Bahasa


  1. SAKO

Sako artinya warisan yang tidak bersifat benda seperti gelar pusako. sako juga berarti asal, atau tua, seperti dalam kalimat berikut.

Sawah banyak padi dek urang

Lai karambia sako pulo

(lebih…)

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

BAGIAN KELIMA

BAGIAN KEENAM

BAGIAN KETUJUH

BAGIAN KEDELAPAN

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia

BAGIAN KESEMBILAN

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Kedatangan empat orang pengrajin songket Silungkang di Seri Menanti membuat kegembiraan tersendiri bagi kami. Betapa tidak, kami merasa mempunyai anak empat orang lagi yang sudah remaja. Kami menyayangi mereka sebagaimana menyayangi anak sendiri. Kami beranggapan – anggapan kami ini entah betul entah tidak – yaitu berkemungkinan orang tua mereka bisa merelakan melepas mereka merantau ke Malaysia dikarenakan kami ada sebagai pengganti orang tua di Malaysia. Maklumlah tidak mudah bagi orang tua melepas anak gadisnya merantau jauh ke negara lain. Kami menerima mereka dan merasa mereka adalah bagian dari keluarga kami, juga kami mempersiapkan diri untuk waspada dan berkewajiban akan keselamatan mereka sebagaimana juga terhadap anak-anak kami. Mereka disediakan sebuah rumah disebelah rumah kami. Pada suatu malam, setelah shalat Isya mereka berkumpul di rumah kami dan saya mengambil kesempatan untuk menasehati mereka karena disadari mereka masih muda dan belum berpengalaman lagi cara “dimano bumi dipijak, disitu langik dijujuang”, lagi pula mereka kelihatannya dalam masa puber, dunia ini terasa mereka yang punya.

(lebih…)

Lebih kurang 6 bulan sekolah yang dibangun berjalan, diadakanlah pemeriksaan oleh badan pemeriksaan yang dipimpin oleh Guru Arifin. Dari hasil pemeriksaan, Guru Arifin sangat gembira dengan hasil yang telah dicapai. Menurut pendapat Beliau, bahasa Belanda di sekolah ini telah dapat disamakan dengan kelas V di sekolah HIS. Kira-kira satu tahun kemudian, sekolah ini ditukar namanya menjadi “Silungkang Institut”. Ditukarnya karena banyak yang mengusulkan bahwa nama Limau Poeroet Institut, nama ini terlalu khusus sedangkan sekolah ini kepunyaan Silungkang. Pada tahun ajaran kedua guru ditambah, yaitu guru Sugino M. Wigono. Pada tahun ketiga guru telah 6 orang karena ditambah dengan guru Sofyan Jamanuri, guru Nazarirrudin dan guru M. Zein.

Akhir tahun 1941, datang rombongan pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Controleur untuk memeriksa sekolah ini, waktu itu tentara Jepang telah menduduki Philipina. Diperiksanya sekolah ini karena pemerintah Belanda curiga terhadap sekolah ini. Kecurigaan ini disebabkan antara lain :

  • Tentara Jepang disamping memakai pakaian seragam, kepalanya semuanya gundul. Peraturan di sekolah ini juga begitu. Apakah sekolah ini ada hubungannya dengan tentara Jepang itu.
  • Karena dapat laporan dari intelegennya, bahwa guru-guru “Silungkang Institut” sedang giat-giatnya mempelajari bahasa Jepang.
  • Belanda masih khawatir terhadap Silungkang. Kekhawatiran ini mungkin akibat pemberontakan Silungkang 1927.

Untunglah sebelum ada pemeriksaan, kepala negeri Silungkang M. Joesoef Penghulu Sati yang menjadi pelindung sekolah ini, telah mengetahuinya dan segera memberitahukan kepada guru-guru bahwa akan ada pemeriksaan. Oleh karenanya guru-guru mana yang patut disingkirkan, disingkirkanlah segera. Nyatanya waktu itu guru Bahaudin memang sedang asyiknya mempelajari bahasa Jepang.

Segala pertanyaan yang diajukan oleh Controleur itu, dapat dijawab oleh guru Bahaudin dan guru Sugino, sehingga Controleur pulang dengan tangan hampa, tapi masih menampakkan kecurigaannya. Lebih kurang satu bulan kemudian, datang rombongan pemerintah Belanda dari Padang, yaitu rombongan dari O & E (Onder Wys en Eeredienst). Kalau istilah sekarang rombongan DEBDIKNAS. Kedatangannya itu untuk membujuk pemimpin-pemimpin Silungkang agar sekolah Silungkang Institut dijadikan saja sekolah pemerintah. Ini mungkin rentetan dari periksaan Controleur tempo hari. Usul ini ditolak dengan tegas oleh pemimpin-pemimpin Silungkang. Tidak ada basa-basi karena pemimpin-pemimpin Silungkang telah tahu bahwa situasi di Indonesia telah mulai gawat. Negeri Belanda telah diduduki Jerman, sedangkan tentara Jepang telah mendekati Singapura.

Sumber : Bulletin Silungkang, 001/SM/JUNI/1998

BAGIAN PERTAMA
BAGIAN KEDUA
BAGIAN KETIGA
BAGIAN KEEMPAT
BAGIAN KELIMA
BAGIAN KEENAM
BAGIAN KETUJUH

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia

BAGIAN KEDELAPAN

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Dalam perjalanan menuju Malaysia tidak banyak percakapan yang terjadi karena suasana hati masih mengandung kesedihan, bayangan almarhum semasa hidup selalu menjelma diingatan dan suaranya masih terngiang ditelinga.

Biasanya disepanjang jalan kami selalu menikmati keindahan alam yang dilewati, tapi kali ini pemandangan yang indah itu berlalu begitu saja, cuacapun mendung, hujan tidak panaspun tidak. Tanpa terasa dikarenakan perasaan hampa, kami telah mendarat di pelabuhan Melaka. Di Melaka saya sengaja belum mencari kendaraan menuju Seri Menanti, saya bawa isteri dan anak saya jalan-jalan melihat objek wisata serta peninggalan sejarah, setelah puas barulah saya menuju ketempat perhentian taksi yang tak jauh dari pelabuhan. Kami naik taksi menuju Seri Menanti lewat Tampin, jadi kami tidak melalui Seremban karena jalannya jauh dan berbelit-belit. Jalan yang ditempuh Melaka – Tampin – Kuala Pilah – Seri Menanti jauh lebih pendek dari Melaka – Seremban – Kuala Pilah – Seri Menanti.

15 Maret 1999 kami kembali sampai di Seri Menanti, tetangga, teman sekerja dan orang-orang yang kami kenal ikut menyampaikan duka cita, karena kami sudah dianggap oleh mereka sebagai keluarga sendiri, karena kami juga apabila ada kemalangan disana kami menyempatkan diri hadir untuk takziah dan berdoa, asal kami tahu ada kemalangan di tetangga ata orang-orang yang kami kenal, kami tetap berusaha untuk datang, tak kira yang meninggal itu rakyat biasa atau kerabat raja.

Tidak saja sewaktu kemalangan, berhelat kawin, acara adat di kampung-kampung pun kami sering diundang dan dengan senang hati kami menghadirinya. Begitu juga halnya dengan keluarga kerajaan, sewaktu T. Khursiah meninggal saya ikut mengantar ke Makam Diraja, selesai penguburan saya juga ikut membaca yasin, tahlil dan berdoa. T. Khursiah adalah Permaisuri Tuanku Abdul Rahman. Di hari raya Idul Fitri, sesudah shalat hari raya saya juga pergi ke Istana Besar menjamu selera, karena waktu itu Istana Besar terbuka untuk umum, seluruh lapisan masyarakat bersilaturahmi di halaman Istana Besar Seri Menanti. Ini semua saya lakukan supaya saya dan keluarga membaur dengan masyarakat, sebagaimana pepatah mengatakan “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, disamping itu kesempatan tersebut saya gunakan untuk menambah pengetahuan saya tentang pengamalan Adat Perpatih di Negeri Sembilan serta membandingkannya dengan pengamalan Adat Minangkabau di Sumatera Barat. Saya merasa beruntung sekali bekerja di Seri Menanti, karena disinilah pusat kegiatan Upacara Adat Perpatih, jadi dengan mudah saya dapat mengamati pelaksanaan upacara tersebut dan saya pun juga dibawah ikut serta menjadi Urus Setia (Panitia).

Kami mulai bekerja seperti biasa, di samping itu acara demi acara juga berlangsung di sekitar tempat kami bekerja, kegiatan latihan Caklempong oleh Putera/Puteri Seri Menanti dan juga latihan Rebana oleh orang dewasa ditambah lagi dengan adanya Shooting Sinetron TV dan Shooting Iklan TV serta Shooting Video Klip juga ada Pameran oleh instansi pemerintah, kesemua itu menambah semarak suasana.

Caklempong dengan lagu Minang, Rebana dengan pukulan Rentak Melayu, Rentak Arab dan Rentak India sungguh mengasyikkan.

Pada suatu hari datang satu bus pengunjung dari negara India, semuanya sebaya, pemuda- pemuda tampan dan gadis-gadis cantik seperti aktor dan aktris Bollywood, pertama sekali mereka menuju ke tempat kumpulan rebana latihan, seorang diantara mereka yang mungkin sebagai ketua rombongan berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, nampanya mereka ingin menyumbangkan sebuah lagu dan tari-tarian India serta mengajarkan rentak pukulan rebana yang diinginkan atau yang sesuai dengan lagu yang akan dinyanyikan. Maka mulailah dipalu rebana dengan serentak oleh anggota kumpulan rebana yang jumlahnya 10 orang, diikuti oleh seorang pemuda menyanyikan lagu India (berbahasa Urdu) dan pemuda-pemuda serta gadis-gadis lainnya menari dengan riangnya seperti yang kita lihat pada film-film India.

Tersentuh juga hati saya melihatnya, karena saya juga hobby nonton film India, biasanya saya melihat melalui layar bioskop-bioskop atau layar kaca televisi, sekarang langsung melihatnya. Panjang juga lagu yang dinyanyikannya, setelah berhenti semuanya bertepuk tangan. Saya maju kedepan menyalami penyanyi sambil berkata kepadanya supaya ditambah nyanyinya lagi, dia minta maaf tidak bisa, waktunya terbatas karena sudah diatur jadwal.

yamtuan5.jpgAwal bulan April 1999, terlihat kesibukan-kesibukan di Istana Lama dan di Istana Besar Seri Menanti, suatu acara yang langka dan diadakan pada hari Sabtu, 24 April 1999 yaitu acara ISTIADAT KEBERANGKATAN BALIK DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG, SETELAH TAMAT TEMPOH BERTAKHTA SEBAGAI DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG KE KE X. Yaitu acara penyambutan kepulangan Tuanku Jaafar ibni Al Marhum Tuanku Abdul Rahman dari Istana Negara Kualalumpur setelah bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang di-Pertuan Agung Malaysia dan kembali ke Istana Besar Negeri Sembilan, yang mana jabatan Yang Di-Pertuan Agung selanjutnya digulirkan kepada Raja/Sultan dari Negeri (Propinsi) lainnya, dan bertakhta selama 5 tahun, kecuali meninggal dunia. Raja/Sultan yang akan mendapat giliran tersebut sebanyak 9 orang.

Bisa kita bayangkan bahwa acara penyambutan ini diadakan di Seri Menanti sekali 45 tahun atau hampir setengah abad. Acara penyambutan ini diadakan selama 9 hari 9 malam, penuh dengan Upacara Adat serta Hiburan Kesenian Tradisional, Kesenian Modern juga ada pertandingan-pertandingan Olah Raga.

Pada tanggal 24 April 1999 tibalah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu acara penyambutan Baginda. Pagi-pagi sekali pertama-tama saya mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun kepada salah seorang anak saya yang lahir pada tanggal 24 Aprl 1987, setelah itu baru berangkat menuju halaman Istana Lama, disana sudah ramai orang terutama Pemangku Adat yang sebagian mereka memakai TENGKOLOK DANDAN TAK SUDAH, yaitu destar (deta) kebesaran di Negeri Sembilan. Masyarakat mulai berdatangan, panitia sibuk dengan pekerjaan bagian mereka masing-masing, Seri Menanti penuh dengan hiasan, disepanjang jalan menuju Istana Besar seluruh lapisan masyarakat berbaris di tepi jalan, Pelajar dan Mahasiswa masing-masing membawa bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia, pertunjukan kesenian tradisional diadakan disepanjang jalan ditambah lagi dengan persembahan Kebudayaan kumpulan Cina, India dan Sikh. Di tepi jalan sebelah kiri dipagari oleh orang-orang pembawa Bunga Manggar sedangkan di tepi jalan sebelah kanan dipagari oleh group Vespa, Motor Klasik dan Mobil Antik.

Tepat pukul 4.45 ptg. (16.45 sore) iring-iringan mobil yang membawa kepulangan Baginda sampai di Seri Menanti, Gendang Perang dan Kompang dipalu silih berganti, tak kalah meriahnya sewaktu gendang Cina, India dan Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh meraung-raung diiringi pula oleh seruling kelompok India sungguh indah didengar, rakyat yang berjejar ditepi jalan mengibarkan bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia yang terbuat dari plastik berukuran kecil.

Setiba di Pintu Gerbang Istana, Baginda dan Permaisuri turun dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana diiringi tiupan seruling dan gurindam, setibanya di Pintu Istana beras kunyit pun ditabur, di Istana diadakan jamuan teh dan dilanjutkan dengan Acara Istiadat Menyimpan Alat-alat Kebesaran.

Pada malamnya pukul 8.30 malam (20.30), di Padang Bola Sepak (lapangan bola kaki) Seri Menanti dan Londa Naga (semacam telaga yang terletak di antara Istana Besar dengan lapangan bola kaki) diadakan persembahan Tatoo dan Ketrampilan oleh ATM (Angkatan Tentera Malaysia) 1 Briged. Persembahan ini mendapat perhatian besar dari pengunjung.

Seri Menanti sangat ramai dikunjungi, siang malam pengunjung silih berganti, para pedagang memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual bermacam-macam barang dagangan, disini saya juga mengambil kesempatan untuk menjual Songket Silungkang dan barang-barang souvenir lainnya yang sengaja saya bawa dari Silungkang setiap saya pualng. Songket yang banyak laku waktu itu adalah songket cuki ponuah warna hitam dan warna merah dengan mokou warna emas, saya juga membawa sapu ijuk, karena sapu ijuk sedikit, banyak yang tidak kebagian, sapu ijuk oleh mereka bukan digunakan untk menyapu sampah, tetapi digangunt di dinding sebagai hiasan antik, mainan kunci berbentuk rangkiang (rumah adat Minangkabau) sangat laris terjual untuk digantung di mobil.

Acara demi acara dilaksanakan dengan lancar, aman dan tertib, acara Adat Istiadat, Kesenian Tradisional seperti Caklempong, Randai (ala Negeri Sembilan), Silat dan kesenian tradisional lainnya, dan juga kesenian-kesenian modern seperti persembahan lagu-lagu populer, pementasan drama, persembahan sastra. Disamping itu juga dimeriahkan dengan pertandingan-pertandingan olahraga.

Yang paling berkesan oleh saya adalah persembahan kesenian tradisional GHAZAL yang sengaja didatangkan dari Negeri Johor. Ghazal adalah lagu Melayu asli yang diiringi gabungan alat musik Melayu (biola), Arab (kecapi), India (gendang). Konon kabarnya musik Ghazal ini digunakan oleh Sultan Johor sebagai pengantar tidur. Saya tertarik dengan lagu Ghazal ini dari tahun 1968 lagi, sehingga koleksi kaset saya juga terdiri dari kaset lagu Ghazal. Mengenai kesenian tradisional yang ada di Malaysia, saya juga tertarik dengan Dondang Sayang dari Melaka, Mak Inang Pulau Kampai dari Negeri Sembilan, Dikir Barat dari Kelantan dan Boria dari Pulau Pinang, ini semua dapat saya tonton melalui TV 1 RTM (TV 1 Radio Talivisen Malaysia).

Tuanku Jaafar ibni A-Marhum Tuanku Abdul Rahman adalah satu-satunya keturunan Raja Pagaruyung yang masih berdaulat atau masih di Raja kan dan masih mempunyai Kerajaan yaitu Kerajaan Negeri Sembilan.

Selama Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang Di-Pertuan Agong, Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan dijabat oleh Putera Baginda yang tertua Tunku Laxamana Naquiyuddin ibni Tuanku Jaafar Al-Haj dengan gelar Paduka Seri Pemangku Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus. Kepulangan Baginda disambut mesra oleh Paduka Seri Pemangku dengan TITAH ALU-ALUAN (kata sambutan) yang saya salinkan berikut dengan teks sebagaimana aslinya :
Tanggal 24 April 1999 bersamaan 8 Muharram 1420 pasti tercatat sebagai salah satu lagi tarikh dalam sejarah Alam Beraja di Negeri Sembilan Darul Khusus apabila rakyat dari segenap lapisan masyarakat akan menyambut keberangkatan balik, D.Y.M.M. Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman yang menamatkan tempo bertakhta Baginda sebagai Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong ke X dari 26 April 1994 hingga 25 April 1999.

Peristiwa ini akan disambut dengan penuh adat istiadat menandakan kembalinya Raja yang dikasihi ke pangkuan rakyat negeri, dengan keunikan Adat Perpatih yang menjadi pegangan rakyat Negeri Sembilan Darul Khusus.

Sebagai satu-satunya negeri beradat, pastinya seluruh rakyat yang cintakan Rajanya tidak mau melepaskan peluang untuk bersama-sama meraih peristiwa yang penuh bermakna yang hanya berlaku hampir setengah abad sekali. Apa yang lebih membanggakan Beta, Kerajaan Negeri dengan dokongan pada rakyat dari segala lapisan masyarakat telahpun mengaturkan pelbagai program sebagai tanda kasih untuk menyambut keberangkatan balik Tuanku. Beta yakin, adat yang unik ini akan dapat diteruskan sepanjang zaman karena sesuatu yang datang dari rakyat itu adalah pancaran sebenar hati budi mereka.

Selain daripada acara menyambut keberangkatan balik Baginda, pelbagai acara telah disusun di Daerah Kuala Pilah, antaranya persembahan Tatoo, Larian Raja Melewar. Pementasan peristiwa di Bukit Candu dan pelbagai pertunjukan kebudayaan yang lain.

Pada kesempatan ini, Beta inigin merekamkan setinggi-tingginya penghargaan dan terima kasih diatas kesungguhan yang ditunjukkan oleh pimpinan negeri yang mendapat sokongan padu pihak Pentadbiran dan rakyat keseluruhannya bagi menjayakan adat istiadat ini dengan penuh gilang-gemilang.

Sesungguhnya Beta yakin, sesuatu yang lahir dengan penuh hati yang luhur itu akan membawa keberkatan.

Keterangan dari saya, D.Y.M.M adalah kependekan dari Duli Yang Maha Mulia. Pentadbiran artinya pemerintah atau Yang Berwenang, Beta artinya saya (diucapkan oleh Raja-raja Melayu).

Saya juga sempat menyaksikan pementasan Peristiwa di Bukit Candu, yaitu pertempuran perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pementasan ini diadakan di Padang Bola Sepak Seri Menanti dari pukul delapan malam sampai pukul 12.00 malam.

Pada suatu sore Tan Sri Samad Idris datang ke tempat saya bekerja, beliau mengajak saya naik mobilnya. “Pak Djasril, jom (ayoh) kite ke Kuala Pilah sekejap (sebentar)”. “Okey, Tan Sri”, jawab saya. Di Kuala Pilah kami masuk ke sebuah Kedai Minum dan langsung memesan minuman yang disukai masing-masing. “Macam ni Pak Djasril”, kata Tan Sri membuka kata, “Tahun ni adalah dijadikan Tahun Melawat Negeri Sembilan, pelancong tempatan (Malaysia) dan pelancong Antara Bangsa (Manca Negara) datang mengunjungi Negeri Sembilan, terlebih-lebih Istana Lama akan banyak dikunjungi, saye berhajat nak tambah tenun songket empat lagi, dan tentu sahaje ditambah lagi empat pengrajin dari Silungkang, tapi saye inginkan pengrajin yang lepas, kalau perempuan belum punye laki, kalau lelaki belum punye bini, untuk ini saye serahkan pade Pak Djasril macam mane baiknye,” lanjut Tan Sir.

“Baiklah Tan Sri,” jawab saya. “Nanti saya telepon Pak Djasril Munir Pengurus Kopinkra di Silungkang, karena beliaulah nanti yang akan merekrut pengrajin tersebut,” kata saya lagi.

Setelah selesai minum kami langsung saja kembali ke Seri Menanti, sesampainya di Seri Menanti saya terus saja ke kantor Muzium untuk menelepon ke Silungkang yaitu kepada Pak Dasril Munir, saya sampaikan rencana Tan Sri tersebut, Pak Dasril Munir menyambut baik rencana Tan Sri itu, dan akan memberi jawaban seminggu lagi.

Seminggu kemudian saya mendapat kabar dari Silungkang bahwa akan dikirim empat orang pengrajin lagi, semuanya wanita dan belum berumah tangga, 2 orang dari Batu Manonggou, 1 orang dari Sungai Durian dan 1 orang dari Panai Ompek Rumah.

BERSAMBUNG

Cerita Asli dari Djasril Abdullah

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kedelapan Februari 2008

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

BAGIAN KELIMA

BAGIAN KEENAM

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia (Part. 7)

BAGIAN KETUJUH

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Lama kelamaan isteri saya curiga juga melihat perubahan sikap saya, memang saya sangat sulit untuk menyembunyikan kegelisahan didalam diri saya, saya harus berbohong kepadanya guna kestabilan suasana. “Tako talepon daghi Silungkang,” kata saya memulai berbicara setelah isteri saya disuruh duduk mendengarkan kata saya. “Bapak sadang manjadi sakiknyo dikampuang, kini Bapak tu tempo di Rumah Sakik Solok, awak nyo suruah pulang, jadi awak mintak permisi limo boleh aghi pulang baliak, bisuak pagi awak barangkek, ambo lah manalepon ka Tan Sri Samad Idris dan ka Seremban, awak lah dapek izin untuak pulang ka Silungkang, kata saya dengan sangat hati-hati. “Jadi na, mudah-mudahan Bapak tu ndak bakpo-bakpo,” jawab isteri saya dengan nada cemas.

Setelah itu saya langsung pulang ke rumah, sedangkan isteri saya masih bekerja di Muzium, sampainya saya di rumah, saya panggil anak-anak saya. “Bisuak pagi Bapak jo Mama ka kampuang limo bole aghi pulang baliak, sobok Ongku jo Nenek lah maningga, tapi ka Mama indak buliah dikecek-an bahaso lah maningga do, bakecekan ajo bahaso Ongku sadang sakik dan tempo di Rumah Sakik Solok, awak taposo baduto, kalau ndak baitu, akan timbu pulo masalah baru, lai mangaroti kalian da,” kata saya memberi pengertian. “Jadi dek karano kalian sadang sikolah, kalian manunggu disiko, untuang untuang ndak sampai limo bole aghi do, Bapak jo Mama baliak kasiko,” sambung saya lagi. Anak-anak saya cepat paham apa yang saya maksud. “Jadi Pak, tapi usahoan copek baliak di Pak,” kata anak-anak saya.

Di Seremban seakan-akan orang tidak percaya setelah saya ceritakan bahwa mertua saya kedua-duanya meninggal dunia hanya dengan selisih waktu lebih kurang tiga jam, biasanya yang terjadi seperti itu kalau ada kecelakaan atau musibah lainnya, tetapi ini meninggal secara wajar, seakan-akan sudah ada janji diantara beliau sebagaimana pameo remaja bercinta “Sehidup Semati”, nyatanya terjadi pada kedua orang mertua saya, bahkan beliau sekubur berdua.

Lebih kurang setahun sebelum beliau meninggal, Bapak mertua saya pernah berkata kepada isteri saya : “Kok mati, bialah Bapak mati dulu daghi ande kau, kok ande kau nan dulu mati, mungkin den gilo dek nyo.” Kenyataannya memang demikian, Bapak mertua saya meninggal duluan dan berselang tiga jam kemudian disusul oleh Ibu mertua.

Berita meninggalnya Ibu dan Bapak isteri saya tersebut tidak diketahui oleh isteri saya. Dada saya mengandung rahasia yang dijaga erat-erat. Saya tidak mau isteri pingsan atau jatuh sakit karena dia tahu bahwa Ibu Bapaknya sudah meninggal, saya berusaha menyimpan rahasia, minimal sampai di Silungkang nanti.

Malamnya, segala sesuatu dipersiapkan, barang, surat-surat dan lain-lain. Tetangga diberitahu bahwa besok pagi kami pulang dan tidak lupa menitip dua orang anak-anak yang masih sekolah, sedangkan anak saya yang kecil (5 tahun) dibawa, karena tidak mungkin ditinggalkan, taksi yang akan membawa kami ke Melaka sudah dipesan yaitu taksi kepunyaan tetangga diseberang rumah.

Pukul 05.00, pagi kami berangkat dari Seri Menanti dan pukul 08.00, kami sampai di Melaka, saya langsung membeli tiket Ferry Indomal yang akan berangkat pukul 11.00 siang ke Dumai, jadi dapat juga kesempatan untuk makan, minum dan membeli makanan yang akan dibawa ke kampung. Isteri saya tetap yakin bahwa Bapaknya sakit, sedangkan saya pun tetap menjaga rahasia, sehingga suasana selalu normal.

Pukul sebelas kurang seperempat kami naik Ferry Indomal, barang-barang bisa kami angkat sendiri karena ringan dan tidak memerlukan bantuan buruh angkat. Tepat pukul 11.00, Ferry berangkat, kami memilih tempat duduk ditengah karena kalau Ferry mengarungi ombak yang agak besar kedudukan tetap stabil, di sudut kiri ruangan dimana kami duduk ada sebuah meja tulis untuk keperluan petugas imigrasi menstempel paspor sehingga di pelabuhan Dumai nanti hanya tinggal pemeriksaan barang, diatas Ferry kami diberi snack berupa nasi lemak dan segelas air Aqua. Lebih kurang empat jam berlayar kami sampai di Dumai, diluar pelabuhan, agen travel sudah ramai menunggu penumpang, saya sudah berlangganan dengan travel Simawang Indah karena pusatnya ada di Solok. Di atas travel tersebut hanya ada saya tiga beranak, tidak lama kemudian ditambah lagi dengan seorang ibu yang akan menuju Bukittinggi, dikarenakan tidak ada lagi penompang kami dikenakan bayaran Rp. 50.000,- seorang yang biasanya Rp. 35.000,- per orang. Travel berangkat dari Dumai, saya sudah mengatakan kepada supirnya bahwa nanti tolong antarkan kami ke Silungkang, karena travel tersebut hanya sampai di Solok dan saya bersedia menambah ongkosnya, supir setuju dan ongkosnya ditambah Rp. 20.000,- lagi.

Di kota-kota tertentu dimana ada wartel, saya minta supir untuk berhenti sebentar untuk menelepon ke Silungkang bahwa kami dalam perjalanan pulang sambil menyebutkan nama kota tempat saya menelepon, seperti Duri, Minas, Bangkinang, Payakumbuh dan terakhir Bukittinggi. Keberadaan Wartel waktu itu sangat penting karena ponsel belum merakyat seperti sekarang.

Pukul 01.00 dini hari, kami sampai di Lubuk Kubang Silungkang Oso, kelihatan orang ramai menanti kami, isteri saya disongsong oleh saudara-saudaranya.

“Toruilah awak ka Rumah Sakik Solok sakali,” kata isteri saya kepada adik-adiknya.<

“Ka uma lah awak dulu,” kata adik-adiknya. Di rumah orang pun sudah ramai pula.

“Bakpo dek rami,” kata isteri saya heran. Lalu isteri saya dirangkul oleh adiknya yang perempuan sambil menangis dia berkata :
“Bapak ndak ado lai”; Maka meraunglah isteri saya sejadi-jadinya menelengkup dipangkuan seorang ibu yang hadir malam itu, banyak orang yang menyabarkan isteri saya dan saya menyarankan supaya orang membiarkan isteri saya menangis-nangis sepuas-puasnya untuk menguras kesedihan yang menyesak didadanya. Setelah puas menangis, lalu dia duduk, tengok kiri, tengok kanan mencari ibunya sambil menanyakan dimana ibunya, kembali menanyakan dimana ibunya, kembali adik perempuannya merangkul dan menangis, sambil mengatakan bahwa ibunya juga menyusul pergi. Isteri saya kembali menangis, “Ondee …… lah poi bulo,” katanya sambil menelungkup kembali di lantai, saya menghampiri, “Jan talalu laruik, ingek anak awak baduo tingga di Malaysia, kalau laruik beko sakik lo, tontu susah hati lo anak-anak awak,” kata saya menyabarkan. Kebenaran yang saya katakan itu dapat diterima oleh isteri saya, dia berhenti menangis, lalu duduk kembali, kemudian dia sudah mulai menegur orang-orang yang hadir di rumah itu. Hari sudah mulai subuh, badan letih dan mata pun sudah mengantuk. Isteri tidak tahu bahwa saya menyimpan rahasia karena telah mengetahui hal ini sebelumnya.

Berangsur-angsur isteri saya mulai menerima kenyataan serta merelakan kepergian kedua orang tuanya, tetapi kesedihannya kambuh sewaktu dia berdoa setiap sesudah sholat, dengan tersedu-sedu menangis dia mengharapkan Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang tuanya dan mengharapkan supaya orang tuanya diterima dengan baik oleh Allah SWT, keadaan seperti ini berlangsung berbulan-bulan lamanya. Selama kami berada di Silungkang tiap hari orang ramai berkunjung, hati yang sedih terobat juga olehnya.

Sepuluh hari sudah berlalu, tibalah saatnya bagi kami untuk kembali ke Malaysia, sehari sebelum keberangkatan saya minta kepada Kepala Desa Silungkang Oso untuk dibuatkan Surat Keterangan Meninggal Dunia kedua orang mertua saya tersebut untuk diserahkan kepada Pengurus Muzium di Malaysia sebagai bukti kebenaran meninggalnya kedua orang mertua saya itu, sebab jarang terjadi hal yang semacam itu, seakan-akan ada perjanjian sehidup semati. Menurut keterangan yang saya terima. Bapak mertua meninggal di Rumah Sakit Umum Solok pukul 19.30 (setengah delapan senja), sedangkan Ibu mertua yang matanya tidak menampak lagi itu berada di Silungkang tidak diberitahu bahwa Bapak mertua sudah meninggal, pada jam meninggal Bapak mertua itu, Ibu mertua langsung lemah dan pingsan (ndak tau diughang), kira-kira pukul 21.30 beliau sudah kelihatan akan pergi menghadap Yang Maha Kuasa, supaya jangan terjadi penyesalan oleh anak-anak beliau dibisikkanlah bahwa Bapak telah meninggal, kemudian dibisikkan pula ucapan dua kalimat syahadat, tidak lama kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir menyusul suami yang telah dahulu pergi. Dua mayat terbujur di atas rumah, kesedihan menyelimuti seluruh keluarga, orang yang melayatpun sangat ramai dan yang menyembahyangkan pun ramai pula bertempat di Surau Lubuk Andai.

Kalau dikenang semasa hidup beliau termasuk keluarga miskin mangkoke dulu baru makan, diwaktu itu belum ada program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan seperti sekaran, untuk mengharungi kehidupan dan guna mencukupi kebutuhan rumah tangga telah bermacam-macam pekerjaan dilaksanakan, namun kemiskinan tidak juga mau renggang dari beliau. Dengan mendiami 4 m x 4 m beliau membina rumah tangga serta membina anak-anak, beliau dikaruniai 15 orang anak dan yang hidup sampai sekarang 8 orang (2 orang perempuan, 6 orang laki-laki) sedangkan yang 7 orang lagi meninggal semasa kecil.

Pahit getirnya kehidupan yang diselimuti kemiskinan dilalui dengan tabah dan sabar dan punya prinsip ado samo dimakan, ndak ado samo dicaghi, terpaan kesusahan hidup ini dijadikan sebagai alat perekat kasih sayang dalam kehidupan beliau berumah tangga. Pernah suatu waktu dulu (menurut penuturan isteri saya), pukul setengah enam pagi beliau suami isteri berjalan kaki dari Lubuk Kubang ke Lubuak Cokuang dekat Cinto Moni lebih kurang tiga kilometer dengan membawa jala ikan. Beliau suami isteri menangkap ikan masai di sungai, sampai pukul delapan pagi sudah berhasil menangkap ikan beberapa joghek (joghek yang terdiri dari lidi daun kelapa), kemudian berjalan kaki lagi menuju pulang, sebelum sampai di rumah singgah dulu di balai (pasar) menjual ikan tersebut dan uangnya dibelikan beras, cabe, bawang dan maco (ikan kering), sampai dibiarkan anak-anak makan terlebih dulu dan sisanya baru dimakan oleh beliau berdua.

Untuk menambah pendapatan beliau juga menerima upahan bertenun kain sarung, memintal benang dan ada kalanya mencelup benang.

Saya juga melihat sendiri kesetiaan beliau suami isteri dan saya pun tidak pernah mendengar pertengkaran diantara beliau, kalau si isteri sakit, si suami sibuk mencarikan obat, begitu juga sebaliknya, mesra dan harmonis, dan benar-benar keadaan seperti itu terlihat sampai akhir hayat.

Setelah kami mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi kembali ke Malaysia, mobil travel yang akan membawa kami ke Dumai pun telah siap menanti, isteri saya minta izin untuk pergi ke pusaran, Ibu Bapaknya guna berdoa dan pamit sampai dipusaran dia membersihkan daun-daun kering yang gugur dan berserakkan, berdoa serta minta izin untuk pergi. Kembali pemandangan yang mengharukan terlihat, dipeluknya gundukan tanah yang masih merah itu, seakan-akan dia memeluk Ibu Bapaknya, air mata meleleh dipipinya sambil berkata : “Salamek tingga Ibu jo Bapak, ambo baliak dulu ka Malaysia, semoga Ibu jo Bapak tonang dalam peristirahatan tarakhir.” Pelan-pelan dia meninggalkan pusaran sambil sering menengok ke belakang di mana Ibu Bapaknya terbaring, sambil berjalan ditempat mobil menunggu. Ramai juga orang mengantar keberangkatan kami, sebelum naik mobil isteri saya bersalaman dengan orang-orang yang mengantarkan itu dan minta terima kasih, kemudian dirangkul adik-adiknya dan isteri saya menatap kepada saya sambil berkata : “Tuak … Datuak adolah suami ambo, diantaro ambo jo adiak-adiak ambo, datuak lah nan ta tuo, dek kami adiak baradiak datuaklah lah nan ka gonti ughang tuo kami, nan ka manunjuak aja, nan ka maingek jo menegeur kami, jan di sio sio an kami, itulah minta kami ka datuak.”

BERSAMBUNG …

Cerita Asli dari Djasril Abdullah

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Tujuh Januari 2008

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

BAGIAN KELIMA

BAGIAN KEENAM

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Dalam ketegangan jiwa dan pikiran tersebut pertama sekali saya harus berusaha mencari jalan keluarnya, kalau tidak kesehatan saya bisa terganggu. Obat menenangkan jiwa satu-satunya adalah mengadukannya dan berserah diri kepada Allah, untuk itu saya berusaha selalu mendekatkan diri kepadaNya, berdoa supaya saya diberi kekuatan iman, kekuatan mental dan kesehatan jiwa dan raga. Saya memohon kepada Allah supaya ditunjukan jalan keluar dan supaya terhindar dari apa yang dinamakan stress.

Alhamdulillah, Allah mendengarkan dan mengabulkan doa saya, secara berangsur-angsur jiwa saya mulai tenang, rasa percaya diri kembali timbul, rasa cengeng dan pengecut hilang. Maka saya bertekad sepenuh hati untuk mengurus surat-surat sekolah anak-anak, saya akan coba mengurusnya sendiri, kalau tidak tahu caranya harus bertanya, saya ingat “malu bertanya, sesat dijalan”.

Saya isi borang (formulir) permohonan cuti satu hari, begitu juga isteri saya, kami besok pagi akan pergi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (Kedubes RI) di Kualalumpur untuk membuat paspor anak-anak saya. Pagi-pagi benar kami sudah bangun, anak-anak dibangunkan karena juga akan dibawa. Tepat pukul 06.00 pagi kami berangkat dari Seri Menanti. Untuk sampai di Kualalumpur kami tiga kali naik mobil, pertama Seri Menanti – Kuala Pilah, kedua Kuala Pilah – Seremban dan ketiga Seremban – Kualalumpur. Dari Seri Menanti ke Kualalumpur kira-kira 90 km.

Pukul 09.30 kami sampai di Kualalumpur, saya sengaja tidak turun di BAS STESEN (terminal bus), saya turun disebuah BAS STOP (halte) di tengah kota Kualalumpur supaya mudah naik taksi, kemudian saya ikut antri menunggu taksi. Setelah berada di atas taksi, derebar (sopir) taksi bertanya, “Nak kemane Ncik ?”, “Tolong hantar saya ke Kedutaan Indonesia”, jawab saya. “Okey, mudah-mudahan sahaje tak jem (macet)”, jawabnya lagi.

Hanya lebih kurang lima belas menit saya sampai di Gedung Kedubes RI, di gerbang masuk ada sebuah pos yang dijaga oleh dua orang Satpam, saya menghampirinya lalu saya katakan bahwa saya ingin masuk untuk mengurus pembuatan paspor anak-anak saya. “KTP Bapak mana?”, kata Satpam tadi. Lalu saya berikan KTP kepadanya. KTP saya disimpan disitu dan ditukar dengan sebuah kokarde untuk disematkan diatas saku kiri baju yang bertuliskan TAMU KEDUTAAN RI KUALALUMPUR. “Nanti sewaktu Bapak keluar tukarkan kembali kartu ini dengan KTP Bapak”, kata Satpam itu lagi.

Saya terus masuk ke dalam. Saya jumpai bagian konsuler untuk menanyakan prosedur pengurusan membuat paspor anak-anak saya yang sebelum ini tercantum sebagai pengikut didalam paspor ibunya. Bagian Konsuler tersebut menerangkan kepada saya cara pengurusannya dari awal sampai akhir. Mula-mulai saya pergi dulu ke Bagian Pendidikan di lantai empat meminta rekomendasi, setelah rekomendasi didapatkan kemudian turun lagi ke lantai dasar menuju loket tempat pengambilan formulir, disitu juga ramai warga negara Indonesia yang berurusan menurut keperluan masing-masing. Karena ramainya saya harus antri, setelah formulir didapatkannya cari tempat untuk mengisi formulir tersebut, disamping itu banyak juga orang yang menawarkan jasanya untuk menolong mengisi formulir, tetapi setelah membaca formulir tersebut saya bisa mengisinya sendiri tanpa memerlukan jasa seseorang.

Setelah selesai mengisi formulir, saya pergi ke loket tempat penyerahan formulir. Disana berkas yang saya serahkan diteliti. Adapun berkas yang saya serahkan itu antara lain paspor isteri, rekomendasi dari Bagian Pendidikan Kedubes RI dan formulir yang telah saya isi tadi beserta foto anak-anak. Setelah semua berkas tersebut diteliti, saya disuruh membuat pembayaran di loket lain dan tanda lunasnya harus diperlihatkan kepadanya, kemudian saya diberi tanda terima bahwa berkas dan paspor isteri ada di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk pengurusan pemisahan dan pembuatan paspor anak-anak yang ikut tercantum didalam paspor isteri dan akan selesai selama tiga hari setelah tanggal surat ini. Surat ini penting kalau-kalau ada Pemeriksaan Polis (razia polisi), tanpa surat tanda terima itu bisa-bisa dicap sebagai Pendatang Haram (Pendatang Tanpa Izin).

Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, waktu istirahat pegawai-pegawai Kedutaan sudah tiba, untung saja segala pengurusan saya sudah selesai. Kami sudah mulai lapar, di kompleks Kedutaan itu ada juga warung nasi, jadi saya tidak usah mencari rumah maka kemana-mana lagi. Selesai makan siang saya keluar dari kompleks Kedutaan dan tak lupa menukarkan kokarde dengan KTP yang diminta Satpam sewaktu saya masuk tadi. Di luar kompleks adalah jalan raya (Jln. Tun Razak) maka dengan mudah saya langsung menyetop taksi, menyetop kendaraan atau menerima/memberi sesuatu di Malaysia dengan tangan kiri tidak masalah, kita tidak akan dikatakan kurang ajar, tetapi akan lebih baik dengan tangan kanan. Setelah duduk diatas taksi, derebar (sopir) bertanya : “Kemane Ncik?”. “Tolong hantar saya ke BAS STESEN (terminal bus). “Oh … Pudu Raye kan ?”, kata sopir taksi itu lagi. “Ya, Ncik”, jawab saya singat. Pudu Raya adalah nama lain dari terminal bus tersebut karena terminl bus itu terletak di Jalan Pudu. Sesampainya saya di terminal bus saya langsung saja naik bus jurusan Seremban. Tiket bus dibayar diatas bus saja, keberangkatan bus menurut jadwal, walaupun belum penuh. Di Seremban saya pindah jurusan Kuala Pilah dan di Kuala Pilah pindah lagi naik Kereta Sewa (oplet, yaitu mobil sedang yang bukan taksi) menuju Seri Menanti.

Saya dan juga pegawai-pegawai lainnya mempunyai hak cuti 14 hari dalam satu tahun, cuti tersebut boleh diambil bila diperlukan, satu lagi sistem, bila seseorang itu sedang cuti, tidak boleh diganggu seperti dipanggil oleh atasan atau ditelepon dan jika hari cuti itu tidak dihabiskan dalam satu tahun maka hari cuti itu akan hangus, jadi hari cuti harus dihabiskan. Bila sakit yang memerlukan istirahat, juga ada hak cuti diluar cuti tahunan yang dinamakan Cuti Sakit, tetapi harus ada Surat Keterangan Sakit dari Kelinik atau Hospital (Rumah Sakit).

Pernah satu kali, sewaktu saya sedang kerja, saya demam, kadang-kadang badan terasa panas, kadang-kadang dingin. Saya minta izin untuk pergi ke Kelinik (semacam Puskesmas), setelah diperiksa, saya diberi obat dan juga diberi Surat Keterangan Sakit supaya istirahat dua hari, sekembalinya saya dari Kelinik saya terus ke Pejabat (kantor) Muzium, saya serahkan Surat Keterangan Sakit itu kepada staf disana, lalu dicatat bahwa saya cuti sakit selama dua hari, kemudian saya pulang ke rumah, setelah makan nasi saya makanlah obat yang dibawa dari Kelinik tadi, setelah itu tidur, malamnya makan lagi obat tersebut. Keesokannya, bangun seperti biasa, sesudah shalat fardhu Subuh, sarapan pagi, merasa badan sudah segar bugar, tidak ada demam lagi, normal seperti biasa. Pagi itu pergi kerja. Sedang bekerja, saya dipanggil ke Pejabat (kantor), lalu saya bertanya : “Apa hal saya dipanggil ?”. Seraya saya duduk dikursi. “Bapak tidak boleh masuk kerja, karena Bapak sedang cuti sakit, seeloknya Bapak rehat aje dirumah”, katanya. “Tapi saya kan sudah sehat, tidak demam lagi”, kata saya meyakinkan. “Betul …., walau Bapak sudah sihat, Bapak tetap tidak boleh bekerja, kerana Bapak sudah dicatat untuk cuti sakit dua hari. Kalau Bapak disini juga tak pe, Bapak hanya dianggap sebagai tamu atau pengunjung, tapi kalau Bapak ingin menikmati hari cuti sakit Bapak ini untuk urusan peribadi, terserah Bapak, kami tidak menyalahkan Bapak,” kata staf itu lagi. Memang aneh tapi nyata, saya nikmatilah hari cuti sakit itu untuk keperluan pribadi.

Waktunya untuk mengambil paspor anak-anak saya di Kedubes RI Kualalumpur sudah tiba. Lagi-lagi saya minta cuti satu hari, kali ini saya pergi seorang saja, karena hanya mengambil paspor tanpa ada urusan lain. Memang, yang saya urus di Kedutaan RI Kualalumpur itu telah siap. Pulangnya saya membawa tiga paspor yaitu paspor isteri saya, paspor kedua anak saya, sedangkan anak saya yang kecil masih tertera sebagai pengikut didalam paspor ibunya. Karena saya tidak ada urusan lain selain menjemput paspor itu, tepat pukul 14.00 saya sudah berada kembali di Seri Menanti. Saya langsung menemui Guru Besar (Kepala Sekolah) Sekolah Kebangsaan Tunku Laksmana Nasir untuk meminta rekomendasi yang akan dibawa ke Pejabat Pendidikan Seremban (Kantor Dinas Pendidikan Seremban) bersama-sama paspor anak-anak saya, Guru Besar (Kepala Sekolah) memberinya dengan senang hati tanpa dipungut bayaran. Supaya cepat tuntas besoknya minta cuti lagi untuk ke Seremban, pegawai Muzium memaklumi akan urusan saya ini, jadi tidak keberatan memberi izin cuti.

Di Seremban saya sudah tahu alamat Pejabat Pendidikan, saya langsung saja kesana. Disana saya disambut dengan ramah. “Macam mane, dah selesai pasport anak Pak Cik ?,” katanya. “Sudah”, jawab saya singkat. “Tunggu kejap ye, kami buatkan rekomendasinya, lepas ni Pak Cik terus aje ke Pejabat Imigresen (Kantor Imigrasi)”.

Katanya sambil menuju komputer yang terletak disudut ruangannya. Tidak menunggu lama selesailah rekomendasi tersebut. “Berapa saya harus bayar?”, kata saya. “Untuk ini Pak Cik tak dikenakan bayaran apapun”, katanya. Saya telah diberi tahu oleh teman-teman Malaysia, kalau pejabat dimana saja di Malaysia ini mengatakan bahwa tidak dikenakan bayaran, jangan coba-coba memberi pribadinya uang sebagai balas jasa, kita akan dipersalahkan dan dituduh Rasuah (menyogok/memberi suap) dan akan berhadapan dengan undang-undang.

Dari Pejabat Pendidikan, saya menuju sebuah gedung bertingkat, entah berapa tingkatnya saya tidak tahu karena tidak dihitung. Gedung itu dinamakan Wisma Persekutuan yang tidak berapa jauh dari Pejabat Pendidikan. Di lantai dasar Wisam Persekutuan itu saya baca daftar yang terpampang didinding, melihat dilantai ke berapa kantor imigrasi tersebut, kiranya di lantai empat. Saya menunggu pintu lift terbuka, setelah terbuka saya masuk dengan beberapa orang lainnya, masing-masing memencet nomor lantai yang dituju. Di lantai empat saya keluar, memang disanalah kantor imigrasi, di dinding tertulis dengan huruf yang besar, MESRA DAN TEGAS, maksudnya ramah dalam melayani dan tegas dengan peraturan, dan di loket-loket pelayanan tertulis ANTI RASUAH (anti sogok/suap). Juga nasehat teman-teman Malaysia, kalau akan berurusan dimana-mana kantor di Malaysia ini harus dipastikan terlebih dulu persyaratan yang harus kita sediakan, satu saja kurang, pengurusan akan ditunda. Saya terus masuk dan menuju sebuah meja disebuah sudut, disitu tertulis TEMPAT BERTANYA yang dilayani oleh seorang pegawai imigrasi. Disana saya menanyakan bagaimana prosedur pengurusan Pas Pelajar, pegawai tersebut menerangkan dari awal sampai akhir, setelah saya mengerti, maka mulailah saya laksanakan sebagaimana petunjuk yang diberikan pegawai imigrasi itu. Karena saya telah mengerti urutan pengurusannya dan juga segala persyaratannya telah tersedia, tidak memerlukan waktu lama, semuanya lancar, terakhir saya membayar biayanya kepada Bendahara yang berada di lantai lima, saya bayar semuanya 150 ringgit dengan perincian pembayaran VISA MULTIPLE ENTRY (izin keluar masuk Malaysia) 15 ringgit, pembayaran PAS PELAJAR 60 ringgit, jumlahnya 75 ringgit, untuk dua orang anak 150 ringgit, dan berlaku untuk satu tahun. Kemudian saya diberi Resit Pengambilan (Surat Pengambilan) dan akan siap tiga hari lagi. Setelah siap semuanya saya pulang dengan hati lega.

Tepat tiga hari setelah itu saya pergi lagi ke Wisma Persekutuan Seremban untuk menjemput paspor anak-anak saya dengan Pas Pelajarnya. Saya serahkan Surat Pengambilan di loket Pengambilan Surat-Surat, pegawai disana memberikan dua paspor kepada saya. Saya lihat didalamnya sudah direkatkan semacam stiker sebanyak dua buah yaitu Visa Multiple Entry disatu halaman dan Pas Pelajar dihalaman sebelahnya, setelah saya mengucapkan terima kasih, saya langsung pulang.

Alhamdulillah, berkat pertolonganMu ya Allah, dengan waktu tidak sampai satu bulan anak-anak saya resmi menjadi pelajar di Malaysia, jadi apa yang saya cemaskan sebelumnya tidak bertemu, semua pengurusan lancar, kenapa sebelumnya saya menjadi seorang “Olun Poi Lah Babaliak” (belum pergi telah berbalik) sehingga saya pengecut dan cengeng ?

Kini semuanya telah beres, saya dapat dengan tenang menghadapi pekerjaan. Anak-anak saya pun telah mulai banyak kawan, pulang sekolah, dia senang bergaul dan bermain dengan anak-anak tempatan, mereka bermain dengan riang dan gembira hampir tidak terdengar lagi anak-anak saya menggunakan kecek kampuang (berbicara bahasa kampung), mereka selalu menggunakan cakap Malaysia.

Suasana didalam rumah tangga saya pun cukup tenang dan harmonis karena ekonomi rumah tangga boleh dikatakan mencukupi untuk membiayai keperluan sehari-hari, karena disamping saya mendapat gaji, isteri saya pun juga mendapat gaji perbulannya, ditambah lagi setiap bulan masing-masing kami mendapat jatah beras, gula pasir dan susu.

Ditempat kerja, bila ada pengunjung, sangat ramai, kadang-kadang sampai 4 atau 5 bus yang datang, lebih-lebih dihari libur ramai yang datang, ada wisatawan tempatan yang terdiri dari Melayu, India dan Cina dan ada juga wisatawan mancanegara, saya mengambil kesempatan menjual kain songke dan barang-barang souvenir yang sengaja saya bawa dari Silungkang. Kadang-kadang juga diramaikan oleh pembuatan sinetron, video klip, pembuatan iklan TV. Juga sering yang datang wartawan-wartawan koran dan tabloid untuk mewawancarai, dan juga ada salah satu TV swasta Malaysia mengambil gambar dan mewawancarai tentang tenun songket untuk ditayangkan di TV swasta tersebut. Adakalanya diramaikan dengan pameran-pameran instansi pemerintah dan tak kalah hebatnya adalah pameran senjata dan alat-alat perang militer Malaysia. Halaman Muzium penuh dengan peralatan-peralatan perang, sungguh suatu pemandangan yang mengasyikkan.

Bulan Februari 1999, saya telah melaksanakan pekerjaan dengan tenang, pagi pukul 08.00 masuk kerja, pukul 12.00 sampai pukul 13.00 istirahat, pukul 16.00 pulang. Saya dan isteri saya beserta anak-anak mulai senang tinggal di Malaysia, tetangga sebelah rumah semuanya ramah dan senang bergaul dengan kami karena sama-sama etnis Melayu. Lidah kami mulai terbiasa dengan sarapan pagi masakan Malaysia seperti Nasi Lemak, Roti Canai dan yang lebih saya sukai ialah Nasi Goreng masakan Kedai Mamak yaitu warung nasi keturunan India.

Tanggal 2 Maret 1999, pukul 09.00 pagi, sewaktku saya sedang bekerja, datang seorang staf kantor Muzium kepada saya. “Pak, ada talipon”, katanya. “Baiklah”, kata saya sambil mengikutinya ke kantor Muzium. Saya angkat telepon, kiranya telepon dari Silungkang yang mengatakan bahwa Bapak isteri saya telah berpulang ke Rahmatullah pukul 19.30 senja kemarin. 3 jam kemudian Ibu isteri saya menyusul pula berpulang ke Rahmatullah kedua-duanya karena sakit. Dikatakan supaya saya bijaksana menyampaikan berita tersebut kepada isteri saya, dan izin dari saya untuk dilaksanakan penguburannya karena tidak mungkin ditunggu isteri saya pulang. Lama saya duduk dan termenung, untuk menyampaikannya kepada isteri saya, rasanya saya tak sanggup, karena memang inilah yang dicemaskan isteri saya sewaktu akan berangkat ke Malaysia dulu. Saya kembali ketempat kerja seakan-akan tidak terjadi apa-apa, isteri saya pun tidak pula bertanya telepon dari mana, karena biasanya telepon dari Seremban atau dari Tan Sri Samad Idris.

BERSAMBUNG …

Source :
Tabloid Suara Silungkang
Edisi Keenam, Desember 2007
Kisah Nyata Djasril Abdullah

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

 

BAGIAN KELIMA

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Ada lebih dari kurang satu minggu, kami men-stel palantai serta mengatur tata ruang tempat kami bekerja. Palantai ATBM dua buah dan Palantai Gedokan dua buah, jadi kami memproduksi kain sarung dua bidang dan kain songket. Ruangan tempat kami bekerja ditata rapi, beralaskan tikar rotan dan berdinding setengan tiang yang terbuat dari rotan anyaman. Dipintu tempat masuk tertulis “Sila Buka Kasut” artinya silahkan membuka sepatu/sandal, dan setiap palantai juga tertulis “Jangan Sentuh” artinya jangan dipegang. Kami diarahkan supaya menenun kain hanya bila pengunjung ada. Jika pengunjung tidak ada kami tidak menenun, tetapi tetap berada ditempat, kami harus mengikuti kebiasaan pegawai Malaysia lainnya yaitu “Disiplin”, masuk tepat waktu, keluar pun tepat waktu. Setiap masuk kerja dan keluar kerja kami harus memasukkan kartu kehadiran ke mesin absensi sehingga tercetaklah jam masuk dan jam keluar pada kartu tersebut. Saya sudah agak merasa lega karena ketetapan kerja sudah ada, saya bertenun ATBM yang menghasilkan kain sarung dua bidang, sedangkan istri saya bertenun songket, demikianlah kerja kami sehari-hari, tetapi guna untuk menambah pengetahuan dan menambah pergaulan sekali-kali saya memfungsikan diri saya untuk menanti pelancong (pengunjung) yang ingin melihat barang peninggalan sejarah yang ada di Muzim Diraja tersebut, disamping itu saya juga berkesempatan mempelajari sejarah hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan serta sejarah Negeri Sembilan itu sendiri. Diantara pengunjung yang datang, saya ada berkenalan dengan Datok Batin yaitu seorang Kepala Suku Biduanda (orang asli Negeri Sembilan), dalam percakapan dengannya saya banyak mendapat pengetahuan mengenai orang asli Negeri Sembilan yang terdiri dari orang Semang, Sakai dan Jakun yang telah berkawin campur (semenda menyemenda) dengan pendatang dari Minangkabau. Pada suatu ketika saya juga sempat menghadiri Seminar Adat Perpatih yang diselenggarakan oleh pemuka-pemuka Adat Negeri Sembilan dan dikesempatan lain saya juga sempat itu sebagai “Urus Setia” (Panitia) Pesta Adat Persukuan yang diadakan oleh 12 suku yang ada di Negeri Sembilan. Nama-nama suku yang dua belas itu adalah sebagai berikut :

  1. Tanah Datar

  2. Batu Hampar

  3. Seri Lemak Pahang

  4. Seri Lemak Minangkabau

  5. Mungka

  6. Payakumbuh

  7. Seri Malanggang

  8. Tigo Batu

  9. Biduanda

  10. Tigo Nenek

  11. Anak Aceh

  12. Batu Belang

Untuk ketenangan bekerja telah ada bagi saya, kini saya pindah lagi memikirkan anak-anak saya yang akan bersekolah, menurut perjanjian semula seluruh pengurusan sekolah anak-anak saya ditanggung oleh Muzium (yaitu pegawai Muzium orang Malaysia).

Bulan Desember adalah hari libur sekolah karena baru saja “naik derjah” (naik kelas). Ini satu perbedaan, kalau di Indonesia naik kelas bulan Juni dan tahun ajaran baru bulan Juli, sedangkan di Malaysia naik derjah bulan Desember dan tahun ajaran baru pada bulan Januari.

Pada tanggal 2 Januari 1999 libur sekolah telah berakhir, murid-murid sudah pada mulai sekolah, sedangkan anak-anak saya belum masuk sekolah, karena beluma ada berita dari Muzium tentang pengurusan anak-anak saya, sudah 15 hari saya tunggu-tunggu beritanya namun tidak ada kabar, saya mulai gelisah, akan saya urus sendiri, saya belum tahu caranya dan juga saya kuatir pihak Muzium tersinggung. Untunglah sore itu Wakil Kurator Muzium datang ketempat saya bekerja, saya ceritakan kegelisahan saya tersebut, dan Wakil Kurator Muzium mengerti akan kegelisahan saya itu, “Baiklah, esok kite pigi ke Pejabat Pendidikan Seremban, saye ade kenal dengan salah seorang pegawai disane, Bapak bisa tanye segala persyaratan dan prosedur macam mane nak uruskan anak Bapak”. Kata Cik Mad (Mohammad Darus/Wakil Kurator Muzium).

Keesokan harinya saya dijemput oleh Cik Mad, sesampainya di Pejabat (kantor) pendidikan Seremban, saya diperkenalkan kepada pegawai yang khusus mengurus penerimaan pelajar asing, saya dibawa ke bilik kerja pegawai tersebut, disitu saya diberi keterangan mengenai prosedur yang harus saya lalui dan laksanakan, sedangkan Cik Mad tinggal diluar bercakap-cakap dengan pegawai yang dia kenal disana.

“Pertama sekali Pak Cik harus memastikan yang sekolah tempat anak Pak Cik bersekolah berkenan menerime anak Pak Cik, tentu sahaje Pak Cik jumpe dengan Guru Besar (Kepala Sekolah), kalau die berkenan menerime anak Pak Cik, die akan bagi surat rekomendasi, dan surat rekomendasi itu Pak Cik hantar kesini. Kemudian berhubung kerana anak Pak Cik ikut passport ibu, Pak Cik harus pesah passport itu, sahingga masing-masing anak Pak Cik punye pasport tersendiri, memecah passport tersebut di Kedutaan Besar Republik Indonesia Kualalumpur, nanti setelah siap passport anak-anak Pak Cik itu, bawe kesini bersamaan dengan surat rekomendasi dari Guru Besar tadi. Setelah itu kami buatkan rekomendasi dan Pak Cik bawe rekomendasi beserta passport anak-anak Pak Cik itu ke Pejabat Imigresen (kantor Imigrasi) guna dibuatkan Student’s Pass (Pas Pelajar), yang akan berkuat kuase (berlaku) selame satu tahun. Setelah anak Pak Cik punya Student’s Pass, barulah anak Pak Cik bisa diterima sekolah di Malaysia ini, sebelum punye Student’s Pass anak Pak Cik tak de hak masuk sekolah.”

Demikianlah keterangan yang saya terima dari pegawai yang khusus mengurus penerimaan pelajar asing tersebut, dan seterusnya saya mohon pamit, Cik Mad kembali mengantarkan saya pulang ke Sri Menanti.

Di rumah, lama saya termenung memikirkan panjangnya prosedur mengurus sekolah anak-anak saya, sekali-sekali terlontar nada keluhan dari lubuk hati saya, kalau dipikir-pikir untuk menjalani proses pengurusan sekolah anak-anak saya itu bisa memakan waktu dua bulan, baru anak-anak saya bisa sekolah, tentu anak-anak saya terlantar, kasihan anak-anak saya.

Besoknya saya pergi bekerja seperti biasa walau malam tadi saya susah untuk tidur karena terlalu banyak berpikir, sedang asik bekerja, kebetulan sekali muncul Tan Sri Samad Idris, “Assalamu’alaikum, ape kabar Pak Djasril ?”, kata Tan Sri sambil menyalami saya. “Wa’alaikumussalam, kabar kurang baik, saya susah hati”, jawab saya dengan nada sedih. “Hai …. ape hal, bagi tahulah saye, kalau boleh saye tolong”, kata Tan Sri lagi. Maka saya ceritakanlah segala perihal sekolah anak saya tersebut dan segala prosedurnya. “Oh … macam tu, tunggu sekejap, saye talipon Guru Besar”, kata Tan Sri seraya pergi ke bilik pejabat Muzium untuk menelepon Guru Besar Sekolah Kebangsaan Tunku Laksamana Nasir yang terletak berseberangan jalan dengan Muzium tempat saya bekerja. Hanya sedikit yang terdengar oleh saya kata-kata Tan Sri yaitu “Cik Gu (Pak Guru) terima anak-anak Pak Djasril itu dulu, surat-surat kedian (menyusul). Setelah selesai Tan Sri menelepon lalu menghampiri saya “Esok pagi, Pak Djasril hantar anak-anak ke sekolah, saye dah cakap dengan Guru Besar, kemudian uruslah surat-surat”, kata Tan Sri.

Tak dapatlah saya ceritakan disini betapa gembira dan leganya hati saya atas pertolongan Tan Sri tersebut dengan mudah anak-anak saya bisa masuk sekolah sebelum surat-surat selesai, saya tahu pengaruh Tan Sri sangat besar di Negeri Sembilan dan sangat dihormati semua kalangan, baik oleh rakyat biasa, pemerintah dan juga oleh kerabat raja-raja.

Keesokan harinya saya bawalah anak-anak saya ke Sekolah Kebangsaan Tunku Laksamana Nasir, saya disambut dengan ramah oleh Guru Besar (Kepala Sekolah), dan saya mendapat keterangan-keterangan yang saya perlukan untuk kepentingan anak-anak saya seperti dikatakan bahwa menurut peraturan bagi pelajar asing tidak disediakan Buku Bacaan tapi harus beli sendiri di Kedai Buku (Toko Buku).

Anak saya yang tua (perempuan) duduk di derjah enam sedangkan anak saya yang nomor dua (laki-laki) duduk di derjah tiga, (derjah = kelas). Guru Besar memperkenalkan anak-anak saya kepada murid-murid yang ada di sekolah itu dan murid-murid disana juga gembira menerima anak-anak saya.

Besoknya, melalui telepon saya dipanggil oleh Guru Besar karena ada sesuatu yang akan diberitahukan kepada saya, setelah saya bertemu dengan Guru Besar tersebut dia mengatakan kepada saya bahwa anak saya nomor dua (laki-laki) tidak layak duduk di derjah tiga, kembali kepala saya pusing dibuatnya, kalau tidak layak duduk di derjah tiga tentu duduk di derjah dua kembali, berarti tinggal kelas satu tahun.

Karena penasaran saya tanyakan apa alasannya tidak layak duduk di derjah tiga apa yang kurang dengan anak saya itu, maka dijawab oleh Guru Besar tersebut, “Setelah kami tengok Surat Beranak (Akta Kelahiran) anak Pak Cik, ternyata anak Pak Cik beranak (lahir) 20 Ogos (20 Agustus) jadi sudah lebih dari pertengahan tahun, maka tak layak duduk di derjah tiga, anak Pak Cik harus duduk di derjah empat. Maka mulai sekarang anak Pak Cik kami pindahkan ke derjah empat.”

Tak habis pikir saya, cerdas betul anak saya, satu hari di kelas tiga langsung naik ke kelas empat. Kemudian barulah saya tahu bahwa di Sekolah Rendah (Sekolah Dasar) derjah atau kelas disesuaikan menurut umur dan tidak ada istilah tinggal kelas, naik terus sampai kelas enam, walaupun bodoh. Kelas satu umur tujuh tahun, kelas dua umur delapan tahun, kelas tiga umur sembilan tahun begitu seterusnya.

Anak-anak saya telah mulai sekolah, besoknya saya mengisi borang (formulir) untuk mengambil cuti satu hari guna pergi ke Seremban membeli buku-buku kebutuhan anak-anak saya dengan membawa daftar buku-buku yang akan dibeli. Di Seremban saya cari Kedai Buku semacam Toko Buku Gramedia di Indonesia, di Kedai Buku itu lengkap semua, alat-alat tulis, tas, buku tulis, buku cetak. Setelah semua kebutuhan anak-anak saya itu dilengkapi, saya pergi ke counter untuk membayarnya, total semua saya bayar semua RM. 350,- (tiga ratus lima puluh ringgit), penuh satu kardus kecil untuk saya bawa pulang.

Anak-anak sudah bersekolah, peralatan sekolah sudah cukup, pakaian seragam sudah ada, sebagian dari kesulitan saya sudah teratasi, kini yang harus dipikirkan lagi mengenai surat-surat sebagai persyaratan legalnya anak-anak saya sebagai seorang pelajar di Malaysia, pertama-tama memecah passport isteri saya, yaitu sebelum ini anak-anak saya tercantum sebagai pengikut didalam passport isteri saya, jadi dibatalkan pada passport isteri saya dan dibuatkan masing-masing passport tersendiri, ini pengurusannya di Kedubes RI Kualalumpur (lebih kurang 90 km dari Seri Menanti), kemudian setelah selesai passport anak-anak saya, diurus pula Student’s Pass (Pas Pelajar) ke Pejabat Imigresen (Kantor Imigrasi) di Wisma Persekutuan Seremban.

Lalu siapa yang akan mengurus surat-surat ini semua ? Tentu saja pegawai Muzium orang Malaysia, karena ini negaranya, tentu lebih mengetahui seluk beluknya, tetapi setelah dimintakan kesediaanya tak seorangpun yang sanggup dengan alasan belum ada pengalaman dan pengetahuan mengurus surat-surat seperti ini, lagi pula susah untuk meninggalkan jam kerja disebabkan disiplin pegawai yang ketat, akan diambil jatah cuti tahunan, masing-masing mereka sudah punya program dengan hari cutinya. Lantas siapa yang akan mengurus ini semua ? Kalau ingin selesai ya .. harus saya, saya yang lebih baik tidak punya pengalaman dan pengetahuan berurusan di kantor-kantor Malaysia, saya yang baru beberapa bulan di Malaysia. Ke Kedubes RI Kualalumpur ? Alamatnya saya tidak tahu. Ke Kantor Imigrasi Malaysia ? Saya belum biasa berurusan dengna pegawai-pegawai Malaysia yang punya disiplin tinggi. Kembali kepanikan melanda diri saya, malam hari saya susah tidur, makan mulai berkurang, pikiran mulai tegang, tekanan darah mulai naik, saya berdo’a semoga Allah memberi saya ketabahan dan keimanan.

BERSAMBUNG

Source :
Tabloid Suara Silungkang
Edisi Kelima, November 2007
Kisah Nyata Djasril Abdullah

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

BAGIAN KEEMPAT

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Saya punya catatan mengenai alat-alat tenun yang akan dibawa ke Malaysia, sebagian alat yang kecil-kecil langsung dipesan seperti locuik locuik, tughak, sikoci, sikek, buluah tughiang, balobe, juaran panjang, juaran singkek, lidi onau, kakolong, tali putiah, sedangkan palantai juga dipesan yaitu palantai ATBM dan palantai gedokan.

Untuk memesan dan mengurus alat-alat tersebut saya serahkan kepada isteri saya, dan disamping itu saya juga sibuk mengurus surat pindah sekolah anak saya di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah untuk pindah ke salah satu Sekolah Rendah (SR) di Malaysia. Anak saya yang paling tua kelas 5 SD, yang nomor dua kelas 3 SD, sedangkan yang kecil belum sekolah lagi karena baru berumur 4 tahun.

Pada tanggal 5 Nopember 1998, pagi itu saya sedang duduk disebuah bangku didepan Kantor Desa Silungkang Oso. “Pak, ado talepon”, kata salah seorang perangkat Desa. “Terima kasih”, jawab saya sambil langsung menuju gagang telepon yang masih tergeletak diatas meja. “Hallo, Assalamu’alaikum”, kata saya. “Wa’alaikumussalam, saye Cik Din, saye dah ade kat Padang, saye menginap kat Pangeran Hotel, macam ni Pak Djasril, esok pagi Pak Djasril datanglah ke Pangeran Hotel Padang bilik nomor 125 untuk ambik duit pembayar alat tenun dan ongkos balik ke Malaysia, sekalian duit bagi ongkos 2 orang pengrajin lagi, boleh paham tak ape yang saye cakap ni ?”. “Ya Cik Din saya paham, besok pagi saya berangkat ke Padang,” jawab saya.

Rupanya Cik Din (Drs. Shamsudin bin Ahmad) Kurator Lembaga Muzium Negeri Sembilan, sudah berada di Padang mengiringi kepergian saya ke Silungkang, saya sudah dianggap sebagai pegawai Muzium yang sedang melaksanakan tugas kerajaan di luar negeri, keselamatan saya adalah tanggung jawab kerajaan (pemerintah), demikian keterangan yang saya perdapat kemudian.

Siangnya saya temui seorang teman, Pak Idris, salah seorang guru di SD 013 Sungai Cacang, Silungkang Oso, dia ada punya mobil carry, saya minta dia untuk bersedia pergi ke Padang besok pagi mengantar saya ke Pangerang Hotel Padang, Pak Idris bersedia, karena bangku mobil banyak kosong, isteri dan anak-anak saya bawa.

Pada tanggal 6 Nopember 1998, pukul 08.00 pagi, saya sekeluarga dan Pak Idris yang langsung sebagai sopir mobilnya berangkat ke Padang, di Padang terus ke Pangeran Hotel. “Pak Idris, nanti sabonta disiko di, ambo tomui sabonta ughang Malaysia tu”, kata saya, setelah mobil Pak Idris parkir di Pangeran Hotel. “Jadi Pak”, jawab Pak Idris. Pak Idris dan keluarga saya menunggu di mobil, saya langsung ke tempat Receptionis, “Selamat siang Pak, apa yang bisa kami bantu”, tegur salah seorang yang berada di Receptionis itu. “Selamat siang, saya ingin menemui Shamsudin bin Ahmad, kamar nomor 125”, kata saya. “Sebentar ya Pak”, katanya lagi sambil menelepon ke kamar nomor 125 memberi tahu bahwa ada tamu yang ingin bertemu.

Tidak lama kemudian Cik Din muncul. “Seorang aje Pak Djasril ke sini ?”, tanya Cik Din sambil menyalami saya. Saya kesini sekeluarga dengan mobil teman”, jawab saya. Jom … (ayoh) kite pigi makan dulu”, kata Cik Din sambil barengan dengan saya menuju mobil Pak Idris. “Pak Idris ka rumah makan wak”, kata saya. “Jadi”, jawab Pak Idris. Di rumah makan kami duduk semeja dan terhidanglah bermacam-macam lauk pauknya. Saya perhatikan Cik Din memesan gulai tunjang sampai dua piring, nasi patambuhannya pun bertubi-tubi, kami heran juga melihat godang saleghonya (besar seleranya). Sambil makan dia berkata : “Saye kalau ke Padang, inilah yang tak tahan, saye suke masak Padang”. Selesai makan yang ditraktir Din itu kami kembali ke hotel di mana Cik Din menginap, saya dibawah ke kamar Cik Din, sementara Pak Idris dan keluarga saya menunggu di mobil. Lagi-lagi pengalaman baru bagi saya yaitu naik lift, karena kamar Cik Din berada di lantai tiga. Sampai di kamar Cik Din, diserahkanlah uang kepada saya sebanyak tiga setengah juta rupiah guna pembeli alat-alat tenun dan ongkos. “Nanti Pak Djasril balik ikut Dumai, di Silungkang Pak Djasril cari mobil angkut barang, macam mane terserah Pak Djasril-lah, sampai di Dumai nanti Pak Djasril terus ke Hotel Garuda, disane sudah ade yang menunggu, Datok Ismail beserta isteri yang akan pigi same ke Melaka”, kata Cik Din, “Ya, baiklah”, jawab saya singkat.

Kemudian setelah segalanya selesai, saya pamit, tapi sungguh malang bagi saya, saya tidak pandai cara turun dengan lift, pintu tangga ke bawah pun tidak nampak oleh saya, saya kembali ke kamar Cik Din dan minta tolong antarkan ke bawah, barulah saya selamat sampai di bawah (lantai dasar). Karena malu, saya tidak mau menceritakan kebodohan saya ini kepada orang, barulah sekarang saya ceritakan kepada anda, tapi janganlah disampaikan pula kepada orang lain.

Pada tanggal 8 Nopember 1998, jam 20.00 malam, segala alat-alat yang akan dibawa ke Malaysia telah siap, direncanakan besok 9 Nopember 1998, jam 10.00 pagi akan berangkat ke Dumai, sedangkan mobil angkutan barang dan mobil penumpang sudah disiapkan. Di pagi hari itu, 9 Nopember 1998, masyarakat ramai melepaskan kepergian saya sekeluarga, sungguh suatu penghormatan rasanya bagi saya, diwajah mereka kelihatan rasa simpati terhadap saya. Disisi lain ada suatu pemandangan yang menyedihkan dan mengharukan sekali terhadap diri saya ialah sewaktu saya melihat isteri saya bertangisan memeluk ibunya yang tidak bisa melihat karena diakibatkan penyakit diabetes yang dideritanya, dipeluknya ibunya erat-erat sambil keduanya bertangisan, entah akan bertemu lagi entah tidak, wallahu alam, hanya Allah yang tahu, orang tua isteri saya keduanya ditinggalkan dalam keadaan sakit, bapaknya tidak ikut melepas kepergian kami, beliau tinggal dirumah seorang diri, hanyut dengan kesedihan tersendiri. Tepat pukul 10.00 pagi, tibalah saatnya bagi kami meninggalkan Silungkang menuju Dumai dan untuk terus menyeberangi Selat Melaka.

Pada subuh hari, 10 Nopember 1998, kami sampai di Dumai, kami berkeliling-keliling mencari Hotel Garuda, setelah bertemu dan matahari mulai terbit, saya sekeluarga turun disana dan langsung disambut oleh Datok Ismail beserta isteri, sedangkan mobil angkutan barang langsung ke pelabuhan untuk membongkar barang dan dinaikkan ke kapal barang. Di hotel kami disediakan sebuah kamar, pertama sekali kami istirahat, karena diatas mobil tidak puas tidur, jam 10.00 kami sudah selesai istirahat dan mandi. Kami keluar menuju rumah makan, selesai makan, selesai makan saya dan keluarga kembali ke Hotel, saya menemui Datok Ismail, rupanya Datok Ismail juga baru saja menguruskan tiket Ferry Indomal untuk kami, sebuah Ferry yang akan berangkat ke Melaka pukul 14.00 siang.

Sebelum Ferry yang kami tumpangi berangkat, Datok Ismail menelepon ke Seremban yang mengatakan bahwa Ferry berangkat tepat pukul 14.00 supaya ditunggu di Jeti (Pelabuhan Melaka). Tak lama kemudian bertolaklah Ferry Indomal yang kami tumpangi, mula-mula menelusuri pantai ke arah utara kemudian barulah menyeberang Selat Melaka, ada lebih kurang empat jam, kelihatanlah gedung-gedung bertingkat Bandar Melaka.

Ferry merapat ke pelabuhan, kami turun satu persatu. Di pelabuhan sebuah mobil kerajaan telah menanti kami, mobil kerajaan (kalau di Indonesia mobil plat merah) platnya hitam, tetapi disamping platnya itu ada lambang Kerajaan Negeri (propinsi).

Kota Melaka adalah kota bersejarah, kami lalui saja, dari atas mobil kami melihat bangunan peninggalan zaman penjajahan Portugis dan objek-objek wisata lainnya, mobil terus melaju menuju Seremban dan hari pun mulai senja. Di Seremban kami tidak ada singgah, kami terus saja dibawa ke Seri Menanti, tepat pukul 21.00 malam waktu Malaysia Barat kami sampai di rumah yaitu di Kampong Bukit Tempurong Seri Menanti.

Lebih kurang satu minggu kami diantarkan nasi kotak, karena saya harus membeli alat-alat dapur seperti kompor, periuk, kuali dan lain-lainnya, juga tak kalah pentingnya saya dan isteri saya harus mempelajari nama barang keperluan sehari-hari, sebab banyak juga perbedaannya, misalnya kompor disebut dapur, kompor gas disebut dapur ges, api disebut mencis, bumbu disebut perencah, kemiri atau damar disebut buah keras, seledri disebut daun sup, lobak disebut kobis, dan banyak lagi yang harus dipelajari, kadang-kadang harus ditunjuk barang yang akan dibeli itu dan langsung ditanya namanya untuk menambah perbendaharaan kata-kata.

Anak-anak saya sengaja dibiarkan bergaul dengan anak-anak tempatan, tidak memerlukan waktu yang lama, mereka kelihatan akrab dan anak-anak saya pun sudah mulai berbahasa Malaysia, tetapi di rumah tetap kecek Silungkang, tetapi anak saya yang kecil, walaupun bagaimana kami berbahasa Silungkang dia tetap menjawab kata-kata kami dengan bahasa Malaysia, sehingga ada seorang tua mengatakan : “Wah … ni bukan anak Indonesia, ni anak Malaysia, tak de pun dia cakap Indonesia, kalau dah besar nak jadi ape”, tanya orang tua itu kepada anak saya. “Wah, kecik-kecik dah tahu nak bela negare”, kata orang tua itu sambil membela rambut anak saya itu.

BERSAMBUNG ……

Source :
Tabloid Suara Silungkang
Edisi Keempat, Oktober 2007
Kisah Nyata Djasril Abdullah

Dimano Garubang Hilang,
Di Aia Tojun-manojun
Dimano Bujang Hilang,
Di baliak Asok Bukik Takobun.

Ka ili ka mudiak mancari Dompet
Dompet dapek kobek pinggang ilang
Dek talendo daun lado mudo
La ili kamudiak mancari ubek
Ubek dapek Nan Kanduang ilang
Ba tamba sansai badan ambo
Begitulah bunyi bait/syair Marungui
dan Ratok Silungkang Tuo

Seperti kita ketahui, Budaya Rakyat Minangkabau di setiap Nagari mempunyai ciri/kebiasaan dimasing-masing daerah, termasuk juga di Nagari Silungkang, mempunyai budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu, sebahagian masih tetap dipakai sampai sekarang, seperti budaya kesenian Tak Tumbin (Rebana) yang dipakai atau dipertunjukkan pada setiap ada pesta Baroleh Kawin. Tapi ada satu Budaya Silungkang asli yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu yang terlupakan atau mungkin sudah dilupakan oleh masyarakat Silungkang, bahkan generasi muda Silungkang saat ini ada yang tidak tahu sama sekali tentang budaya tersebut, sehingga membuat mereka terheran-heran. Budaya tersebut adalah MARUNGUI, RATOK SILUNGKANG TUO SERTA RATOK INYIAK PORIANG. Budaya ini sangat unik sekali, karena Silungkang adalah satu-satunya yang mempunyai budaya ini di seluruh Minangkabau, sehingga mendatangkan decak kagum bagi masyarakat Minangkabau lainnya bahkan juga Negara Malaysia.

Budaya atau kesenian Marungui ini dimainkan oleh satu orang dengan cara berkelumun kain sarung, juga Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriang dimainkan oleh satu orang dengan diiringi musik Saluang dan Talempong Botuang. Dalam permainan Marungui ini, Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriang, si pemain menceritakan keadaan yang terjadi pada seseorang maupun yang dialami oleh Nagari, seperti seorang yang putus cinta, atau seseorang yang ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya, sehingga akan menimbulkan kesedihan serta keharuan bagi orang yang mendengarnya. Pada saat sekarang ini yang masih menguasai budaya ini, hanya tinggal satu orang lagi di Nagari Silungkang ini, yaitu Bapak UMAR MALIN PARMATO, Kepala Dusun Sawah Darek Desa Silungkang Oso, bahkan sampai saat ini belum ada satupun dari generasi penerus yang mewarisi budaya ini, beliau ingin sekali menurunkan atau mengajarkan budaya ini kepada generasi muda Silungkang, supaya budaya ini tetap lestari serta terpelihara dengan baik, sehingga akan menimbulkan kebanggaan bagi masyarakat Silungkang khususnya dan Sawahlunto pada umumnya, karena budaya ini adalah sebuah aset daerah yang sangat berharga sekali, dan nantinya juga bisa menunjang pariwisata di Kota Sawahlunto, terutama sekali wisatawan akan lebih mengenal lagi Nagari Silungkang, tidak hanya terkenal dengan tenunan songketnya, tapi juga dikenal sebagai Nagari yang mempunyai budaya yang sangat unik sekali.

Sewaktu SS (Suara Silungkang) berkunjung kekediaman Bapak Umar Malin Parmato di Sawah Darek, menanyakan sejak kapan budaya ini ada di Silungkang, beliau menjawab menurut cerita dari orang-orang tua dahulu, budaya ini sudah ada sejak Masyarakat Silungkang masih menganut agama Hindu dan Animisme, atau sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau. Sewaktu ditanyakan siapa yang pertama sekali memperkenalkan budaya ini, beliau tidak tahu persis siapa orang yang pertama yang memperkenalkan budaya ini, yang jelas Bapak Umar MP ini sudah menguasai budaya ini sejak tahun 1942 yang lalu. Juga waktu ditanya, dengan siapa beliau mempelajari budaya ini, Bapak Umar MP mengatakan, dia belajar dari Inyiak SAURA Kampung Talak Buai yang tinggal di Sungai Cocang pada tahun 1940.

Bapak Umar MP juga mengatakan, bahwa pada tanggal 10-18 April tahun 2005 yang lalu, budaya ini pernah ditampilkan pada “Pesta Gendang Nusantara 8” di Banda Raya Melaka Bersejarah, Negeri Sembilan Malaysia sebagai utusan dari Pemerintah Kota Sawahlunto. Kita sebagai warga Silungkang patut bangga sekali karena budaya kita sangat dikenal di negeri orang, tapi sungguh sangat ironis sekali, kenapa tidak ada dari warga Silungkang yang ingin melestarikan serta menghidupkan kembali budaya ini, sehingga nantinya akan bisa menjadi salah satu kunjungan wisatawan ke Silungkang, kalau dapat budaya ini bisa dijadikan salah satu agenda bagi kita masyarakat Silungkang untuk mengelolanya secara profesional.

Diharapkan kepada PKS Jakarta, ke depan untuk bisa memperkenalkan secara rutin budaya ini ditingkat Nasional, mungkin bisa dimulai pada acara Halal bi Halal warga Silungkang Jakarta sehabis lebaran nanti, sehingga nantinya budaya ini akan tetap lestari dan tidak akan hilang ditelan waktu. Kedepan marilah sama-sama kita jaga aset budaya kita ini yang sangat berharga seklai, sehingga budaya ini tidak akan diambil oleh daerah lain.

Oleh Rizal F. Daniel

Tabloid Suara Silungkang – Edisi Ketiga September 2007

Anak ugrhang nan baduo tu yo sonsin bona. Saili samudiak, konco palangkin, namun baitu sakali sakali ado juo basitongka – konco ogrhek lawan kogrhe. Nan sogrhang gopuak pendek bagolai Gombelakun. Nan sogrhang lai alui tenggi bagolai Kuwijogiak.

Tiok potang inyo batomu di pale-pale Tak Siyun, nan maheranan awak hobbynyo samo, raun sabolik bajalan kami sambia maota-ota. Indak abi-abi o bahan nan kadiotaan, yo tadogak lo awak manyimak ota si Gombelakun jo si Kuwijogiak to nyo. Untuang-untuang bamanfaek dek kito basamo. Dek agrhi nonyan, potang tu kigrho-kigrho puku duo potang di Tak Siyun keta, Ia basarok lo kaduo konco palangkin tu, sapoti biaso raun sabolik ciek lu, kini kito raun ka ili ten, tuwik jalan keta, tibo beko di lubuak nan godang baru tuwik jalan oto.

“Ei, Mbe …” kini awak jalan torui, indak ado bonti-bonti do, ang indak bulia minta manas do !” kecek si kuwijogiak ka si Gembelakun.

“Jadi … na, den asese jo manuwik kondak ang jo. Wi … !” jowek si Gombelakun.

“Wi, sabonanyo awak indak bulia bajalan kaki tuwik jalan keta ko lai, sobok kini keta indak tontu jam lalunyo lai, ciek lai keta kini kancang. La banyak kajadian, ugrhang nyo giliang dek keta. Klakson keta ompi soman jo klakson oto, paya awak mambensoannyo.” kato si Gombelakun maota sambia bajalan jo si Kuwijogiak mailien jalan keta, sedang bajalan tu nyo malengong-lengong kasuok jo kakida maliek-liek kampuang nan nyo lalui. Dek lomak ota, indak tau inyo la sampai di Lubuak Nan Godang, inyo togak-togak sabonta maliek tangayi. “Ondeh … co like dek ang, Mbe. Yo sabona godang ai dek kotang malam, agak jo lah, ujan sajak siang kotang sampai tonga malam yo lobek-kecek ugrhang ai godang bulan Oktober 2001 ko lobiah godang dari ai godang di taun 1961 dulu, den kotang malam kotu ujan tu lai kalua, Ei … abi anyuik kasadonyo karamba ikan, titi sungai duyian, taronak ayam jo itiak panduduak nan bauma ditopi tangai, luluik tonde sadonyo, olun lai tana panduduak nan nyo kiki dek ai godang tu, mmm …. banyak juo karugian” kecek si Kuwi ka si Gombe, sambia mambuang puntuang rokok Kaiser nan la tapuntuang nyo isok jak tako. Dek lamo lambek bajalan kini nyo la bajalan tuwik jalan oto, towi kaiili. “Ati-ati, Wi .., jalan oto la lowe, Ia duo kali lipek biaso, oto la kancang-kancang, sajak proyek pelebaran jalan dari Lubuak Lasi ka Muarokalaban, banyak jalan nan bengkok tu la nyo paluwi, kini Ia bulia dikatokan 75% siap. Den tu agak come juo sangenek, anak jo kamanakan nan poi sakola ado nan ka Muhammadiyah, ado nan ka SDI, ado nan ka SD Balai, ka SD Tak Siyun. Nyo bajalan kaki jo dagrhi uma, kotu ka manyabogrhang jalan keta badobak-dobak jantuang den dek inyo.” kecek si Gombelakun sambia mangga wuik-gawuik kapalonyo nan indak gatai. Jalan towui bagulambek-gulambek.

“Coliak dek ang, mbe .., Taman Maqam Pahlawan la ancak, indak somak lai kini la ado tuang barosiannyo, Nyo gaji dek pama-renta tapi nan ancak ado jo sakali-sakali bago-tongroyong. Inyo Ia baorban jiwanyo untuak mardeka sapoti nan awak kinyan kiniko. La patuik lo awak maharagoi joso baliau tu. Kan iyo baitu nak mbe ..”. “Iyooooo …” jowek si Gombelakun. “Ko indak, kadang-kadang ado lo ugrhang awak … jan kabagotong royong mambarosian Maqam Pahlawan ko lai, datang kasinan jo indak ado. Kok dapek nan Wi … jaan baitu bona sakali-kali datang juolah mando’a, baziarah kakiyun, untuang-untuang manjadi amal dek awak ndak o, … !

Kaduo konco orghek lawan korghe samo-samo maapui tangannyo kamuko sambia mangucek kato : Amin !

ndak taraso la tibo di Cintomoni torui ka tanah lapang duduak di tribune maisok rokok Kaiser. “Tribune awak ko la agak para lo, atok la tigrhi, pakayuannyo la lapuak, parolu dipelok total. Kok indak, bisa babayo isuak – Come jo awak nak, mbe …”. “Iyo … Wi, Tanah lapang untuak main bal di nagori awak ko kan saincai, ko nyo …. indak ado nan lain lai. Wajib awak mamaliaronyo, kini awak kumpuan piti, baiyo-iyo – awak pelok liak !

“Wi … iko iyo mambona sabole jo kapalo – Nan kababaliak ko den indak tolok lai bajalan kaki, do … sosak ongok den – baapo kok awak baliak jo ojek jo la. Ojek kan la banyak lo dinagori awak ko, masuak ka tiok kampuang.

Asa lai bisa nyo tompua dek Honda, ojek masuak kakiyun. Tukang ojeknyo kan lai anak-anak mudo ugrhang awak juo. Kan lobia elok bitu daripado manganggur, yo ndak, Wi … ?”

“Aaaaa … tu ado ojek duo, ha …. ha …. Baliak awak lai, balagrhi stek, agrhi nak ujan, beko basa kuyuik lo awak …”.

Cau !

Adios !

Permios !

Ngos-ngos !

Selamat tinggal, cintomoni !.

Sumber : Koba PKS, edisi Adiak Nan Jolong Tobik, Desember 2001 oleh Djasril Abdullah

nikah-fotokeluarga1.jpg

Pada pokoknya cara mempersiapkan barolek (perayaan pernikahan) dengan balope hampir sama. Hanya untuk barolek pihak anak daro harus menghias rumah, menghias kamar anak daro, membuat kue-kue. Juga mengadakan “sandaran” untuk tempat duduk marapulai dan rombongannya.

Tempat duduk marapulai atau “sandaran” itu ialah sebuah kasur yang dialas dengan permadani dan di bagian belakangnya dihias pula. Dulunya tempat duduk marapulai itu harus menghadap ke kamar anak daro. Tidak boleh menghadap ke luar rumah, karena ada kepercayaan atau anggapan bila menghadap ke luar, maka marapulai itu tidak akan lama di rumah. Kepercayaan tahyul ini kini tidak ada lagi.

Rombongan marapulai biasanya terdiri dari Panungkatan, marapulai dengan 2 atau 3 temannya yang memakai soluak, serta pengiring 5 sampai 10 orang yang terdiri dari anak-anak muda dan tukang rabona kira-kira 5 orang.

Pakaian marapulai dan rombongannya sebagai berikut : panungkatan memakai pakaian biasa dengan sarung setengah tiang. Marapulai memakai celana batik, sarung bugis, baju jas warna kehitaman, kemeja lengan panjang soluak. Pakaian teman yang bersoluak hampir sama dengan marapulai, tetapi tidak memakai celana batik. Sedangkan pakaian pengiring ialah sarung, baju jas, kopiah. Tukang robana memakai teluk belanga, sarung setengah tiang, kopiah tenunan Silungkang.

Demikianlah yang berlaku sekarang jika baroleknya di Silungkang. Tetapi jika baroleknya di Jakarta tidaklah secara demikian. Baik yang upacaranya berlangsung di sebuah rumah, apalagi yang di gedung. Umumnya rombongan marapulai tidak memakai robana. Meskipun belakangan ini ada juga satu dua yang telah menggunakan robana, misalnya turun dari mobil sampai tiba di gedung, atau sampai ke rumah anak daro yang bersangkutan.

Mendudukkan tamu merupakan masalah tersendiri dalam barolek di rumah (yang dilakukan secara adat). Penerima tamu harus benar-benar orang yang mengerti akan tamu-tamunya. Salah mendudukkan tamu akan jadi bahan pergunjingan. Tidak sembarang orang bisa mendudukkan tamu, seperti pada pesta umum di gedung. Karena itulah maka pihak Sipangka (penyelenggara olek) senantiasa meminta maaf, jika tamunya tak terdudukan pada tempatnya.

Yang didudukkan di kepala rumah (bagian atas) ialah Penghulu Pucuk. Sesudah itu berurutan Datuk Kampung pihak olek, Nan Bajinih, Mamak kandung olek, Bapak olek. Kepala Desa Silungkang Khusus (dulu Wali Nagari) biasanya didekatkan dengan Penghulu Pucuk. Orang sumando yang dikeataskan ialah orang sumando pihak Olek, tetapi yang tidak seninik dengan sipangka. Kalau ada datang yang berdunsanak, maka yang tua didudukkan lebih dulu. Yang sangat penting dijaga jangan sampai terjadi orang yang barumik (ninik mamak dengan orang sumandonya) duduk bersebelahan atau sejamba (setempat hidangan).

Sedang yang mengatur tempat duduk bagi Marapulai dan rombongannya adalah Panungkatan. Sipangka telah menyediakan tempat khusus untuk itu. Orang sumando sipangka yang nantinya akan jadi sasaran untuk minta izin pulang, didudukkan di tempat yang akan tampak oleh Panungkatan. Dengan demikian memudahkan menuoknya (menyasarnya) bagi Panungkatan.

Baik Baroleknya di Jakarta, apalagi di Silungkang, tidaklah menjadi kebiasaan orang awak menjemput marapulai. Marapulai datang dibawa oleh Panungkatannya. Begitu rombongan marapulai tiba di halaman, tentu segera akan disambut dengan pidato adat, yang isinya antara lain berisi pengakuan atas kedudukan marapulai “kakanti ninik dan mamak”. Hal ini tercermin dengan jelasnya dari bait ini.

  • Bakukuak ayam Birugo
  • Bakukuak di ate botuang
  • Maambua ka dalam somak
  • Mangoke ke dalam padi
  • Ola la tibo rang sumando
  • Kakanti1) niniek jo mamak
  • Sumarak korong jo kampuang
  • Ola la suko hati kami

Artinya :

  • Berkokok ayam Birugo
  • Berkokok di atas betung
  • Menghambur ke dalam semak
  • Mengais ke dalam padi
  • Sudahlah tiba orang sumando
  • Kakanti ninik dengan mamak
  • Semarang korong dengan kampung
  • Sudahlahlah senang hati kami.

Peranan marapulai kakanti ninik-mamak ini terutama terhadap anak dan isterinya. Tetapi tidak itu saja. Ia juga berkewajiban membantu mengakurkan sanak keluarga isterinya, sekiranya terjadi silang sengketa. Juga untuk memberi petunjuk dan nasehat bila keluarga isterinya memerlukan dan sebagainya.

Bila Baroleknya di rumah (baik di Silungkang maupun di Jakarta) maka setelah rombongan marapulai masuk rumah dan duduk segera akan disusul dengan pidato penyembahan duduk dan carano. Setelah itu disusul pula dengan pidato persembahan makan, doa selamat dan disudahi dengan minta dirinya Panungkatan Marapulai yang ditujukan kepada orang sumando kampung tersebut. Dalam hal melepas rombongan marapulai dan tamu lain, peranan kakanti ninik-mamak telah dilakukan oleh orang sumando.

Akan tetapi bila baroleknya di sebuah gedung di Jakarta, maka sesudah pidato Sipangka menyambut kedatangan rombongan marapulai dan balasannya dari Panungkatan2) yang membawa marapulai telah menduduki tempat pelaminannya, segera akan disusul dengan pidato-pidato sambutan dari keluarga anak daro dan marapulai. Kadangkala pidato sambutan itu dilakukan oleh seorang saja atas kesepakatan kedua belah pihak. Pidato sambutan itu selain berisi ucapan selamat datang kepada para tamu, juga berisi beberapa nasehat kepada kedua mempelai. Kemudian akan dibacakan doa. Sesudah itu dipersilahkan tamu untuk memberi doa restu kepada kedua mempelai dan diikuti dengan menikmati hidangan yang disediakan. Selesai itu tamu pulang ke tempat masing-masing.

Tempo dulu benar di Silungkang rombongan marapulainya tidaklah komposisinya seperti yang telah dikemukakan di atas. Rombongan marapulai terdiri dari dubalang, panungkatan, marapulai, seorang anak kecil, teman basoluak, pengiring, tukang telempong (baru sesudah masuk Islam talempong diganti robana).

Pakaian yang dipakai rombongan marapulainya ialah bagi dubalang pakaian angkatannya : bagi panungkatan bercelana galembong hitam, baju teluk belanga hitam, sarung setengah tiang, pakai destar, membawa sokin (semacam rencong): bagi marapulai memakai celana hitam yang bersulam benang emas, kemeja, baju rompi bersulam emas, soluak yang memakai emas kulit, keris dan punjin (semacam pundi-pundi) : anak kecil berseragam hitam yang berhiaskan benang emas, membawa gobuak mangku berisi berseragam hitam yang berhiaskan benang emas, membawa gobuak mangkuk berisi perlengkapan sirih : bagi teman yang bersoluak sama dengan marapulai, tetapi tidak memakai ukiran benang mas, soluak biasa, tidak pakai keris dan tidak membawa punjin : pakaian pengiring sama dengan pakaian teman bersoluak, tetapi berkopiah : tukang talempong berseragam hitam.

Rombongan marapulai yang di depan sekali ialah dubalang dalam keadaan siap siaga. Sesampai di depan rumah anak daro, rombongan akan disambut dengan tari silat oleh dubalang pihak anak daro dan terjadilah sebentar pertunjukkan tari silat antara dubalang rombongan marapulai dengan dubalang yang menanti.

Menurut curaian yang diterima dari orang-orang tua sebabnya dubalang memakai pakaian angkatannya dan panungkatan memakai sokin ialah untuk menjaga kalau di jalanan ada yang mencegat rombongan dari pihak yang tidak menyetujui perkawinan itu. Karena itu panungkatan di samping mahir berpidato, juga harus pendekar.

Perlu juga diketahui bahwa tempo dulu makan di tempat barolek adalah bajambai dengan memakai dengan memakai dulang berkaki (seperti carano tetapi lebih lebar di bagian atasnya) : masing-masing hadir dalam olek akan diberi daun pisang untuk pembungkus sebagian hidangan, selain yang dimakan di tempat lauk pauk yang mutlak ialah dadieh dengan manisan.

Catatan Kaki :

  1. Mengatakan bahwa orang sumando itu “ka ganti Ninik-mamak”. Padahal sesungguhnya bukan “ka ganti” melainkan “kakanti”.Jauh bedanya antara “ka ganti” dengan “ka kanti”. “Ka ganti” berarti ia akan menjadi penukar sesuatu yang tak ada atau hilang. Padahal ninik mamak yang akan diganti masih tetap ada dan tidak hilang. Karena itu istilah “ka ganti” tidaklah tepat. Sedangkan “ka kanti” berarti ia kana menjadi teman, kawan atau rekan dari ninik-mamak. Itu adalah wajar. Mengenai hal in Chaidir Taher Sampono Mudo dan Rusli Taher Sampono Gagah dalam bukunya “Mambangkik Tareh Tarandam” mengatakan : “Nan sabananyo urang sumando tu bukan ka ganti niniek jo mamak do, cuma ka kanti (kawan) niniek mamak” (hlm. 12).
  2. Telah ada kejadian di Jakarta rombongan Marapulai berangkat ke tempat pesta pernikahannya tidak dipimpin (tidak memakai Panungkatan). Keberangkatannya Marapulai itu memang bukan “sendirian” melainkan bersama anak daro. Memang terasa kurang wajar jika rombongan Marapulai bersama anak daro setibanya di gedung (tempat pesta) disambut dengan pidato adat oleh ninik-mamak anak daro dengan mengatakan : “Ola la tibo – rang sumando ….”. Pada hal yang “tibo” (datang) itu bukan saja orang sumando, tetapi juga kemenakannya sendiri : anak daro. Pidato adat semacam itu memang tepat bila diucapkan dalam upacara perkawinan seperti di Silungkang, dimana yang “tibo” benar-benar rombongan Marapulai. Anak daronya sendiri berada di rumah.Tentu saja menggelikan bila Pidato Adat semacam itu diucapkan, padahal yang tibo Marapulai bersama anak daro.

Sumber : Silungkang & Adat Istiadat oleh Hasan St. Maharajo

Binjek; ambil (sedikit)

Kicok; coba

Imek-baimek; hemat (ber)

Gora-bagora; canda (ber)

Moncik; tikus

Gadubang; parang

Ponokok; martil

Lipe; kecoak

Tabarendong; terbawa-bawa

Pangku; pacui

Katupek; ketupat

Lomboik; lembut

Lombok; lembab

Ondam; rendam

Ondan; rakit dari batang pisang; biasanya digunakan anak-anak Silungkang saat air pasang/banjir.

Sipangkiang; nyamuk

Nenong; nanar

Damai; kemiri

Boundu; tidak bertegur sapa

Sampilik; pelit; kikir

Bakaluang; jelas

Olum bakaluang; belum jelas

Lulu; telan

Simangkuang; orang bloon

Takojuik; kaget

Sikojuik; jenis tumbuhan yang biasa disebut putri malu (bila disentuh, daunnya akan menutup)

Bagalentong; bergelayutan

Sikek; sisir

Sorowa; celana

Sorowa golembong; celana longgar, biasanya untuk main silat

Sosa Manyosa; cuci mencuci

Sosai; sesal; manyosai; menyesal

Togalucui; melorot

Manggalucui; pergi tanpa pamit/izin

Padusi; perempuan

Djawi; topi

Kobou; kerbau

Ulai; ular

Kaili-kamuduik; hilir mudik tidak karuan; ngalor ngidul

Somek; peniti

Oban; kandang aya

Toban; longsor/tumbang

Tabusai; berserakan; porutnyo tabusai; isi perutnya berserakan setelah kena tusuk

Gulang pantiang; alat pemintal benang dengan tangan

Locuik; memarahi anak dengan sapu lidi

Bagaduru; ramai, tidak beraturan

Goduak/bongok; sombong/congkak

Lutuik; dengkul

Disarikan Sabirin Sarin dan Akmam Burhan

Pulai nan bapongkek naiak, duo tiog pinang mudonyo, Gabuak mangkuak rang bori batali, kami marapulai olah ka nalak, sarato jo anak mudo-mudonyo, tuan datuak suko mananti.

Pengantar

Dialog atau percakapan ini berlangsung, saat rombongan mempelai pria tiba ditempat mempelai wanita.

Percakapan ini berlangsung, merupakan ucapan selamat datang kepada rombongan mempelai pria sekaligus menanyakan kenapa terlambat datang.

Tapi umumnya, dialog ini dilakukan karena mempelai pria datang terlambat.

  • Sipangka; la panek kami dek babansi, rabab tasanda di pamatang, lah panek kami dek nanti, apo sabab kok dek talambek datang.
  • Panungkatan; suto Aceh rang Palembang, ditanun anak rang Bangkulu, iyo talambek kami datang, jalan bakelok bake lalu.
  • Sipangka; olahlah kombang bungo inai, kombang satangkai di dalam taman, olahlah datang marapulai, togak sabanta di halaman.
  • Sipangka; siapo dulu !?
  • Panungkatan; ambo!
  • Sipangka; datang baiak pasumandan, dari ujuang lalu kapangka, dari pangka lalu katopi, dari serek kapuserek, lalu menyerong kahilaman. Bakukuk ayam birugo, bakukuk diateh batuang, mahambua dadalam somak, mengokeh kadalam padi, olahlah datang urang samondo, olah sumarak korong jo kampuang, kakanti ninjak jo mamak, olahlah suko hati kami. Lengkok jo palongkokpannyo, longkok jo tali tarujunyo, longkok jo palongkokpannyo, longkok jo kain lipek kodinyo, longkok jo palong-kokpannyo, longkok jo anak mudo-mudonyo. Guno rang umbuik bungo lado, urang ambiak kapananam sasak, guno di japuik urang sumondo, kakanti niniak jo mamak. Bukan toh kakanti niniak jo mamak, ka cahayo mande jo bapak, limpapeh biliak nan dalam, anak kunci amban puro. Biang nan indak kamanobuakkan, gontiang nan indak kammutuihkan, mangayiah kalubuak ampang pulai, dapek balanak duo tigo. Gabuak mangkuak rang bari batali, kami mamanggia anak marapulai, sarato jo anak mudo-mudonyo, tuan datuak suk mananti, sakian sombah bake datuak.
  • Panungkatan; lah sampai dek datuak … Apolah kato nan talimpah kabake ambo; Guno rang ambuik bungo lado, rang ambiak kapananam sasak, guno dijapuik urang sumondo, kagonti niniak jo mamak. Bukan toh kakanti niniak jo mamak, koh cahayo mande jo bapak, limpapeh biliak nan dalam, anak kunci amban puro. Biang nan indak kamanobuakkan, gontiang nan indak mamutuiahkan, mangayiah kalubuak ampang pulai, dapek balanak duo tigo. Gabuak mangkuak rang bori batali, kam mamangia anak marapulai, sarato jo anak mudo-mudonyo, tuan datuak suko mananti. Kan baituh bona, kato datuak !?
  • Sipangka; bona ….
  • Panungkatan; kajaweknyo saketek dari ambo; Pulau nan bapongkek naiak, duo tigo pinang mudonyo, Gabuak mangkuak rang bori batali, kami marapulai olah ka naiak, sarato jo anak mudonyo-mudonyo, tuan datuak suko mananti. Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabaro-katuh
  • Sipangka; Wa’alaikumussalam … Naiaklah datuak !!!

Sumber : Bulletin Silungkang, Edisi Juli – Agustus 2002 

Dari pergaulan dapat diketahui bahwa orang awak ada yang mempunyai penglihatan tajam serta jauh pandangannya ke depan dan mampu pula menelusuri jauh ke belakang. Karena itu tidaklah luar biasa bila ia cukup bijaksana dan ayunan langkahnya ke depan banyak yang tepat. Orang tersebut disebut “panjang akal”.

Sementara itu orang awak yang lain ada pula yang disebut “banyak akal”. Dia dapat memecahkan dengan baik persoalan-persoalan yang muncul di depannya, meskipun soal itu rumit dan pelit. Adanya saja akalnya untuk mengatasi persoalan yang timbul.

Tak bisa pula disangkal ada pula sementara orang awak yang “akalnya berbelit-belit”. Dengan akalnya ia berusaha untuk menang sendiri. Jika ada kerja yang berat, supaya orang lainlah yang mengerjakannya. Sedang bila untung yang bakal datang, maka harus lebih banyak pembagian untuk dirinya. Orangnya yang akalnya berbelit itu sering disebut “licik”.

Beberapa orang diantara orang awak ada pula yang disebut “berakal pendek”. Pikirannya paling banyak sejauh yang lihat dan dirasanya. Ia tak mempunyai kemampuan untuk memikiri sesuatu secara mendalam dan meluas.

Itulah kategori akal yang terdapat di kalangan orang awak : akal panjang, akal banyak, akal berbelit dan akal pendek. Panjang, banyak, berbelit dan pendek itu serupa saja dengan akar yang terdapat pada pohonan. Pohonan itu ada akarnya yang panjang, ada yang banyak, ada yang berbelit dan ada yang pendek. Seperti diketahui “aka” dalam bahasa awak bisa berarti “akal” dan bisa juga berarti “akar”. Mungkin dari istilah “aka” itulah lahirnya kategori “akal yang 4” itu. Ya, Minangkabau terkenal dengan “alam terkembang jadi guru”.

Terhadap orang yang berakal pendek ini di Silungkang ada istilah “ompek sennyo nu” (empat sennya itu). Maksudnya pikiran orang itu tidak lengkap, tidak genap, kurang. Yang genap, lengkap ialah 5 sen (1 kelip uang Hindia Belanda). 4 sen belum cukup 1 kelip. Ungkapan “ompek sennyo nu” sama dengan mengatakan akalnya tidak lengkap, tidak genap alias bodoh.

Ungkapan lain sekitar angka 4 ini ialah “Inyo indak tau jo ompek do” (Dia tak tahu dengan 4 itu). Tidak tahu dengan 4 bukan dalam arti ia tidak tahu 2 + 2 = 4, atau 2 x 2 = 4. tidak tahu dengan 4 ini biasanya dihubungkan dengan tingkah lakunya dalam pergaulan. Bagi dia sawah tidak berpematang. Sama saja cara menghadapi orang yang lebih tua (baik dalam artian usia atau keahlian) dengan orang sebaya dengan dirinya, atau dengan orang yang disegani (seperti dengan menantu atau mertua).

Padahal di kalangan orang awak terkenal “langgam kato nan 4, yakni : kata mendaki (terhadap orang yang lebih tua atau murid kepada guru) : kata melereng (terhadap orang yang segan menyegani) : kata mendatar (terhadap orang yang status sosialnya sama) : kata menurun (terhadap yang lebih muda). Jelasnya cara berbicara dengan orang yang lebih tua tidak sama dengan cara berbicara dengan orang yang lebih muda. Cara berbicara dengan orang yang disegani tak sama dengan cara berbicara sesama besar.

Istilah “kata mendaki, kata melereng, kata mendatar, kata menurun” nampaknya juga diinsipirasi oleh alam terkembang. Seperti diketahui nagari Silungkang bukanlah sepenuhnya bertanah datar. Di sekelilingnya adalah bukit-bukit. Antara bukit dengan bukit terdapat lurah. Bila orang hendak ke bukit, dia harus mendaki. Mendakinya bisa secara tajam atau tegak, tetapi bisa juga secara melereng. Sedang dari bukit bila hendak ke bawah (ke tempat yang datar) harus dengan menurut. Di tanah datar jalannya bukan mendaki, melereng atau menurun, tetapi ia mendatar saja.

Ungkapan “dia tidak tahu dengan 4” bisa juga dalam arti dia tak bisa membedakan antara Adat yang sebenar Adat (hukum alam) dengan Adat yang teradat (peraturan yang lahir dari mufakat atau konsensus), dengan Adat yang diadatkan (undang-undang atau hukum yang berlaku), dengan Adat Istiadat (kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat). Atau tak bisa membedakan tugas “4 jinih” (Penghulu, Monti, Malin dan Dubalang).

Penilaian “ompek sennyo nu” serta “Inyo indak tau jo ompek” tentu tidak langsung dikatakan kepada yang bersangkutan. Bila dikatakan secara langsung, hatinya bisa tersinggung dan naik darah. Perkelahian bisa terjadi. Kecuali jika yang menilainya begitu kuat dalam segala hal. Penilaian yang “menghina” itu bisa saja diucapkannya secara langsung.

Dengan tidak diucapkan secara langsung kepada yang bersangkutan pada pokoknya dapat dihindarkan perkelahian tetapi orang yang dinilai “kurang” itu tak akan mengerti tentang dirinya yang sesungguhnya (tentu saja menurut pandangan si penilai). Dengan tidak mengenal diri, sukar bagi yang bersangkutan untuk memperbaiki atau melengkapi diri.
Di sinilah pentingnya dituntut dari setiap hari untuk mengenali diri sendiri : apakah cemoohan atau penghinaan “ompek sennyo nu”, atau “Inyo indak tau jo ompek” mengenai dirinya atau tidak. Dengan mengenal diri, kita akan dapat mengembangkan hal yang positif terdapat pada diri dan membuang jauh-jauh hal-hal yang negatif (misalnya bodoh) yang terdapat pada diri (Est).

April 1986

Sumber : Silungkang & Adat Istiadat oleh Hasan Sutan Maharajo

boluik, belut. bontuak ~, licin – lihai – pandai berkelit, susah dipegang

buah piciak, kancing jepret

buah nona, tigarasa

buah daro, klengkeng

bubu samba, lontong sayur

cikkubin, jakun (binatang : bunglon)

dukua, kalung

duyian, durian – duren. ~ lawuik, sikzak – nangka belanda. ~ untuah, alamak … pasti berebut

gadubang, parang – golok

ikan sibuntai, ikan helikopter

kalalawai, kelelawar

kalaluang, kalong

kapinding, kutu busuk – bangsat

ketangin, sepeda

koncek, kodok

koro, monyet – kera. anak ~, cigak

kiayi, pipis – sisi

kukuran, parutan kelapa

kula, bak mandi (kullah – arab)

kupia, peci

lae, kayu reng – lebih kecil ukurannya dari kayu kaso

luluak, lumpur

moncik, tikus – mencit

motorpit, sepeda motor

oban, kandang ayam

obuang, rebung – anaknya bambu. ma ~ ~, perut kembung – masuk angin – wind on stomack

none, nanas – pineapple

paek, pahat

pangolan, galah

patukai, kates – pepaya. ~ godang, pepaya bangkok. godang ~, ehm … ehm

patuluk, pensil

salemo, salesma, ingus

sarowa, celana. ~ kotok, men’s underwear – kangcut – celana dalam

samba kiambi, urap

simauang, pucung – kluwak

simbuang, labi-labi (kura-kura)

siposan, kelabang – scorpio

sobuak, kopi

sonduak, sendok yang besar. ~ nasi, centong

sopik binguang, catut – alat pencabut paku

sulai lidi, kangkung

suluk, sandal

talontuang, kejedut

tagalayak, nampak – kelihatan – terbuka aib

tagalincik, tersemburat

tagonjuik, tersangkut

takojuik, kaget

takancai, terperanjat – amat kaget

tasumbu, nongol – muncul

tasintak, mendusin – terjaga dari tidur sebelum waktunya

tagajai, tanggal – copot

tagijau, telat – ketinggalan

tajilongak, terpana

talompok, tidak kelihatan

taimpik, tertindih

talimpik, masuk ke dalam lipatan

tatawuang, kesandung

tasimauang, malu

takili, keseleo, ~ utak, gila

tangkelek, bakiak

tikuluak, selendang

gulangpantiang, alat pemintal benang

kaghok, alat pengurai benang tenun. Indak bakaliangan ~, indak obe dek inyo do …. – jalan buntu

palet, alat pemintal benang – tughiang

sanggu, sanggul

sangku, panci

tingkok, jendela

timbo, gayung – ciduk

togak, berdiri. ~ soghang, mandiri. bonang ~, benang tenun pada bun

tughak, alat untuk bertenun songket

tungkek, tongkat

uduik, rokok

ughak, buka – pecah

ughai, urai

ungkai, ingkar

unto, binatang khas Arab – Onta

usok, sarapan

utiah, putih – putih kulitnya ; ande ~ – kak ~ – Pak ~ – Tuak ~ – Mak ~. dan lain-lain

uwok, uap. ma ~ an towuang, memasak terong dengan cara mengukus.

 

 

 

 

Sumber : bulletin Silungkang, edisi 7, 1 Oktober 2002 tahun ke 2, anniversary edition

Lomak adalah enak. Diawak adalah pada kita. Katuju adalah enak pula. Diugrang adalah bagi orang lain.

Jadi lomak diawak katuju di ugrang adalah sama-sama senang – tak ada kalah atau menang.

Win Win Solutions.

Sumber : bulletin Silungkang, edisi 7, 1 Oktober 2002 tahun ke 2, anniversary edition

Anak adalah anak kandung. Dipangku adalah diurus dengan prioritas utama. Kamanakan adalah anak dari adik atau kakak perempuan. Dibimbiang diurus dengan prioritas kedua.

Sungguh mengenaskan nasib lelaki Minangkabau.

Tanggung jawab yang diembannya bukan hanya sebatas anak dan istrinya namun lebih dari itu termasuk adik dan kakak perempuannya yang tentu sudah dengan notabene sang ipar atau sumondo beserta anak-anaknya (akan lebih khusus lagi bila anak-anaknya tersebut adalah semua perempuan).

Namun, itulah adat Minangkabau yang bersendikan sysra’ dan syara’ yang bersendikan Kitabullah.

Bukankah agama Islam menganjurkan kepada kita bahwa pemberian hadiah, infaq dan shadaqoh diutamakan pada karib kerabat dan tetangga ?

Dus, tak ada yang bertentangan bukan ?

Jadi, tak perlu dipermasalahkan !

Bahkan bagi yang lebih mendarah daging pepatah ini masih ditambah dengan kata : ughang kampuang dipatenggakan, jagho nagori jan binaso artinya selain mengurus anak dan istri serta kemenakan Anda masih dibebani dengan sebuah tugas yang amat mulia “memikirkan nasib orang sekampung dan menjaga keutuhan teritorial dan eksistensi nagari agar tidak binasa”.

Sumber : bulletin Silungkang, edisi 7, 1 Oktober 2002 tahun ke 2, anniversary edition

Tonang adalah tenang dan ma anyuik an adalah menghanyutkan.

Jadi kalau di Indonesia akan terdengar bunyi “Tenang-tenang menghanyutkan”, Diam-diam Sambuk.

Mustahil, begitulah kalau anda berpikir secara logika – masak air yang tenang bisa menghanyutkan – kalau air yang deras mungkin saja !

Tapi itulah kenyataan alam dan sifat umum manusia adalah takut dan sangat berhati-hati pada air yang deras dan sangat meremehkan air yang tenang.

Pada air yang tenang bukan hanya buaya yang bersarang dan mengancam tapi masih banyak bahaya lainnya, seperti air yang dalam dan lumpur.

Pada sikap manusia istilah ini mungkin dapat diberikan kepada orang yang berilmu tapi selalu bersikap rendah hati dan tak sombong serta tak congkak dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga kita menjadi kesulitan mengukur kemampuan orang seperti ini.

Berbeda sekali dengan sikap orang yang congkak yang selalu merasa lebih dari orang lain serta selalu menyombongkan diri.

Bukankah air beriak tanda tak dalam ?

Tong kosong nyaring bunyinya ?

Ingat, diatas langit masih ada langit dan dibawah kerak bumi masih ada kerak bumi.

Sumber : bulletin Silungkang, edisi 7, 1 Oktober 2002 tahun ke 2, anniversary edition

Jepang masuk ke Silungkang pada hari Selasa, bulan Maret tahun 1942. Disambut bendera Jepang dan bendera Merah Putih yang berkibar megah berdampingan di depan Masjid Raya Silungkang dengan menggunakan tiang tinggi yang bukan terbuat dari kayu.

Rakyat Silungkang mengetahui Jepang masuk ke Indonesia dari mendengarkan radio. Sedangkan Merah Putih sudah menjadi benderanya orang Silungkang dari zaman dahulu kala.

Orang Jepang ke Silungkang mengendarai sepeda lipat. Betapa kagetnya orang-orang Jepang tersebut telah disambut oleh benderanya di desa kecil, Silungkang. Langsung mereka bersuara “Hinomaru” kemudian memberi hormat ke bendera mereka.

Bendera Jepang dan Merah Putih dijahit oleh Siti Minah, istri dari Amek Teteh, Tanah Sirah.

Di dalam masjid Raya Silungkang sudah ramai oleh rakyat Silungkang. Tibalah Kepala Nagari Silungkang, Ongku Muhammad Yusuf Dt. Panghulu Sakti (Ongku Palo). Disambutlah orang-orang Jepang ini dan dibawa ke kantor Kepala Nagari (balai-balai). Sesampai di pintu, Kepala Nagari membuka pintu,  terpampanglah foto anak Azis Panghulu Sakti yang pernah sekolah ke Jepang. Anak Azis Panghulu Sakti berpakaian lengkap tentara Jepang plus nama didada. Orang Jepang kaget langsung bilang “Azis su”.

Saat itu rakyat Silungkang tidak tahu artinya “Hinomaru” dan “Azisu”.

Efek yang ditimbulkan dengan mengibarkan bendera Jepang dan foto berpakaian tentara Jepang, rakyat Silungkang mendapatkan fasilitas pendaftaran/ menghitung/diabsen orang yang dibawa dan pulang dari bekerja paksa. Kerja paksa (Romusha) di Silungkang selama 15 hari dengan anggota kurang lebih 100 orang. Setelah 15 hari kerja paksa, Romusha asal Silungkang anggotanya masih utuh. Kemudian 15 hari kemudian berganti orang. Saat menjadi Romusha, orang Silungkang diperbolehkan membawa bekal sendiri. Komandonya disebut So Danco (orang Silungkang juga). Selama kerja paksa tersebut tak satupun rakyat Silungkang yang meninggal dunia dan diperlakukan sangat baik.

Romusha dibawa ke Loge untuk membuat kereta api dari Muaro ke Pekanbaru. Letak Loge antara Taluak Kuantan dan Pekanbaru. Tujuan membuat kereta api ini agar cepat ke negeri Jepang lewat laut. Saat itu Loge merupakan tempat tambang emas.

Jalan kereta api tidak selesai karena Jepang kalah oleh sekutu tahun 1945.

Catatan :
Tahun 1930/1935 ada politik balai. Politik seperti dalam pertandingan sepak bola, mendukung siapa saat pertandingan sepak bola. Karena dilakukan di balai (pasar) maka disebut politik balai. Ada yang bernama Moh. Said berkepala botak. Beliau fans berat Jepang. Saat dibalai orang bertanya “Said megang siapa ?”. Kata Said “Pegang Jepang”. Akhirnya si Said panggil dengan nama Toyo.

So danco diplesetkan oleh orang Silungkang menjadi “ANCOK”

Imau adalah harimau – macan. Daan adalah dahan. Imau dahan adalah macan kumbang. Macan yang bukan karnivora.

Julukan ini biasanya diberikan kepada orang atau pribadi yang tak berani mengambil keputusan atau pilihan dalam hidupnya.

Walau tak sepenuhnya benar, karena dengan mengambil keputusan untuk “tidak memilih” atau “tidak mengambil keputusan” sudah termasuk dalam kategori mengambil keputusan atau mengambil suatu pilihan.

Alkisah, adalah cerita tentang binatang yang bernama harimau.

Harimau atau macan biasanya dijadikan simbol atau lambang sosok yang jantan, satria, gagah, perkasa dan berani serta karnivora.

Namun, tak semua harimau yang karnivora – pemakan daging – ada juga yang herbivora – pemakan dedaunan, itulah macan kumbang yang sehari-hari hidup di atas atau di dahan kayu.

Tampang dan tampilannya tak ubah seperti makan pada umumnya, namun keganasannya atau naluri menyerangnya sangat berbeda jauh dengan macan atau harimau lainnya.

Macan kumbang ini sangat jarang menyerang manusia atau bahkan binatang kecil lainnya – sehingga lahirlah ka dimakan kambiang talampau godang, ka dimakan ayam talalu ketek, kasudahannyo dek indak ado nan ka dipiliah salin daun mako makanlah daun tu … makonyo tiok pagi nan kalua cihgik ijau.

Maksudnya, mau memilih kambing sebagai mangsa, rasanya tak mungkin karena wujudnya lebih besar dan bila memilih ayam sebagai mangsanya juga tak mungkin karena terlalu kecil untuk ukuran macan, karena tidak punya pilihan lain (mengingat perut yang sudah mulai keroncongan) maka pilihannya adalah daun – herbivora.

Celakanya, istilah ini secara tidak langsung ditujukan pada orang atau pribadi yang memilih hidup melajang.

Sekali lagi, tak sepenuhnya benar !

Orang yang memilih hidup melajang dianggap bersikap laksana macan kumbang.

Selalu ragu-ragu dalam mengambil keputusan dalam kehidupan terutama dalam memilih jodoh, apalagi kalau orang atau pribadi tersebut adalah makhluk lelaki.

Akan jadi bahan cemoohan kawan sepermainan, sementara terlalu berani memilih juga akan jadi bahan olok-olokan dengan sebutan istilah lompek tojun.

Serba susah !

Jadi, daripada tidak sama sekali … kan lebih baik memilih, ya … ?!

Pilih aja, bung !

Jangan ragu-ragu !

Banyak gadis pilihan,

Banyak janda … uwit, uwit

Dunia belum kiamat

Dipetik dari lagu Titiek Sandhora dan Mukhsin Alatas.

Sumber : Redaksi Bulletin Silungkang, Edisi 7, 1 Oktober 2002/Tahun ke II – Edisi Ulang Tahun

Laman Berikutnya »