. Baru ketika konferensi ke II antar PKS yang berlangsung bulan Juli 1984 mulai dinyatakan secara terbuka (tertulis) dan kemudian dalam seminar sehari Adat Silungkang April 1986 di Jakarta lebih terang lagi.

Seperti diketahui dalam konferensi ke II antar PKS tersebut tampil makalah yang bertemakan agama. Dua diantaranya ditemukan oleh almarhum ulama Silungkang (dengan tema “Perkembangan Islam di Silungkang”) dan oleh Baharudin Hr. dengan judul “Masalah Keagamaan di Silungkang”.

Dalam makalah alim ulama Silungkang1) antara lain dikatakan : “Patut menjadi perhatian kita bersama dalam pendidikan agama sekarang ini sangat minim sekali minatnya pemuda/pemudi, sekiranya kita keberatan mengatakan tidak ada sama sekali. Siapakah nantinya yang kaan menggantikan alim ulama (kalau boleh dikatakan ulama), kalau tidak generasi sekarang ini”. “Kita sangat prihatin sekali dengan tidak adanya pemuda/pemudi sekarang ini yang mengarahkan kemauannya terhadap perguruan agama Islam, padahal ini adalah persoalan yang sangat penting sekali”.

Sedang oleh Baharudin Hr2) melalui makalahnya “Masalah keagamaan di Silungkang” antara lain dikemukakan bahwa “anak yang mengaji Al Quran hanya 600 orang, padahal murid SD sebanyak 780 orang. Berarti 25% murid SD belum mengaji. Sebagian besar berhenti sebelum tamat, tidak pandai membaca Al Qur’an dianggap masalah biasa”.

Kemudian ditambahkannya bahwa Mesjid Silungkang yang berdiri tahun 1900 itu telah berumur 84 tahun. Sudah banyak yang rapuh. Perlu pemugaran.

Dan yang lebih menarik lagi ialah makalah yang disampaikan wakil KAN Silungkang3) dalam seminar Sehari Adat Silungkang di Jakarta tahun 1986. Melalui makalah yang berjudul Alim Ulama atau guru agama yang akan habis itu”. Sebagai ulasan dikemukakan :

  • Ada yang sekolah agama karena terpaksa oleh orang tuanya;
  • Ada yang masuk sekolah agama hanya untuk pelarian karena tidak masuk dalam sekolah umum;
  • Banyak yang patah di tengah jalan pada sekolah-sekolah agama karena biaya, tarikan sekolah umum, cemooh dan pentin, keburu kawin, tidak tahan di asrama;
  • Setelah sekolah agama ingin menjadi pegawai negeri atau menjadi wiraswasta di rantau bagi kepentingan hari depannya.

Dan seperti telah dikemukakan dimuka bahwa “ada guru agama atau alim ulama yang sudah hampir ke pintu kubur sesama mereka saja tidak berbaikan”, demikian wakil KAN.

Sementara itu pada tahun 1987 oleh Syarief Sulaiman (Alm)4) sebagai buah pengamatannya selama berdiam beberapa waktku di kampung, ia membuat sebuah “laporan tentang masyarakat Silungkang di kampung sekarang”. Dalam laporannya itu antara lain dikemukakan :
“Begitu pula sikap muda/mudi terhadap pengajian di mesjid. Banyak yang tak acuh saja. Walaupun pengajian itu diadakan sebulan sekali di mesjid dan gurunya didatangkan dari luar dan pemberitahuan akan berlangsungnya pengajian malam itu disiarkan. Namun pada jam akan dimulai yang disertai dengan imbauan melalui pengeras suara (yang terdengar sampai ke pasar), namun puluhan muda/mudi ramai dibalai di depan TV umum atau pelataran parkir. Mereka tak acuh saja atas pengajian tersebut. Maka yang hadir (dalam pengajian tersebut-pen) dapat dihitung dengan jari. Bapak-bapak “camat” (calon mati) yang berumah di sekitar mesjid (itulah yang hadir-pen). Kesehatan mereka tidak mengizinkan lagi keluar rumah dimalam hari”.

Dewasa ini surau yang berfungsi di Silungkang tak lebih dari 10 buah. Padahal menjelang perang dunia ke II, jumlah surau lebih dari 40 buah. Fakta jumlah surau ini berbicara sendiri tentang kemunduran Islam di Silungkang.

Kurangnya pengajian ini tidak hanya di Silungkang, malah di Jakarta juga demikian. Berbeda ketika disaksikan Margaret pada tahun 1984, dimana pengunjung pengajian yang diselenggarakan majelis taklim cukup besar. Rupanya tahun 1984 itu merupakan “puncaknya”. Kemudian berangsur menyurut. Kesepian pengajian di Jakarta ini dapat diketahui dari laporan pertanggung jawaban Pengurus PKS5) (periode 1985 – 1987) yang disampaikan pada rapat anggota PKS Jakarta 26 Juli 1987, antara lain dikatakan :

“Kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan kurang mendapat perhatian dari warga Silungkang. Hal ini terlihat dari sepinya pengunjung pada setiap pengajian yang diadakan, malah pengajian warga Silungkang di Mesjid Al Insan Patal Senayan terpaksa ditutup. Demikian juga dengan pengunjung pengajian Majlis Taklim yang diselenggarakan di kantor Koperasi Kemauan Bersama”.

Itulah sementara fakta yang secara terbuka dikemukakan pemuka-pemuka Silungkang mengenai kemunduran Islam di Silungkang.

Apakah artinya keterangan secara terbuka tersebut ?

Ia mengandung arti orang awak mengamalkan secara tepat Mamangan “Upek maiduiki, puji mambunuah” (umpat atau kecaman menghidupi, puji membunuh). Kritik itu adalah dengan tujuan untuk merubah keadaan yang tidak baik menjadi baik. Jika diri sendiri tidak berusaha merubah keadaan yang kurang menguntungkan menjadi menguntungkan, maka keadaan akan tetap kurang menguntungkan. Ini sesuai dengan surat Ar Ra’du ayat 11 yang mengatakan :

Innalloha layughaiyiruam biqaumin hatta yughaiyiruma bianfusihim” (sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan sesuatu kaum kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri).

Tanpa membaca kita akan bisa menguasai ilmu dunia dan akhirat. Tanpa membaca tak mungkin kita dapat mengamalkan sabda Nabi Muhammad6) : Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat “(tholabul ilmi mahdi ilal lahdi); tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina” (ilmi walau fi siin).

Bisa dipertanyakan, dapatkah dikatakan umat Nabi Muhammad yang baik bila dengan membaca atau tidak mau membaca guna meningkatkan ilmu di dada!

Banyak hal-hal yang dapat diketahui dengan membaca dari pada tidak membaca dengan, tidak membaca memaksa diri kita harus menghubungkan sendiri berbagai permasalahan dan itu akan meminta penyediaan waktu dan energi. Padahal mungkin saja permasalahan itu sudah dipecahkan orang lain, sehingga bila kita membaca tak perlu lagi menyediakan waktu dan energi untuk mencari pemecahannya.

Membaca berarti berdialog dengan pikiran pengarang. Tentu saja hati dan otak dibuka selebar-lebarnya untuk menerima pengaruh dari pikiran pengarang itu dan sekaligus berusaha menyaring dengan cermat. Dialog dengan pikiran pengarang berarti mengantarkan kita pada kebenaran-kebenaran baru yang lebih tinggi.

Dengan banyak membaca kita akan lebih mengenai diri kita (kelebihan dan kekurangan atau keterbatasannya) sehingga mendorong kita lebih banyak lagi membaca dan belajar. Dengan banyak membaca kita akhirnya akan menemui jalan yang benar, yang harus ditempuh, agar Islam bangkit kembali di Silungkang.

Membaca bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk membentuk pikiran dan pandangan kita.

Catatan Kaki :

  1. Alim Ulama Silungkang : “Perkembangan Islam di Silungkang” (Makalah dalam Konferensi ke II antar PKS, Juli 1984 di Silungkang).
  2. Baharudin Hr : “Masalah Keagamaan di Silungkang” (Makalah dalam Konferensi ke II Antar PKS di Silungkang pada bulan Juli 1984).
  3. KAN Silungkang : “Krisis Adat dan Agama di Silungkang”, (Makalah dalam Seminar Sehari Adat Silungkang di Jakarta, April 1986).
  4. Sharief Sulaiman : “Laporan tentang masyarakat Silungkang di Kampung sekaran”, FORMES April 1987.
  5. Pengurus PKS periode 1985 – 1987 : “Laporan Pertanggungan Jawab”, yang disampaikan pada rapat anggota PKS Jakarta 26 Juli 1987.
  6. Dr. M. Amin Rais : Dalam pengantar terhadap buku Dr. Ali Shariati : “Tugas Cendikiawan Muslim”, penerbit CV. Rajawali Jakarta, 1984, h. viii.

Sumber :

Buku Pelajaran Dari Perjalanan Islam di Silungkang

Oleh :

Munir Taher & Hasan St. Maharajo

Terbukalah hubungan dengan dunia luar bagi orang Silungkang (terutama dengan telah adanya jalan kereta api dan jalan oto) yang tampak sepintas lalu terbukanya jalan bagi kemajuan kehidupan. Tetapi jika didalami dengan seksama ternyata didalam kemajuan itu terkandung juga hal-hal yang menyakinkan kemunduran di pihak lain.

Betapa tidak !

Sesungguhnya benih-benih yang akan membawa kemunduran bagi pihak lain itu bisa dihambat sekiranya tujuan berdagang adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Artinya dalam berdagang cara-cara yang ditempuh semata-mata jalan yang diridhoi Allah. Akan tetapi bila tujuan berdagang hanya untuk menumpuk kekayaan perdagangan, masanya sudah berlebih setahun dan nilainya sudah sampai senisab akhir tahun itu, maka orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya. Sebesar 2 ½ %, dihitung dari modal dan keuntungan, bukan dari keuntungan saja. Tentang besarnya harta perniagaan yang harus dizakatkan menurut H. Sulaiman Rasyid dengan zakat emas dan perak. Bagi emas nisabnya 93,6 gr, perak 624 gr. Besar zakat 1/40 dari harta perniagaan itu. Misalnya harta perniagaan diakhir tahun jumlahnya senisab 93,6 gr. Maka besarnya zakat yang wajib diberikan adalah 1/40 dari 93,6 gr. Namun iblis senantiasa akan merayu orang Islam yang berdagang itu meneruskan langkahnya yang sesat (menghalalkan segala cara). Jika pedagang itu termakan oleh rayuan iblis, maka semakin tinggi kedudukannya dalam dunia perdagangan, akan semakin tipislah iman di dada.

Dalam kehidupan beragama, seperti juga dalam kehidupan pada umumnya peranan keteladanan atau contoh dari para pemukanya banyak menentukan apa yang akan dilakukan oleh orang awam. Bila pemuka-pemuka agamanya senantiasa sesuai antara kata dengan perbuatan, maka massapun akan berusaha semacam itu, paling sedikit berusaha mendekati seperti langkah pemukanya itu. Sebaliknya jika pemuka memberi contoh yang kurang baik dalam kehidupan, maka pengikutnya bisa berbuat lebih buruk dari pada apa yang dilakukan pemukanya.

Tentu akan lain halnya bagi orang yang kuat belajar (baik mengenai soal keduniaan maupun keakhiratan). Ia tidak sepenuhnya tergantung dengan apa yang dilakukan para pemukanya. Ia akan melihat dengan kritis. Yang benar akan diikuti dan yang tidak benar akan dijauhinya.

Sekarang marilah kita tengok sikap atau kehidupan sementara guru agama kita.

Seorang guru agama dengan jujur dan terus terang berulang kali mengatakan bahwa kami (maksudnya guru-guru agama) memang tak pernah menjelaskan sejelas-jelsnya tentang zakat dengan segenap permasalahannya. Kami khawatir jika dijelaskan sejelas-jelasnya (secara terperinci) nanti bisa lahir purbasangka atau tuduhan seakan-akan kamilah yang menginginkan zakat itu. Kami tidak ingn mendapat tuduhan semacam itu.

Andai kata lahir purbasangka atau tuduhan begitu terus menyampaikan sesuatu yang hak, itu adalah resiko yang harus diterima oleh setiap mubaligh. Tak mungkin seorang mubaligh akan menjadi mubaligh yang benar, sekiranya ia takut dilamun ombak, tak bersedia memikul suatu resiko.

Padahal zakat itu adalah salah satu tiang agama yang pentng. Seperti dinyatakan Abdul A’la Maududi : “Sesudah shalat, tiang Islam yang terbesar adalah zakat. Biasanya dalam rangkaian ibadah yang biasa, puasa diletakkan sesudah sholat, maka orang banyak mempunyai pengertian bahwa sesudah sholat adalah puasa. Tetapi dari Al Qur’an kita mengetahui dalam Islam pentingnya zakat terletak sesudah sholat. Keduanya adalah tiang penyanggah struktur bangunan Islam. Tanpa zakat, Islam akan roboh”. Dengan mewajibkan zakat Allah telah menempatkan setiap orang dalam ujian. “Mereka yang tulus dalam ujian ini dan berguna bagi Allah. Bahwa zakat, maka sholat, puasa dan pernyataan iman tidak akan berguna”.

Oleh karena masalah zakat tidak diterangkan sejelas-jelasnya oleh para guru agama kita, maka wajar saja jika terdapat berbagai pendapat mengenai zakat antara lain sebagai berikut :

  1. Ada yang berpendapat zakat harta perniagaan itu baru dikeluarkan jika perniagaan untung. Jika pulang modal, apa lagi rugi, tak wajib mengeluarkan zakat, walaupun jumlah modalnya masih cukup nisab.
  2. Ada yang menganggap zakat itu harus dikeluarkan dimana tempat ia berniaga dan tidak boleh dikirim ke daerah lain, meskipun kerabat dekatnya berada disitu.
  3. Ada pula yang tak mau mengeluarkan zakat, karena menurut pendapatnya harta kekayaannya itu didapatkannya dari jerih payahnya dan bukan titipan Allah kepadanya. Karena itu bila ada amil zakat datang kepadanya, sedapat mungkin dihindari bertemu dan jika pertemuan itu tak dapat dielakannya, maka dijawabnya, misalnya “zakat telah diberikan kepada tetangga”.
  4. Ada pula yang mengeluarkan zakat tanpa perhitungan yang cermat. Asal pada akhir tahun perniagaan ada yang meminta zakat, diberikannya sedikit. Jika tak ada yang datang meminta, zakat tak dikeluarkannya.
  5. Ada juga yang mengeluarkan zakat benar-benar dengan tujuan untuk membersihkan harta dan jiwanya.

Mengenai peranan zakat sebagai pembersih harta dan jiwa dengan jelas oleh Dr. M. Yusuf Qardawi dikatakan : “Sesungguhnya orang yang paling membutuhkan pembersih diri dari kekayaan adalah para pedagang, oleh karena usaha mencari yang mereka lakukan diyakini tidak akan bersih dari berbagai macam penyimpangan dan keteledoran, kecuali orang yang betul-betul jujur dan suci, tapi mereka sedikit sekali terutama di zaman sekarang”.

Untuk memperkuat kesimpulannya, Dr. M. Yusuf Qardawi mengemukakan hadis Nabi Muhammad yang berbunyi “Pedagang-pedagang nanti pada hari kiamat dibangkitkan dari kubur sebagai durjana, kecuali orang yang bertaqwa, baik dan jujur” (hadis ini diriwayatkan oleh Turmizi yang mengatakan hadis itu Hasan sahih, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dalam shahih dan hakim yang menilainya sahih).

Menanggapi ucapan Nabi Muhammad tersebut ada yang mempertanyakan “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual beli ?” Nabi menjawab : Ya tapi mereka terlalu mengobral sumpah, oleh karena itu mereka banyak berdosa dan banyak berbohong (diriwayatkan oleh Ahmad dengan Sanad yang baik dan oleh hakim dengan teks darinya yang mengatakan sanadnya sangat shahih).

Seterusnya Dr. M. Yusuf Qardawi mengatakan : “Seseorang yang memiliki kekayaan perdagangan, masanya sudah berlebih setahun dan nilainya sudah sampai senisab akhir tahun itu maka orang itu wajib mengeluarkan zakat sebesar 2 ½%, dihitung dari modal dan keuntungan bukan dari keuntungan saja”.

Tentang besarnya harta perniagaan yang harus dizakatkan menurut H. Sulaiman Rasyid1) dengan zakat emas dan perak. Bagi emas nisabnya 93,5 gram, sedang perak 624 gr. Besar zakat 1/40 dari harta perniagaan itu. Misalnya harta perniagaan akhir tahun jumlahnya senisab 93,6 gr emas. Maka zakat yang wajib dibayar adalah 1/40 x 93,6 gr emas. Bila harga emas misalnya Rp. 22.000,- per gram, maka harta perniagaannya berjumlah 93,6 gr x Rp. 22.000,- = Rp. 2.059.200,- Zakatnya 1/40 dari Rp. 2.059.200,- = Rp. 50.148,-

Jadi zakat yang dibayar tidak hanya dihitung dari keuntungan saja melainkan dari jumlah seluruhnya, modalnya, ya untungnya. Juga tidak bebas dari membayar zakat, sekira perniagaannya rugi, bila modalnya (sesudah dikurangi kerugian) masih cukup senisab.

Mengenai anggapan bahwa tidak boleh memindahkan zakat ke daerah lain, dengan jelas Dr. M. Yusuf Qardawi2) mengatakan : “Apabila bagi si penguasa diperbolehkan berijtihad untuk memindahkan zakat ke daerah lain, karena kemaslahan Islam yang dianggap kuat, maka bagi si muslim yang wajib zakat, diperbolehkan pula untuk memindahkan karena suatu kebutuhan atau suatu kemaslahatan yang dianggap kuat pula, apabila ia sendiri yang mengeluarkannya, seperti terjadi di zaman sekarang ini. Hal itu seperti yang dikemukakan mashaf Hanafi dalam membolehkan pemindahan zakat, seperti untuk kerabat yang membutuhkan, atau untuk orang yang lebih membutuhkan dan lebih sulit penghidupannya atau untuk orang yang lebih membutuhkan bagi kaum muslimin, dan lebih utama untuk dibantu atau untuk melaksanakan rencana Islam di tempat lain, yang akan menghasilkan kebaikan yang besar bagi orang muslim, dimana hal yang semacam itu tidak terdapat di daerah zakat itu berada”.

Andai kata semua orang awak yang berniaga melaksanakan ketentuan-ketentuan syariat agamanya, mungkin dalam waktu singkat tak ada lagi orang Silungkang di akhir tahun menadahkan tangan meminta zakat. Malah ada kemungkinan zakat orang Silungkang diberikan ke negeri tetangga. Sebab, kini telah ada beberapa orang Silungkang yang miliarder pada tahun 1987 dan salah seorang diantaranya pada tahun itu mengeluarkan zakat Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) seperti yang ditulis Abu Asar dalam FORMES Oktober 1987, dengan judul “Impian Silungkang Indah”.

Sementara guru agama yang lain ada pula yang berpendapat “bukan guru yang harus datang ke murid, tetapi murid yang harus datang pada guru”. Guru itu tampak berpegangan pada hadis Nabi yang mengatakan : “Menuntut ilmu itu wajib bagi semua muslim” (tholabul ilmi faridhatun a’laa kulli muslim).

Guru agama itu mungkin belum mengetahui atau mungkin telah mengetahui tetapi lupa akan khutbah perpisahan yang disampaikan Nabi Muhammad pada tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 H. Antara lain beliau mengatakan : “………… maka hendaklah yang telah menyaksikan diantaramu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga barang siapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya dari pada sebagian yang mendengarkannya3). Jelasnya, yang tahulah yang menyampaikan kepada yang belum tahu. Gurulah yang harus mendatangi murid. Bila mana muridnya datang sendiri karena kesadaran akan kewajibannya, itu tentu lebih memudahkan guru menyampaikannya. Bagaimanapun juga tanggung jawab gurulah yang harus menyampaikannya kepada yang belum atau tidak tahu.

Juga bukanlah teladan yang baik bagi yang awam bila ada konflik diantara guru yang tidak diselesaikan, dibiarkan berlarut. Tidak diselesaikan konflik atau perbedaan pendapat tentu saja sangat memprihatinkan. Tidak diselesaikan konflik sesama guru agama telah pernah terjadi pada permula pembaharuan (sehingga ada sementara guru agama yang tidak lagi bersembahyang Jum’at di mesjid) dan pada tahun 1986 wakil KAN4) dalam seniar sehari adat Silungkang di Jakarta mengatakan : “Ada guru agama atau Alim Ulama yang sudah hampir ke pintu kubur sesama mereka saja tidak berbaikan”.

Tidak berbaikan sesama guru agama tentu tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka ajarkan bahwa sesama umat harus saling berbaikan. Hal demikian hanya akan menurunkan nilai mereka dimata murid-muridnya.

Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan5) agar guru agama sesuai perbuatannya dengan apa yang diajarkannya, maka seorang penyair melontarkan kata-kata :

  • Wahai orang yang mengajar orang lain
  • Kenapa engkau tidak juga mengajari
  • Dirimu sendiri
  • Engkau terangkan berbagai macam obat bagi segala
  • Penyakit
  • Agar yang sakit sembuh semua
  • Sedangkan engkau sendiri ditimpa sakit
  • Obatilah dirimu dahulu
  • Lalu cegahlan agar tidak menular
  • Kepada orang lain
  • Dengan demikian engkau adalah
  • Seorang yang bijak
  • Maka apa yang engkau nasehatkan
  • Akan mereka terima dan ikuti
  • Ilmu yang engkau ajarkan akan bermanfaat bagi mereka

Syair ini sesuai dengan firman Allah dalam hadis Qudsi6) yang berbunyi dalam bahasa Indonesianya : “Allah telah memberi wahyu kepada Isa anak Maryam : “Hai Isa, nasehatilah dirimu dengan hikmatku. Jika engkau telah mengambil manfaatnya, nasehatilah orang banyak dan jika tidak hendaklah engkau malu kepadaku”.

Sementara itu mungkin karena kurang membaca, kurang belajar, maka sementara orang awak mempunyai pengertian tentang agama setengah-setengah. Misalnya dianggapnya atau dinilainya seseorang telah taat kepada agama asal telah dilihatnya sholat. Tetapi apa yang dilakukan (oleh orang yang telah dilihatnya sholat itu) sesudah sholatnya, tidak dipermasalahkan lagi. Apakah setelah sholat ia tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar, misalnya dalam berdagang menghalalkan segala cara demi laba; tidak mengeluarkan zakat hartanya sesuai dengan ketentuan agama dan sebagainya.

Surat An-Kabut ayat 45 dengan jelas mengatakan (dalam bahasa Indonesianya) : “Sesungguhnya sembahyang itu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar”.

Menilai seseorang taat beragama harus dari keseluruhan sikap hidupnya. Dan itu sangat sukar, arena pengetahuan mereka tentang pribadi-pribadi lain, sangat terbatas. Pandangan-pandangan lahiriah akan lebih banyak menentukan penilaian manusia. Karena itu tidak objektif jika hanya dengan melihat sebagian dari kehidupan seseorang telah disimpulkan saja. Vonis keagamaan adalah semata-mata monopoli Allah dan tak seorangpun yang berhak mengganti jabatan Allah.

Penilaian seseorang bisa saja keliru. Bila penilaian keliru kepada seseorang diisukan kepada yang lain bisa menyebabkan yang diisukan (bila kurang kuat imannya semakin mundur rasa keagamaannya, dan tentu saja bila imannya kuat, isu tersebut akan diterimanya dengan sabar).

Pengertian setengah-setengah tentang ajaran agama ini tercermin juga dari “nasehat” seorang mamak kepada kepenakannya yang beberapa waktu lagi kemenakannya akan menikah. Mamak itu tahu benar bahwa kemenakannya itu kurang taat sembahyang lima waktu sehari semalam. Tampaknya ia menutupi kelemahan keponakannya itu. Menjelang hari pernikahan keponakan itu, dinasehatinya : “Berusahalah menunjukkan diri beberapa sholat Jum’at di mesjid”.
Tujuan mamaknya memberikan “nasehat” semacam itu agar keluarga calon istri kemenakannya itu tidak menggunakan kelemahan kemenakannya kurang sembahyang itu sebagai alasan untuk membatalkan rencana pernikahan. Minimal, bila Ninik – Mamak atau keluarga calon istrinya mengetahui bahwa kemenakannya tidak taat bersembahyang pandangan negatiflah yang akan terjadi pada kemenakannya.

“Nasehat” mamak yang semacam itu tentu bukanlah dimaksudkan untuk menegakkan agama Islam, melainkan untuk agar tak tahu sampai dimana ketaatan beragama dari kemenakannya itu. Betapa Islam tidak akan mundur bila dikalangan orang awak sendiri terdapat “nasehat” yang sesungguhnya bukan nasehat melainkan khianat.

Kemunduran Islam mulai tampak pada masa pendudukan serdadu Jepang (1942 – 1945). Ketika itu tekanan ekonomi cukup berat dirasakan. Setiap orang berusaha keras untuk dapat mempertahankan hidup dan berjuang dengan gigih untuk mengatasi tekanan ekonomi itu.

Mungkin karena tekanan ekonomi itu jugalah maka sebagian besar pemuda-pemudi yang sudah menamatkan pendidikan agamanya di Padang atau Padang Panjang terpaksa terjun pula menjadi pedagang atau pengusaha. Bukan menjadi guru agama, atau mubaligh seperti rencana semula tatkala akan memasuki perguruan agama tersebut.

Dalam rangka menanggulangi tekanan ekonomi itu sementara orang Silungkang mulai menggunakan Surau untuk tempat usaha : bertenun atau membuat perusahaan rokok. Padahal dahulunya surau-surau itu tempat pendidikan agama; tempat berkomunikasi antar mamak dengan kemenakannya dan sebagainya. Tak sedikit sumbangan surau bagi kemajuan orang Silungkang. Ketika surau benar-benar berfungsi sebagai surau anak-anak merasa malu jika tak tamat Al Quran.

Massa pendudukan Jepang ini disusul dengan Perang Kemerdekaan atau Revolusi Fisik (1945 – 1950). Keadaan ekonomi yang sudah parah bertambah parah lagi. Pikiran orang awak terutama tertuju untuk memenangkan perang kemerdekaan itu. Perbaikan ekonomi akan terjadi sendiri bila Belanda penjajah telah dikalahkan.

Pada masa revolusi fisik ini makin terasa kemunduran Islam di Silungkang. Sementara tanah yang dulunya diwakafkan bagi keperluan surau-surau banyak yang dicabut oleh anak cucunya. Sebagai alasan untuk mencabut tanah wakaf itu antara lain dikatakan “menurut keterangan nenek tanah itu diwakafkan hanya seumur surau saja. Tak boleh diperbaiki jika telah rusak. Bila surau itu telah hancur maka tanah tersebut harus kembali kepada pemiliknya”.

Memang susah untuk menguji kebenaran “keterangan nenek” yang sudah tiada itu. Sebenarnya jika anak atau cucunya mempunyai pengertian yang benar tentang wakaf, tentu tidak akan muncul istilah atau dalih “menurut keterangan nenek”. Atau apa yang dikatakan “menurut keterangan nenek” itu hanya alasan untuk menguasai tanah yang telah menjadi miliki surau itu.

Menurut H. Sulaiman Rasjid7) bahwa salah satu syarat syah wakaf, ialah bila wakaf itu berlaku untuk selama-lamanya. Tidak dibatasi oleh waktu, misalnya sampai surau yang bersangkutan hancur. Wakaf berarti memindahkan hak pada waktu itu juga kepada yang diberi wakaf.

Mencabut kembali tanah yang telah diwakafkan berarti mengambil hak pihak yang menerima wakaf. Berarti hendak memanfaatkan sesuatu yang bukan lagi menjadi haknya. Bila pengambilan hak penerima wakaf itu dilakukan karena tidak mengerti tentang ketentuan wakaf, persoalannya lebih mudah. Kembalikan kedudukan tanah wakaf itu kepada yang berhak.

Persoalannya menjadi lain, jika yang bersangkutan mengerti ketentuan wakaf yang demikian, tetapi dilakukannya juga mengambil hak yang telah menjadi pemilik tanah wakaf itu. Ia telah melakukan perbuatan yang mungkar.

Catatan Kaki :

  1. H. Sulaiman Rasjid : “Fiqh Islam”, penerbit Sinar Baru, Bd. 1988, h. 188.
  2. Dr. M. Yusuf Qardawi : “Hukum Zakat”, penerbit Pustaka Litera Antar Nusa PT, Bogor 1987, h. 809.
  3. Munir Taher : “Timbang Risalah dan Pelajaran yang dapat diambil daripadanya”, Formes April 1989.
  4. KAN Silungkang : “Krisis Adat dan Agama di Silungkang”, (Makalah dalam Seminar Sehari Adat Silungkang di Jakarta, April 1986).
  5. Dr. Abdullah Nashih Ulwan : “Pedoman Pendidikan Anak-anak” (Jilid II), penerbit Asy-syifa’, Bd. 1988, h. 3.
  6. K.H.M Ali Usman, H.A.A. Dahlan, Dr. H.M.D. Dahlan : “Hadis Qudsi Pola Pembinaan Akhlak Muslim”, penerbit CV. Diponegoro, Bd, 1988, h. 199.
  7. H. Sulaiman Rasjid : “Fiqh Islam”, penerbit Sinar Baru, Bd. 1988, h. 317 – 322.

Sumber :

Buku Pelajaran Dari Perjalanan Islam di Silungkang

Oleh :

Munir Taher & Hasan St. Maharajo

Tentang tak mudahnya mengetahui kapan sesungguhnya agama Islam masuk di Silungkang dapat pula diikuti keterangan Alim Ulama Silungkang yang disampaikan dalam Konferensi Antar PKS ke II di Silungkang pada bulan Juli 1984. Keterangan Islam di Silungkang antara 1970 – 1984. Sebagai alasan mengapa mereka hanya mampu menguraikan dalam periode itu saja, dikatakan; “sampai pada tahun tersebut kesanggupan jangkauan kami kebelakangnya”1)

Mengapa jangkauan Alim Ulama Silungkang hanya sampai tahun itu, tidak ada keterangan. Apakah telah dicoba menggalinya melalui penelitian (minimal baca buku atau catatan dan sebagainya). Maka sampai kesimpulan demikian, juga tak ada ceritanya. Rasanya jika telah dicoba menggalinya tentunya hasilnya akan lebih baik daripada yang telah dikemukakan dalam makalah tersebut.

Bila berpegang kepada hasil “Seminar Sejarah Masuknya Islam di Minangkabau”2) yang berlangsung di Kota Padang 23-27 Juli 1969, maka agama Islam telah masuk di Minangkabau pada abad pertama Hijriyah atau abad ke 7-8 M.

Menurut seminar diatas berat dugaan bahwa agama Islam masuk ke Minangkabau melalui bagian Timur. Pembawanya adalah para pedagang (yang sekaligus berperan sebagai mubaligh sukarela). Dari bagian Timur inilah agama Islam merayap dengan perlahan-lahan menyusupi masyarakat Minangkabau. Kemudian berkembang pula ke luar Minangkabau seperti ke Malaya, Serawak, Brunai, Sabah, Philipina, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan bagian Timur lainnya.

Kemudian pada abad ke XVI agama Islam berkembang pula dari pantai Barat Sumatera. Sejalan dengan makin ramainya lalu lintas perdagangan, maka lalu lintas penuntutan ilmu pengetahuan agama Islam juga meningkat antara Minangkabau – Aceh – Mekah dan pusat-pusat agama Islam lainnya.

Dari sini pulalah tumbuhnya pusat ilmu pengetahuan agama Islam di Ulakan (Pariaman), dengan Syekhnya yang terkenal Burhanuddin. Beliau seorang Guru dan Mubaligh. Syekh Burhanuddin sering disebut sebagai pembawa Islam yang pertama ke Minangkabau.

Murid-murid Syekh Burhanuddin berdatangan dari segenap penjuru Minangkabau. Sepulangnya dari berguru, umumnya para murid beliau mendirikan pula pusat pendidikan agama di kampung masing-masing. Keadaan ini membawa perkembangan Islam yang pesat di Minangkabau. Syekh Burhanuddin meninggal tahun 1603 M.

Bila benar apa yang disebut orang bahwa Syekh Burhanuddin pembawa Islam pertama ke Minangkabau, berarti Islam baru masuk di Minangkabau pada abad XVI dan bukan pada abad 7 – 8 M, atau abad pertama Hijriyah, seperti yang disampaikan Seminar Sejarah Masuknya Islam di Minangkabau di Kota Padang diatas.

Sementara penulis 3) (mungkin karena berpegangan kepada kesimpulan Seminar di kota Padang itu) mengemukakan bahwa waktu Raja Aditiawarman sampai di Minangkabau (abad ke XVI) terus dinikahkan. Tidak diterangkan apakah Aditiawarman dinikahkan secara Islam atau lain. Hanya disambung dengan kata-kata bahwa dalam Pemerintahan Bunda Kandung telah ada Kadhi di Padang Ganting, Makhudum di Sumanik. Tentu belum akan ada Kadhi di suatu Negara kalau negara itu belum pemerintahan Islam atau sekurang-kurangnya belum banyak penganut Islam.

Alasan penulis diatas (yang meragukan Syekh Burhanuddin sebagai pembawa Islam yang pertama ke Minangkabau) sangat lemah. Karena ia tidak bisa menunjukkan apakah ketika Aditiawarman menikah itu di Pagaruyung yang berkuasa Pemerintahan Bunda Kandung adalah pemerintah dalam Tambo.

Selanjutnya pada tahun 1803 pulang dari tanah suci 3 orang Haji, yang kemudian menjadi pelopor gerakan Paderi. Ketiga Haji tersebut : H. Miskin (Pandai Sikat), H. Abdul Rahman (Piobang) dan H. Mohd. Arif (Lintau).

Seratus tahun kemudian turun pula dari tanah suci bekas murid Syekh Amad Chatib bin Abdul Latif al Minangkabau (Ulama besar bangsa Indonesia di Mekah) 4). Mereka itulah yang membawa gerakan-gerakan baru di Minangkabau. 4 orang diantara murid Syekh Ahmad Chatib tersebut ialah :

  1. Syekh Muhammad Jamil Jembek. Beliaulah yang pertama-tama menyebarkan ilmu falak dan hidab di Minangkabau.
  2. Syekh Muhammad Tyayib dari Tanjung Sungayan. Beliau memberikan pelajaran/pendidikan agama yang berbeda dengan cara-cara lama.
  3. Syekh Abdullah Ahmad yang menerbitkan majalah Almunir di Padang (1911) dan mendirikan Sekolah Um Adabiyah (1912). Beliau ini pulalah yang berdasarkan petunjuk gurunya membatalkan merabittahkan guru ketika permulaan Suluk.
  4. Syekh Abdul Karim Amarullah. Pada tahun 1912 membantu Almunir di Padang. Melalui Almunir beliau menulis yang banyak menggegerkan orang tentang masalah Usholli, talqin mayat, berdiri ketika Maulid Nabi sampai membaca marhaban.

Keempat Syekh ini dalam Terinqat berpegang kepada Syekh Ahmad Chatib5). Meskipun Syekh Ahmad Chatib bermazhab Syafei dan semula dididik dalam alam pikiran Naqsyabandi di daerah asalnya, tetapi setelah memperdalam pengetahuan agamanya dan hukum Islam di Mekah ia sangat mengecam dan menentang praktek tariqat Naqsyabandi itu. Menurut Syekh Ahmad Chatib ke dalam tariqat Naqsyabandi telah masuk dan tidak pernah diamalkan oleh mazhab yang empat, seperti menghadirkan gambar/rupa guru dalam ingatan ketika akan memulai Suluk sebagai perantara dalam doa kepada Tuhan. Beliau mengatakan bahwa perbuatan serupa itu sama saja dengan menyembah berhala yang dilakukan oleh orang musyrik.

Karena rupa guru yang dihadirkan dan berhala-hala yang dibuat oleh manusia sama-sama tak memberikan manfaat dan mudarat kepada manusia.

Penolakan Syekh Ahmad Chatib terhadap praktek Naqsyabandi di Minangkabau diungkapkan dalam buku yang berjudul “Izhhar Zhugal Al-Kadzibin” (menjelaskan kekeliruan para pendusta). Buku tersebut ditulis oleh Ahmad Chatib untuk menjawab pertanyaan muridnya (H. Abdullah Ahmad). Buku tersebut telah sampai di Minangkabau pada tahun 1906.

Catatan Kaki :

  1. Alim Ulama Silungkang : “Perkembangan Islam di Silungkang” (Makalah dalam Konferensi Ke II antar PKS, Juli 1984 di Silungkang).
  2. Moh. Noerman : “Sejarah Kebudayaan Islam”, penerbit Pustaka Sa’adiyah, Bukittinggi, 1971, h. 138.
  3. Idem, h. 129.
  4. Ayah Syekh Akhmad Khatib ialah Abdulatif, berasal dari Koto Padang, bergelar Khatib Nagari. Sedang ibundanya bernama Ilmbak Urai, berasal dari Koto Tuo, Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek, Camdung Bukittinggi.
  5. Drs. Akhis Nazwar : “Syekh Ahmad Jhatib, Ilmuan Islam dipermulaan abad ini”, penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1983, h. 21.

Sumber :

Pelajaran Dari Perjalanan Islam di Silungkang

Oleh :

Munir Taher & Hasan St. Maharajo