Silungkang – Seri Menanti
Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja
Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia
Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu
Bahasa Indonesia, Silungkang, Malaysia
Oleh Djasril Abdullah
BAGIAN PERTAMA
30 Maret 1998, adalah berakhirnya masa jabatan saya sebagai Kepala Desa Silungkang Oso periode 1990 -1998, kemudian saya di SK kan untuk PJS (Pejabat Sementara) Kepala Desa Silungkang Oso menjelang terpilih Kepala Desa baru. Menurut peraturan saya berhak mencalonkan diri lagi guna menjabat periode 1998 – 2006, kesempatan ini tidak saya sia-siakan, saya kembali mendaftar sebagai calon, bersama saya ada tiga orang kandidat lagi yang siap bertarung menghadapi Pilkades (Pemilihan Kepala Desa).
Sambil menunggu hari H Pilkades, saya tetap menjalankan tugas-tugas saya sebagai Pejabat Sementara Kepala Desa Silungkang Oso. Suatu hari sewaktu saya sedang sibuk siruang kerja, telepon berdering, “saya angkat”, Hello, Assalamu’alaikum” kata saya. “Waalaikumussalam, hallo Pak Desa, datanglah ke kontu (kantor) Desa Silungkang Tigo (Tiga), ko ughang dari Malaysia la tibo ha (orang dari Malaysia telah tiba), nyo nak batomu jo Pak Desa,” (mau bertemu dengan Pak Desa) kata Pak Drs. Dasril Munir Kepala Desa Silungkang Tigo yang juga Pengurus Koperasi Kopinkra. Memang ada beberapa bulan yang lalu telah menginformasikan kepada saya bahwa ada orang Malaysia ingin membawa pengrajin beserta alat tenun kesana guna pameran di Musium Diraja Negeri Sembilan, dan saya menyediakan diri untuk dikirim ke Malaysia.
Setibanya saya di Kantor Desa Silungkang Tigo, saya terus ke ruangan tamu, disana duduk Pak Drs. Dasril Munir beserta dua orang Malaysia, keduanya laki-laki, yang seorang sudah agak tua dan yang seorang lagi masih kelihatan agak muda.
“Assalamu’alaikum” kata saya, “Waalaikumussalam” mereka menjawab bersama. Saya menyalami satu persatu sambil menyebut nama saya “Djasril Abdullah”. Saya duduk di kursi tamu berhadap-hadapan dengan tamu. “Ini dia pengrajin yang siap untuk ke Malaysia” kata Pak Drs. Dasril Munir memulai pembicaraan, yang dijawab oleh tamu yang tua, “Sebelum kita berbincang-bincang berkenaan tersebut, ada baiknya saya mengenalkan diri dulu, nama saya Tan Sri Samad Idrsi dari pada Lembaga Muzium Negeri, Negeri Sembilan Darul Khusus, Malaysia dan yang satu ini namanya Encik Wan Abdullah bin Haji Wan SU, PPT, AMN, ANS, PJK. Beliau adalah Ketua Penolong Kerajaan Negeri, (Pentadbiran dan Kewangan) Negeri Sembilan Darul Khusus” (Kira-kira sama dengan Kepala Biro Pemerintahan dan Keuangan di Kantor Gubernur, pen). Sungguh saya terharu rupanya tamu yang datang ini adalah pejabat, kedatangannya resmi utusan pemerintah. Tan Sir Samad Idris, yang kemudian saya ketahui beliau adalah bekas Wakil Rakyat Peringat Negeri (DPRD Propinsi, Pen). Bekas Wakil Rakyat Parlimen (DPRD Pusat, Pen). Bekas Mentri Besar Negeri Sembilan (Gubernur, Pen). Bekas Menteri Kebudayaan, Beliau dan Sukan Malaysia (Mentri Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga, Pen).
“Kami sangat senang sekali Bapak boleh (bisa, pen) ikut ke Malaysia bersama kami.” Kata Tan Sir Samad Idris. “Tapi” jawab saya “Saya sudah mendaftar menjadi calon Kepala Desa dan sudah lulus tes, tinggal menunggu hari pemilihan lagi, disamping itu saya sangat keberatan sekali untuk berpisah dengan isteri dan anak-anak saya, saya mempunyai anak tiga orang yang masih Sekolah Dasar” kata saya dengan nada serius.
“Kami sangat mengharapkan kesediaan Bapak untuk ikut ke Malaysia, sebaiknya Bapak mundur dari pencalonan Kepala Desa, mengenai isteri dan anak-anak tak usah risau, bawa mereka ke Malaysia, saya dengar isteri Bapak juga pandai bertenun songket, isteri Bapak juga ikut bekerja disana, berkenaan dengan anak-anak Bapak, kita uruskan sekolahnya, rumah untuk Bapak kami sediakan untuk sekeluarga, kami juga minta tolong carikan dua orang lagi pengrajin, jadi empat pengrajin yang akan diberangkatkan ke Malaysia”.
Ya ………. Allah, tidak bisa saya membayangkan bagaimana perasaan saya mendengar ucapan Tan Sri Samad Idris itu, haru, bangga, gembira bercampur aduk di dalam dada, kalau tidak malu rasanya, mau saya melonjak-lonjak, untung saya masih dapat mengendalikan diri.
“Sekarang” kata En. Wan Abdullah bin Haji Wan Su “Kami serahkan kepada Bapak duit (uang, pen) Rp. 500.000, untuk mengurus Paspot (paspor, Pen) Bapak dan isteri beserta 3 orang anak dan Rp. 500.000, lagi kami serahkan kepada Bapak Dasril Munir bagi pengurusan paspot yang dua orang lagi”, sambil menyodorkan kepada saya resit (kwitansi, pen) untuk saya tanda tangani, rangkap dua, selembar diserahkan kepada saya.
Kwitansi tersebut juga ditanda tangani oleh Kepala Desa Silungkang Tigo, Bapak Drs. Dasril Munir lengkap dengan stempel sebagai saksi, karena menurut peraturannya pembayaran selain dengan uang ringgit (mata uang Malaysia, pen) harus ada saksi. Tarikh Bekalan (tanggal pembayaran, pen) kwitansi tersebut adalah 1 Mei 1998.
“Bapak uruslah surat-surat Bapak, nanti kami tinggal ambil (jemput, pen) Bapak saja lagi” kata Tan Sri Samad Idris. Setelah minum dan makan ale-ale, tamu mohon pamit kembali ke penginapan di Padang, saya ikut mengantar ke loket, mobil dinas kantor Gubernur telah menunggu di Loket, rupanya Tan Sri dan Encik Wan (panggilan akrab oleh saya sewaktu di Malaysia) juga tamu resmi di Kantor Gubernur.
Dengan senyum kecil saya pulang ke rumah, dikantong saya “Lah Balipek Piti” (Telah Berlipat Uang) Lima Ratus Ribu Rupiah. Sebenarnya saya dan isteri saya sudah mengurus paspor 4 bulan yang lalu, dan tiga orang anak ikut paspor ibunya, jadi uang yang Rp. 500.000 itu dapat digunakan untuk keperluan lain dalam rangka keberangkatan ke Malaysia nanti.
Saya sudah duga, alangkah gembiranya isteri saya, karena keberangkatan ke Malaysia tinggal menunggu “jemput” lagi pula uang biaya paspor Rp. 500.000 sudah diganti. Setelah saya menceritakan hasil pertemuan dengan orang Malaysia dan memperlihatkan uang tersebut kepada isteri saya, eh …. Malah dia menangis sejadi-jadinya, “Indak ! Kami (dia menyebut kami kepada dirinya) ndak ka poi ka Malaysia tu do ! Sekali indak totek indak, kami lai patua ka datuak, tapi nan sakaliko kami mambantah, agia moo kami” (Tidak ! Kami (tidak mau pergi ke Malaysia itu ! Sekali tidak tetap tidak, kami patuh ke Datuk, tapi yang kali ini kami membantah, berilah maaf kami) katanya sambil menangis. Betul-betul “takan on ong” saya dibuatnya, saya diam saja, setelah agak reda tangisnya baru saya mulai bertanya : “Baapo dek baitu, iko kan kesempatan elok dek awak untuk maubah nasib, ingeklah maso depan anak, untuang-untuang ado parubahan hiduik awak, cubolah onik-onik bona dulu, jan copek maambiak kaputusan ndak nomua poi” kata saya untuk menyadarkannya (Kenapa begitu, ini kesempatan bagus bagi kita untuk merubah nasib, ingat masa depan anak, untung-untung ada perubahan hidup kita, cobalah pikir-pikir benar dulu, jangan cepat mengambil keputusan tidak mau pergi). Dia menangis lagi sambil berkata : “Kami ndak tega do maninggaan induak jo bapak nan sadang sakik, cubo pikia dek datuak, kok induak ndak manampak lai (buta karena diabetes), bapak lh sosak ongok (karena sakit paru-paru), bek ko samantaro awak di rantau nyo maningga, ndak batomu jo kami lai, kami bialah ndak bapiti asal lai sabau jo ughang tuo, kok ka mati lai dakok awak, kami ndak manyosai do, kami mintak moo, ndak bisa manuwik parenta datuak do, mambona kami.” (Kami tidak tega meninggalkan Ibu dan Bapak yang sedang sakit, coba pikir oleh Datuk, kok Ibu tidak bisa melihat lagi, bapak lah sesak nafas, sementara kita di rantau Beliau meninggal, tidak bertemu oleh kami lagi, kami biarlah tidak beruang asal berkumpul dengan orang tua, bila akan meninggal lai dekat kita, kami tidak menyesal, kami tidak maaf, tidak bisa menurut perintah Datuk, minta ampun kami).
Hmmm ………., saya hanya bisa menghela nafas panajng dan mengeluh, disatu sisi saya kecewa, disisi lain saya membenarkan juga keluhan isteri saya, benar istri itu hak si suami, tapi saya juga ingat bahwa surga itu dibawah telapak kaki ibu, saya sendiripun merasa kasihan melihat penderitaan penyakit kedua orang mertua saya itu, tapi akan membantu biaya pengobatan dengan apa, biaya rumah tangga pas-pasan saja, itulah terniat ingin merantau, mudah-mudahan terbantu nantinya. Berhari-hari saya memasukkan kebenaran supaya dia mau pergi ke Malaysia, tapi jawabnya lebh parah lagi “Bialah datuak songhang nan poi, kami jo anak-anak bialah tingga di siko” (Biarlah Datuk seorang saja yang pergi, kami dan anak-anak biarlah tinggal di sini).
Itu yang paling tak mungkin bagi saya berpisah-pisah dengan istri dan anak-anak. Saya terus mencari akal bagaimana niat untuk merantau ini tercapai, keadaan ini saya ceritakan kepada Kepala Desa Silungkang Duo Bapak Idrus Bagindo Molieh (Pak Dodok) almarhum. Beliau sudah kami anggap sebagai Bapak sendiri, kami banyak menerima nasehat dari beliau baik diminta maupun tidak diminta, “Pak! Tolonglah nasehati padusi ambo pak, rugi kalau kesempatan ko disio-siokan,” kata saya dengan nada hampir putus asa (Pak ! Tolonglah nasehati istri saya Pak, rugi kalau kesempatan itu disia-siakan). “Jadilah ambo cubo manasehati, bisuak pagi ambo datang” jawab Pak Dodok (Jadilah saya coba menasehati, besok pagi saya datang).
Besok paginya Pak Dodok datang, seperti biasanya beliau datang membawa oleh-oleh “Tapai dan Kupuak ubi Bukik Kociak” (Tapai dan Kerupuk ubi Bukit Kociak). Kami menyambut beliau dengan hati gembira. “Assalamu’alaikum ! Lai sehat-sehat jo” kata beliau, kami jawab : “Alhamdulillah, lai, diate bakpo lai sehat lo” (lai, diatas bagaimana lai sehat saja”. “Lai” jawab beliau sambil menyerahkan bungkusan. “Ha … ko ha………….. tapai duo malam, agia ka anak-anak bekko, ko kupuak ubi, gorianglah” (tapai dua malam, kasih ke anak-anak nanti, ini kerupuk ubi, gorenglah). “Eeee … apolo nan Bapak bao, tiok kamaghi Bapak ado-ado jo nan babao, tarimokasih Pak”, kala istri saya (Eeee … apaan nih Bapak bawa, tiap kemari Bapak ada-ada saja yang dibawa, terima kasih Pak). Setelah agak lama sudah minum, “Den ado nan mangecek jo kau saketek, dalam tu lah awak mangecek ha, bekko tadonga lo dek unghang ko”, kata Beliau sambil berkelakar (Gue ada yang ingin dibicarakan ke kau sedikit, di dalam itulah kita berbincang, nanti terdengar oleh orang lain). Beliau memberi nasehat panjang lebar, entah apa pembicaraan beliau, saya tidak tahu. Karena saya sengaja tidak mendengarnya, tapi yang masih teringat oleh saya ucapan beliau yang terakhir sengaja dibesarkan volumenya supaya terdengar oleh saya “Apo kecek den tu pikian lah, dulu, jan ditarimo sakali, ko mani jan di lulu, kok paik jan dibuang, lai obe dek kau da ..?”. (Apa ngomong gue pikirkan dulu, jangan diterima sekali, bila manis jangan ditelan, bila pahit jangan dibuang, paham apa ga kamu .. ?)
Istri saya hanya mengangguk mengiakan sebagai jawabannya, dan saya pun sebagai biasa “maota-ota” (ngobrol-ngobrol) dengan Pak Dodok mengenai akan habisnya masa jabatan kami karena kami sama-sama dilantik pada 30 Maret 1990 yang lalu di Gedung Pancasila Muaro-Sijunjung, diwaktu itu desa kita masih dalam wilayah Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung dan juga sama-sama berakhir masa jabatan 9 tahun sebagai Kepala Desa.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, saya tak pernah lagi berbicara tentang “Poi ka Malaysia” (pergi ke Malaysia) dengan istri saya, kalau tidak mau pergi, ya … sudah, mungkin belum nasib untuk kami ke Malaysia.
Sebulan telah berlalu, kabar dari Malaysia tidak ada, entah jadi, entah jadi, saya pun pasrah. Disuatu senja, sebagaimana biasa saya, istri dan anak-anak, sesudah sholat magrib makan bersama, selesai makan, istri saya berkata, “Takona lo dek kami, apo nan nyo kecekana dek Pak Dodok tu iyo bona lo, sajak baliau maagia nasehat dulu, dingin kapalo kami deknyo, sampai kini lapang dado kami rasonya, tamakan bona nasehat Pak Dodok tu dek kami, Tuak .. ! Bakpo-bakpo nyo, bialah awak poi ka Malaysia tu, untuang-untuang kok lai barubah nasib, disiko bona kami, kok malaikek mouk nan kamanjopuik ughang tuo tu, ndak jo bisa kami managaan do” (Teringat sama kami, apa yang diomongon Pak Dodok itu benar, sejak beliau memberi nasihat dulu, dingin kepala kami. Sampai kini lapang dada kami rasanya, termakan benar nasehat Pak Dodok itu oleh kami. Datuk … ! Bagaimana pun biarlah kita pergi ke Malaysia, untung-untung berubah nasib, di sini benar kami, bila malaikat maut yang menjemput orang tua itu tidak bisa kami melarang). Saya hanya termenung mendengar kata istri saya itu, pikiran saya “bapilin” (melintir), dari iyo ka indak, dari indak ka iyo (dari iya bisa tida, dari tidak bisa iya), “ta gonju-gonju” (tarik ulur), tapi sebagai kepala keluarga saya tetap tenang dan tersenyum, supaya suasana rumah tangga harmonis. “Kok baitu dimano nan ka elok lah, dimano nan ka aman rumah tango kito, jan soghang nak kaili, songhang nak ka mudiak, ko dapek yo saili samudiak ndak nyo, sampai lah batuo-tuo jan ado silang sangketo ndak nyo, aman.” kata saya dengan tenang (kalau begitu dimana yang bagusnya saja, dimana yang aman rumah tangga kita, jangan sendiri pergi ke hilir, sendiri ke mudik, bila dapat yang sehilir semudik hendaknya sampai nenek kakek jangan ada silang sengketa, aman). Segala pembicaraan saya dengan istri saya disimak oleh anak-anak saya, anak-anak saya senang karena tak pernah mendengar orang tuanya bertengkar dan berselisih paham, saya selalu berusaha supaya rumah tangga saya tetap harmonis, “ado samo dimakan, ndak ado samo di caghi”. (ada sama dimakan, tidak ada sama dicari).
Bulan Mei habis Juni datang, Juni habis Juli datang, kini Agustus pun hampir habis pula yang kaan disambut oleh September, 4 bulan sudah, namun kabar dari Malaysia tidak ada, saya merasa rencana ini batal, mungkin dikarenakan Indonesia dilanda “krismon” (krisis moneter) dan juga suhu politik di Indonesia memanas, sehingga orang Malaysia itu enggan atau takut masuk ke Indonesia.
BERSAMBUNG ……
Source :
Tabloid Suara Silungkang
Edisi Jolong Jolong, Juli 2007
Kisah Nyata Djasril Abdullah