Ajaran


UNDANG-UNDANG NAN DUA PULUH DAN

HUKUM ADAT DI SILUNGKANG

 Undang-undang yang dua puluh merupakan undang-undang yang mengatur persoalan hukum pidana, mengenai berbagai bentuk kejahatan dengan sanksi tertentu, dan bukti terjadinya kejahatan serta cara pembuktiannya.

Undang-undang dua puluh ini secara pokoknya disusun oleh kedua ahli hukum Minangkabau yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpati Nan Sabatang.

(lebih…)

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Membaca tabloid Koba Silungkang edisi April 2003 dalam tulisan “Seputar Kota Kita” mengkritisi sikap PKS Jakarta soal “Balon” Wako dan Wawako saat itu, Who Wants To Be The Mayor Part 2.

Kami teringat pengalaman Alm. Sdr. Syafar Habib yang diceritakannya pada kami 3 bulan sebelum dia meninggal dunia. Sebelum dia menceritakan pengalamannya itu, dia minta kepada kami agar kami berfikir secara filosofis, sebagai berikut :

Dalam pertemuan ‘acara Minang’ dia duduk; di sebelah kanannya Bapak Emil Salim dan di sebelah kirinya Bapak Menteri Abdul Latif. Bapak Emil Salim berkata kepada Sdr. Syafar Habib : Engku Syafar, saya bangga dengan perantau Silungkang, di mana-mana orang Silungkang jarang yang menjadi pegawai negeri, kebanyakan menjadi pedagang. Tetapi setelah saya menjadi menteri saya perhatikan tidak ada orang Silungkang menjadi pengusaha menengah ke atas.

Mendengar ucapan kedua tokoh Minang itu Sdr. Syafar Habib hanya terdiam, tetapi dalam hatinya berkata : apakah baju putih yang sedang saya pakai ini sama warna putihnya dengan pakaian dalam ?

Mendengar pengalaman Sdr. Syafar Habib ini kami juga merenung dan terpikir bagaimanakah orang Silungkang di abad 21 ini.

Menjelang Sdr. Zuhairi Muhammad Panai Empat Rumah meninggal dunia, kami sekali dalam tiga bulan sengaja datang ke rumahnya di Komplek Perindustrian di Jalan Perdatam Pancoran, rasanya kalau kita berbicara dengannya seperti kita berbicara dengan mamaknya Alm. Pakiah Akuk. Dia mengatakan pendapatnya kepada kami, bahwa orang Silungkang bukan orang aktif tetapi reaktif. Semula kami tidak sependapat dengannya, tetapi setelah kami renungi kami sependapat pula dengannya.

Tahun 80-an kami pernah membaca buku karangan Mr. Muhammad Rasyid berjudul ‘Sejarah Perjuangan Minangkabau’ sebelum peristiwa PRRI beliau menjadi duta besar RI di Perancis merangkap di Italia, di halaman 45 kami membaca waktu pemberontakan rakyat Silungkang tahun 1927. Penjajah Belanda sangat kejam, tentara Belanda memperkosa gadis-gadis Silungkang.

Begitu tersinggungnya kami, buku itu tidak tamat dibaca tetapi diserahkan kepada PKS di Bendungan Hilir, karena waktu itu PKS masih menumpang di kantor Koperasi Kemauan bersama di Bendungan Hilir (Bendhill). Kenapa buku itu diserahkan karena menurut Mr. Muhammad Rasyid kalau isi buku ini tidak sesuai dengan kenyataannya (buku ini jilid pertama) bisa diralat pada jilid kedua nanti.

Akhirnya buku itu dikembalikan kepada kami setelah buku tersebut berubah warna, mungkin waktu itu tidak ada reaksi dari PKS, entahlah !

Waktu kami mendapat musibah, kami mendatangi Buya Duski Samad , untuk minta nasihat, kepada beliau kami curahkan musibah yang kami terima, jawab beliau singkat: tetapi kita harus berfikir, kata beliau : jika sekarang saya mempunyai uang 100 juta rupiah, uang itu akan habis dalam seminggu, kami bertanya : kenapa begitu Buya ? jawab beliau, saya bukan pedagang. Kami renungkan jawaban beliau itu, kemudian kami menjawab sendiri; “Kerjakanlah apa yang ada ilmunya pada kita”, betul kata beliau. Kemudian beliau bertanya murid-murid beliau dulu yang berasal dari Silungkang, a.l., Yakub Sulaiman (Pakiah Akuk) dan Abdullah Usman (Guru Dullah Sw. Jawai) beliau bangga dengan murid-murid beliau itu.

Lelah bersaing menjadikan takut bersaing
Di zaman Gajah Tongga Koto Piliang Dulu, kemungkinan besar orang Silungkang pintar dan cerdas, tetapi sayang kenapa orang Silungkang mendiami lungkang sempit, hampir tidak ada tanah yang subur untuk ditanami padi, tidak seperti belahan kita di Padang Sibusuk dan Allah mentakdirkan kita orang Silungkang menjadi pedagang.

Pedagang itu sarat dengan persaingan, bisa terjadi persaingan itu antara saudara sesuku, sekampung, sepupu, bahkan antara saudara sendiri clan yang paling riskan terjadi antara Pembayan dengan Pembayan yang sama-sama mendiami rumah panjang (rumah adat).

Coba kita pikirkan Silungkang itu seperti kotak korek api dibandingkan Indonesia yang luas ini.

Menurut perkiraan kami sebelum Jepang menjajah Indonesia, 50% perempuan Silungkang yang sudah bersuami dimadu suaminya, mungkin juga lebih.
Kenapa bisa seperti itu ? Mana mungkin perempuan Silungkang bisa menikah dengan orang luar Silungkang, karena adat melarangnya, terpaksa atau tidak perempuan-perempuan Silungkang harus bersedia menjadi isteri kedua atau menikah dengan duda yang jauh lebih tua umurnya.

Madu itu obat, tetapi bagi perempuan yang di’madu’ menyakitkan hati, bersaing memperebutkan kasih sayang sang suami, anak-anak yang . ibunya dimadu, pun merasa dimadu pula dengan ibu-tiri, saudara tirinya. Persaingan itu menimbulkan kecemburuan, kecemasan, dengki, irihati clan was-was, penyakit itu bisa,, berketurunan.

Menurut Prof. Zakiah Deradjat dalam buku “Menghadapi Liku-Liku Hidup”, beliau menulis dari segi kejiwaan, perkembangan dan pertumbuhan anak, anak dalam kandungan telah menerima pengaruh-pengaruh yang berarti baginya. Suasana emosi dan tolak pikir ibu yang sedang mengandung mempunyai kesan tersendiri bagi janin dalam kandungan.

Jadi orang Silungkang mendiami lungkang yang sempit, persaingan hidup yang tidak sehat, sangat mempengaruhi cara berfikirnya. Jadi apa yang dikatakan Bapak Emil Salim di atas, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Silungkang, jika dilihat dari luar semuanya baik. Coba kita perhatikan semenjak dahulu organisasi apapun yang dibentuk, dan bangunan apapun yang didirikan hampir semua meninggalkan kesan-kesan yang kurang baik.

Kemudian apa yang dikatakan Bapak Menteri Abdul Latif di atas, mungkin juga akibat “Lima Penyakit Di atas”. Seterusnya pendapat Sdr. Zuhairi Muhammad (Alm), kita orang Silungkang bukan aktif tetapi reaktif, kemungkinan ini juga diakibatkan oleh orang kita (SLN) tidak bisa bersaing khususnya dengan orang di luar Silungkang, bisanya hanya bersaing dengan orang sekampung sendiri.

Yang menang membusungkan dada dan yang kalah bak perempuan tua memakan sirih, daun sirih habis, tinggal tembakaunya yang masih dikunyah-kunyah.

Orang-orang Silungkang Diabad 21
(Silungkang People Must Be Brave To Up Side Hand Down)

Mengkritisi PKS., maaf … tentu maksudnya ketua PKS, kalau kita perhatikan latar belakang ketua PKS ini, lahir di Silungkang, kecil dibawa merantau oleh orang tuanya ke Medan, SD, SMP dan SMU di Medan, kuliah di Jakarta. Bekerja dan berusaha, bukan dalam lingkungan Silungkang. Bidang usahapun berlainan dengan kebiasaan orang-orang Silungkang, bergaul selama sekolah di Medan dengan komunitas “Batak” tapi tidak kelihatan pengharuh “Batak”-nya, dia supel, demokrat dan moderat. Menurut kami PKS belum pernah mempunyai ketua yang seperti ini.

Banyaknya balon (lebih dari satu) Wako – Wawako, orang belum tentu menilai kita tidak bersatu, bukan Bapak Emil Salim saja yang menilai kita bersatu, banyak yang lain.

Kita bisa belajar dari cara pemerintahan kita di zaman Soeharto, yang memproteksi pengusha-pengusaha nasional, waktu datang krisis karena globalisasi, pengusaha-pengusaha nasional tidak bisa bersaing, oknum pemerintah korup dan pengusaha menyuap, akhirnya semuanya berantakan, jangan hendaknya Silungkang ini seperti Indonesia kita sekarang.

Jangan pula kita hanya terkesan dengan kata-kata keputusasaan Eva Peron dalam sebuah lagu “Don’t Cry For My Argentina”.

Sampai sekarang lagu itu masih dipopulerkan Madonna, kita tak pernah kenal dengan siapa Eva Peron dan Madonna itu ? Coba kita berpedoman kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana nama beliau kita sebut-sebut setidak-tidaknya 29 x sehari dalam shalat 5 waktu dan lagi beliau itu ada tertulis dalam AI-Qur’an. Mengapa beliau sampai menangis waktu akan meninggal dunia dan berkata : ummati, ummati, ummati, begitu perhatian Nabi Muhammad SAW pada umatnya. Putus asa apa hukumnya ? Haram.

Buletin Silungkang jangan hanya terbit untuk kepentingan sesaat tetapi berlanjut untuk kepentingan orang Silungkang yang dirantau dan yang di kampung dengan harga yang bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, semoga …

Sekarang ilmuan Silungkang sudah banyak di Jakarta dan di kota-kota lainnya, bahkan di mancanegara. Dalam berbagai disiplin ilmu, mintalah kepada mereka sumbangan pikiran untuk ditulis dalam buletin Silungkang. Tentu, dengan tulisan dan kata-kata yang menyejukan dan juga artikel-artikel (rubrik) yang dibutuhkan oleh pelajar, mahasiswa Silungkang dan ditulis pula pengalaman-pengalaman orang Silungkang yang bisa menjadi pelajaran bagi pembacanya.

Apalagi ada ruangan agama terutama di bidang zakat, penulisannya itu ‘bak azan bilal’ sahabat Nabi Muhammad, yang suaranya itu menghimbau orang segera sholat.

Bisa jadi buletin Silungkang itu kelak bak harian Republika yang mempunyai dompet dhuafa untuk orang Silungkang yang berkekurangan dan mengajak orang Silungkang untuk berdoa dan menangis serta berbut, beramal untuk kemaslahatan kampung kita, jauh dari berkorban karena ada sesuatu di belakangnya. Amin ya robbal ‘alamin.

Billahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

“Mucho Gracias Amigo – Arigato Gozaimatsu Tomodachi”

Esemmes

Tembusan dikirim kepada Yth.
1. Tabloid KOBA
2. Koordinator LAZ / PKS
3. PT. Estetika (Percetakan)
4. Sdr. Fadil Abidin (Pengajian PKS)

15. Ciri Masyarakat Minang

1. Aman dan Damai

Bumi yang Damai

  1. Kalau adat berbuhul sintak, sekata baru dijalankan, lurus yang tak mungkin menghindar, hukum yang benar yang diturutkan,
  2. Sudah mujur yang teraih; paham seukur yang dicapai, keruh yang sudah diperjernih, kusut yang sudah diselesaikan,
  3. Tak ada keruh yang takkan jernih, tak ada kusut yang takkan selesai, sepuas silang dan selisih, dapat yang benar tibalah damai,
  4. Supaya sama tampak putih hati, tanda jernih tak berlumpur, berjabat tangan malah kini, begitu adat di hlinangkabau,

Hidup di Dunia
1. Hidup di atas bumi alam ini, menghuni kota dan nagari, ada empat corak dan ragamnya,

a. Pertama, hidup di bumi – kasih pada pacul dan tembilang, suka bersawah dan bertani, memelihara ternak sampai berkembang, kuat bertahun dan menanam, muda tanaman karena disiang ( bersih ), mau mencangkul dan meratakan, jangan tanggung-tanggung,

b. Kedua, hidup di laut – sampan pengayuh kebesaran, alat perkakas serba lengkap, namanya tegak di pertukangan ( nelayan ), tahu dengan ombak yang berdebur, ingat dengan badai yang akan tiba, badan sehat tiang utama, kepintaran pun ada juga,

c. Ketiga, Hidup di awang-awang ( berdagang ) – terbang menyisir awan biru, sayap rimbun ekor pun panjang, mau menjaring angin lalu ( bergaya ), kalau patah sayap tercabut bulu, siang dan malam silih berganti, pandai menenggang yang seperti itu, hidup berniaga itu namanya,

d. Keempat, hidup di langit ( ulama ), iman teguh amalan taat, tahu dengan mungkin dan patut, dunia akhirat supaya selamat, yang baik cinta di hati, pada yang baik tunggang niatan, nafsu dibendung akal budi, pandangan pada dunia berukuran,

2. Itulah macamnya hidup yang empat, diatas dunia supaya dipakaikan, pegang amanat erat-erat, amanat yang jangan dilupakan.

2. Masyarakat nan Sakato

Ciri-cirinya :
Bumi senang padi menjadi, padi masak jagung mengupil, anak buah senang sentosa, ternak berkembang biak, bapak kaya ibu bertuah, mamak disembah orang pula

Unsur-unsurnya :
1. Saiyo Sakato, yaitu seia sekata, seperti kata pepatah :

a. Proses pengambilan keputusan
– Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, bulat supaya boleh digelindingkan, pipih supaya boleh dilayangkan

b. Mendukung hasil keputusan dengan utuh
– Seciap bagaikan ayam, sedenting bagaikan besi,


c. Semangat musyawarah

– Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama-sama berlapang-lapang, kata sendiri dibulati ( dimantapkan ), kata bersama dirundingkan (sebelum diputuskan)

d. Semangat kebersamaan
– Ke hulu se-entak galah, ke hilir serengkuh dayung, sekata lahir dan batin, sesuai mulut dan hati,


e. Anti sikap otoriter

– Walau hinggap ingin mencekam, kuku yang tajam tak berguna, walau memegang tampuk alam, kata mufakat yang kuasa, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan rundingan,


f. Filosofi mengatasi silang sengketa

– Kalau pecah, pecahnya pelupuh, kalau kusut, kusutnya bulu ayam, retak yang tidak membawa mara ( bahaya ), jengkel yang tidak membawa sengsara, genting yang berpantang putus, biang yang tidak akan tembus,

g. Penyelesaian masalah di luar musyawarah buruk
– Yang benar kata seiya ( sekata ), yang raja kata mufakat, baik kata di dalam mufakat, dicari rundingan yang seiya, dicari kata yang sebuah, beriya-iya dengan yang muda, bertidak-tidak dengan yang tua,

h. Untuk mufakat perlu musyawarah
– Mengeruk sehabis lobang, meraba sehabis rasa, habis daya badan tergeletak, habis faham akal berhenti, katapun putus sendirinya, diindang ditampi teras, dikuras dedak di niru, dipilih gabah satu satu, dalam di pilih, dipilih lagi.

2. Sahino Samalu, yaitu harga diri individu menyatu/melebur menjadi harga diri kelompok suku, seperti kata pepatah :

a. Suku yang tidak boleh dianjak, malu yang tidak dapat dibagi, sesimpul seikat erat, seikat sesimpul mati, seikat bagaikan lidi, sesusun bagaikan sirih, selubang bagaikan tebu, serumpun bagaikan serat,

b. Sesakit sesenang, sehina semalu, serasa seperiksa, seadat selembaga, satu larangan clan pantangan,

c. Dekat jelang menjelang, jauh cinta mencinta, jauh di mata dekat di hati, jauh mencari suku, dekat mencari ibu.

3. Anggo Tanggo, tata pergaulan yang tertib dengan mematuhi aturan-aturan clan undang-undang serta pedoman-pedoman clan petunjuk-petunjuk yang diberikan penguasa adat, seperti kata pepatah :

a. Negeri berpagar undang, kampung berpagar aturan, tiap lesung berayam jago,

b. Negeri berpenghulu, kampung punya ketua, rumah punya tungganai, sawah berpematang, lading berbatas batu, rimba berbatas pohon jilung, bukit berbatas pohon murbai, padang berbatas pohon linggundi, hak yang berpunya, genggam yang beruntuk, seukur makanya jadi, sesuai makanya dipakai.

c. Salah cotok melentingkan, salah ambil mengembalikan, salah makan meludahkan, salah langkah surut kembali, salah kepada manusia minta maaf, salah kepada Tuhan minta tobat.

3. Sapikue Sajinjiang, yaitu saling membantu dengan pedoman berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, seperti kata pepatah :

a. Yang berat sama dipikul, yang ringar, sama dijinjing, ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun, yang ada sama di makan, yang tidak ada sama dicari,

b. Keluk paku kacang belimbing, tempurung lenggang*lenggangkan , bawa menurun ke Saruaso, tanamlah sirih di uratnya, anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan, tenggang negeri jangan binasa, tenggang serta dengan adatnya,

c. Yang lemah perlu ditunjang, yang miring perlu ditopang, ayam ada yang merinduk, sirih diberi junjungan ( batang ), hidup’ sandar bersandar, bagaikan aur dengan tebing.

3. Cita-cita Masyarakat Minang

Landasan ( Sendi ) :
Agama Islam, Adat nan Basandi Syarak dan Ilmu Pengetahuan yang bertumpu pada Akal dan Naqal ( dalil aqli dan naqli )

Prasarana :
Individu berbudi luhur
, yaitu hiduik bakiro, baukue, bajangko, babarieh dan babalabeh, baso basi, malu jo sopan, tenggang rasa, setia ( loyal ), adil, hemat dan cermat ( sumber daya manusia dan benda ), waspada, berani karena benar, arif – bijaksana dan rajin

c. Sarana :
Masyarakat yang sakato
, yaitu saiyo sakato, alue – patuik, mufakat, sahino samalu, raso pareso, menyatu, anggo tango, disiplin serta sapikue sajinjing, gotong royong clan kerjasama,

d. Tujuan :
Masyarakat aman, damai, makmur, ceria, berkah
( bumi sanang, padi menjadi, taranak bakambang biak ) atau baldatun toiyibatun wa Robbun Gafuur.

12. Fungsi Pusako

  • Untuk menghargai jerih payah nenek moyang yang telah “mancancang malateh, manambang dan manaruko” mulai dari niniek-*niniek zaman dulu sampai kita sendiri.
  • Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah clan supaya tali darah tidak putus, kait-kait jangan pecah, sehingga harta pusaka ini menjadi harta sumpah satie ( setia ) dan siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidup dan keturunannya.
  • Sebagai jaminan kehidupan kaum yang sejak dulu hingga sekarang masih terikat pada tanah ( kehidupan agraris ).
  • Sebagai lambang kedudukan sosial sesuai kata pepatah : Dengan emas segala beres, dengan padi semua jadi, hilang warna karena penyakit dan hilang bangsa tak beremas.
13. Hubungan Individu dan Kelompok

  • Sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya dan setiap kelompok itu ( suku ) menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa-saling memiliki ini menjadi sumber timbulnya rasa setia kawan ( solidaritas ) yang tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa saling tolong menolong. Setiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi setiap individu anggota sukunya. Kehidupan tersebut ibarat ikan dengan air atau pepatah mengatakan : suku yang tidak bisa dianjak dan malu yang tidak bisa dibagi.
  • individu yang berwatak baik akan membentuk masyarakat yang rukun, dan damai serta kelompok yang tertata rapi akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik.

Bersambung ….

9. Sako

  • Sako artinya warisan yang tidak berwujud benda ( immaterial ) tetapi sangat berperan dalam membentuk moralitas orang Minang dan kelestarian adat Minang atau disebut pula pusako kebesaran.
  • Yang termasuk Sako seperti gelar penghulu ( gelar kebesaran ), garis keturunan diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan (matrilineal), pepatah-petitih dan Hukum Adat yang diwariskan kepada semua anak dan kemenakan dalam suatu nagari clan kepada seluruh Ranah Minang serta tata krama dan adat sopan santun yang diwariskan kepada semua anak dan kemenakan dalam suatu nagari clan kepada seluruh Ranah Minang.
10. Pusako

Pusako atau harato pusako adalah segala kekayaan materi atau harta benda, seperti hutan dan tanah, sawah dan ladang, tambak dan kebun, rumah, pekarangan, pandam pekuburan, perhiasan, uang, balai, mesjid, peralatan dan lain-lain.

11. Ketentuan adat tentang sako dan harato pusako adalah sebagai berikut :

  • Hak berpunya dan harta bermilik.
  • Sako dan harato pusako pada dasarnya dikuasai dan dimiliki bersama (kolektif) kelompok-kelompok samande atau seperinduan, kelompok sajurai, kelompok saparuik atau sapayung, kelompok sasuku, dan milik nagari (pepatah-petitih, balai adat, mesjid, pasar, tanah ulayat dan pandam pekuburan).
  • Harato Pusako terbagi dua :
  1. Harta pusaka tinggi, yaitu segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun dari niniek kepada gaek, dari gaek kepada nenek, dari nenek kepada mande dan dari mande kepada anak perempuan serta tidak boleh dijual. Masih dapat digadaikan bila keadaan terpaksa, seperti untuk kepentingan darurat mengurus mayat terbujur di tengah rumah, gadis dewasa belum bersuami, membangkitkan batang tarandam dan rumah gadang yang bocor atau penutup harga diri.
  2. Harta pusaka rendah, yaitu segala harta hasil pencarian orang tua ( bapak bersama ibu ) selama ikatan pernikahan ditambah dengan pemberian dari mamak dan tungganai kepada kemenakannya ( yang berasal dari hasil pencarian mamak dan tungganai itu sendiri ). Bila telah diwariskan kepada anak-anaknya selama 4 ( empat ) generasi dan disisipkan ke dalam harta pusaka tinggi maka disebut “harta susuk”.
8. Penerapan Adat

Lingkungan Pemerintahan Adat

  1. Berhitung dan satu, mengaji dari alif, naik dan jenjang yang di bawah dan turun dari tangga yang di atas.
  2. Kemenakan tunduk kepada mamak, mamak tunduk kepada penghulu, penghulu tunduk kepada mufakat, mufakat tunduk kepada kebenaran dan kebenaran itu berdiri sendiri.
  3. Mufakat tunduk kepada kebenaran dan menurut alur aturan yang pantas.

Lingkungan Pemerintahan

  1. Adat nan maniru manuladan, sahino samalu dan saraso sapanso.
  2. Alur sama diturut, jalan bersih yang ditempuh, adat sama dipakai dan aturan sama diturut.
  3. Yang meniru meneladani, bagaimana orang begitu pula kita, mencontoh pada yang ada, meneladan pada masa lampau dan mencari tuah kepada yang menang.
  4. Berlaba sama beruntung, kehilangan sama merugi, mengukur sama panjang, menyambung sama lebar, berbagi sama banyak, menimbang sama berat, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, kebukit sama mendaki dan ke lurah sama menurun.
  5. Yang ada sama dimakan, yang tidak sama dicari.
  6. Kalau jauh ingat mengingat, kalau dekat kunjung-mengunjungi.
  7. Tertelentang sama minum air, tertelungkup sama makan tanah, melompat sama patah dan merunduk sama bungkuk.
  8. Yang tua dimuliakan, yang muda dikasihi dan seusia diajak kawan.
  9. Kabar baik berhimbauan dan kabar buruk berhamburan.
  10. Pucuk pauh sedang terjela, penjolok bunga langgundi, agar jauh silang sengketa perhalus basa dan basi.
  11. Yang merah ialah sega, yang burik ialah kundi, yang indah adalah basa ( basi ) dan yang baik adalah budi.

Lingkungan Kehidupan Berdunsanak dan Berkorong Kampung

  1. Kampung berpagar dengan pusaka, negeri berpagar dengan aturan, disana aturan yang berlaku, baris yang tahan tilik dan aturan yang tahan uji.
  2. Menimbang sama berat, mengukur sama panjang. Tiba di mata tidak dipejamkan, tiba di perut tidak dikempiskan, tiba di dada tidak dibusungkan.
  3. Mendapat sama berlaba, kehilangan sama merugi, mengukur sama panjang, menyambung sama lebar, berbagi sama banyak clan menimbang sama berat.
  4. Yang ada sama dimakan, yang tidak ada sama dicari, hati gajah sama dipotong, hati tungau sama dicercah, yang besar bagi bertumpuk dan yang kecil bagi secercah.
  5. Perang sesuku sama dilipat ( berhenti ), perang dengan penyamun sama dihadapi.
  6. Tiba di dunsanak dunsanak pertahankan, tiba di kampung kampung dipertahankan, tiba di negeri negeri dipertahankan, tiba di bangsa bangsa pertahankan.
  7. Kalau kusut, kusutnya bulu ayam, dengan musyawarah diselesaikan, biduk lalu kiambang bertaut.

Lingkungan Mencari Nafkah

  1. Ingin kaya tekun mencari ( berusaha ), ingin tuah bertabur emas, ingin mulia tepati janji, ingin lurus rentangkan tali.
  2. Ingin nama tinggalkan jasa, ingin pandai rajin belajar.
  3. Manusia : Yang buta peniup seruling, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang dungu untuk suruhan, yang buruk untuk pekerja, yang kuat pengangkut beban, yang jangkung menjadi galah, yang pendek penyeruduk, yang pintar tempat bertanya, yang cerdik tempat berunding dan yang kaya tempat bertenggang.
  4. Tanah : Yang lereng tanami padi, yang tunggang tanami bambu, yang gurun jadikan kebun, yang basah jadikan sawah, yang padat untuk perumahan, yang munggu jadikan pekuburan, yang lubang tambak ikan, yang padang tempat gembala, yang becek kubangan kerbau clan yang rawang renangan itik.
  5. Kayu : Yang kuat untuk tonggak tua, yang lurus untuk rasuk paran, yang lentik untuk bubungan, yang bungkuk untuk tangkai bajak, yang kecil untuk tangkai sapu, yang setapak untuk papan tuai, yang ranting untuk pasak sunting, yang pangkal untuk kayu api dan abunya untuk pupuk padi.
  6. Bambu : Yang panjang untuk pembuluh, yang pendek untuk perian dan yang rebung untuk penggulai.
  7. Sagu : Sagunya untuk bekal ke dangau, ruyungnya ke tangkai bajak, ijuknya untuk atap rumah, pucuknya untuk daun rokok, lidinya untuk sapu.

Bersambung ……..

4. Langgo Langgi Adat

Sifat Adat
a. Sifat dasar
Adat berbuhul sentak dan Syarak berbuhul mati
, artinya mudah dilonggarkan atau dikencangkan dan terbuka untuk menerima perkembangan baru yang sesuai dengan pertimbangan alue dan patuik menurut logika orang Minang, yaitu sesuai dengan bunyi pepatah : “usang-usang diperbarui” atau “nan buruak dibuang jo etongan, nan elok dipakai jo mufakat”

b. Daya lentur adat Minang sesuai dengan klasifikasi/tingkatan adat yang terbagi atas empat tingkat :

  1. Adat nan sabana adat adalah sesuatu yang seharusnya, menurut alur dan patut dan seharusnya menurut tempat dan masa, agama dan peri kemanusiaa serta menjadi aturan pokok dan falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu, keadaan dan berlaku di seluruh ranah Minang, seperti yang dikiaskan dalam kata-kata adat : Adat yang tidak akan kering ( lekang ) karena panas, yang tak akan lapuk karena hujan paling-paling berlumut karena cendawan.Yang termasuk dalam adat ini adalah silsilah keturunan menurut garis ibu ( matrilineal ), pernikahan dengan pihak luar persukuan dan suami tinggal dalam lingkungan kerabat istri ( eksogami – matrilocal ) serta harta pusaka tinggi yang turun temurun menurut garis ibu dan menjadi milik bersama “sajurai” yang tidak boleh diperjual belikan, kecuali punah dan falsafah Alam Takambang Jadi Guru sebagai landasan utama pendidikan alamiah yang rasional serta menolak pendidikan mistik dan takhyul.
  2. Adat nan diadatkan adalah peraturan setempat yang telah diambil dengan kata mufakat ataupun kebiasaan yang sudah berlaku umum dalam suatu nagari. Yang termasuk adat ini adalah mengenai tata cara, syarat serta upacara pengangkatan penghulu, tata cara, syarat serta upacara pernikahan yang berlaku dalam tiap-tiap nagari. Daya lentur adat ini lebih tinggi dan dapat lebih mudah diperbarui.
  3. Adat nan teradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi atau bahkan boleh ditinggalkan, selama tidak menyalahi landasan berfikir orang Minang, yaitu alue, patuik, raso pareso, anggo tango dan musyawarah. Yang termasuk adat ini seperti cara berpakaian, cara makan dan cara minum, dsb.
  4. Adat istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti pasang surut situasi masyarakat, yang umumnya bersifat seni budaya masyarakat, seperti pertunjukan randai, saluang, rebab, tari-tarian dan aneka kesenian yang dihubungkan dengan acara perhelatan pernikahan, puntiang penghulu maupun menghormati kedatangan tamu agung serta adat sopan santun, basa basi dan tata krama pergaulan.

5. Limbago Nan Sapuluah
Selain pembagian empat tingkatan adat di atas, ada satu pengaturan adat yang bersifat khusus dan merupakan ketentuan yang berlaku umum, baik di ranah maupun di rantau.

Pengaturan itu disebut Limbago Nan Sapuluah yang terdiri atas “cupak nan duo”, yaitu Cupak Ash dan Cupak Buatan serta “undang-undang nan ampek”, yaitu Undang-undang Luhak Rantau, Undang-undang Pembentukan Nagari, Undang-undang Dalam Nagari dan Undang-undang nan 20 ( Pidana Adat ) serta “kato nan ampek”, yaitu Kato Pusako, Kato Daulu, Kato Buatan ( Kata Mufakat ) dan Kato Kemudian ( Kato Bacari ) yang seluruhnya menjadi dasar Hukum Adat Minang.

Bersambung ….

2. Arti Adat

Adat
adalah peraturan hidup sehari-hari yang menyangkut hal-hal mendasar, khususnya tentang landasan berpikir, nilai-nilai dalam kehidupan, norma-norma dalam pergaulan, falsafah hidup dan hukum-hukum yang harus dipatuhi.

Adat Minang adalah suatu konsep kehidupan yang disiapkan oleh nenek moyang orang Minang untuk anak cucunya dengan tujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat.


3. Nagari, Adat, Hukum dan Undang-undang Nan Ampek

Nagari Nan Ampek :
Pertama : Banjar
Kedua : Taratak
Ketiga : Koto
Keempat : Nagari

Adat Nan Ampek :
1. Adat Nan Sabana Adat
2. Adat Nan Diadatkan
3. Adat Nan Teradatkan
4. Adat Istiadat

Hukum Nan Ampek :

1. Hukum Bajinah : Saksi Keterangan
2. Hukum Qarinah : Tingkah Laku
3. Hukum Ijtihad : Dalil Nyata
4. Hukum Ilmu : Penelitian

Undang Nan Ampek :
1. Undang-undang Luhak Rantau
2. Undang-undang Pembentukan Nagari
3. Undang-undang Dalam Nagari
4. Undang-undang Nan 20

Bersambung ……

Pendidikan Al Qur’an di Kecamatan Silungkang terdapat 25 TPA dan 3 TPSA

  1. TPA Nurul Huda terletak di Puskesmas desa Silungkang Oso, muridnya 75 orang, gurunya 2 orang.
  2. TPA Nurul Ikhlas di Sungai Cocang desa Silungkang Oso, muridnya 30 orang, guru 1 orang
  3. TPA Taqwa di Lubuk Kubang desa Silungkang Oso, muridnya 26 orang, gurunya 1 orang.
  4. TPA Surau Manggis di Sawah Juai desa Silungkang Oso, muridnya 80 orang, guru 1 orang.
  5. TPA Baiturrohim di Tanah Sirah desa Silungkang Duo, muridnya 75 orang, guru 3 orang.
  6. TPA Talang Tulus terletak di Bukit Kecil desa Silungkang Duo, muridnya 30 orang, guru 1 orang.
  7. TPA Al-Islah di Kutianyir desa Silungkang Tigo, murid 35 orang, guru 3 orang.
  8. TPA Nailus Sa’adah di Sungkiang desa Silungkang, murid 20 orang, guru 1 orang.
  9. TPA Babussalam terletak di desa Silungkang Tigo, murid 35 orang, guru 3 orang.
  10. TPA Muhammadiyah di Surau Godang desa Silungkang Tigo, murid 160 orang, guru 2 orang (sama dengan murid SDM).
  11. TPA Madrasah Al Quraniyah di Surau Palo, desa Silungkang Tigo, murid 112 orang, guru 5 orang.
  12. TPA Al Maghfiroh di Batu Bagantuang, desa Silungkang Tigo, murid 25 orang, guru 1 orang.
  13. TPA Nurul Hikmah di Batu Mananggau, desa Silungkang Tigo, murid 30 orang, guru 1 orang.
  14. TPA Thoharroh di Gapersil, desa Silungkang Tigo, murid 35 orang, guru 1 orang.
  15. TPA Mujahiddin di Sawah Taratak, desa Muaro Kalaban, murid 90 orang, guru 4 orang.
  16. TPA Al-Falah desa Muaro Kalaban, murid 110 orang, guru 4 orang.
  17. TPA Babussalam, dekat kantor KUA Muaro Kalaban, murid 20 orang, guru 1 orang.
  18. TPA Al-Hidayah, dekat kantor Koramil, desa Muaro Kalaban, muridnya 45 orang, guru 2 orang.
  19. TPA Al-Mukminin, di Air Dingin, desa Muaro Kalaban, murid 30 orang, guru 1 orang.
  20. TPA Al-Mukhlisin, di Simpang Taratak Bancah, muridnya 30 orang, guru 1 orang.
  21. TPA Nurul Hikmah, di Sungai Laban, desa Muaro Kalaban, murid 75 orang, guru 4 orang.
  22. TPA An-Nur, di Batu Pipik, desa Muaro Kalaban, muridnya 30 orang, guru 1 orang.
  23. TPA Arrahman, di Simpang Kubang, desa Muaro Kalaban, murid 35 orang, guru 2 orang.
  24. TPA Al-Hidayah, di Mesjid Taratak Bancah, muridnya 54 orang, guru 2 orang.
  25. TPA Taqwa, di desa Taratak Bancah, muridnya 24 orang, guru 1 orang.
  26. TPSA Madrasah Al Quraniyah terletak di Surau Palo desa Silungkang Tigo, murid 26 orang, guru 1 orang.
  27. TPSA Al-Falah, terletak di Masjid Al-Falah Muaro Kalaban, murid 45 orang, guru 1 orang.
  28. TPSA Masjid Raya terletak di Raya Silungkang Tigo, murid 85 orang, guru 1 orang.

Rekapitulasi :

  1. 4 buah TK di Kec. Silungkang, muridnya 98 orang, gurunya 10 orang.
  2. 13 buah SD di Kec. Silungkang, muridnya 1.390 orang, gurunya 82 orang.
  3. 28 buah TPA/TPSA di Kec. Silungkang, muridnya 1.342 orang, gurunya 51 orang.

YAYASAN / ORGANISASI SETINGKAT YAYASAN YANG BERBADAN HUKUM PENYELENGGARA PENDIDIKAN DI KECAMATAN SILUNGKANG

  1. Yayasan Sekolah Dagang Islam, menyelenggarakan SLTP dan SMU/SDI.
  2. Yayasan Pendidikan Muaro Kalaban, menyelenggarakan SMU Swasta Muaro Kalaban.
  3. Pimpinan Muhammadiyah Cabang Silungkang, menyelenggarakan SD, TPA dan SLTP.
  4. Pimpinan Aisyiyah Cabang Silungkang, menyelenggarakan TK Aisyiyah.
  5. Yayasan Pendidikan Silungkang Badan Penyandang Dana TPA, SD dan SLTP Muhammadiyah.
  6. Yayasan Nurul Huda, menyelenggarakan TK dan TPA Nurul Huda.
  7. Yayasan Al-Islah, menyelenggarakan TK dan TPA Al-Islah.
  8. Yayasan Babussalam penyelenggara TPSA Masjid Raya Silungkang.

Tamat

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

  1. SLTP Negeri 06 terletak di desa Muaro Kalaban
  2. SLTP SDI terletak di Silungkang Tigo
  3. SLTP Muhammadiyah terletak di Silungkang Tigo

Disamping itu ada 5 SLTP terbuka, dimasing-masing desa

Sekolah Menengah Umum

  1. SMU / SDI di desa Silungkang Tigo
  2. SMU Swasta Muaro Kalaban yang direncanakan tahun 1999 akan menjadi SMU Negeri

Bersambung ….

Taman Kanak-kanak terdapat 4 buah :

  1. TK. Al Qur’an Nurul Huda, terletak di Puskesmas desa Silungkang Oso, jumlah muridnya 20 orang dan jumlah guru 2 orang.
  2. TK Al Qur’an Al-Islah, terletak di Kutianyir, desa Silungkang Tigo, muridnya berjumlah 12 orang dan guru 3 orang.
  3. TK Aisiyah, terletak di depan stasiun, desa Silungkang Tigo, muridnya 36 orang dan guru 3 orang.
  4. TK Pertiwi, di Muaro Kalaban, muridnya 30 orang, gurunya 2 orang.

Sekolah Dasar terdapat 12 buah + 4 Madrasah Ibtidaiyah Negeri

  1. SDN 13 di Sungai Cacang, desa Silungkang Oso, muridnya 60 orang, gurunya 5 orang.
  2. SDN 8 di Rumbio, desa Silungkang Duo, muridnya 111 orang dan gurunya 6 orang.
  3. SDN 12, di Bukit Kecil, desa Silungkang Dua, muridnya 59 orang, gurunya 6 orang.
  4. SDN 01 di Pasar Silungkang, desa Silungkang Tigo, muridnya 105 orang, gurunya 8 orang.
  5. SDN 04 di depan stasiun, desa Silungkang Tigo, muridnya 105 orang, gurunya 8 orang.
  6. SD Muhammadiyah di Surau Gadang, desa Silungkang Tigo, muridnya 160 orang, gurunya 8 orang diantaranya 1 pegawai negeri.
  7. SDN 06 di Sungai Durian, desa Silungkang Tigo, muridnya 46 orang, gurunya 6 orang.
  8. SDN 05 di Ampang-ampang desa Muaro Kalaban, muridnya 46 orang, gurunya 8 orang.
  9. SDN 09 di Belakang Stasiun, desa Muaro Kalaban, muridnya 175 orang, gurunya 8 orang.
  10. SDN 03 di Seberang Kantor Camat Silungkang desa Muaro Kalaban, muridnya 96 orang, gurunya 8 orang.
  11. SDN 07 Pondok Kapur desa Muaro Kalaban, muridnya 121 orang, gurunya 7 orang.
  12. SDN 10 desa Taratak Bancah muridnya 78 orang, gurunya 4 orang.
  13. Madrasah Ibtidaiyah Negeri di desa Muaro Kalaban, muridnya 42 orang, guru 3 orang.

Bersambung …

1. Pengajian
Jauh sebelum ada sekolah umum, tingkat pendidikan di Silungkang hanyalah pendidikan surau. Sama seperti di negeri-negeri lainnya di Minangkabau, suraulah yang memegang peranan penting dalam mencerdaskan rakyat. Anak-anak yang telah berumur 7 tahun, telah disuruh tidur di surau. Kalau masih tidur di rumah orang tua akan ditertawakan dan akan digelari dengan “Kongkong Induk Ayam”.

Di surau ini dapat dipelajari/diajarkan :

  1. Pelajaran dan didikan agama setidak-tidaknya sekedar yang pokok-pokok yang harus dimiliki oleh seorang Islam.
  2. Pelajaran adat, tambo, pidato-pidato adat, hariang gendiang sampai-sampai bagaimana tata tertib di atas rumah orang (cara berumah tangga).
  3. Tidur bersama, mengaji bersama, shalat bersama, adalah didikan bagaimana cara bermasyarakat, dan bagaimana supaya pandai menyesuaikan diri.
  4. Anak-anak akan dekat berkomunikasi dengan gurunya, ditempat untuk tidak penakut dan berjiwa besar, dan diberi pelajaran bela diri (silat).
  5. Di surau ini juga dapat dipelajari bagaimana cara berdagang, cara bertenun ataupun cara-cara serta pengalaman merantau.
  6. Setelah ada kaum pergerakan sekitar tahun 1915/1926, di surau-surau juga diadakan kursus-kursus politik.

Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, untuk mengetahui tinggi rendahnya pendidikan di suatu negeri dapat dilihat dari banyaknya surau serta murid yang mengaji disurau tersebut. Pada waktu itu, jumlah surau yang ada di Silungkang 25 buah, suatu jumlah yang besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Surau terbesar adalah surau Godang, (tempatnya di sekolah Muhammadiyah sekarang), surau ini didirikan pada tahun 1870 M / 1287 H dengan tujuan sebagai induk surau-surau yang sudah ada.

Yang mempelopori dan memimpin berdirinya adalah Syekh Barau (nama aslinya M. Saleh bin Abdullah). Syekh Barau ini adalah seorang ulama besar, punya murid dan pengikut yang banyak. Beliau pernah bermukim di Makkah untuk mempelajari seluk-beluk agama Islam. Beliau sangat disegani masyarakat Silungkang setara negeri-negeri sekitarnya. Di Batang Air Silungkang ada ikan bernama ikan Barau, untuk menghormati beliau dan ada yang berpendapat supaya jangan kualat, oleh masyarakat nama ikan itu ditukar dengan ikan tobang, yang sampai sekarang masih bernama ikan tobang. Beliau meninggal hari Sabtu, 29 Zulhijjah 1288 H.

Surau Godang ini ada hubungannya dengan Ulakan Pariaman, dan Syekh Barau sebagai wakil Khalifah dari Khalifah yang ada di Ulakan. Antara tahun 1920 – 1926, yang mengaji di Silungkang tidak terbatas pada warga Silungkang saja, tapi banyak pula yang berdatangan dari negeri lain, seperti dari Garabak Data, Simiso, Aie Luo, Batu Manjulur, Kobun, Koto Baru, Padang Sibusuk dan lain-lain.

Diantara yang ikut mengaji di Silungkang adalah Dr. Amir, Prof. Mr. M. Yamin dan Jamaludin Adinegoro. Beliau-beliau ini mengaji dan tinggal di surau Jambak dibawah asuhan H.M. Rasad. Paginya beliau-beliau ini sekolah HIS di Solok.

2. Sekolah Umum
Sekolah dasar (Volkschool) yang pertama untuk bumi putra Minangkabau didirikan di Bukit Tinggi pada tahun 1940. Sekolah ini didirikan dengan tujuan utama untuk mempersiapkan rakyat Minangkabau untuk menjadi pegawai Belanda. Di Silungkang kapan berdirinya Volkschool tidak diperdapat keterangan yang pasti, yang jelas sebelum tahun 1921 sudah ada Volkschool dan Vervolgschool (sekolah desa 3 tahun dan sekolah gubernaman 5 tahun). Besar kemungkinan adanya Volkschool itu sebelum tahun 1900, sebab setelah tahun1900 Silungkang telah banyak yang pandai tulis baca, pergi merantau ke Jawa, Singapura, Kelang (julukan untuk Malaysia waktu itu) bahkan ada yang telah bermukim dan berdagang di Makkah.

Pada tahun 1915 telah ada beberapa orang Silungkang yang berhubungan dagang ke negeri Belanda dan Belgia dengan korespondensi dengan berbahasa Belanda, diantaranya Sulaiman Lapai dan Zoon, Datuk Sati & Co., Muchtar & Co., Fa. Baburai dan lain-lainnya.

Pada tahun 1920 Sulaiman Labai resmi mendapat izin untuk menjadi pengacara di Pengadilan Sawahlunto dan pada tahun itu juga M. Lilah Rajo Nan Sati ditunjuk oleh General Manager Ford sebagai Dealer Ford untuk order Afdeling Sawahlunto dan sekitarnya.

3. Sekolah Diniyah
Pada tahun 1923, didirikan di Silungkang sekolah Diniyah, cabang dari sekolah Diniyah Padang Panjang. Yang mempelopori berdirinya yang masih diketahui adalah :
a. H. Jalaludin
b. Joli Ustaz
c. Sulaiman Labai

Guru-gurunya dikirim dari Padang Panjang yaitu :
a. Guru Syariat dari Bukit Tinggi
b. Guru Murad dari Bukit Tinggi
c. Guru Adam dari Batipuh Padang Panjang
d. Guru Bagindo Syaraf dari Kampuang Dalam Pariaman

Putra Silungkang yang pernah menjadi gurunya antara lain :
a. Guru Ibrahim Jambek
b. Guru Ya’kub Sulaiman
c. Guru Syamsuddin
d. Guru Abdul Jalil Mahmud
e. Guru Abdoellah Desman
f. Guru Abdoellah Mahmoed
g. Guru A. Bakar

4. Kursus-kursus
Setelah adanya kaum pergerakan, sering diadakan kursus-kursus politik. Hampir disetiap surau yang tidak kolot, setelah selesai pengajian diadakan kursus politik.

Kaum pergerakan itu tidak sedikit andilnya dalam mencerdaskan dan membukakan mata rakyat, bukan rakyat Silungkang saja, tapi jangkauannya mencakup distrik Sawahlunto, distrik Sijunjung, distrik Solok, bahkan sampai ke daerah Riau dan Jambi.

Jauh sebelum tahun 1927, di Silungkang telah ada Bibliotik yang dikelola oleh Salim Sinaro Khatib. Beberapa surat kabar seperti Pemandangan Islam, jago-jago dan Silungkanglah dibagi-bagikan untuk daerah sekitarnya.

5. Tempaan Alam
Didesak oleh alamnya yang sempit, tidak punya sawah yang memadai, apalagi karena tanahnya tidak subur, rakyat Silungkang terpaksa memilih usaha dibidang perdagangan dan pertenunan (perindustrian). Perdagangan dan pertenunan sudah pasti menghendaki kecerdasan, setidak-tidaknya sekedar untuk bisa memperhitungkan pokok, laba rugi, atau prosentase untuk mengaduk celup.

Sebelum tahun 1937, pada umumnya rakyat Silungkang laki-laki, walaupun tidak pernah duduk dibangku sekolah, akan berusaha belajar sendiri walaupun hanya sekedar pandai tulis baca. Disamping itu perdagangan dan pertenunan ini memaksa rakyat Silungkang untuk merantau. Bertebaranlah rakyat Silungkang di seluruh pelosok tanah air, ke Singapura dan Malaysia.

Keuntungan utama dari merantau ini adalah terbukanya mata melihat kemajuan-kemajuan di negeri orang. Kemajuan-kemajuan ini mana yang cocok dibawa pulang ke kampung.

Beberapa contoh :

  • Menurut uraian yang kita terima, tenunan kampung Silungkang ini dipelajari dan dibawa dari petani (Siam) oleh perantau-perantau Silungkang pada abad ke 15.
  • Tenunan ATBM, ilmu dan modalnya didapat dari Pamekasan Madura, yang digabungkan dengan ilmu dan model ATBM buatan Bandung.
  • Pada tahun 1925, yang dipelopori oleh Ongku Kadhi Gaek (Tankadi gelar Pokiah Kayo), khotbah Jum’at di Silungkang telah mulai menggunakan bahasa Indonesia, padahal waktu itu, kecuali di kota-kota, pada umumnya khotbah Jum’at masih memakai bahasa Arab.
  • Sebelum Perang Dunia Kedua, kenduri-kenduri di rumah kematian seperti kenduri 3, 7, 14 atau 40 hari sudah tidak ada lagi, jangan harap akan ada orang yang datang kalau dipanggil untuk kenduri tersebut.

Hubungan lalu lintas seperti Auto dan kereta api yang melalui Silungkang juga ikut memberi kemajuan bagi Silungkang.

Demikian kira-kira gambaran pendidikan di Silungkang sebelum tahun 1927.

Sumber : Buletin Silungkang, Nomor : 001/SM/JUNI/1998

Manjalang Dusun

Manjalang Dusun adalah awal Anak Daro mendatangi rumah orang tua Marapulai. Rombongan menjelang Dusun ini biasanya terdiri dari 7 orang Ibu-ibu dan 3 orang anak. Ada juga 9 orang Ibu-ibu dan 5 orang anak. Membawa anak-anak ini sudah menjadi tradisi sejak dulu. Anak Daro akan memakai pakaian biasa sekarang telah ada pula yang memakai Sunting.

Menjelang Dusun ini dilakukan biasanya bila Baroleknya hari Jum’at, maka hari Rabu berikutnya. Begitu pula bila Baroleknya hari Rabu, menjelang Dusun juga pada hari Rabu berikutnya. Biasanya menjelang Dusun paling lambat seminggu sesudah Barolek. Menjelang Dusun ini dulunya dibiasakan hari Rabu. Kini tidak demikian lagi. Ini memang agak menyulitkan bagi yang menanti.

Rombongan Menjelang Dusun ini membawa nasi (5 sampai 25 liter beras) : lauk pauk : kalio 1 sampai dengan 3 kg daging : ayam gulai satu setengah ekor : maco goreng balado : telur dibelah balado : ikan goreng dan lain-lain tergantung kepada orang padunie atau tidak. Di samping itu juga kalamai. Penyiaran, kue besar dan kue kecil. Dan untuk peruntukan (bagi pasumandan dalam kampung) : penyiaran tiap bungkusnya 5 buah dan beras 1 cupak (dibungkus dengan sapu tangan). Bungkusan panyiaram dan beras ada yang sampai menyediakannya 50 buah.

Sewaktu rombongan Menjelang Dusun akan pulang, maka dari pihak Pasumandan akan diberikan kelapa tumbuh 3-5 batang serta kelapa biasa 50 sampai dengan 100 butir. Di Jakarta kelapa ini telah diganti dengan uang. Kelapa ini biasanya pemberian dari tetangga (pasumandan yang diberi peruntukan). Selain daripada itu juga diberi garam, maco, ubi jalar, sirih dan sebagainya. Banyaknya beras berdasarkan ketiding pembawa nasi dukung. Juga uang dulunya di zaman Hindia Belanda dari f. 1.00 sampai 5.00. Sekarang antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 25.000,-. Anak kecil yang ikut datang juga diberi uang, kalau ukuran sekarang dari Rp. 500,- sampai dengan Rp. 1.000,-

Sebagai catatan perlu dikemukakan jika rombongan Anak Daro padunie bawaannya lebih besar dan bahkan ada yang ditambah dengan ayam goreng. Tetapi ada pula yang berdamai. Datang membawa seadanya saja. Malahan ada juga atas kesepakatan kedua belah pihak tidak diadakan Menjelang Dusun.

Di dalam rombongan Anak Daro (yang menjelang dusun) ini biasanya terdapat juga Induak Bako dan Anak Buah Anak Daro. Balasan dari pasumandan sekarang telah ada pula yang memberikan Sia Penang (rantang besar).

Sebulan lebih sesudah Barolek, Anak Daro akan pergi bermalam ke rumah pasumandan, dengan membawa nasi, lauk pauk, ketan serikaya dan lain-lain. Waktu dulu benar pergi bermalam ini hanya membawa beras dalam Kampi ukuran 2 atau 3 liter beras, daging kering yang dibungkus dengan krisik (daun pisang yang sudah tua0.

Anak Daro ini nantinya akan memasak di rumah Pasumandan dan Mertuanya akan mengetahui sampai di mana keterampilannya memasak itu.

Sumber : Buku Silungkang & Adat Istiadat oleh Hasan St. Majarajo
Edisi I, Jakarta, Mei 1988. Percetakan oleh IDEAL

Malam pertama adalah malam perkenalan Marapulai dengan pamboyan-pamboyan (orang sumando dalam kampung Anak Daro) dengan sanak keluarga Anak Daro. Malam perkenalan ini adalah malam menemani Marapulai duduk-duduk. Karena itu biasanya disebut mambawo duduak (membawa duduk) : Tentu Marapulai akan canggung benar bila malam pertama itu tak ada yang menemaninya di rumah Anak Daro.

Marapulai merupakan orang baru di kampung isterinya itu. Dia belum tahu siapa saja pamboyan-pamboyannya di kampung terutama di atas rumah isterinya. Dan bagaimana cara menyapanya bila bersua : apakah harus menyebut Datuk dan kalau Datuk, Datuk apa, Datuk Ongah, Datuk Uniang, Datuk Onsu dan sebagainya. Begitu pula bila disebut Bapak, Bapak apa. Bapak tuo, Bapak ociek, Bapak utiah dan sebagainya.

Tanpa ada malam perkenalan tentu Marapulai bisa keliru dalam menegur seseorang pamboyannya. Mungkin saja yang seharusnya dipanggil Datuk, disebut Bapak, atau seharusnya dipanggil Bapak disebutnya Datuk. Itu tentu tidak enak. Meskipun akan dibetulkan oleh yang bersangkutan.

Begitu pula dengan kakak-kakak atau ibu-ibu isterinya. Tentu Marapulai belum mengenalnya. Malahan dengan isterinya sendiri (meskipun telah nikah) belum mengenalnya. Marapulai dengan Anak Daro baru akan bersua dan sekaligus mulai mengenalnya pada hari ketiga sesudah pernikahannya dirayakan.

Marapulai sebagai orang baru harus berusaha mengingat-ingat panggilan seseorang yang didengarnya dalam malam perkenalan itu. Memang berbeda dengan malam perkenalan seorang tokoh, di mana tokoh itu yang diperkenalkan atau memperkenalkan diri. Sedang dalam membawa duduk justru yang diperkenalkan kepada Marapulai ialah pamboyan-pamboyannya (yang telah berumah-tangga di kampung itu lebih dulu dari padanya).

Membawa duduk ini dahulunya berlangsung selama 3 malam. Kini kebanyakan hanya dua malam. Malahan di Jakarta hanya semalam saja. Yang turut hadir dalam malam membawa duduk ini ialah pamboyan-pamboyan di atas rumah serta yang di kampung. Ninik-mamak Anak Daro ada juga yang hadir hingga sampai makan.

Marapulai pada malam pertama ini akan dijemput di tempat yang dijanjikan. Biasanya dijemput sesudah sembahyang maghrib. Yang menjemput ialah salah seorang pamboyannya. Biasanya orang sumando kampung yang akan menjemput Marapulai itu dihubungi oleh Induak-induak sesudah rombongan Marapulai dan tamu lain turun dari rumah.

Marapulai malam itu masih memakai pakaian seperti siang tadi, kecuali soluak digantinya dengan kopiah. Dulu, sebelum aliran listrik masuk Silungkang, biasanya Marapulai juga membawa lampu senter untuk keperluan pulangnya besok pagi. Karena ia harus meninggalkan rumah Anak Daro pagi-pagi benar. Kini soalnya telah lain.

Tidak berapa lama sesudah Marapulai tiba di rumah dan setelah pamboyan-pamboyan hadir, maka makan pun dimulai. Makan Marapulai seperti juga siang tadi, asal makan saja. Karena itu sebelum ia dijemput, ia sudah makan di rumah ibunya. Tentu saja lauk-pauk untuk membawa duduk itu agak istimewa.

Sesudah makan berlangsunglah dialog antara pamboyan dengan Marapulai, antara pamboyan dengan pamboyan. Sasaran utama ialah Marapulai. Akan ditanyakan tentang keadaannya di rantau (sekiranya dia baru pulang dari rantau), tentang perjalanan pulang, tentang situasi perdagangannya dan sebagainya.

Sekitar jam 9.00 malam Marapulai akan diajak oleh pamboyannya untuk pergi sembahyang (baik ke Surau atau ke tempat lain). Sekembalinya dari sembahyang akan disuguhi minuman dan makanan dengan berbagai macam hidangan. Ada kalanya juga dengan kue yang besar. Biasanya pada malam pertama itu kue besar tadi belum disentuh. Malam keduanya baru dimakan.

Kira-kira jam 10.00 malam para pamboyan berangsur minta diri dan akhirnya Marapulai tinggal sendirian. Dalam keadaan demikian datanglah ibu-ibu membawa carano serta mempersilahkan Marapulai masuk ke kamarnya.

Sesampai di dalam kamar, maka beberapa orang ibu-ibu yang sudah agak berumur (sebagai basa-basi) duduk di pintu kamar sambil bertanya ini dan itu. Tidak berapa lama ibu-ibu itu pun pergi dan mempersilahkan Marapulai untuk tidur.

Pada malam pertama itu Marapulai belum lagi dipertemuan dengan Anak Daro. Marapulai biasanya baru dipertemukan pada hari ketiga. Demikian dulunya. Kini malam pertama sudah ada yang dipertemukan, terutama bila Marapulai akan segera membawa Anak Daro (isterinya) ke rantau.

Pada malam pertama dan kedua Marapulai harus meninggalkan rumah sebelum sembahyang Subuh. Kalau kesiangan tentu akan ditertawakan orang. Karena itu pulalah maka beberapa orang ibu yang sudah agak tua, akan tidur dekat pintu kamar. Sekiranya Marapulai terlambat bangun, akan dibangunkannya. Dan bila tidak terlambat bangun, kepada ibu-ibu itulah Marapulai memberitahukan bahwa ia akan ke rumah ibunya.

Pada hari Minggu (jika Baroleknya hari Jum’at). Sesudah turun pagi-pagi dari rumah itu, maka sekira jam 8.00 Marapulai akan kembali ke rumah Anak Daro untuk makan pagi. Dulunya kedatangan ini disertai dengan seorang anak kecil yang biasanya membawakan pakaian dan pembawaan untuk isterinya yang dinamakan pakaian “Tiga Pekan”. Salah satu pakaian “Tiga Pekan” itu nantinya oleh isterinya akan dipakai waktu Manjalang Dusun (menjelang dusun).

Makan pagi ini, Marapulai telah ditemani oleh isterinya. Selesai makan, Marapulai akan memberikan belanja kepada isterinya dan biasanya uang itu langsung diberikan isterinya kepada ibunya. Uang belanja yang diberikan itu namanya belanja Tiga Pekan. Besar kecilnya uang belanja Tiga Pekan ini tergantung kepada keadaan. Sungguhpun telah diberikan uang belanja Tiga Pekan, namun pihak isterinya tetap akan tertambah juga. Sepandai-pandai mencencang landasannya akan kena juga.

Pemberian uang belanja Tiga Pekan kepada isterinya ini biasanya bertingkat. Pada minggu keduanya kurang sedikit dan minggu berikutnya kurang lagi dan pada minggu keempat baru dengan ukuran standar belanja secara umum. Tetapi ada juga pada minggu kedua sudah memberikan belanja menurut ukuran standar.

Sewaktu akan turun dari rumah, anak-anak yang di atas rumah diberi pula uang sekedarnya. Mulai hari itu Marapulai suami telah dapat pulang ke rumah isterinya sekehendak hatinya, tetapi tentu dengan ukuran yang patut.

Mengenai soal membawa duduk ini adalah menarik uraian Afni Rasyid melalui skripsinya untuk mencapai gelar Sarjana Syariah pada IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN), Jakarta 1987, dimana dikatakannya : “Selama tiga malam berturut-turut para pamboyan yang membawa duduk Marapulai mempunya kesempatan untuk bersenda gurau dengan urang baru tanpa batas, yang biasa disebut dengan mementin (mengejek dengan bergurau), seolah-olah pada saat tersebut urang baru itu sedang melalui masa pelonco”.

Bersenda gurau tanpa batas, mementin atau mengejek urang baru ketika membawa duduk sudah jelas itu tidak termasuk dalam adat membawa duduk. Bila ada sementara pamboyan yang melakukan demikian, seperti yang dikatakan Afni Rasyid, mungkin karena mereka tidak mengerti tujuan adat membawa duduk. Atau mereka lakukan hal itu karena telah akrabnya pergaulananya sebelum urang baru itu menjadi urang baru, atau hanya karena angkak-angkak (ugal-ugalan) saja.

Sumber : Silungkang dan Adat Istiadat oleh Hasan St. Maharajo

Di Silungkang, Balope (melepas mempelai pria) pada umumnya dilakukan setelah pernikahan, atau setelah ada kepastian hari pernikahan. Hari Balopenya, biasanya hari Rabu. Jarang hari lain. Karena Barolek umumnya hari Jum’at.

Olek Balope pada hari itu dua kali . Paginya Olek untuk wanita dan sesudah Zuhur untuk pria. Bila Balope hari Rabu, maka petang Selasa (malam Rabu) mulai memasak. Di samping tukang masak yang harus memasak, Ninik-mamak juga bekerja keras. Sedang sumando di atas rumah, orang sumando kampung ikut meramaikan (melihat-lihat). Anak buah dan tetangga dekat, ikut menolong.

Jam 8.00 pagi (hari Rabu) Sipangka (penyelenggara Balope) harus telah siap untuk menerima Olek wanita. Biasanya jam 8.30 pagi tamunya telah mulai ada yang datang. Dewasa ini pada umumnya tamu wanita membawa beras dalam Sangku, ditambah dengan kado. Sedangkan dahulu, tamu biasanya hanya membawa beras. Yang dekat hubungan kekerabatannya membawa beras dan piring. Yang dekat benar, membawa beras dan ayam besar.

Sangku tamu yang datang membawa berbagai pembawaan itu, akan diisi dengna nasi dan lauk pauk untuk dibawanya pulang. Sekitar jam 11.00 dijemputlah nasi dukung ke rumah anak daro. Pada jam 11.00 itu rumah telah mulai dibersihkan untuk menyusun hidangan bagi olek pria. Bila masih ada juga olek wanita, maka mereka akan dipindahkan ke ruangan lain.

Kadar nasi dukung ini mempunyai proses perkembangan tersendiri. Dulu benar, kadarnya sesuai dengan namanya, yaitu sekedar yang bisa didukung. Umumnya memakai Kampi (sumpit mini). Kadar itu kemudian mengalami perubahan menjadi : nasi (2 gantang beras), seekor ayam gulai, 2 kg daging (kalio), 1 baskom kecil dadieh, 1 botol manisan. Dekat perang dunia ke II berubah pula menjadi : nasi 10 liter beras, satu setengah ekor ayam gulai (ayam yang besar), 2 kg daging (kalio besar), 1 kg maco besar digoreng balado, 10 butir telur dibelah pakai lado, 3 liter ketan. Pada waktu Indonesia diduduki Jepang fasis hingga tahun 1950 kadarnya sekedarnya saja. Asal ada, baroleknya waktu itu hanya memakai bubur.

Sedang dari tahun 1951 hingga 1980 hampir sama dengan tahap ketiga, yaitu dekat perang dunia ke II. Dewasa ini bagi yang tidak pedunie (sederhana) meneruskan tradisi 1951 – 1980. Sedang bagi yang padunie : nasi 25 liter beras, 3 setengah kg kalio besar, ayam gulai 2 ekor (besar), 1 setengah kg maco besar digoreng balado, 5 liter ketan. Belakangan ini telur balado sudah ada yang menggantinya dengan gulai otak. Sedang bagi yang mempunyai pikiran maju, mereka berkerelaan saja. Tanpa nasi dukung.

Alat-alat pembawa nasi dukung itu nantinya dikembalikan ketika anak daro menjelang dusun.

Menjelang sembahyang Zuhur, ninik-mamak yang akan menjemput olek pria telah berangsur ke balai (pasar). Umumnya olek pria menunggu jemputan itu disekitar balai. Sesudah sembahyang Zuhur olek diiringkan ke rumah. Setelah cukup semua yang perlu dihadirkan, maka balopepun dimulai. Bila yang akan balope hendak memakai gelar, maka gelarnya sekaligus akan diumumkan ketika itu.

Mengenai balope di Jakarta pada umumnya ketentuan harinya tidaklah seperti di Silungkang. Bisa terjadi hari apa saja. Sedang makanan yang dihidangkan kebanyakan dipesan dari warung tertentu. Karena itu acara memasak tidak seperti di Silungkang. Satu dua ada juga yang memasak di rumah. Umumnya yang memasak hanya wanita. Begitu pula oleknya tidak dua kali (pagi dan sesudah Zuhur) melainkan sekali saja : Pria dan Wanita.

Di Jakarta malah ada pihak keluarga mempelai pria tidak menyelenggarakan upacara balope bagi anak kemenakannya yang akan berumah tangga. Mungkin karena saudara yang akan menyelenggarakan tidak ada, atau mungkin karena faktor lain. Bagaimanapun juga ini merupakan satu kekurangan.

Balope adalah satu upacara kebulatan sanak keluarga dan ninik-mamak melepas anak kemenakannya yang akan berumah tangga. Menunjukkan hati yang suci muka yang jernih.

Sumber : Silungkang & Adat Istiadat oleh Hasan St. Maharajo

Di dalam Seminar Adat Silungkang 20 April 1986 di Jakarta oleh Wakil KAN Silungkang dikemukakan bahwa sebelum pernikahan dilangsungkan, masing-masing pihak harus melengkapi surat-suratnya terlebih dahulu. Surat-surat tersebut diurus oleh Pandito masing-masing. Pandito juga bertugas menghubungi Engku Kali (Penghulu di Jakarta). Di hari Nikah masing-masing yang akan Nikah membawa foto ukuran 4 x 3 sebanyak 6 lembar.

Cara ini adalah cara yang dewasa berlaku di Silungkang. Sebab, tempo dulu (sewaktu penyusun Nikah 2 Mei 194) tidak ada keharusan membawa foto. Karena itu di dalam Surat Nikah tidak terpampang foto yang nikah.

Mengenai besarnya uang mahar oleh Wakil KAN dikatakan di zaman Belanda rata-rata f. 0.50 (lima puluh sen). Mungkin tempo dulu benar, demikian. Penyusun (yang membuat buku tentang ini) belum menelitinya. Tetapi sewaktu penyusun Nikah, uang maharnya dua macam. Hal itu penyusun ketahui karena secara kebetulan penyusun beriringan nikahnya dengan sdr. RP bagi penyusun uang maharnya f. 2.00 (dua rupiah). Sedang bagi RP hanya f. 1.25 (satu rupiah dua puluh lima sen).

Perbedaan itu telah “diprotes” oleh RP kepada Engku Kali. Ditanyakannya : mengapa uang mahar yang dibebankan kepadanya lebih ringan, padahal dia juga mampu membayar seperti yang dibebankan kepada penyusun (yang membuat buku tentang ini). Rupanya RP bukannya gembira karena bebannya diringankan, melainkan merasa terhina, dianggap tidak mampu. Padahal persoalannya bukan mampu tidak mampu, melainkan perbedaan status sosial (menurut ukuran Silungkang) antara penyusun (yang membuat buku ini) dengan RP.

Menanggapi pertanyaan yang demikian, maka Engku Kali dengan cukup bijaksana menjawab : “Itu sudah merupakan ketentuan sejak dulu. Tanyalah pada mamaknya”.

Oleh mamaknya RP persoalan itu segera diambil alihnya dan hal itu berakhir sampai di situ saja. Tentu saja di rumahnya nanti oleh mamaknya RP akan diterangkan duduk permasalahannya.

Kini uang mahar yang lazim ialah seperangkat alat sholat, termasuk di Jakarta.

Di Silungkang tempat nikahnya biasanya diselenggarakan di Masjid, tetapi ada kalanya juga di tempat lain, tergantung perjanjian antara Pandito dengan Engku Kali. Di dalam pernikahan yang harus hadir ialah :

a. Pandito kedua belah pihak

b. Datuk Kampung kedua belah pihak

c. Mamak kedua belah pihak

d. Bapak dari yang wanita

e. Pria dan wanita yang akan dinikahkan

f. Engku Kali dengan stafnya

Keharusan yang hadir demikian, jika pernikahannya berlangsung di Silungkang. Sedang bila pernikahannya berlangsung di Jakarta, komposisi yang hadir bervariasi, tergantung dari keadaan. Yang penting kedua calon mempelai, penghulu dan saksi.

Sebagai catatan perlu dikemukakan bahwa tempo dulu pada saat pernikahan itu Anak Daro tak hadir. Sebab itu sebelum pernikahan dilangsungkan, Pandito harus menemui gadisnya di rumahnya guna meminta persetujuan.

Biasanya dulu setelah selesai nikah, pihak wanita (Mamak, Bapak dan Datuk Kampungnya) secara resmi menyerahkan tanggung jawab Anak Daro kepada Marapulai baik secara Adat maupun agama.

Setelah selesai nikah, masing-masing ninik-mamak akan menunjuk mengajari kemenakannya masing-masing tentang cara hidup berumah tangga. Terhadap kemenakan laki-laki biasanya bertempat di Surau, sedang bagi wanita dilakukan di rumahnya.

Kepada kemenakan laki-laki tekanan nasehat ialah agar ia jangan sampai di rumah orang membawa sopiek jo guntieng (jepit dan gunting). Maksudnya agar kemenakannya itu janganlah sampai merusak pergaulan keluarga isterinya. Juga dipesankan sekiranya ia tak dapat menambah, minimal jangan sampai mengurangi isi di atas rumah isterinya. Selain daripada itu juga dinasehati tentang Adat Istiadat dan agama : kewajiban terhadap famili : soal pergaulan dengan isteri dan mertua : cara menghadapi konflik rumah tangga sekiranya hal itu sampai terjadi.

Sedang kepada kemenakan yang peremppuan ditekankan agar ia jangan sampai mancikoroi (mencampuri) urusan suami dengan sanak saudaranya. Harus kuat memegang rahasia rumah tangga. Jangan sekali-kali menceritakan rahasia rumah tangga kepada orang lain. Bila ada kata-kata suami yang mungkin menyinggung sanak saudaranya, janganlah begitu saja diteruskan kepada sanak saudara. Atau sekira ada ucapan sanak saudara yang mungkin menyinggung suami, jangan diteruskan begitu saja. Semuanya harus ditimbang: mana yang boleh diteruskan dan mana yang harus disimpan dalam hati saja.

Juga dipesankan bahwa seorang isteri yang baik ialah yang tidak suka meminta-minta kepada suaminya. Sekiranya terpaksa, maka caranya ialah bercerita, seakan-akan hanya mengabarkannya saja. Terserah pada suami akan turun tangan atau tidak mengatasi keadaan itu. Sebaliknya apa saja pemberian suami, meskipun misalnya warna baju yang dibelikannya tak cocok dengan selera, sekali-kali tidak boleh ditolak, karena perasaan suami bisa tersinggung. Itu bisa merupakan sumber konflik dalam rumah tangga. Juga harus pandai-pandai menghadapi Mertua dan Pasumandan.

Sumber : Buku Silungkang dan Adat Istiadat

SILOENGKANG DI ZAMAN DAHOELOE

SOMPIK LALOE LOENGGAI BATAKOK

 

 

Sedjak dahoeloe disegani orang, Gadjah Tongga Koto Piliang, diseboet dalam Tambo Minang.

 

 

Iktibar bagi lingkoengan, kampoengnja dikelilingi boekit, djalan, soengai jang berlikoe-kelok, loengkang dalam bahasa.

 

 

Loear biasa keberaniannja melawan pendjadjah Belanda. Poeloehan Perintis Kemerdekaan jang tertoelis dalam sedjarah perdjoeangan.

 

 

Oengoel dalam beroesaha, bidjak dalam menyelesaikan masalah masjarakat dan teladan bagi orang.

 

 

Ekonominja mendjadi bilangan, seboetan di Minangkabau.

 

Nama kampoengnja diseboet, orang pertjaja mendjadi djaminan, dihormati diloer kampoengnja sendiri.

 

 

Gaoeng tenunannya bergema di Noesantara, sampai ke Keradjaan Kintjir Angin, menjatoe dengan nama kampoengnja.

 

 

Kalang penjangga bagi kehidoepan kampoeng. Bermotto, anak didoekoeng kemenakan dibimbing.

 

 

Anak mendjelang dewasa disoeroeh merantau tanda kelaki-lakian, diamanatkan, sembahjang dan kedjoedjoeran jangan diabaikan. Itoelah pesan orang toea bersama mamak.

 

 

Norma dipakai, masjarakat dan kampoeng kelahiran dipertenggangkan.

 

 

Godanglah, tjopeklah godang waang boejoeang, poelanglah ke kampoeng. Kok kan lai ka panggonti niniak mamak nan lah gaek-gaek.

 

 

 

SILUNGKANG DI ZAMAN MODERN DENGAN SERIBU SARJANA

 

 

Semenjak tahun lima puluhan, keadaan silih berganti, apakah diperhatikan wahai orang-orang yang arif ?

 

 

Islam memudar, guru Agama dan panutan langka, pengajian, ceramah agama bak dilanda perang. Tak ada lagi yang disegani dan ditakuti.

 

 

Lomba-berlomba mengumpulkan picisan kertas yang nilainya berangka-rangka. Kadang lupa sanak, lupa kerabat dan bahkan mereka terlanda.

 

 

Undian pernah mewabah tetapi tidak ditakuti. Main kertas bergambar sudah bergenerasi, minuman keras ada, tak ada lagi yang tersembunyi.

 

 

Nah, individu membudaya, kepedulian menghilang, malu pun menyusut, pertanda ke zaliman sedang muncul, akibatnya ?

 

 

Gagah berani membela kebenaran, nasehat-menasehati dengan bijaksana sirna sudah. Kebesaran jiwa dan rasa tanggung jawab terbenam.

 

 

Komunikasi langka, walaupun telepon ada, silahturahmi jauh, mobil, motor pun punya, masing-masing hidup sudah sendiri-sendiri.

 

 

Adat manakah yang engkau anut, wahai orang-orang yang hidupnya bermotto : sempit lalu, longgar dipalu ???.

 

 

Ninik mamak yang engkau berada, apakah engkau sebagai saksi dizaman modern ini ? Seharusnya engkau kan menjadi suluh penerang dalam keadaan seperti ini ? Ilmuwan dan hartawan, kelompok inilah yang mulai berbilang, lupa atau belum sempat berkumpul memadu pendapat ?

 

 

Gerangan apakah obatnya wahai orang-orang yang arif ? Anda-anda sedang ditunggu-tunggu masyarakat Silungkang. Hati-hati, kampung kita, warga kita hampir berada dipinggir jurang …. mesjid besar tetapi belum berfungsi. Semoga.

 

 

 

 

 

By Rimfan – Jakarta Selatan

Diambil dari Bulletin Silungkang, Edisi Ketiga, 003/BSM/MARET/1999

Sesungguhnya kemunduran Islam sudah begitu rupa di Silungkang, namun hingga tahun 1984 tidak ada yang menyatakan secara terbuka kepada umum. Paling-paling perasaan yang demikian dikemukakan dengan andai-andai saja. Baru ketika konferensi ke II antar PKS yang berlangsung bulan Juli 1984 mulai dinyatakan secara terbuka (tertulis) dan kemudian dalam seminar sehari Adat Silungkang April 1986 di Jakarta lebih terang lagi.

Seperti diketahui dalam konferensi ke II antar PKS tersebut tampil makalah yang bertemakan agama. Dua diantaranya ditemukan oleh almarhum ulama Silungkang (dengan tema “Perkembangan Islam di Silungkang”) dan oleh Baharudin Hr. dengan judul “Masalah Keagamaan di Silungkang”.

Dalam makalah alim ulama Silungkang1) antara lain dikatakan : “Patut menjadi perhatian kita bersama dalam pendidikan agama sekarang ini sangat minim sekali minatnya pemuda/pemudi, sekiranya kita keberatan mengatakan tidak ada sama sekali. Siapakah nantinya yang kaan menggantikan alim ulama (kalau boleh dikatakan ulama), kalau tidak generasi sekarang ini”. “Kita sangat prihatin sekali dengan tidak adanya pemuda/pemudi sekarang ini yang mengarahkan kemauannya terhadap perguruan agama Islam, padahal ini adalah persoalan yang sangat penting sekali”.

Sedang oleh Baharudin Hr2) melalui makalahnya “Masalah keagamaan di Silungkang” antara lain dikemukakan bahwa “anak yang mengaji Al Quran hanya 600 orang, padahal murid SD sebanyak 780 orang. Berarti 25% murid SD belum mengaji. Sebagian besar berhenti sebelum tamat, tidak pandai membaca Al Qur’an dianggap masalah biasa”.

Kemudian ditambahkannya bahwa Mesjid Silungkang yang berdiri tahun 1900 itu telah berumur 84 tahun. Sudah banyak yang rapuh. Perlu pemugaran.

Dan yang lebih menarik lagi ialah makalah yang disampaikan wakil KAN Silungkang3) dalam seminar Sehari Adat Silungkang di Jakarta tahun 1986. Melalui makalah yang berjudul Alim Ulama atau guru agama yang akan habis itu”. Sebagai ulasan dikemukakan :

  • Ada yang sekolah agama karena terpaksa oleh orang tuanya;
  • Ada yang masuk sekolah agama hanya untuk pelarian karena tidak masuk dalam sekolah umum;
  • Banyak yang patah di tengah jalan pada sekolah-sekolah agama karena biaya, tarikan sekolah umum, cemooh dan pentin, keburu kawin, tidak tahan di asrama;
  • Setelah sekolah agama ingin menjadi pegawai negeri atau menjadi wiraswasta di rantau bagi kepentingan hari depannya.

Dan seperti telah dikemukakan dimuka bahwa “ada guru agama atau alim ulama yang sudah hampir ke pintu kubur sesama mereka saja tidak berbaikan”, demikian wakil KAN.

Sementara itu pada tahun 1987 oleh Syarief Sulaiman (Alm)4) sebagai buah pengamatannya selama berdiam beberapa waktku di kampung, ia membuat sebuah “laporan tentang masyarakat Silungkang di kampung sekarang”. Dalam laporannya itu antara lain dikemukakan :
“Begitu pula sikap muda/mudi terhadap pengajian di mesjid. Banyak yang tak acuh saja. Walaupun pengajian itu diadakan sebulan sekali di mesjid dan gurunya didatangkan dari luar dan pemberitahuan akan berlangsungnya pengajian malam itu disiarkan. Namun pada jam akan dimulai yang disertai dengan imbauan melalui pengeras suara (yang terdengar sampai ke pasar), namun puluhan muda/mudi ramai dibalai di depan TV umum atau pelataran parkir. Mereka tak acuh saja atas pengajian tersebut. Maka yang hadir (dalam pengajian tersebut-pen) dapat dihitung dengan jari. Bapak-bapak “camat” (calon mati) yang berumah di sekitar mesjid (itulah yang hadir-pen). Kesehatan mereka tidak mengizinkan lagi keluar rumah dimalam hari”.

Dewasa ini surau yang berfungsi di Silungkang tak lebih dari 10 buah. Padahal menjelang perang dunia ke II, jumlah surau lebih dari 40 buah. Fakta jumlah surau ini berbicara sendiri tentang kemunduran Islam di Silungkang.

Kurangnya pengajian ini tidak hanya di Silungkang, malah di Jakarta juga demikian. Berbeda ketika disaksikan Margaret pada tahun 1984, dimana pengunjung pengajian yang diselenggarakan majelis taklim cukup besar. Rupanya tahun 1984 itu merupakan “puncaknya”. Kemudian berangsur menyurut. Kesepian pengajian di Jakarta ini dapat diketahui dari laporan pertanggung jawaban Pengurus PKS5) (periode 1985 – 1987) yang disampaikan pada rapat anggota PKS Jakarta 26 Juli 1987, antara lain dikatakan :

“Kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan kurang mendapat perhatian dari warga Silungkang. Hal ini terlihat dari sepinya pengunjung pada setiap pengajian yang diadakan, malah pengajian warga Silungkang di Mesjid Al Insan Patal Senayan terpaksa ditutup. Demikian juga dengan pengunjung pengajian Majlis Taklim yang diselenggarakan di kantor Koperasi Kemauan Bersama”.

Itulah sementara fakta yang secara terbuka dikemukakan pemuka-pemuka Silungkang mengenai kemunduran Islam di Silungkang.

Apakah artinya keterangan secara terbuka tersebut ?

Ia mengandung arti orang awak mengamalkan secara tepat Mamangan “Upek maiduiki, puji mambunuah” (umpat atau kecaman menghidupi, puji membunuh). Kritik itu adalah dengan tujuan untuk merubah keadaan yang tidak baik menjadi baik. Jika diri sendiri tidak berusaha merubah keadaan yang kurang menguntungkan menjadi menguntungkan, maka keadaan akan tetap kurang menguntungkan. Ini sesuai dengan surat Ar Ra’du ayat 11 yang mengatakan :

Innalloha layughaiyiruam biqaumin hatta yughaiyiruma bianfusihim” (sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan sesuatu kaum kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri).

Tanpa membaca kita akan bisa menguasai ilmu dunia dan akhirat. Tanpa membaca tak mungkin kita dapat mengamalkan sabda Nabi Muhammad6) : Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat “(tholabul ilmi mahdi ilal lahdi); tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina” (ilmi walau fi siin).

Bisa dipertanyakan, dapatkah dikatakan umat Nabi Muhammad yang baik bila dengan membaca atau tidak mau membaca guna meningkatkan ilmu di dada!

Banyak hal-hal yang dapat diketahui dengan membaca dari pada tidak membaca dengan, tidak membaca memaksa diri kita harus menghubungkan sendiri berbagai permasalahan dan itu akan meminta penyediaan waktu dan energi. Padahal mungkin saja permasalahan itu sudah dipecahkan orang lain, sehingga bila kita membaca tak perlu lagi menyediakan waktu dan energi untuk mencari pemecahannya.

Membaca berarti berdialog dengan pikiran pengarang. Tentu saja hati dan otak dibuka selebar-lebarnya untuk menerima pengaruh dari pikiran pengarang itu dan sekaligus berusaha menyaring dengan cermat. Dialog dengan pikiran pengarang berarti mengantarkan kita pada kebenaran-kebenaran baru yang lebih tinggi.

Dengan banyak membaca kita akan lebih mengenai diri kita (kelebihan dan kekurangan atau keterbatasannya) sehingga mendorong kita lebih banyak lagi membaca dan belajar. Dengan banyak membaca kita akhirnya akan menemui jalan yang benar, yang harus ditempuh, agar Islam bangkit kembali di Silungkang.

Membaca bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk membentuk pikiran dan pandangan kita.

Catatan Kaki :

  1. Alim Ulama Silungkang : “Perkembangan Islam di Silungkang” (Makalah dalam Konferensi ke II antar PKS, Juli 1984 di Silungkang).
  2. Baharudin Hr : “Masalah Keagamaan di Silungkang” (Makalah dalam Konferensi ke II Antar PKS di Silungkang pada bulan Juli 1984).
  3. KAN Silungkang : “Krisis Adat dan Agama di Silungkang”, (Makalah dalam Seminar Sehari Adat Silungkang di Jakarta, April 1986).
  4. Sharief Sulaiman : “Laporan tentang masyarakat Silungkang di Kampung sekaran”, FORMES April 1987.
  5. Pengurus PKS periode 1985 – 1987 : “Laporan Pertanggungan Jawab”, yang disampaikan pada rapat anggota PKS Jakarta 26 Juli 1987.
  6. Dr. M. Amin Rais : Dalam pengantar terhadap buku Dr. Ali Shariati : “Tugas Cendikiawan Muslim”, penerbit CV. Rajawali Jakarta, 1984, h. viii.

Sumber :

Buku Pelajaran Dari Perjalanan Islam di Silungkang

Oleh :

Munir Taher & Hasan St. Maharajo

Terbukalah hubungan dengan dunia luar bagi orang Silungkang (terutama dengan telah adanya jalan kereta api dan jalan oto) yang tampak sepintas lalu terbukanya jalan bagi kemajuan kehidupan. Tetapi jika didalami dengan seksama ternyata didalam kemajuan itu terkandung juga hal-hal yang menyakinkan kemunduran di pihak lain.

Betapa tidak !

Sesungguhnya benih-benih yang akan membawa kemunduran bagi pihak lain itu bisa dihambat sekiranya tujuan berdagang adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Artinya dalam berdagang cara-cara yang ditempuh semata-mata jalan yang diridhoi Allah. Akan tetapi bila tujuan berdagang hanya untuk menumpuk kekayaan perdagangan, masanya sudah berlebih setahun dan nilainya sudah sampai senisab akhir tahun itu, maka orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya. Sebesar 2 ½ %, dihitung dari modal dan keuntungan, bukan dari keuntungan saja. Tentang besarnya harta perniagaan yang harus dizakatkan menurut H. Sulaiman Rasyid dengan zakat emas dan perak. Bagi emas nisabnya 93,6 gr, perak 624 gr. Besar zakat 1/40 dari harta perniagaan itu. Misalnya harta perniagaan diakhir tahun jumlahnya senisab 93,6 gr. Maka besarnya zakat yang wajib diberikan adalah 1/40 dari 93,6 gr. Namun iblis senantiasa akan merayu orang Islam yang berdagang itu meneruskan langkahnya yang sesat (menghalalkan segala cara). Jika pedagang itu termakan oleh rayuan iblis, maka semakin tinggi kedudukannya dalam dunia perdagangan, akan semakin tipislah iman di dada.

Dalam kehidupan beragama, seperti juga dalam kehidupan pada umumnya peranan keteladanan atau contoh dari para pemukanya banyak menentukan apa yang akan dilakukan oleh orang awam. Bila pemuka-pemuka agamanya senantiasa sesuai antara kata dengan perbuatan, maka massapun akan berusaha semacam itu, paling sedikit berusaha mendekati seperti langkah pemukanya itu. Sebaliknya jika pemuka memberi contoh yang kurang baik dalam kehidupan, maka pengikutnya bisa berbuat lebih buruk dari pada apa yang dilakukan pemukanya.

Tentu akan lain halnya bagi orang yang kuat belajar (baik mengenai soal keduniaan maupun keakhiratan). Ia tidak sepenuhnya tergantung dengan apa yang dilakukan para pemukanya. Ia akan melihat dengan kritis. Yang benar akan diikuti dan yang tidak benar akan dijauhinya.

Sekarang marilah kita tengok sikap atau kehidupan sementara guru agama kita.

Seorang guru agama dengan jujur dan terus terang berulang kali mengatakan bahwa kami (maksudnya guru-guru agama) memang tak pernah menjelaskan sejelas-jelsnya tentang zakat dengan segenap permasalahannya. Kami khawatir jika dijelaskan sejelas-jelasnya (secara terperinci) nanti bisa lahir purbasangka atau tuduhan seakan-akan kamilah yang menginginkan zakat itu. Kami tidak ingn mendapat tuduhan semacam itu.

Andai kata lahir purbasangka atau tuduhan begitu terus menyampaikan sesuatu yang hak, itu adalah resiko yang harus diterima oleh setiap mubaligh. Tak mungkin seorang mubaligh akan menjadi mubaligh yang benar, sekiranya ia takut dilamun ombak, tak bersedia memikul suatu resiko.

Padahal zakat itu adalah salah satu tiang agama yang pentng. Seperti dinyatakan Abdul A’la Maududi : “Sesudah shalat, tiang Islam yang terbesar adalah zakat. Biasanya dalam rangkaian ibadah yang biasa, puasa diletakkan sesudah sholat, maka orang banyak mempunyai pengertian bahwa sesudah sholat adalah puasa. Tetapi dari Al Qur’an kita mengetahui dalam Islam pentingnya zakat terletak sesudah sholat. Keduanya adalah tiang penyanggah struktur bangunan Islam. Tanpa zakat, Islam akan roboh”. Dengan mewajibkan zakat Allah telah menempatkan setiap orang dalam ujian. “Mereka yang tulus dalam ujian ini dan berguna bagi Allah. Bahwa zakat, maka sholat, puasa dan pernyataan iman tidak akan berguna”.

Oleh karena masalah zakat tidak diterangkan sejelas-jelasnya oleh para guru agama kita, maka wajar saja jika terdapat berbagai pendapat mengenai zakat antara lain sebagai berikut :

  1. Ada yang berpendapat zakat harta perniagaan itu baru dikeluarkan jika perniagaan untung. Jika pulang modal, apa lagi rugi, tak wajib mengeluarkan zakat, walaupun jumlah modalnya masih cukup nisab.
  2. Ada yang menganggap zakat itu harus dikeluarkan dimana tempat ia berniaga dan tidak boleh dikirim ke daerah lain, meskipun kerabat dekatnya berada disitu.
  3. Ada pula yang tak mau mengeluarkan zakat, karena menurut pendapatnya harta kekayaannya itu didapatkannya dari jerih payahnya dan bukan titipan Allah kepadanya. Karena itu bila ada amil zakat datang kepadanya, sedapat mungkin dihindari bertemu dan jika pertemuan itu tak dapat dielakannya, maka dijawabnya, misalnya “zakat telah diberikan kepada tetangga”.
  4. Ada pula yang mengeluarkan zakat tanpa perhitungan yang cermat. Asal pada akhir tahun perniagaan ada yang meminta zakat, diberikannya sedikit. Jika tak ada yang datang meminta, zakat tak dikeluarkannya.
  5. Ada juga yang mengeluarkan zakat benar-benar dengan tujuan untuk membersihkan harta dan jiwanya.

Mengenai peranan zakat sebagai pembersih harta dan jiwa dengan jelas oleh Dr. M. Yusuf Qardawi dikatakan : “Sesungguhnya orang yang paling membutuhkan pembersih diri dari kekayaan adalah para pedagang, oleh karena usaha mencari yang mereka lakukan diyakini tidak akan bersih dari berbagai macam penyimpangan dan keteledoran, kecuali orang yang betul-betul jujur dan suci, tapi mereka sedikit sekali terutama di zaman sekarang”.

Untuk memperkuat kesimpulannya, Dr. M. Yusuf Qardawi mengemukakan hadis Nabi Muhammad yang berbunyi “Pedagang-pedagang nanti pada hari kiamat dibangkitkan dari kubur sebagai durjana, kecuali orang yang bertaqwa, baik dan jujur” (hadis ini diriwayatkan oleh Turmizi yang mengatakan hadis itu Hasan sahih, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dalam shahih dan hakim yang menilainya sahih).

Menanggapi ucapan Nabi Muhammad tersebut ada yang mempertanyakan “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual beli ?” Nabi menjawab : Ya tapi mereka terlalu mengobral sumpah, oleh karena itu mereka banyak berdosa dan banyak berbohong (diriwayatkan oleh Ahmad dengan Sanad yang baik dan oleh hakim dengan teks darinya yang mengatakan sanadnya sangat shahih).

Seterusnya Dr. M. Yusuf Qardawi mengatakan : “Seseorang yang memiliki kekayaan perdagangan, masanya sudah berlebih setahun dan nilainya sudah sampai senisab akhir tahun itu maka orang itu wajib mengeluarkan zakat sebesar 2 ½%, dihitung dari modal dan keuntungan bukan dari keuntungan saja”.

Tentang besarnya harta perniagaan yang harus dizakatkan menurut H. Sulaiman Rasyid1) dengan zakat emas dan perak. Bagi emas nisabnya 93,5 gram, sedang perak 624 gr. Besar zakat 1/40 dari harta perniagaan itu. Misalnya harta perniagaan akhir tahun jumlahnya senisab 93,6 gr emas. Maka zakat yang wajib dibayar adalah 1/40 x 93,6 gr emas. Bila harga emas misalnya Rp. 22.000,- per gram, maka harta perniagaannya berjumlah 93,6 gr x Rp. 22.000,- = Rp. 2.059.200,- Zakatnya 1/40 dari Rp. 2.059.200,- = Rp. 50.148,-

Jadi zakat yang dibayar tidak hanya dihitung dari keuntungan saja melainkan dari jumlah seluruhnya, modalnya, ya untungnya. Juga tidak bebas dari membayar zakat, sekira perniagaannya rugi, bila modalnya (sesudah dikurangi kerugian) masih cukup senisab.

Mengenai anggapan bahwa tidak boleh memindahkan zakat ke daerah lain, dengan jelas Dr. M. Yusuf Qardawi2) mengatakan : “Apabila bagi si penguasa diperbolehkan berijtihad untuk memindahkan zakat ke daerah lain, karena kemaslahan Islam yang dianggap kuat, maka bagi si muslim yang wajib zakat, diperbolehkan pula untuk memindahkan karena suatu kebutuhan atau suatu kemaslahatan yang dianggap kuat pula, apabila ia sendiri yang mengeluarkannya, seperti terjadi di zaman sekarang ini. Hal itu seperti yang dikemukakan mashaf Hanafi dalam membolehkan pemindahan zakat, seperti untuk kerabat yang membutuhkan, atau untuk orang yang lebih membutuhkan dan lebih sulit penghidupannya atau untuk orang yang lebih membutuhkan bagi kaum muslimin, dan lebih utama untuk dibantu atau untuk melaksanakan rencana Islam di tempat lain, yang akan menghasilkan kebaikan yang besar bagi orang muslim, dimana hal yang semacam itu tidak terdapat di daerah zakat itu berada”.

Andai kata semua orang awak yang berniaga melaksanakan ketentuan-ketentuan syariat agamanya, mungkin dalam waktu singkat tak ada lagi orang Silungkang di akhir tahun menadahkan tangan meminta zakat. Malah ada kemungkinan zakat orang Silungkang diberikan ke negeri tetangga. Sebab, kini telah ada beberapa orang Silungkang yang miliarder pada tahun 1987 dan salah seorang diantaranya pada tahun itu mengeluarkan zakat Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) seperti yang ditulis Abu Asar dalam FORMES Oktober 1987, dengan judul “Impian Silungkang Indah”.

Sementara guru agama yang lain ada pula yang berpendapat “bukan guru yang harus datang ke murid, tetapi murid yang harus datang pada guru”. Guru itu tampak berpegangan pada hadis Nabi yang mengatakan : “Menuntut ilmu itu wajib bagi semua muslim” (tholabul ilmi faridhatun a’laa kulli muslim).

Guru agama itu mungkin belum mengetahui atau mungkin telah mengetahui tetapi lupa akan khutbah perpisahan yang disampaikan Nabi Muhammad pada tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 H. Antara lain beliau mengatakan : “………… maka hendaklah yang telah menyaksikan diantaramu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga barang siapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya dari pada sebagian yang mendengarkannya3). Jelasnya, yang tahulah yang menyampaikan kepada yang belum tahu. Gurulah yang harus mendatangi murid. Bila mana muridnya datang sendiri karena kesadaran akan kewajibannya, itu tentu lebih memudahkan guru menyampaikannya. Bagaimanapun juga tanggung jawab gurulah yang harus menyampaikannya kepada yang belum atau tidak tahu.

Juga bukanlah teladan yang baik bagi yang awam bila ada konflik diantara guru yang tidak diselesaikan, dibiarkan berlarut. Tidak diselesaikan konflik atau perbedaan pendapat tentu saja sangat memprihatinkan. Tidak diselesaikan konflik sesama guru agama telah pernah terjadi pada permula pembaharuan (sehingga ada sementara guru agama yang tidak lagi bersembahyang Jum’at di mesjid) dan pada tahun 1986 wakil KAN4) dalam seniar sehari adat Silungkang di Jakarta mengatakan : “Ada guru agama atau Alim Ulama yang sudah hampir ke pintu kubur sesama mereka saja tidak berbaikan”.

Tidak berbaikan sesama guru agama tentu tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka ajarkan bahwa sesama umat harus saling berbaikan. Hal demikian hanya akan menurunkan nilai mereka dimata murid-muridnya.

Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan5) agar guru agama sesuai perbuatannya dengan apa yang diajarkannya, maka seorang penyair melontarkan kata-kata :

  • Wahai orang yang mengajar orang lain
  • Kenapa engkau tidak juga mengajari
  • Dirimu sendiri
  • Engkau terangkan berbagai macam obat bagi segala
  • Penyakit
  • Agar yang sakit sembuh semua
  • Sedangkan engkau sendiri ditimpa sakit
  • Obatilah dirimu dahulu
  • Lalu cegahlan agar tidak menular
  • Kepada orang lain
  • Dengan demikian engkau adalah
  • Seorang yang bijak
  • Maka apa yang engkau nasehatkan
  • Akan mereka terima dan ikuti
  • Ilmu yang engkau ajarkan akan bermanfaat bagi mereka

Syair ini sesuai dengan firman Allah dalam hadis Qudsi6) yang berbunyi dalam bahasa Indonesianya : “Allah telah memberi wahyu kepada Isa anak Maryam : “Hai Isa, nasehatilah dirimu dengan hikmatku. Jika engkau telah mengambil manfaatnya, nasehatilah orang banyak dan jika tidak hendaklah engkau malu kepadaku”.

Sementara itu mungkin karena kurang membaca, kurang belajar, maka sementara orang awak mempunyai pengertian tentang agama setengah-setengah. Misalnya dianggapnya atau dinilainya seseorang telah taat kepada agama asal telah dilihatnya sholat. Tetapi apa yang dilakukan (oleh orang yang telah dilihatnya sholat itu) sesudah sholatnya, tidak dipermasalahkan lagi. Apakah setelah sholat ia tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar, misalnya dalam berdagang menghalalkan segala cara demi laba; tidak mengeluarkan zakat hartanya sesuai dengan ketentuan agama dan sebagainya.

Surat An-Kabut ayat 45 dengan jelas mengatakan (dalam bahasa Indonesianya) : “Sesungguhnya sembahyang itu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar”.

Menilai seseorang taat beragama harus dari keseluruhan sikap hidupnya. Dan itu sangat sukar, arena pengetahuan mereka tentang pribadi-pribadi lain, sangat terbatas. Pandangan-pandangan lahiriah akan lebih banyak menentukan penilaian manusia. Karena itu tidak objektif jika hanya dengan melihat sebagian dari kehidupan seseorang telah disimpulkan saja. Vonis keagamaan adalah semata-mata monopoli Allah dan tak seorangpun yang berhak mengganti jabatan Allah.

Penilaian seseorang bisa saja keliru. Bila penilaian keliru kepada seseorang diisukan kepada yang lain bisa menyebabkan yang diisukan (bila kurang kuat imannya semakin mundur rasa keagamaannya, dan tentu saja bila imannya kuat, isu tersebut akan diterimanya dengan sabar).

Pengertian setengah-setengah tentang ajaran agama ini tercermin juga dari “nasehat” seorang mamak kepada kepenakannya yang beberapa waktu lagi kemenakannya akan menikah. Mamak itu tahu benar bahwa kemenakannya itu kurang taat sembahyang lima waktu sehari semalam. Tampaknya ia menutupi kelemahan keponakannya itu. Menjelang hari pernikahan keponakan itu, dinasehatinya : “Berusahalah menunjukkan diri beberapa sholat Jum’at di mesjid”.
Tujuan mamaknya memberikan “nasehat” semacam itu agar keluarga calon istri kemenakannya itu tidak menggunakan kelemahan kemenakannya kurang sembahyang itu sebagai alasan untuk membatalkan rencana pernikahan. Minimal, bila Ninik – Mamak atau keluarga calon istrinya mengetahui bahwa kemenakannya tidak taat bersembahyang pandangan negatiflah yang akan terjadi pada kemenakannya.

“Nasehat” mamak yang semacam itu tentu bukanlah dimaksudkan untuk menegakkan agama Islam, melainkan untuk agar tak tahu sampai dimana ketaatan beragama dari kemenakannya itu. Betapa Islam tidak akan mundur bila dikalangan orang awak sendiri terdapat “nasehat” yang sesungguhnya bukan nasehat melainkan khianat.

Kemunduran Islam mulai tampak pada masa pendudukan serdadu Jepang (1942 – 1945). Ketika itu tekanan ekonomi cukup berat dirasakan. Setiap orang berusaha keras untuk dapat mempertahankan hidup dan berjuang dengan gigih untuk mengatasi tekanan ekonomi itu.

Mungkin karena tekanan ekonomi itu jugalah maka sebagian besar pemuda-pemudi yang sudah menamatkan pendidikan agamanya di Padang atau Padang Panjang terpaksa terjun pula menjadi pedagang atau pengusaha. Bukan menjadi guru agama, atau mubaligh seperti rencana semula tatkala akan memasuki perguruan agama tersebut.

Dalam rangka menanggulangi tekanan ekonomi itu sementara orang Silungkang mulai menggunakan Surau untuk tempat usaha : bertenun atau membuat perusahaan rokok. Padahal dahulunya surau-surau itu tempat pendidikan agama; tempat berkomunikasi antar mamak dengan kemenakannya dan sebagainya. Tak sedikit sumbangan surau bagi kemajuan orang Silungkang. Ketika surau benar-benar berfungsi sebagai surau anak-anak merasa malu jika tak tamat Al Quran.

Massa pendudukan Jepang ini disusul dengan Perang Kemerdekaan atau Revolusi Fisik (1945 – 1950). Keadaan ekonomi yang sudah parah bertambah parah lagi. Pikiran orang awak terutama tertuju untuk memenangkan perang kemerdekaan itu. Perbaikan ekonomi akan terjadi sendiri bila Belanda penjajah telah dikalahkan.

Pada masa revolusi fisik ini makin terasa kemunduran Islam di Silungkang. Sementara tanah yang dulunya diwakafkan bagi keperluan surau-surau banyak yang dicabut oleh anak cucunya. Sebagai alasan untuk mencabut tanah wakaf itu antara lain dikatakan “menurut keterangan nenek tanah itu diwakafkan hanya seumur surau saja. Tak boleh diperbaiki jika telah rusak. Bila surau itu telah hancur maka tanah tersebut harus kembali kepada pemiliknya”.

Memang susah untuk menguji kebenaran “keterangan nenek” yang sudah tiada itu. Sebenarnya jika anak atau cucunya mempunyai pengertian yang benar tentang wakaf, tentu tidak akan muncul istilah atau dalih “menurut keterangan nenek”. Atau apa yang dikatakan “menurut keterangan nenek” itu hanya alasan untuk menguasai tanah yang telah menjadi miliki surau itu.

Menurut H. Sulaiman Rasjid7) bahwa salah satu syarat syah wakaf, ialah bila wakaf itu berlaku untuk selama-lamanya. Tidak dibatasi oleh waktu, misalnya sampai surau yang bersangkutan hancur. Wakaf berarti memindahkan hak pada waktu itu juga kepada yang diberi wakaf.

Mencabut kembali tanah yang telah diwakafkan berarti mengambil hak pihak yang menerima wakaf. Berarti hendak memanfaatkan sesuatu yang bukan lagi menjadi haknya. Bila pengambilan hak penerima wakaf itu dilakukan karena tidak mengerti tentang ketentuan wakaf, persoalannya lebih mudah. Kembalikan kedudukan tanah wakaf itu kepada yang berhak.

Persoalannya menjadi lain, jika yang bersangkutan mengerti ketentuan wakaf yang demikian, tetapi dilakukannya juga mengambil hak yang telah menjadi pemilik tanah wakaf itu. Ia telah melakukan perbuatan yang mungkar.

Catatan Kaki :

  1. H. Sulaiman Rasjid : “Fiqh Islam”, penerbit Sinar Baru, Bd. 1988, h. 188.
  2. Dr. M. Yusuf Qardawi : “Hukum Zakat”, penerbit Pustaka Litera Antar Nusa PT, Bogor 1987, h. 809.
  3. Munir Taher : “Timbang Risalah dan Pelajaran yang dapat diambil daripadanya”, Formes April 1989.
  4. KAN Silungkang : “Krisis Adat dan Agama di Silungkang”, (Makalah dalam Seminar Sehari Adat Silungkang di Jakarta, April 1986).
  5. Dr. Abdullah Nashih Ulwan : “Pedoman Pendidikan Anak-anak” (Jilid II), penerbit Asy-syifa’, Bd. 1988, h. 3.
  6. K.H.M Ali Usman, H.A.A. Dahlan, Dr. H.M.D. Dahlan : “Hadis Qudsi Pola Pembinaan Akhlak Muslim”, penerbit CV. Diponegoro, Bd, 1988, h. 199.
  7. H. Sulaiman Rasjid : “Fiqh Islam”, penerbit Sinar Baru, Bd. 1988, h. 317 – 322.

Sumber :

Buku Pelajaran Dari Perjalanan Islam di Silungkang

Oleh :

Munir Taher & Hasan St. Maharajo

Pada tahun 1893 telah di buka jalan kereta api yang menghubungkan Sawahlunto dengan Teluk Bayur. Jalan kereta api itu mulai dikerjakan tahun 1888. Sebelum jalan kereta itu di buka, jalan raya antara Sawahlunto – Padang (juga lewat Silungkang) telah ada. Dengan adanya hubungan jalan kereta api dan jalan oto (mobil), makin terbukalah peluang bagi orang Silungkang untuk bepergian keluar dan sebaliknya bagi orang luar untuk berkunjung atau lewat Silungkang. Komunikasi tentu terjadi. Arus lalulintas telah membawa pengaruh yang besar bagi kemajuan orang awak.

Kemajuan yang dimaksud bukan saja dalam bidang perdagangan, tetapi juga dalam bidang agama. Dengan mudahnya bepergian keluar, maka banyaknya pemuda-pemudi Silungkang yang belajar agama keluar, seperti ke Padang Panjang, Batusangkar, Payakumbuh, Padang dan sebagainya.

Diantara pemuda-pemudi Silungkang yang pernah menuntut ilmu agama itu keluar ialah : Jalaludin, Abdullah Mahmud (Tanah Sirah), Pokiah Yakub, Noerman (Panai 4 Rumah); Ibrahim Jembek (Paliang Atas); Kasim Taher (Melayu); Samsudin, H. Jalil, H. Mahmud, H. Abdullah Usman (Sawahjui); Sharief Sulaiman (Malowe); Jalil (Dalimo Godang); Naamin Majid (Rumah Tabuh); Darwis Sulaiman (Koto Marapak); Rasjid Sulaiman Labai (Patopang); Nuri Said, Katib Sarbini; Kasim Marzuki (Palkoto); Nurajana (Talak Buai); Rasid Abdullah; Tirana (Kutianyir).

Seperti juga ditempati lain di Minangkabau arus pembaharuan di bidang agama juga berlangsung di Silungkang. Diantaranya jika pada awal berdirinya Mesjid (1900) khutbah Jum’at di Silungkang memakai bahasa Arab, maka tahun dua puluhan tidak demikian lagi. Khutbah Jum’at telah memakai bahasa Indonesia. Ini sesuai dengan Surat Ibrahim ayat 4, yang dalam bahasa Indonesianya : “Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”.

Dalam pembaharuan ini peranan Ongku Kali Gaek (Tan Kabi Pokiah Kayo, Dalimo Cocah) besar sekali. Seorang diantara murid Ongku Kali Gaek tersebut ialah Pokiah Amat, Guru Surau Tanjung Medan.

Pembaharuan ini terjadi ada kaitannya dengan kegiatan bekas-bekas murid Syekh Ahmad Chatib bin Abdullah Al Minangkabau yang banyak pulang dari tanah suci sekitar tahun 1903-an.

Terhadap pembaharuan (bahasa) dalam Khutbah Jum’at ini ada sementara Ulama Silungkang yang tak dapat menerimanya. Mungkin dianggapnya khutbah dalam bahasa Indonesia itu tak sesuai dengan cara Nabi bersembahyang Jum’at, dimana khutbahnya dalam bahasa Arab. Penolakan mereka atas khutbah dalam bahasa Indonesia itu ditunjukkan dengan mereka tidak pernah lagi turut bersembahyang Jum’at di Mesjid Raya Silungkang sesudah itu.

Sangat sayang perbedaan pendapat tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam khutbah itu tak diselesaikan oleh Ulama-Ulama Silungkang yang ada ketika itu. Baik pembaharu maupun yang mempertahankan tradisi sama-sama tak mengambil inisiatif menyelesaikannya. Mungkin karena pertimbangan lain. Masing-masing bertahan dengan pendiriannya. Yang terang pihak ketiga yang berwibawa terhadap kedua belah pihak yang berbeda pendapat itu nampaknya tidak ada. Dan karena itu perbedaan pendapat itu berjalan terus.

Sementara itu orang Silungkang yang naik haji ke tanah suci senantiasa meningkat. Dan kini ke tanah suci tak memerlukan waktu berbulan-bulan lagi dilautan. Telah ada kapal api. Ke tanah suci tak perlu lagi melalui Ulakan, tetapi melalui Teluk Bayur. Menjelang tahun 1940 yang naik haji antara lain dari :

  • Palakoto : H. A. Karim, H. Abdulmanan, H. Rasyad, H. Muhammad, H. Padang, H. Bakar.
  • Dalimo Tapanggang : H. Salim, H. Ahmad, H. Katab.
  • Sawajuai : H. Djamil, H. Cuba, H. Tumbok.
  • Panai Kotobaru : H. Ibrahim, H. M. Zen, H. M. Yusuf, H. M. Ahmad, H. Capang, H. Abad.
  • Malowe : H. Yusuf, H. Saiyan, H. Ongku Unggai, H. Katab, H. M. Rahim.
  • Dalimo Godang : H. M. Junus, H. Komaria, H. Ibrahim.
  • Tanah Sirah : H. Taher, H. Ongku Godang, H. Hasan.
  • Dalimo Kosiek : H. Marzuki.
  • Koto Marapak : H. Kamaludin.
  • Dalimo Jao : H. Yahya, H. M. Noer, H. Aba, H. Hasan.
  • Panai Ruman Nan Panjang : M. Jamil.
  • Rumah Tabuh : H. Gude.
  • Guguk : H. Kukuik, H. Sulan.
  • Panai 4 Rumah : H. Ismail, H. Samsudin.
  • Batu Bagantung : H. Jusuf.
  • Talakbuai : H. Jusuf, H. Sulaiman, H. Ruslan.

Sesungguhnya masih banyak nama lain yang belum termasuk dalam catatan ini. Maklumlah kekuatan ingatan saya terbatas.

Dalam perjalanan Islam di Silungkang ini tak dapat diabaikan berdirinya Limau Purut Institut pada tahun 1940. Limau Purut Institut ini kemudian berganti nama menjadi Silungkang Institut dan seterusnya berganti lagi menjadi Sekolah Dagang Islam (SDI) hingga kini.

Berdirinya Limau Purut Institut ini adalah salah satu hasil Konferensi Silungkang tahun 1939, yang antara lain acaranya mempermasalahkan pendidikan anak-anak Silungkang. Seperti diketahui masalah pokok yang diperbincangkan dalam konferensi Silungkang 1939 ialah :

  • Masalah air buat mandi dan kesucian nama nagari Silungkang
  • Masalah pendidikan anak-anak
  • Masalah kain tenun Silungkang
  • Masalah perantauan anak nagari

Perlu juga diketahui bahwa sebelum berdiri Sekolah Dagang Islam ini, di Silungkang juga sudah ada Dinniyah School (sekolah agama), yang juga tak sedikit sumbangannya dalam memajukan pendidikan agama Islam di Silungkang.

Ketika konferensi Silungkang yang pertama itu berlangsung Perang Dunia ke II telah mulai di Eropa, dengan diserbunya Danzig oleh tentara Hitler pada 1 September 1939. Dua tahun lebih kemudian, tepatnya 8 Desember 1941, angkatan udara Jepang fasis menyerang armada Amerika di Pearl Habor. Dengan itu Perang Dunia ke II telah meliputi seluruh dunia.

Perang Dunia ini menyebabkan sebagian besar orang Silungkang di perantauan pulang ke kampung halaman. Dalam suasana perang itu rasanya lebih aman bila berdiam di kampung sendiri. Ketika itu Silungkang jadi ramai dengan segala macam kegiatan.

Sumber :

Pelajaran Dari Perjalanan Islam di Silungkang

Oleh :

Munir Taher & Hasan St. Maharajo

Laman Berikutnya »