Seni


Ditempa oleh kondisi alam Silungkang yang sempit, kejam dan berbukit- bukti batu, serta sulit untuk bercocok tanam membuat orang Silungkang harus berpikir keras untuk mengatasi keadaan kehidupannya, dari keadaan itu terlahirlah orang Silungkang yang tangguh, ulet, berani menghadapi segala tantangan demi untuk kelangsungan kehidupannya. Berawal dari situ mulai orang Silungkang mencoba berwarung-warung minuman dan makanan dilingkungannya, dari berdagang minuman dan makanan setapak demi setapak mereka maju, dan mulailah berdagang barang-barang lain dari satu desa ke desa lainnya dari satu nagari ke nagari lainnya dari satu daerah ke daerat lainnya, ternyata berdagang cocok untuk orang Silungkang sehingga sekitar abad ke-12 dan ke-13 orang Silungkang sudah mulai berdagang mengarungi samudera dan sudah sampai ke semenanjung Malaka bahkan sampai di Patani di Siam (Thailand) sekarang. Di negeri Siam inilah perantau Silungkang dapat belajar bertenun dan setelah mereka pandai dan mengerti cara bertenun sewaktu mereka kembali ke Silungkang, ilmu bertenun ini mereka ajarkan kepada kaum ibu di Silungkang dan semenjak itu mulailah beberapa orang wanita Silungkang bertenun songket, pada awalnya bertenun hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya saja, kemudian mulai menerima pesanan dari tetangga setelah itu baru mulai menerima pesanan dari pembesar nagari seperti dari pembesar kerajaan dan penghulu- penghulu nagari.

(lebih…)

Mendukung para keponakan bermusik, ambo baritahukan jadwal panggung mereka di Jakarta Rock Parade sebagai berikut :

Tanggal 18 Juli, hari Jumat, akan tampil bersama group LAST WARNING dari Austria.

Tempat : BACK STAGE Ancol
Waktu : 20.00 WIB
Support dari teman semua merupakan modal utama kami.

salam GRIBS
Reza : Vocal
Arief : Bass
Dion : Gitar
Rashta : Dram

MySpace.com/ gribsrock
MySpace.com/ anakangin
RUMAH MUSIK INDONESIA

Sumber Jadwal berasal dari : Remmy Soetansyah

Berita di Suara Merdeka :

Muda dan Ngerock

SATU dari sedikit grup band yang patut dicatat dari Jakarta Rock Parade 2008, Jumat-Minggu (11-13/7), adalah Grib. Di empat panggung yang tersebar di Tennis Indoor dan Outdoor Senayan, Grib yang tampil di Rock Lounge setelah Monkey to Millionare, Idealego, menawarkan warna tersendiri.

Tak sebagaimana band sesudahnya seperti Bite, Acid Speed, IMI, The Adams dan Denovement, mereka menawarkan sikap bercita rasa rock. Rezanov, sang vokalis yang bercitra tak ubahnya vokalis rock era 70 atau 80-an seperti Robert Plant (Led Zeppelin), Ian Gillan (Deep Purple), atau David Coverdale (White Snake), misalnya, menyajikan tontonan tersendiri.

Gion (Gitar), Rashta (drum), dan Arief (bas) nyaris setali tiga uang. Untuk alasan kemiripan gaya dandan itulah, grup band yang bernaung di bawah manajemen Rumah Musik Indonesia tersebut menamakan diri Gribs: gondrong kribo bersaudara.

Ya, keempat personel yang punya ikatan saudara itu tak cuma jual tampilan. Musik adalah perhatian utama mereka. Lagu cadas yang diyakini tak sejalan dengan selera pasar yang lebih pop dan mudah dengar tetap mengalir dengan garang dan solid.

Pada “Ruang Besi”, “Pejuang” dan “Malam Frustasi”, harmonisasi nuansa rock cadas kental sekali. ”Mengingatkan pada corak Motley Crue,” komentar pengamat musik Remmy Soetansyah.

Sisanya, musik mereka meraung dan berlarian kencang. Tak ayal, perhatian puluhan orang yang lalu lalang pun terpantik untuk menonton aksi mereka. Ya, ya, Grib memang punya cita rasa tersendiri.

Bukan tak mungkin grup band yang dibimbing rocker dan vokalis Elpamas, Doddy Katamsi, itu bakal berbicara lebih banyak kelak. Superglad, The Upstair, dan Shaggy Dog yang tampil di Park Stage pada kemunculan perdana pun belum jadi magnet. Namun karena tekun berkarya, seperti The Changcuters, Pas Band, Suckerhead, dan Koil yang tampil di Tennis Outdoor, mereka akhirnya meraih kesuksesan.

Apalagi Gilang Ramadhan dan Donny Suhendra pun turut campur mematangkan musikalitas mereka. Grib juga mengikuti workshop di Malang bareng Eet Syahrani, Adit Element, dan musikus lain.

Karena mereka berani tampil dan menyetiai rock yang cenderung dijauhi produser kaset, bos Deteksi Production, promotor Soundrenaline, memberi kesempatan Grib tampil pada Sound-renaline 2008.

”Tampil di dua kota pada ajang seakbar Soundrenaline 2008 adalah pencapaian tersendiri,” ujar Rezy, manajer Grib. Dia akan memimpin pasukannya bermain di Malang (3/8) dan Yogya (10/8). (Benny Benke-53)

BAGIAN PERTAMA
BAGIAN KEDUA
BAGIAN KETIGA
BAGIAN KEEMPAT
BAGIAN KELIMA
BAGIAN KEENAM
BAGIAN KETUJUH

Kisah Nyata Pengrajin Tenun Silungkang Bekerja Di Istana Lama Muzium Diraja Negeri Sembilan DK, Malaysia

BAGIAN KEDELAPAN

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia.

Dalam perjalanan menuju Malaysia tidak banyak percakapan yang terjadi karena suasana hati masih mengandung kesedihan, bayangan almarhum semasa hidup selalu menjelma diingatan dan suaranya masih terngiang ditelinga.

Biasanya disepanjang jalan kami selalu menikmati keindahan alam yang dilewati, tapi kali ini pemandangan yang indah itu berlalu begitu saja, cuacapun mendung, hujan tidak panaspun tidak. Tanpa terasa dikarenakan perasaan hampa, kami telah mendarat di pelabuhan Melaka. Di Melaka saya sengaja belum mencari kendaraan menuju Seri Menanti, saya bawa isteri dan anak saya jalan-jalan melihat objek wisata serta peninggalan sejarah, setelah puas barulah saya menuju ketempat perhentian taksi yang tak jauh dari pelabuhan. Kami naik taksi menuju Seri Menanti lewat Tampin, jadi kami tidak melalui Seremban karena jalannya jauh dan berbelit-belit. Jalan yang ditempuh Melaka – Tampin – Kuala Pilah – Seri Menanti jauh lebih pendek dari Melaka – Seremban – Kuala Pilah – Seri Menanti.

15 Maret 1999 kami kembali sampai di Seri Menanti, tetangga, teman sekerja dan orang-orang yang kami kenal ikut menyampaikan duka cita, karena kami sudah dianggap oleh mereka sebagai keluarga sendiri, karena kami juga apabila ada kemalangan disana kami menyempatkan diri hadir untuk takziah dan berdoa, asal kami tahu ada kemalangan di tetangga ata orang-orang yang kami kenal, kami tetap berusaha untuk datang, tak kira yang meninggal itu rakyat biasa atau kerabat raja.

Tidak saja sewaktu kemalangan, berhelat kawin, acara adat di kampung-kampung pun kami sering diundang dan dengan senang hati kami menghadirinya. Begitu juga halnya dengan keluarga kerajaan, sewaktu T. Khursiah meninggal saya ikut mengantar ke Makam Diraja, selesai penguburan saya juga ikut membaca yasin, tahlil dan berdoa. T. Khursiah adalah Permaisuri Tuanku Abdul Rahman. Di hari raya Idul Fitri, sesudah shalat hari raya saya juga pergi ke Istana Besar menjamu selera, karena waktu itu Istana Besar terbuka untuk umum, seluruh lapisan masyarakat bersilaturahmi di halaman Istana Besar Seri Menanti. Ini semua saya lakukan supaya saya dan keluarga membaur dengan masyarakat, sebagaimana pepatah mengatakan “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, disamping itu kesempatan tersebut saya gunakan untuk menambah pengetahuan saya tentang pengamalan Adat Perpatih di Negeri Sembilan serta membandingkannya dengan pengamalan Adat Minangkabau di Sumatera Barat. Saya merasa beruntung sekali bekerja di Seri Menanti, karena disinilah pusat kegiatan Upacara Adat Perpatih, jadi dengan mudah saya dapat mengamati pelaksanaan upacara tersebut dan saya pun juga dibawah ikut serta menjadi Urus Setia (Panitia).

Kami mulai bekerja seperti biasa, di samping itu acara demi acara juga berlangsung di sekitar tempat kami bekerja, kegiatan latihan Caklempong oleh Putera/Puteri Seri Menanti dan juga latihan Rebana oleh orang dewasa ditambah lagi dengan adanya Shooting Sinetron TV dan Shooting Iklan TV serta Shooting Video Klip juga ada Pameran oleh instansi pemerintah, kesemua itu menambah semarak suasana.

Caklempong dengan lagu Minang, Rebana dengan pukulan Rentak Melayu, Rentak Arab dan Rentak India sungguh mengasyikkan.

Pada suatu hari datang satu bus pengunjung dari negara India, semuanya sebaya, pemuda- pemuda tampan dan gadis-gadis cantik seperti aktor dan aktris Bollywood, pertama sekali mereka menuju ke tempat kumpulan rebana latihan, seorang diantara mereka yang mungkin sebagai ketua rombongan berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara dengan salah seorang anggota kumpulan rebana, mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, nampanya mereka ingin menyumbangkan sebuah lagu dan tari-tarian India serta mengajarkan rentak pukulan rebana yang diinginkan atau yang sesuai dengan lagu yang akan dinyanyikan. Maka mulailah dipalu rebana dengan serentak oleh anggota kumpulan rebana yang jumlahnya 10 orang, diikuti oleh seorang pemuda menyanyikan lagu India (berbahasa Urdu) dan pemuda-pemuda serta gadis-gadis lainnya menari dengan riangnya seperti yang kita lihat pada film-film India.

Tersentuh juga hati saya melihatnya, karena saya juga hobby nonton film India, biasanya saya melihat melalui layar bioskop-bioskop atau layar kaca televisi, sekarang langsung melihatnya. Panjang juga lagu yang dinyanyikannya, setelah berhenti semuanya bertepuk tangan. Saya maju kedepan menyalami penyanyi sambil berkata kepadanya supaya ditambah nyanyinya lagi, dia minta maaf tidak bisa, waktunya terbatas karena sudah diatur jadwal.

yamtuan5.jpgAwal bulan April 1999, terlihat kesibukan-kesibukan di Istana Lama dan di Istana Besar Seri Menanti, suatu acara yang langka dan diadakan pada hari Sabtu, 24 April 1999 yaitu acara ISTIADAT KEBERANGKATAN BALIK DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG, SETELAH TAMAT TEMPOH BERTAKHTA SEBAGAI DULI YANG MAHA MULIA SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG KE KE X. Yaitu acara penyambutan kepulangan Tuanku Jaafar ibni Al Marhum Tuanku Abdul Rahman dari Istana Negara Kualalumpur setelah bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang di-Pertuan Agung Malaysia dan kembali ke Istana Besar Negeri Sembilan, yang mana jabatan Yang Di-Pertuan Agung selanjutnya digulirkan kepada Raja/Sultan dari Negeri (Propinsi) lainnya, dan bertakhta selama 5 tahun, kecuali meninggal dunia. Raja/Sultan yang akan mendapat giliran tersebut sebanyak 9 orang.

Bisa kita bayangkan bahwa acara penyambutan ini diadakan di Seri Menanti sekali 45 tahun atau hampir setengah abad. Acara penyambutan ini diadakan selama 9 hari 9 malam, penuh dengan Upacara Adat serta Hiburan Kesenian Tradisional, Kesenian Modern juga ada pertandingan-pertandingan Olah Raga.

Pada tanggal 24 April 1999 tibalah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu acara penyambutan Baginda. Pagi-pagi sekali pertama-tama saya mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun kepada salah seorang anak saya yang lahir pada tanggal 24 Aprl 1987, setelah itu baru berangkat menuju halaman Istana Lama, disana sudah ramai orang terutama Pemangku Adat yang sebagian mereka memakai TENGKOLOK DANDAN TAK SUDAH, yaitu destar (deta) kebesaran di Negeri Sembilan. Masyarakat mulai berdatangan, panitia sibuk dengan pekerjaan bagian mereka masing-masing, Seri Menanti penuh dengan hiasan, disepanjang jalan menuju Istana Besar seluruh lapisan masyarakat berbaris di tepi jalan, Pelajar dan Mahasiswa masing-masing membawa bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia, pertunjukan kesenian tradisional diadakan disepanjang jalan ditambah lagi dengan persembahan Kebudayaan kumpulan Cina, India dan Sikh. Di tepi jalan sebelah kiri dipagari oleh orang-orang pembawa Bunga Manggar sedangkan di tepi jalan sebelah kanan dipagari oleh group Vespa, Motor Klasik dan Mobil Antik.

Tepat pukul 4.45 ptg. (16.45 sore) iring-iringan mobil yang membawa kepulangan Baginda sampai di Seri Menanti, Gendang Perang dan Kompang dipalu silih berganti, tak kalah meriahnya sewaktu gendang Cina, India dan Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh juga dipalu silih berganti, Puput kelompok Sikh meraung-raung diiringi pula oleh seruling kelompok India sungguh indah didengar, rakyat yang berjejar ditepi jalan mengibarkan bendera Negeri Sembilan dan bendera nasional Malaysia yang terbuat dari plastik berukuran kecil.

Setiba di Pintu Gerbang Istana, Baginda dan Permaisuri turun dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana dari mobil dan berjalan menuju Pintu Istana diiringi tiupan seruling dan gurindam, setibanya di Pintu Istana beras kunyit pun ditabur, di Istana diadakan jamuan teh dan dilanjutkan dengan Acara Istiadat Menyimpan Alat-alat Kebesaran.

Pada malamnya pukul 8.30 malam (20.30), di Padang Bola Sepak (lapangan bola kaki) Seri Menanti dan Londa Naga (semacam telaga yang terletak di antara Istana Besar dengan lapangan bola kaki) diadakan persembahan Tatoo dan Ketrampilan oleh ATM (Angkatan Tentera Malaysia) 1 Briged. Persembahan ini mendapat perhatian besar dari pengunjung.

Seri Menanti sangat ramai dikunjungi, siang malam pengunjung silih berganti, para pedagang memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual bermacam-macam barang dagangan, disini saya juga mengambil kesempatan untuk menjual Songket Silungkang dan barang-barang souvenir lainnya yang sengaja saya bawa dari Silungkang setiap saya pualng. Songket yang banyak laku waktu itu adalah songket cuki ponuah warna hitam dan warna merah dengan mokou warna emas, saya juga membawa sapu ijuk, karena sapu ijuk sedikit, banyak yang tidak kebagian, sapu ijuk oleh mereka bukan digunakan untk menyapu sampah, tetapi digangunt di dinding sebagai hiasan antik, mainan kunci berbentuk rangkiang (rumah adat Minangkabau) sangat laris terjual untuk digantung di mobil.

Acara demi acara dilaksanakan dengan lancar, aman dan tertib, acara Adat Istiadat, Kesenian Tradisional seperti Caklempong, Randai (ala Negeri Sembilan), Silat dan kesenian tradisional lainnya, dan juga kesenian-kesenian modern seperti persembahan lagu-lagu populer, pementasan drama, persembahan sastra. Disamping itu juga dimeriahkan dengan pertandingan-pertandingan olahraga.

Yang paling berkesan oleh saya adalah persembahan kesenian tradisional GHAZAL yang sengaja didatangkan dari Negeri Johor. Ghazal adalah lagu Melayu asli yang diiringi gabungan alat musik Melayu (biola), Arab (kecapi), India (gendang). Konon kabarnya musik Ghazal ini digunakan oleh Sultan Johor sebagai pengantar tidur. Saya tertarik dengan lagu Ghazal ini dari tahun 1968 lagi, sehingga koleksi kaset saya juga terdiri dari kaset lagu Ghazal. Mengenai kesenian tradisional yang ada di Malaysia, saya juga tertarik dengan Dondang Sayang dari Melaka, Mak Inang Pulau Kampai dari Negeri Sembilan, Dikir Barat dari Kelantan dan Boria dari Pulau Pinang, ini semua dapat saya tonton melalui TV 1 RTM (TV 1 Radio Talivisen Malaysia).

Tuanku Jaafar ibni A-Marhum Tuanku Abdul Rahman adalah satu-satunya keturunan Raja Pagaruyung yang masih berdaulat atau masih di Raja kan dan masih mempunyai Kerajaan yaitu Kerajaan Negeri Sembilan.

Selama Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman bertakhta selama 5 tahun sebagai Yang Di-Pertuan Agong, Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan dijabat oleh Putera Baginda yang tertua Tunku Laxamana Naquiyuddin ibni Tuanku Jaafar Al-Haj dengan gelar Paduka Seri Pemangku Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus. Kepulangan Baginda disambut mesra oleh Paduka Seri Pemangku dengan TITAH ALU-ALUAN (kata sambutan) yang saya salinkan berikut dengan teks sebagaimana aslinya :
Tanggal 24 April 1999 bersamaan 8 Muharram 1420 pasti tercatat sebagai salah satu lagi tarikh dalam sejarah Alam Beraja di Negeri Sembilan Darul Khusus apabila rakyat dari segenap lapisan masyarakat akan menyambut keberangkatan balik, D.Y.M.M. Tuanku Jaafar ibni Al-Marhum Tuanku Abdul Rahman yang menamatkan tempo bertakhta Baginda sebagai Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong ke X dari 26 April 1994 hingga 25 April 1999.

Peristiwa ini akan disambut dengan penuh adat istiadat menandakan kembalinya Raja yang dikasihi ke pangkuan rakyat negeri, dengan keunikan Adat Perpatih yang menjadi pegangan rakyat Negeri Sembilan Darul Khusus.

Sebagai satu-satunya negeri beradat, pastinya seluruh rakyat yang cintakan Rajanya tidak mau melepaskan peluang untuk bersama-sama meraih peristiwa yang penuh bermakna yang hanya berlaku hampir setengah abad sekali. Apa yang lebih membanggakan Beta, Kerajaan Negeri dengan dokongan pada rakyat dari segala lapisan masyarakat telahpun mengaturkan pelbagai program sebagai tanda kasih untuk menyambut keberangkatan balik Tuanku. Beta yakin, adat yang unik ini akan dapat diteruskan sepanjang zaman karena sesuatu yang datang dari rakyat itu adalah pancaran sebenar hati budi mereka.

Selain daripada acara menyambut keberangkatan balik Baginda, pelbagai acara telah disusun di Daerah Kuala Pilah, antaranya persembahan Tatoo, Larian Raja Melewar. Pementasan peristiwa di Bukit Candu dan pelbagai pertunjukan kebudayaan yang lain.

Pada kesempatan ini, Beta inigin merekamkan setinggi-tingginya penghargaan dan terima kasih diatas kesungguhan yang ditunjukkan oleh pimpinan negeri yang mendapat sokongan padu pihak Pentadbiran dan rakyat keseluruhannya bagi menjayakan adat istiadat ini dengan penuh gilang-gemilang.

Sesungguhnya Beta yakin, sesuatu yang lahir dengan penuh hati yang luhur itu akan membawa keberkatan.

Keterangan dari saya, D.Y.M.M adalah kependekan dari Duli Yang Maha Mulia. Pentadbiran artinya pemerintah atau Yang Berwenang, Beta artinya saya (diucapkan oleh Raja-raja Melayu).

Saya juga sempat menyaksikan pementasan Peristiwa di Bukit Candu, yaitu pertempuran perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pementasan ini diadakan di Padang Bola Sepak Seri Menanti dari pukul delapan malam sampai pukul 12.00 malam.

Pada suatu sore Tan Sri Samad Idris datang ke tempat saya bekerja, beliau mengajak saya naik mobilnya. “Pak Djasril, jom (ayoh) kite ke Kuala Pilah sekejap (sebentar)”. “Okey, Tan Sri”, jawab saya. Di Kuala Pilah kami masuk ke sebuah Kedai Minum dan langsung memesan minuman yang disukai masing-masing. “Macam ni Pak Djasril”, kata Tan Sri membuka kata, “Tahun ni adalah dijadikan Tahun Melawat Negeri Sembilan, pelancong tempatan (Malaysia) dan pelancong Antara Bangsa (Manca Negara) datang mengunjungi Negeri Sembilan, terlebih-lebih Istana Lama akan banyak dikunjungi, saye berhajat nak tambah tenun songket empat lagi, dan tentu sahaje ditambah lagi empat pengrajin dari Silungkang, tapi saye inginkan pengrajin yang lepas, kalau perempuan belum punye laki, kalau lelaki belum punye bini, untuk ini saye serahkan pade Pak Djasril macam mane baiknye,” lanjut Tan Sir.

“Baiklah Tan Sri,” jawab saya. “Nanti saya telepon Pak Djasril Munir Pengurus Kopinkra di Silungkang, karena beliaulah nanti yang akan merekrut pengrajin tersebut,” kata saya lagi.

Setelah selesai minum kami langsung saja kembali ke Seri Menanti, sesampainya di Seri Menanti saya terus saja ke kantor Muzium untuk menelepon ke Silungkang yaitu kepada Pak Dasril Munir, saya sampaikan rencana Tan Sri tersebut, Pak Dasril Munir menyambut baik rencana Tan Sri itu, dan akan memberi jawaban seminggu lagi.

Seminggu kemudian saya mendapat kabar dari Silungkang bahwa akan dikirim empat orang pengrajin lagi, semuanya wanita dan belum berumah tangga, 2 orang dari Batu Manonggou, 1 orang dari Sungai Durian dan 1 orang dari Panai Ompek Rumah.

BERSAMBUNG

Cerita Asli dari Djasril Abdullah

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kedelapan Februari 2008

Tenun Songket merupakan seni budaya spesifik dibelahan benua Asia yang berasal dari daratan negeri Cina, keberadaannya lebih kurang sejak 1000 tahun yang lalu. Dalam kisah perjalanan yang cukup panjang. Tenun Songket setelah itu hadir di Negeri Siam (Thailand), kemudian menyebar ke beberapa negara bagian di Semenanjung Negeri Jiran Malaysia. Seperti ke Selangor, Kelantan, Trengganu dan Brunai Darussalam kemudian menyeberang ke pulau Andalas yaitu ke Silungkang, Siak dan Palembang. Yang mana Songket Silungkang berasal dari Negara Bagian Selangor, sedangkan Songket Pandai Sikek berasal dari Silungkang dan Songket Payakumbuh berasal dari Pandai Sikek. Yang membawa ilmu songket dari Selangor ke Silungkang yaitu Baginda Ali asal Kampung Dalimo Singkek beserta hulubalang beliau yang diperkirakan pada abad ke 16 dan lebih kurang sudah sejak 400 tahun yang lalu.

Pada tahun 1910 Songket Silungkang telah berkiprah di gelanggang Internasional pada Pekan Raya Ekonomi yang berlangsung di Brussel ibukota Belgia. Yang mendemonstrasikan cara bertenun pada waktu itu yaitu Ande BAENSAH dari Kampung Malayu, dan dikala itu hanya dua daerah penghasil Songket dari Indonesia yang ikut didalam Pekan Raya Ekonomi tersebut yaitu Silungkang dan Bali. Seperti Songket Bali itu sendiri berasal dari Negeri Sungai Gangga India. Di tahun 1920, Ismail, Kampung Dalimo Godang, adik dari Ongku Palo pergi merantau kenegeri Indo Cina, seperti Vietnam, Birma dan Laos yang membawa barang dagangan berupa kain Songket, kain Batik, kain Lurik serta kain sarung Bugis dari Makasar.

Kemudian menyusul pada tahun 1921 yaitu Muhammad Yasin kampung Panai Empat Rumah pergi merantau ke Calcutta sebuah kota yang terletak diujung pantai timur India, membawa barang dagangan yang sejenis dengan barang dagang yang dibawa Ismail ke Indo China. Apa kata Om Frans dari Maluku, bagi kami orang Maluku belum bisa dibilang Dehafe (Elite) apabila salah satu keluarga disana belum menyimpan sekurang-kurangnya 20 helai kain Songket tenunan Silungkang. Begitu juga pakaian adat perkawinan di Minahasa Sulawesi Utara, seperti penganten wanitanya juga memakai kain Songket tenunan Silungkang, yang mana warga dari kedua daerah tersebut sangat bangga sekali memakai kain Songket tenunan Silungkang, sebagaimana bangganya masyarakat Minangkabau memaki kain sarung Bugis dari Makasar. Di era tahun 50-an, Abidin kampung Dalimo Godang berdagang kain Songket dengan mempergunakan jasa Pos dan mengirimkan dengan pos paket ke berbagai kota di Indonesia, antara lain : Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar.

Masih pada era yang sama, Songket Silungkang hadir sebagai peserta di arena Pasar Malam dibeberapa kota besar di pulau Jawa, seperti pasar malam Gambir di Jakarta, pasar malam Andir di Bandung, pasar malam Simpang Lima di Semarang, pasar malam Alun-Alun di Yogyakarta, pasar malam Yand Mart di Surabaya.

Pada tahun 1974 diruangan Bali Room Hotel Indonesia Jakarta diadakan pameran Industri Kecil yang diselenggarakan oleh Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) pimpinan DR. Dewi Motik Pramono.

Dari sekian banyak hasil kerajinan industri kecil dari seluruh Nusantara yang dipamerkan pada waktu itu, merasa kagum dan bangga akan Nagari Silungkang, setelah melihat didalam sebuah kotak kaca, disana tersimpan sehelai kain Songket karya anak nagari yang telah berumur 234 tahun pada waktu itu, warna dasar merah hati ayam yang memakai benang Mokou Bulek Soriang tak sudah, bermotif Pucuk Rebung, yang mana kain Songket tersebut bukanlah milik kolektor, tetapi milik sebuah Museum di Den Haag Negeri Belanda.

Informasi dari seorang sarjana asal Koto Anau Solok, di era tahun 1990-an pernah mengikuti bidang studi di Canada, ibu kost dari sarjana tersebut menyimpan lima helai kain Songket tenunan Silungkang. Memang sudah selayaknya kampung Batu Manonggou dijadikan sebagai kawasan penghasil Songket di Nagari Silungkang, karena hampir disetiap rumah disana memiliki alat tenun (palantai) untuk memproduksi kain Songket sebagai Home Industri, istimewanya lagi bukan kaum wanitanya saja yang pandai bertenun Songket, tetapi kaum prianya juga mahir bertenun Songket.

Di masa lampau jika ada tamu yang berkunjung ke Silungkang untuk melihat bagaimana cara bertenun Songket, mereka diajak ke bawah rumah, karena disanalah diletakkan alat tenun, sekarang ini sudah ada dua show room kain Songket yang terletak ditepi jalan lintas Sumatera, lebih tepatnya dibawah kampung batu Manongou, disana juga tersedia alat tenun untuk mendemontrasikan cara bertenun Songket. Keunggulan dari kain Songket Silungkang selama ini, jika dipakai akan terlihat indah cemerlang, Songket Silungkang bukan saja berjaya di Bumi Merah Putih ini, bahkan juga berkibar dibeberapa negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Perancis, Swiss dan Belgia bahkan ada diantara ibu rumah tangga disana yang mengoleksi kain tenun Songket Silungkang yang telah berumur antara 100 hingga 200 tahun. Bahkan di Nagari Silungkang sendiri Songket yang seumur itu sudah sangat sulit untuk ditemui.

Begitulah kisah perjalanan sejarah ilmu bertenun songket yang datangnya dari daratan negeri Cina. (SS/DAPESA)

Sumber : Tabloid Suara Silungkang – Edisi Kelima November 2007

Dimano Garubang Hilang,
Di Aia Tojun-manojun
Dimano Bujang Hilang,
Di baliak Asok Bukik Takobun.

Ka ili ka mudiak mancari Dompet
Dompet dapek kobek pinggang ilang
Dek talendo daun lado mudo
La ili kamudiak mancari ubek
Ubek dapek Nan Kanduang ilang
Ba tamba sansai badan ambo
Begitulah bunyi bait/syair Marungui
dan Ratok Silungkang Tuo

Seperti kita ketahui, Budaya Rakyat Minangkabau di setiap Nagari mempunyai ciri/kebiasaan dimasing-masing daerah, termasuk juga di Nagari Silungkang, mempunyai budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu, sebahagian masih tetap dipakai sampai sekarang, seperti budaya kesenian Tak Tumbin (Rebana) yang dipakai atau dipertunjukkan pada setiap ada pesta Baroleh Kawin. Tapi ada satu Budaya Silungkang asli yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu yang terlupakan atau mungkin sudah dilupakan oleh masyarakat Silungkang, bahkan generasi muda Silungkang saat ini ada yang tidak tahu sama sekali tentang budaya tersebut, sehingga membuat mereka terheran-heran. Budaya tersebut adalah MARUNGUI, RATOK SILUNGKANG TUO SERTA RATOK INYIAK PORIANG. Budaya ini sangat unik sekali, karena Silungkang adalah satu-satunya yang mempunyai budaya ini di seluruh Minangkabau, sehingga mendatangkan decak kagum bagi masyarakat Minangkabau lainnya bahkan juga Negara Malaysia.

Budaya atau kesenian Marungui ini dimainkan oleh satu orang dengan cara berkelumun kain sarung, juga Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriang dimainkan oleh satu orang dengan diiringi musik Saluang dan Talempong Botuang. Dalam permainan Marungui ini, Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriang, si pemain menceritakan keadaan yang terjadi pada seseorang maupun yang dialami oleh Nagari, seperti seorang yang putus cinta, atau seseorang yang ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya, sehingga akan menimbulkan kesedihan serta keharuan bagi orang yang mendengarnya. Pada saat sekarang ini yang masih menguasai budaya ini, hanya tinggal satu orang lagi di Nagari Silungkang ini, yaitu Bapak UMAR MALIN PARMATO, Kepala Dusun Sawah Darek Desa Silungkang Oso, bahkan sampai saat ini belum ada satupun dari generasi penerus yang mewarisi budaya ini, beliau ingin sekali menurunkan atau mengajarkan budaya ini kepada generasi muda Silungkang, supaya budaya ini tetap lestari serta terpelihara dengan baik, sehingga akan menimbulkan kebanggaan bagi masyarakat Silungkang khususnya dan Sawahlunto pada umumnya, karena budaya ini adalah sebuah aset daerah yang sangat berharga sekali, dan nantinya juga bisa menunjang pariwisata di Kota Sawahlunto, terutama sekali wisatawan akan lebih mengenal lagi Nagari Silungkang, tidak hanya terkenal dengan tenunan songketnya, tapi juga dikenal sebagai Nagari yang mempunyai budaya yang sangat unik sekali.

Sewaktu SS (Suara Silungkang) berkunjung kekediaman Bapak Umar Malin Parmato di Sawah Darek, menanyakan sejak kapan budaya ini ada di Silungkang, beliau menjawab menurut cerita dari orang-orang tua dahulu, budaya ini sudah ada sejak Masyarakat Silungkang masih menganut agama Hindu dan Animisme, atau sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau. Sewaktu ditanyakan siapa yang pertama sekali memperkenalkan budaya ini, beliau tidak tahu persis siapa orang yang pertama yang memperkenalkan budaya ini, yang jelas Bapak Umar MP ini sudah menguasai budaya ini sejak tahun 1942 yang lalu. Juga waktu ditanya, dengan siapa beliau mempelajari budaya ini, Bapak Umar MP mengatakan, dia belajar dari Inyiak SAURA Kampung Talak Buai yang tinggal di Sungai Cocang pada tahun 1940.

Bapak Umar MP juga mengatakan, bahwa pada tanggal 10-18 April tahun 2005 yang lalu, budaya ini pernah ditampilkan pada “Pesta Gendang Nusantara 8” di Banda Raya Melaka Bersejarah, Negeri Sembilan Malaysia sebagai utusan dari Pemerintah Kota Sawahlunto. Kita sebagai warga Silungkang patut bangga sekali karena budaya kita sangat dikenal di negeri orang, tapi sungguh sangat ironis sekali, kenapa tidak ada dari warga Silungkang yang ingin melestarikan serta menghidupkan kembali budaya ini, sehingga nantinya akan bisa menjadi salah satu kunjungan wisatawan ke Silungkang, kalau dapat budaya ini bisa dijadikan salah satu agenda bagi kita masyarakat Silungkang untuk mengelolanya secara profesional.

Diharapkan kepada PKS Jakarta, ke depan untuk bisa memperkenalkan secara rutin budaya ini ditingkat Nasional, mungkin bisa dimulai pada acara Halal bi Halal warga Silungkang Jakarta sehabis lebaran nanti, sehingga nantinya budaya ini akan tetap lestari dan tidak akan hilang ditelan waktu. Kedepan marilah sama-sama kita jaga aset budaya kita ini yang sangat berharga seklai, sehingga budaya ini tidak akan diambil oleh daerah lain.

Oleh Rizal F. Daniel

Tabloid Suara Silungkang – Edisi Ketiga September 2007

BAGIAN PERTAMA

BAGIAN KEDUA

BAGIAN KETIGA

Tulisan ini punya tiga bahasa yang bercampur aduk yaitu bahasa Indonesia, Silungkang dan Malaysia

Di Muzium Diraja Seri Menanti kami disediakan sebuah kamar lengkap dengan perabotnya, peralatan memasak tidak diberikan karena minum makan kami disediakan oleh Kerajaan melalui Sdr. Mazrin yang juga sebagai pekerja di Muzium tersebut, dan kemudian Sdr. Mazrin kami ketahui adalah anak seorang anggota Polis yang tinggal di Barak Polis (Asrama Polisi) Seri Menanti.

Kami diantarkan nasi setiap pagi, tengah hari dan sore, mula-mula golang golang saya memang agak babaso menerima nasi tersebut karena sambalnya masakan khas Malaysia, sedangkan golang-golang saya sudah akrab dengan joghiang balamun jo lado giliang matah pakai minyak tanak sambia meanggotok agho, tapi lama kelamaan karena terpaksa golang-golang saya setuju juga, daghi pado ndak makan, mano nan elok.

Setiap pagi setelah makan pagi, kami harus stand by, karena kami akan dibawa raun sabolik selama satu minggu, mula-mula sekitar kawasan Seri Menanti dan terus ke Kuala Pilah, dilain hari ke Seremban dan Kualalumpur. Teristimewa di Kualalumpur ini kami dibawa ke Pasar Seni, semacam Plaza yang sarat dengan bermacam-macam barang soUvenir dari berbagai daerah di Malaysia.

Selama satu minggu kami dibawa raun sabolik, banyak sekali kesan yang tersimpan didalam memori saya dan Insya Allah memori saya tersebut sampai sekarang lai ndak konai virus do.

Disuatu sore, Encik Din (panggilan akrab Drs. Shamsudin bin Ahmad) Kurator (Kepala) Lembaga Muzium Negeri, Negeri Sembilan, datang mengunjungi kami.

Pak Djasril, kite tengoklah rumah tempat tinggal tu, dan lame tak ade orang menghuni rumah tu, tentu dah banyak habuk, kite bersihkan, karena esok pagi perabot sampai”, kata Encik Din seraya membuka pintu mobil dan mempersilahkan naik. “Okey”, jawab saya meniru cara mengucapkan baiklah di Malaysia. Lebih kurang 750 meter dari Muzium Diraja, sampailah kami di rumah tersebut. “Kawasan ni bername Kampong Bukit Tempurong” kata Encik Din. “Ni, ade due rumah, pandai Pak Djasril-lah macam mane mau”, ucapnya lagi. “Kalau macam tu okey lah, dan Encik Din kami persilahkan balik dulu, biarlah kami sahaja yang membersihkan”, jawab saya sambil meniru cara berbicara di Malaysia walaupun lidah saya masih menempel merek Indonesia.

Seri Menanti adalah sebuah kawasan yang disebut Pekan (Kota Kecil) kira-kira sama dengan Nagori di kampung kita, dan juga disebut “Royal Town of Seri Menanti” karena disini berdiri dengan megahnya Istana Besar Raja Negeri Sembilan dan juga masih kokohnya berdiri Istana Lama yang sekarang dijadikan Muzium Diraja.

Alam disini berbukit-bukit, keadaannya masih asri, hutannya terpelihara baik, suasana tenang, aman dan damai, jauh dari kebisingan, udaranya segar tanpa polusi, margasatwa hidup dengan riang dan merdeka tanpa ada tangan jahil yang menganggu dan merusak, bermacam-macam burung berterbangan dengan leluasa dan hinggap tanpa kuatir diganggu orang. Penduduknya hidup bahagia dan sejahtera, rukun sesamanya, ramah dan sopan. Suasana di Seri Menanti tak ubahnya dengan suasana di perkampungan (dusun), bukan suasana di kota yang dilanda kehidupan modern. Upacara adat dipusatkan disini, penduduk di Seri Menanti ini tidak seberapa dan kelihatan lengang dan sunyi karena sebagian penduduknya ada yang tinggal di Seremban, Kualalumpur, dan lain-lain, tetapi kalau ada upacara adat dan keramaian, misalnya PERINGATAN HARI KEPUTERAAN BAGINDA (memperingati hari ulang tahun kelahiran Raja), Seri Menanti penuh dengan pengunjung dari segala penjuru, keramaian diadakan tiga hari tiga malam, bermacam-macam hiburan tradisional dan modern dapat dinikmati, para pedagang pun ramai, kita dapat berbelanja apa saja sepuasnay asal uang ada.

Pada hari Jum’at tanggal 16 Oktober 1998, saya Shalat Fardhu Jum’at di Masjid Diraja Seri Menanti, saya lihat Tuanku Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan juga Shalat Fardhu Jum’at disana. Tuanku sangat akrab dengan rakyat, dan rakyatpun juga sangat hormat kepada Tuanku. Baru saja Tuanku memasuki Masjid, rakyat yang berada di dalam Masjid menyusun jari sepuluh, menyalami Tuanku sambil mencium tangannya, sedangkan Tuanku tersenyum sayang, saya lihat diwajah Tuanku terpancar sinar keagungan sebagai seorang RAJA, kepada yang tidak terjangkau bersalaman, Tuanku mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum sayang, mata bersinar, wajah yang jernih.

Tuanku Jaafar Ibni Tuanku Abdul Rahman, demikian nama Tuanku, adalah keturunan Raja dari Pagaruyung – Minangkabau. Seorang Putera Raja Pagaruyung yang bernama Sultan Mahmud dijemput oleh Pemuka Adat Negeri Sembilan untuk dijadikan Raja. Setelah dinobatkan jadi Raja Negeri Sembilan, Sultan Mahmud dikenal dengan nama Raja Melewar.

Raja Melewar adalah Raja Negeri Sembilan yang pertama 1773 – 1795, sedangkan Tuanku Jaafar Ibni Tuanku Abdul Rahman adalah Raja Negeri Sembilan yang kesebelas 1967 – sekarang.

Tepat pukul 16.00 petang, pada hari Selasa 20 Oktober 1998, seorang pegawai Muzium menjemput kami, “Encik dipelawe untuk datang menghadiri jamuan minum ke rumah Encik wan di Seremban, kite berangkat sekarang juge”, katanya. “Ya, Okey”, jawab saya singkat. Kami naik mobil L-300, dan saya lihat pegawai Muzium lainnya sebanyak 4 orang juga sudah berada di atas mobil.

Encik Wan atau nama lengkapnya Wan Abdullah bin Haji Wan Su, Ketua Penolong Setia Usaa Kerajaan, dikatakan bahwa beliau adalah orang nomor tiga di Kantor Menteri Besar Negeri Sembilan (kira-kira sama dengan Kantor Gubernur di Indonesia), sebelumnya saya sudah kenal dengan beliau sewaktu beliau ke Silungkang pada tanggal 1 Mei 1998 yang lalu dan saya juga sering terlibat dalam percakapan melalui telepon dengan beliau.

Jemput masuk, jemput masuk” kata Encik Wan, sewaktu kami baru saja turun dari mobil di halaman rumah yang kelihatannya sangat bagus bangunannya. “Saye baru sahaje pindah ke rumah ni”, kata Encik Wan yang katanya beliau berasal dari Negeri Kelantan dan sudah lama menetap dan bekerja di Negeri Sembilan. Setelah puas minum dan bercakap-cakap, kami pulang dan diantar kembali ke Seri Menanti.

Saya berusaha dekat dengan penduduk Seri Menanti, sambil memperkenalkan diri, saya juga mempelajari bahasa dan ungkapan sebagai persiapan tinggal di Seri Menanti. Tan Sri Samad Idris sekali seminggu datang ketempat kami, menanyakan keadaan kami, beliau sangat akrab dengan saya. Pada hari Minggu tanggal 25 Oktober 1998, Tan Sri datang membawa dua orang teman beliau PENSYARAH (dosen) pada sebuah universitas di Kualalumpur dan memperkenalkan kepada saya, kami bercakap-cakap sambil minum di kantin Seri Menanti Resort. Dalam percakapan ini saya juga memberitahukan kepada Tan Sri bahwa di Kualalumpur juga ada orang Silungkang jadi Pensyarah yaitu Prof. Umar Yunus dan Prof. Kasmini Kasim. Dengan penuh keheranan Tan Sri berkata : “Oh .. jadi Umar Yunus dan Kasmini Kasim itu orang Silungkang kah, dia sering ke tempat saya, biar nanti saya bagi tahu dia bahwa orang Silungkang juga ada bertenun kain di Seri Menanti”.

Setelah kami puas bercakap-cakap, sebelum Tan Sri kembali ke Kualalumpur, beliau berkata : “Pak Djasril, habis bulan Oktober ini kita akan pergi ke Padang untuk menjemput barang-barang yang masih tinggal dan sekaligus menjemput keluarga Pak Djasril”.

Kata-kata Tan Sri yang terakhir ini yang sangat membahagiakan saya, karena hampir sebulan saya menderita menahan rindu pada isteri dan anak-anak, kali ini adalah saat yang paling terlama kami terpisah, biasanya hanya satu atau dua hari saja. Bila saya rindu, saya beli kartu telepon 10 ringgit atau 20 ringgit dan saya dapat berbicara langsung melalui telepon umum di tepi jalan. Apabila anak saya mengatakan “copeklah baliak (cepat balik) Pak”, tenggorokan saya rasa tersekang menahan tangis, kenapa begitu ? Entahlah, orang bisa berahun-tahun terpisah, kenapa saya tidak ? Entahlah.

Pada hari Kamis tanggal 29 Oktober 1998, disore hari, saya sedang bagolek-golek (istirahat), datang Mazrin, “Pak, ada talipon dari Seremban”. Saya langsung mengikuti Mazrin menuju OPIS (kantor), telepon saya angkat, “Hallo, apa hal Encik Din ?”, kata saya. “Hari Minggu, 1 hari bulan November, Pak Djasril berangkat ke Silungkang untuk mengambil barang kita yang masih tertinggal dan sekaligus menjemput keluarga Pak Djasril, perlu diingat keberangkatan Pak Djasril ke Silungkang adalah sebagai pegawai Muzium, pagi esok datang ke Seremban mengambil gaji dan ongkos ke Silungkang, okey …”.

“Okey”, jawab saya singkat. Keesokan harinya saya pergi ke Seremban, dari Seri Menanti ke Kuala Pilah naik KERETA SEWA (oplet), dan dari Kuala Pilah ke Seremban naik BAS (bus).

Pukul 06.00 pagi waktu Malaysia Barat, tanggal 1 Nopember 1998, sebuah KERETA (sedan) parkir di halaman Muzium menjemput saya, saya pun juga sudah siap berangkat. Kereta melaju menuju Kualalumpur dan terus ke Lapangan Terbang Sultan Abdul Aziz Shah, Subang (diwaktu itu belum ada KLIA = Kualalumpur International Airport, dan di Padang juga belum ada MIA = Minangkabau International Airport). Setiba di Lapangan Terbang saya langsung antri membeli tiket pesawat menuju Padang dan tak lupa sebagian dari uang Ringgit, saya tukar dengan Rupiah.

Setelah melayang-layang di udara lebih kurang 2 jam pesawat mendarat di Bandara Tabing. Pertama sekali saya menuju rumah makan, saya makan dengan lahapnya, duo kali tambuah, maklumlah sudah satu bulan golang-golang saya absen menerima masakan Padang. Selesai makan saya menuju wartel untuk memberitahu ke Silungkang bahwa saya sudah sampai di Padang. Saya ingin cepat saja sampai di Silungkang, saya ambil jalan alternatif, naik taksi saja biar cepat, kalau dengan bus lambat. Menjelang sore saya sudah sampai di rumah, yaitu di Lubuak Kubang, Desa Silungkang Oso. Tidak ada oleh-oleh dari Malaysia, yang ada hanya oleh-oleh dari Padang berupa makanan ringan.

Anak saya yang kecil berumur 4 tahun berlari-lari menyambut saya, “Bapak lah baliak (balik) Ma …”, katanya memberitahu Mamanya. Saya dukung dan saya cium anak saya itu, “Tadogak (teringat) Bapak nak …”, kata saya singkat.

BERSAMBUNG ….

Source :

Tabloid Suara Silungkang

Edisi KETIGA, September 2007

Kisah Nyata Djasril Abdullah

Manjalang Dusun

Manjalang Dusun adalah awal Anak Daro mendatangi rumah orang tua Marapulai. Rombongan menjelang Dusun ini biasanya terdiri dari 7 orang Ibu-ibu dan 3 orang anak. Ada juga 9 orang Ibu-ibu dan 5 orang anak. Membawa anak-anak ini sudah menjadi tradisi sejak dulu. Anak Daro akan memakai pakaian biasa sekarang telah ada pula yang memakai Sunting.

Menjelang Dusun ini dilakukan biasanya bila Baroleknya hari Jum’at, maka hari Rabu berikutnya. Begitu pula bila Baroleknya hari Rabu, menjelang Dusun juga pada hari Rabu berikutnya. Biasanya menjelang Dusun paling lambat seminggu sesudah Barolek. Menjelang Dusun ini dulunya dibiasakan hari Rabu. Kini tidak demikian lagi. Ini memang agak menyulitkan bagi yang menanti.

Rombongan Menjelang Dusun ini membawa nasi (5 sampai 25 liter beras) : lauk pauk : kalio 1 sampai dengan 3 kg daging : ayam gulai satu setengah ekor : maco goreng balado : telur dibelah balado : ikan goreng dan lain-lain tergantung kepada orang padunie atau tidak. Di samping itu juga kalamai. Penyiaran, kue besar dan kue kecil. Dan untuk peruntukan (bagi pasumandan dalam kampung) : penyiaran tiap bungkusnya 5 buah dan beras 1 cupak (dibungkus dengan sapu tangan). Bungkusan panyiaram dan beras ada yang sampai menyediakannya 50 buah.

Sewaktu rombongan Menjelang Dusun akan pulang, maka dari pihak Pasumandan akan diberikan kelapa tumbuh 3-5 batang serta kelapa biasa 50 sampai dengan 100 butir. Di Jakarta kelapa ini telah diganti dengan uang. Kelapa ini biasanya pemberian dari tetangga (pasumandan yang diberi peruntukan). Selain daripada itu juga diberi garam, maco, ubi jalar, sirih dan sebagainya. Banyaknya beras berdasarkan ketiding pembawa nasi dukung. Juga uang dulunya di zaman Hindia Belanda dari f. 1.00 sampai 5.00. Sekarang antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 25.000,-. Anak kecil yang ikut datang juga diberi uang, kalau ukuran sekarang dari Rp. 500,- sampai dengan Rp. 1.000,-

Sebagai catatan perlu dikemukakan jika rombongan Anak Daro padunie bawaannya lebih besar dan bahkan ada yang ditambah dengan ayam goreng. Tetapi ada pula yang berdamai. Datang membawa seadanya saja. Malahan ada juga atas kesepakatan kedua belah pihak tidak diadakan Menjelang Dusun.

Di dalam rombongan Anak Daro (yang menjelang dusun) ini biasanya terdapat juga Induak Bako dan Anak Buah Anak Daro. Balasan dari pasumandan sekarang telah ada pula yang memberikan Sia Penang (rantang besar).

Sebulan lebih sesudah Barolek, Anak Daro akan pergi bermalam ke rumah pasumandan, dengan membawa nasi, lauk pauk, ketan serikaya dan lain-lain. Waktu dulu benar pergi bermalam ini hanya membawa beras dalam Kampi ukuran 2 atau 3 liter beras, daging kering yang dibungkus dengan krisik (daun pisang yang sudah tua0.

Anak Daro ini nantinya akan memasak di rumah Pasumandan dan Mertuanya akan mengetahui sampai di mana keterampilannya memasak itu.

Sumber : Buku Silungkang & Adat Istiadat oleh Hasan St. Majarajo
Edisi I, Jakarta, Mei 1988. Percetakan oleh IDEAL

nikah-fotokeluarga1.jpg

Pada pokoknya cara mempersiapkan barolek (perayaan pernikahan) dengan balope hampir sama. Hanya untuk barolek pihak anak daro harus menghias rumah, menghias kamar anak daro, membuat kue-kue. Juga mengadakan “sandaran” untuk tempat duduk marapulai dan rombongannya.

Tempat duduk marapulai atau “sandaran” itu ialah sebuah kasur yang dialas dengan permadani dan di bagian belakangnya dihias pula. Dulunya tempat duduk marapulai itu harus menghadap ke kamar anak daro. Tidak boleh menghadap ke luar rumah, karena ada kepercayaan atau anggapan bila menghadap ke luar, maka marapulai itu tidak akan lama di rumah. Kepercayaan tahyul ini kini tidak ada lagi.

Rombongan marapulai biasanya terdiri dari Panungkatan, marapulai dengan 2 atau 3 temannya yang memakai soluak, serta pengiring 5 sampai 10 orang yang terdiri dari anak-anak muda dan tukang rabona kira-kira 5 orang.

Pakaian marapulai dan rombongannya sebagai berikut : panungkatan memakai pakaian biasa dengan sarung setengah tiang. Marapulai memakai celana batik, sarung bugis, baju jas warna kehitaman, kemeja lengan panjang soluak. Pakaian teman yang bersoluak hampir sama dengan marapulai, tetapi tidak memakai celana batik. Sedangkan pakaian pengiring ialah sarung, baju jas, kopiah. Tukang robana memakai teluk belanga, sarung setengah tiang, kopiah tenunan Silungkang.

Demikianlah yang berlaku sekarang jika baroleknya di Silungkang. Tetapi jika baroleknya di Jakarta tidaklah secara demikian. Baik yang upacaranya berlangsung di sebuah rumah, apalagi yang di gedung. Umumnya rombongan marapulai tidak memakai robana. Meskipun belakangan ini ada juga satu dua yang telah menggunakan robana, misalnya turun dari mobil sampai tiba di gedung, atau sampai ke rumah anak daro yang bersangkutan.

Mendudukkan tamu merupakan masalah tersendiri dalam barolek di rumah (yang dilakukan secara adat). Penerima tamu harus benar-benar orang yang mengerti akan tamu-tamunya. Salah mendudukkan tamu akan jadi bahan pergunjingan. Tidak sembarang orang bisa mendudukkan tamu, seperti pada pesta umum di gedung. Karena itulah maka pihak Sipangka (penyelenggara olek) senantiasa meminta maaf, jika tamunya tak terdudukan pada tempatnya.

Yang didudukkan di kepala rumah (bagian atas) ialah Penghulu Pucuk. Sesudah itu berurutan Datuk Kampung pihak olek, Nan Bajinih, Mamak kandung olek, Bapak olek. Kepala Desa Silungkang Khusus (dulu Wali Nagari) biasanya didekatkan dengan Penghulu Pucuk. Orang sumando yang dikeataskan ialah orang sumando pihak Olek, tetapi yang tidak seninik dengan sipangka. Kalau ada datang yang berdunsanak, maka yang tua didudukkan lebih dulu. Yang sangat penting dijaga jangan sampai terjadi orang yang barumik (ninik mamak dengan orang sumandonya) duduk bersebelahan atau sejamba (setempat hidangan).

Sedang yang mengatur tempat duduk bagi Marapulai dan rombongannya adalah Panungkatan. Sipangka telah menyediakan tempat khusus untuk itu. Orang sumando sipangka yang nantinya akan jadi sasaran untuk minta izin pulang, didudukkan di tempat yang akan tampak oleh Panungkatan. Dengan demikian memudahkan menuoknya (menyasarnya) bagi Panungkatan.

Baik Baroleknya di Jakarta, apalagi di Silungkang, tidaklah menjadi kebiasaan orang awak menjemput marapulai. Marapulai datang dibawa oleh Panungkatannya. Begitu rombongan marapulai tiba di halaman, tentu segera akan disambut dengan pidato adat, yang isinya antara lain berisi pengakuan atas kedudukan marapulai “kakanti ninik dan mamak”. Hal ini tercermin dengan jelasnya dari bait ini.

  • Bakukuak ayam Birugo
  • Bakukuak di ate botuang
  • Maambua ka dalam somak
  • Mangoke ke dalam padi
  • Ola la tibo rang sumando
  • Kakanti1) niniek jo mamak
  • Sumarak korong jo kampuang
  • Ola la suko hati kami

Artinya :

  • Berkokok ayam Birugo
  • Berkokok di atas betung
  • Menghambur ke dalam semak
  • Mengais ke dalam padi
  • Sudahlah tiba orang sumando
  • Kakanti ninik dengan mamak
  • Semarang korong dengan kampung
  • Sudahlahlah senang hati kami.

Peranan marapulai kakanti ninik-mamak ini terutama terhadap anak dan isterinya. Tetapi tidak itu saja. Ia juga berkewajiban membantu mengakurkan sanak keluarga isterinya, sekiranya terjadi silang sengketa. Juga untuk memberi petunjuk dan nasehat bila keluarga isterinya memerlukan dan sebagainya.

Bila Baroleknya di rumah (baik di Silungkang maupun di Jakarta) maka setelah rombongan marapulai masuk rumah dan duduk segera akan disusul dengan pidato penyembahan duduk dan carano. Setelah itu disusul pula dengan pidato persembahan makan, doa selamat dan disudahi dengan minta dirinya Panungkatan Marapulai yang ditujukan kepada orang sumando kampung tersebut. Dalam hal melepas rombongan marapulai dan tamu lain, peranan kakanti ninik-mamak telah dilakukan oleh orang sumando.

Akan tetapi bila baroleknya di sebuah gedung di Jakarta, maka sesudah pidato Sipangka menyambut kedatangan rombongan marapulai dan balasannya dari Panungkatan2) yang membawa marapulai telah menduduki tempat pelaminannya, segera akan disusul dengan pidato-pidato sambutan dari keluarga anak daro dan marapulai. Kadangkala pidato sambutan itu dilakukan oleh seorang saja atas kesepakatan kedua belah pihak. Pidato sambutan itu selain berisi ucapan selamat datang kepada para tamu, juga berisi beberapa nasehat kepada kedua mempelai. Kemudian akan dibacakan doa. Sesudah itu dipersilahkan tamu untuk memberi doa restu kepada kedua mempelai dan diikuti dengan menikmati hidangan yang disediakan. Selesai itu tamu pulang ke tempat masing-masing.

Tempo dulu benar di Silungkang rombongan marapulainya tidaklah komposisinya seperti yang telah dikemukakan di atas. Rombongan marapulai terdiri dari dubalang, panungkatan, marapulai, seorang anak kecil, teman basoluak, pengiring, tukang telempong (baru sesudah masuk Islam talempong diganti robana).

Pakaian yang dipakai rombongan marapulainya ialah bagi dubalang pakaian angkatannya : bagi panungkatan bercelana galembong hitam, baju teluk belanga hitam, sarung setengah tiang, pakai destar, membawa sokin (semacam rencong): bagi marapulai memakai celana hitam yang bersulam benang emas, kemeja, baju rompi bersulam emas, soluak yang memakai emas kulit, keris dan punjin (semacam pundi-pundi) : anak kecil berseragam hitam yang berhiaskan benang emas, membawa gobuak mangku berisi berseragam hitam yang berhiaskan benang emas, membawa gobuak mangkuk berisi perlengkapan sirih : bagi teman yang bersoluak sama dengan marapulai, tetapi tidak memakai ukiran benang mas, soluak biasa, tidak pakai keris dan tidak membawa punjin : pakaian pengiring sama dengan pakaian teman bersoluak, tetapi berkopiah : tukang talempong berseragam hitam.

Rombongan marapulai yang di depan sekali ialah dubalang dalam keadaan siap siaga. Sesampai di depan rumah anak daro, rombongan akan disambut dengan tari silat oleh dubalang pihak anak daro dan terjadilah sebentar pertunjukkan tari silat antara dubalang rombongan marapulai dengan dubalang yang menanti.

Menurut curaian yang diterima dari orang-orang tua sebabnya dubalang memakai pakaian angkatannya dan panungkatan memakai sokin ialah untuk menjaga kalau di jalanan ada yang mencegat rombongan dari pihak yang tidak menyetujui perkawinan itu. Karena itu panungkatan di samping mahir berpidato, juga harus pendekar.

Perlu juga diketahui bahwa tempo dulu makan di tempat barolek adalah bajambai dengan memakai dengan memakai dulang berkaki (seperti carano tetapi lebih lebar di bagian atasnya) : masing-masing hadir dalam olek akan diberi daun pisang untuk pembungkus sebagian hidangan, selain yang dimakan di tempat lauk pauk yang mutlak ialah dadieh dengan manisan.

Catatan Kaki :

  1. Mengatakan bahwa orang sumando itu “ka ganti Ninik-mamak”. Padahal sesungguhnya bukan “ka ganti” melainkan “kakanti”.Jauh bedanya antara “ka ganti” dengan “ka kanti”. “Ka ganti” berarti ia akan menjadi penukar sesuatu yang tak ada atau hilang. Padahal ninik mamak yang akan diganti masih tetap ada dan tidak hilang. Karena itu istilah “ka ganti” tidaklah tepat. Sedangkan “ka kanti” berarti ia kana menjadi teman, kawan atau rekan dari ninik-mamak. Itu adalah wajar. Mengenai hal in Chaidir Taher Sampono Mudo dan Rusli Taher Sampono Gagah dalam bukunya “Mambangkik Tareh Tarandam” mengatakan : “Nan sabananyo urang sumando tu bukan ka ganti niniek jo mamak do, cuma ka kanti (kawan) niniek mamak” (hlm. 12).
  2. Telah ada kejadian di Jakarta rombongan Marapulai berangkat ke tempat pesta pernikahannya tidak dipimpin (tidak memakai Panungkatan). Keberangkatannya Marapulai itu memang bukan “sendirian” melainkan bersama anak daro. Memang terasa kurang wajar jika rombongan Marapulai bersama anak daro setibanya di gedung (tempat pesta) disambut dengan pidato adat oleh ninik-mamak anak daro dengan mengatakan : “Ola la tibo – rang sumando ….”. Pada hal yang “tibo” (datang) itu bukan saja orang sumando, tetapi juga kemenakannya sendiri : anak daro. Pidato adat semacam itu memang tepat bila diucapkan dalam upacara perkawinan seperti di Silungkang, dimana yang “tibo” benar-benar rombongan Marapulai. Anak daronya sendiri berada di rumah.Tentu saja menggelikan bila Pidato Adat semacam itu diucapkan, padahal yang tibo Marapulai bersama anak daro.

Sumber : Silungkang & Adat Istiadat oleh Hasan St. Maharajo

Pulai nan bapongkek naiak, duo tiog pinang mudonyo, Gabuak mangkuak rang bori batali, kami marapulai olah ka nalak, sarato jo anak mudo-mudonyo, tuan datuak suko mananti.

Pengantar

Dialog atau percakapan ini berlangsung, saat rombongan mempelai pria tiba ditempat mempelai wanita.

Percakapan ini berlangsung, merupakan ucapan selamat datang kepada rombongan mempelai pria sekaligus menanyakan kenapa terlambat datang.

Tapi umumnya, dialog ini dilakukan karena mempelai pria datang terlambat.

  • Sipangka; la panek kami dek babansi, rabab tasanda di pamatang, lah panek kami dek nanti, apo sabab kok dek talambek datang.
  • Panungkatan; suto Aceh rang Palembang, ditanun anak rang Bangkulu, iyo talambek kami datang, jalan bakelok bake lalu.
  • Sipangka; olahlah kombang bungo inai, kombang satangkai di dalam taman, olahlah datang marapulai, togak sabanta di halaman.
  • Sipangka; siapo dulu !?
  • Panungkatan; ambo!
  • Sipangka; datang baiak pasumandan, dari ujuang lalu kapangka, dari pangka lalu katopi, dari serek kapuserek, lalu menyerong kahilaman. Bakukuk ayam birugo, bakukuk diateh batuang, mahambua dadalam somak, mengokeh kadalam padi, olahlah datang urang samondo, olah sumarak korong jo kampuang, kakanti ninjak jo mamak, olahlah suko hati kami. Lengkok jo palongkokpannyo, longkok jo tali tarujunyo, longkok jo palongkokpannyo, longkok jo kain lipek kodinyo, longkok jo palong-kokpannyo, longkok jo anak mudo-mudonyo. Guno rang umbuik bungo lado, urang ambiak kapananam sasak, guno di japuik urang sumondo, kakanti niniak jo mamak. Bukan toh kakanti niniak jo mamak, ka cahayo mande jo bapak, limpapeh biliak nan dalam, anak kunci amban puro. Biang nan indak kamanobuakkan, gontiang nan indak kammutuihkan, mangayiah kalubuak ampang pulai, dapek balanak duo tigo. Gabuak mangkuak rang bari batali, kami mamanggia anak marapulai, sarato jo anak mudo-mudonyo, tuan datuak suk mananti, sakian sombah bake datuak.
  • Panungkatan; lah sampai dek datuak … Apolah kato nan talimpah kabake ambo; Guno rang ambuik bungo lado, rang ambiak kapananam sasak, guno dijapuik urang sumondo, kagonti niniak jo mamak. Bukan toh kakanti niniak jo mamak, koh cahayo mande jo bapak, limpapeh biliak nan dalam, anak kunci amban puro. Biang nan indak kamanobuakkan, gontiang nan indak mamutuiahkan, mangayiah kalubuak ampang pulai, dapek balanak duo tigo. Gabuak mangkuak rang bori batali, kam mamangia anak marapulai, sarato jo anak mudo-mudonyo, tuan datuak suko mananti. Kan baituh bona, kato datuak !?
  • Sipangka; bona ….
  • Panungkatan; kajaweknyo saketek dari ambo; Pulau nan bapongkek naiak, duo tigo pinang mudonyo, Gabuak mangkuak rang bori batali, kami marapulai olah ka naiak, sarato jo anak mudonyo-mudonyo, tuan datuak suko mananti. Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabaro-katuh
  • Sipangka; Wa’alaikumussalam … Naiaklah datuak !!!

Sumber : Bulletin Silungkang, Edisi Juli – Agustus 2002 

Menurut keterangan Bulletin Silungkang, Edisi 001/SM/JUNI 1998 pada kolom Kampung dalam Berita yang memberi kabar bahwa :

Djasril Abdullah dipastikan tidak ikut lagi dalam pemilihan Kepala Desa Silungkang Oso disebabkan karena yang bersangkutan akan bertolak ke Malaysia dalam rangka Kerjasama Sumber Negeri Sembilan dalam bidang kebudayaan. Djasril Abdullah beserta keluarga akan menetap di Malaysia (Negeri Sembilan) selama 2 tahun dengan program promosi pertenunan Silungkang.

Sumber : Bulletin Silungkang, No. 001/SM/JUNI/1998

Oleh-oleh Dari Negeri Belanda
Pertenunan Di Silungkang
Catatan : DR. L. Margadant
Alih Bahasa : Ir. Irland Y.M., MM

Keberadaan pertenunan di Silungkang dapat dinyatakan oleh beberapa faktor yang berbeda. Tentu saja lebih utama kita menganggap suatu nilai atau pembawaan yang artistik.

Lagipula pemilikan sawah di daerah pegunungan ini sangat sedikit. Ini menimbulkan dua akibat yaitu penduduk harus mencari tambahan selain sawah dan ladang. Mereka lalu berusaha melalui pertenunan. Akibat yang kedua yaitu adanya kemungkinan mendapatkan keuntungan dari pertenunan yang terorganisir. Oleh sebab itu diperlukan pengetahuan tentang dasar pertenunan dimana diharapkan penduduk tidak terganggu dengan adanya problem pada persawahan dan perladangan.

Faktor yang terpenting letaknya yang dekat dengan Sawahlunto yang pada tahun 1893 telah dihubungkan dengan jalan kereta api.

Sampai pada awal abad ini pertenunan Silungkang hanya diproyeksikan untuk kebutuhkan lokal Silungkang sendiri. Lebih-lebih dalam pembuatan untuk pakaian adat, kebanyakan mereka memakai benang tenun dan bahan pewarna sendiri. Tonun ikek. Di sekitar tahun tersebut Sawahlunto jadi sangat terkenal dengan berdirinya Tambang Batubara Ombilin. Juga dengan banyaknya orang Eropa bermukim disana dan punya perhatian yang sangat besar terhadap pertenunan di Silungkang terutama dari kaum wanitanya. Wanita-wanita Eropa inilah yang gigih memasarkan hasil pertenunan Silungkang pada pameran-pameran di dalam negeri dan di Eropa khususnya, hingga pada akhirnya mendapat penghargaan dari suatu pameran di Brussel, Belgia.

Letak Silungkang yang strategis dan menghubungkan kota Sawahlunto, Solok dan Sijunjung sangat berpengaruh dalam mencapai kemudahan dan kemurahan dalam pengangkutan hasil produk dan bahan-bahan dasar.

Last but not least. Orang-orang Silungkang selain baik dalam bertenunan juga baik dalam perdagangan. Hasil tenun Silungkang dapat dibeli di Kualalumpur dan daerah penjualan di Ambon.

Pertenunan Silungkang menggunakan berbagai alat baik yang tradisional maupun yang modern yang disebut dengan ATBM.

Dalam bulan Juli 1941, bekerjasama dengan Penghulu Suku dibawah bimbingan biro pertenunan di Fort De Kock, diadakan suatu penyelidikan dengan melihat berkembangnya pertenunan di Silungkang dan daerah sekitarnya. Dari hasil penyelidikan ini, didapat data sebagai berikut :

ATBM, 104 buah
Alat tenun tradisional, 382 buah
Alat tenun songket, 1.399 buah

Alat tenun tradisional baik yang lama atau yang telah diperbaharui, ditangani oleh kaum wanita sementara ATBM oleh pria. Keikutsertaan kaum pria dalam pertenunan dapat dikatakan sangat minim. Dalam pengoperasian alat tenun tradisional (untuk songket) tidak memerlukan tenaga yang besar namun memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu banyak kaum prianya lebih baik mengerjakan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Kebanyakan sebagai perantau dan pedagang babelok yang dalam kurun waktu tertentu baru kembali ke kampung halamannya.

Sedang untuk ATBM (pembuat sarung) memerlukan tenaga yang besar dan hasilnya pun 6 – 7 kali lebih besar. Minat untuk pemakaian ATBM semakin meningkat. Sebagai perbandingan : pada tahun 1939 jumlah ATBM hanya 12 buah. ATBM ini made in Silungkang Asli harganya 25 gulden per unit.

Dengan adanya perubahan pola pemakaian dari alat tradisional ke ATBM berdampak serius terhadap produksi “Kain Bacuki, handuk, serbet dan bahan baju” yang hanya dapat diproduksi oleh alat tenun tradisional, yang pada akhirnya jenis kain ini jadi sangat langka dan menghilang.

Masa keemasan pertenunan Silungkang ini sempat mengalami kendala dan hampir bangkrut karena ulah spekulan benang dan pedagang perantaunya yang melanggar kaidah-kaidah yang berlaku dengan menaikan harga jual benang sampai 80%, sementara harga jual tetap.

Kesulitan yang dialami mengajarkan kemandirian kepada orang Silungkang. Di tiap-tiap rumah orang Silungkang paling tidak terdapat 2 – 3 unit alat tenun pada malam hari suaranya bertalu-talu – pekerja wanita yang sekaligus pemilik mencapai 700 orang, semua bebas membeli bahan sendiri dan menjual sendiri. Orang Silungkang memang terkenal akan kebebasan dan kemandiriannya. Menurut penelitian pada tahun 1940, nilai jual produk Tenun Silungkang cukup fantastik mencapai f 6.000 tiap bulannya sementara kebutuhan benang per bulannya adalah 12,5 ball, dengan klasifikasi pekerjaan sebagai berikut :

tabel-tenun.jpg

Ada sekitar 300 – 400 orang pekerja wanita yang bekerja menurut pembagian hasil pemakaian benang (gaji borongan lepas).

Di Silungkang terdapat 9 units usaha “Scheermolens” (tukang turiang?). Tukang turiang ini mendapat gaji berdasarkan turiangannya. Tukang turiang tidak menjual opgeboombe (turiangannya?) tidak mengenal pembayaran kredit.

Pertenunan di Silungkang sudah berkembang pesat sejak tahun 1926. Revolusi industri baik ATBM dan ATM (alat tenun bermesin) sangat memukul pertenunan Silungkang. Banyak upaya dilakukan oleh pemerintah, diantaranya memberi pinjaman hibah pada tahun 1936 sebesar f 1.500. Jumlah ini seluruhnya diberikan kepada pengrajin wanita. Rangsangan dari pemerintah Belanda ini dirasa aneh oleh penduduk Silungkang karena saat itu banyak pemuka Silungkang yang ditangkap Belanda sehubungan dengan pemberontakan Silungkang tahun 1927. Pertenunan Silungkang dipelajari dari Ambarawa – Jawa Tengah. Banyak sudah usaha dari penduduk Silungkang sendiri untuk mendirikan koperasi. Akhirnya berdirilah Silungkangsche Handel Matschaapij pada tahun 1929 namun tak berhasil baik, walau maksud semula yang sangat baik, yaitu ingin memutus jalur kaum pedagang benang perantara/calo yang saat itu bisa mengambil keuntungan sebesar 190% diatas harga import (harga di kota Padang f 2,625 per kg, sedangkan di Silungkang bisa mencapai f 8).

Selang berapa bulan, koperasi itu bangkrut, karena ada 2 orang pemegang andil koperasi tersebut yang menjual benangnya kepada pihak lain dan koperasi tetap dengan benang lama yang tak diminati dan mahal.

Kegagalan Silungkangsche Handel Matschaapij tak terlepas dari sikap orang Minangkabau yang secara keseluruhan yang sangat individualistik. Jadi pilihan kerjasama dalam bentuk koperasi adalah pilihan yang kurang bijaksana. Kerja sama individual antara pengusaha dan pekerja justru lebih berhasil disini dan tak perlu serikat pekerja.

Sumber : Koba PKS, edisi Adiak Nan Jolong Tobik, Desember 2001

Malewa Pangulu Pucuak Nan Balimo, semula dikategorikan sebagai sesuatu yang “tak mungkin”, mengingat kompleknya permasalahan yang akan dihadapi panitia dan saratnya acara yang harus dibuat – ini sebuah perhelatan akbar – kolosal – serta sempitnya waktu yang tersedia dalam rentang Agustus sampai dengan Desember 2002.Semua itu seolah mustahil !

Didasari hal ini maka kami yang bergulat dalam kancah kobamangobaan, hanya menempatkan berita besar sebagai KOBA DAGHI KAMPUANG dalam kolom yang cukup sederhana “Kobakobaan”.

Namun setelah tokoh sentralnya – Dua Husin Bersaudara, Irwan dan Sukri yang semula hanya ingin malewakan pangulu pucuak Suku Malayu memPKSkan wacana ini setelah mendapat restu dari pemuka adat di kampung halaman sebagai oleh-oleh setelah melaksanakan hajat besar “Pulbas Bakor Sawahlunto 2002”, menjadikannya sebagai acara Malewakan Pangulu Pucuak nan Balimo.

Setelah rapat pleno PKS (Persatuan Keluarga Silungkang) Jakarta yang mengeluarkan fatwa “mendukung” dan menyatakan acara ini sebagai OLEK SILUNGKANG, yang berarti semua masyarakat Silungkang akan terlibat dalam perhelatan besar ini, kelima suku yang ada di Silungkang akan bahu membahu – tupangmanupang – tumpahruah menyingsingkan lengan baju guna menyukseskan acara ini, kami sadari kami keliru.

Untuk semua itu berita Malewa Pangulu nan Balimo ini akan selalu kami tempat pada posisi yang sangat terhormat “Kobautamo”

Tak bisa dibayangkan sukacitanya warga menyambut acara ini dan tumpah ruahnya penduduk Silungkang yang akan berbaur dengan para mudikers serta hiruk pikuknya Nagari Silungkang saat acara tersebut dilangsungkan yang menurut rencana akan berlangsung pada tanggal 14 dan 15 Desember 2002.

Berdo’alah pada Sang Pencipta semoga kami mampu, mengingat dalam rubrik ini tentu kami harus mangobaan perkembangan persiapan yang dilakukan panitia mungkin semacam progress repot, sampai pada pelaksanaan.

KESERIUSAN

Sebuah bukti keseriusan panitia pelaksana malewakan pangulu pucuak nan balimo adalah dengan diserahkannya kepanitian kepada PKS Jakarta yang sebelumnya hanya terdiri dari para petinggi suku Malayu.

Pada awalnya memang hanya suku Malayu yang akan malewakan pangulunya, namun setelah didapat kata mufakat bahwa acara tersebut akan ditingkatkan menjadi acara malewa pangulu pucuak nan balimo yang berarti melibatkan seluruh suku yang ada.

Tegasnya acara ini menjadi olek nagori – bukan hanya suku Malayu maka kepanitianpun diserahkan kepada PKS Jakarta.

Kenyataan tokoh sentral dalam kepanitian malewa pangulu pucuak suku Malayu (panitia lama – Irwan Husin) tersebut terpilih kembali secara aklamasi sebagai tokoh sentral dalam kepanitian malewa pangulu pucuak nan balimo dengan jabatan Koordinator Seluruh Acara adalah sesuatu yang wajar mengingat kesiapan yang telah dimilikinya.

“Setidaknya, tokoh ini telah lancar melafazkan petatah-petitih, walau harus dengan terpaksa mengganti kata biduak menjadi sampan,” ujar seorang peserta disela obrolan santai sejenak setelah rapat berakhir.

“Sakali mandayuang sampan duo tigo pulang talampaui – seharusnya adalah sakali mandayuang biduak duo tigo pulau talampaui, namun hal ini bukanlah sebuah kesalahan yang fatal sebam sampan adalah biduak dan biduak adalah sampan.

Babenso saketeknyo, Tuak !

Untuk sekedar perbendaharaan kata : Malewa berarti batogak – mengangkat dan mengambil sumpah pangulu pucuak sebaai pimpinan tertinggi dalam strata suku yang akan menjadi tokoh panutan dan contoh serta suri tauladan bagi kemenakan dan persukuannya serta menjadi public Figure dan utusan bagi persukuannya.

Kembali pada seputar kepanitian Malewa Pangulu Pucuak nan Balimo.

Keberhasilan yang diharapkan tentu mustahil dicapai apabila hanya dilimpahkan kepundak tokoh ini tapa ada uluran tangan dan bantuan moril serta materil dari para codiak pandai nan copek kaki ringan tangan.

Untuk itu dalam rapat andhiko tersebut telah dicapai kata mufakat bahwa pada tiap-tiap suku harus membentuk kepanitian sendiri dalam kesukuannya, untuk itu dari kedelapan belas andhiko yang bernaung dalam kelima suku yang ada telah mengirimkan daftar nama kelima suku yang ada telah mengirimkan daftar nama warganya yang akan menjabat dalam kepanitian Malewa Pangulu Pucuak nan Balimo 2002.

 

Tercatat delapan belas orang tungganai telah menyatakan kesediaannya untuk mewakili kedelapan belas andhiko kampuang, diantaranya : H. Hussein Yunus, Akman Burhan, H. Jamaran Turut, H. Syafrie Rauf, BBA, H. Rijal Jalil dan lain-lain.

 

Dalam kepanitian ini, Koordinator Acara lebih berkonsentrasi untuk melaksanakan pekerjaan yang berorientasi keluar, seperti : KAN, PEMDA, LKAAM dan lain-lain

 

MAMBANGKIK BATANG TARONDAM

 

Sudah sedemikian parahkah kondisi Silungkang sehingga generasi sekarang harus memikul beban untuk mambangkik batang tarondam ?

 

Atau sudah seberapa dalam keterpurukan nama Silungkang dalam kancah percaturan adat alam Minangkabau ?

 

Tidak !

 

Silungkang tidak tertinggal apalagi tenggelam. Sekali tidak ! Silungkang tetap eksis dalam percaturan regional atau nasional.

 

Hanya saja, Silungkang sedikit ketinggalan untuk mengekpresikan diri dan menempatkan diri pada bidang kepemerintahan.

 

Kenyataannya, memang belum ada warga Silungkang yang berkesempatan menjadi amtenaar dengan menduduki jabatan sebagai Camat, Bupati, Gubernur dan seterusnya.

 

Inilah kenyataannya !

 

Namun, hal ini tentu tidak bisa dijadikan indikator atau barometer mutlak untuk mengukur ketertinggalan Silungkang.

 

Karena disisi lain, ternyata sudah ada beberapa orang warga Silungkang yang menduduki jabatan terhormat (bila jabatan dalam keperintahan dianggap begitu), namun biasanya, bila ada warga Silungkang yang berkesempatan menduduki posisi penting jarang sekali yang mau menonjolkan diri.

 

Dalam hal dunia bisnis ?

 

Tentu adalah suatu hal yang wajar apabila ada yang jatuh dan yang bangun karena memang begitulah irama kehidupan pedagang.

 

Dalam Lembaga KAN, apakah Silungkang dan Padang Sibusuak yang pernah berjaya dengan sebutan Gajah Tongga Koto Piliang sudah diperhitungkan lagi ?

 

Tidak juga, buktinya Rajo Pagaruyuang (dalam hal ini simbolik) nan duduak samo rondah togak samo tinggi jo Silungkang (duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan Silungkang) berpesan “Apabila Silungkang nan bagola harimau campo koto piliang ingin malewa pangulu, persiapkanlah dengan matang karena itu bisa jadi barometer”.

 

Artinya, Silungkang masih diperhitungkan dan Silungkang punya banyak kaum codiak pandai, alim ulama dan pengusaha serta kaum intelektual.

 

Lantas apa gunanya kita Malewakan Pangulu Pucuak nan Balimo ?

 

Malewa Pangulu dengan tuntutan kemajuan Silungkang memang tak terkait erat, tapi tak berarti tidak berkaitan.

 

Sejak Silungkang dipaksa ikut Kotamadya Sawahlunto pada tahun delapan puluhan, Silungkang yang bersahaja seolah kehilangan jati diri.

 

Silungkang harus melaksanakan sistim pemerintahan desa di bawah kepemimpinan seorang Kepala Desa – sebuah sebutan yang sangat tidak akrab ditelingo (telinga) warga Silungkang yang sudah terlanjur akrab dengan sistim pemerintahan nagari bersama Pak Woli-nya (Wali-nya).

 

Kerapatan Adat Nagori – KAN – sebuah lembaga atau limbago – wadah yang dibentuk guna mengkoordinir (menggantikan ?) peran para kepala suku, pangulu pucuak yang dalam sistim pemerintahan nagari sangat dominan berperan secara aktif dan sebagai filter atau penyaring sebelum sebuah persoalan sampai ke tingkat pengadilan dan perangkat hukum negara lainnya.

 

Dalam sistem pemerintahan nagari, setiap persoalan yang timbul dalam suatu kampung akan diselesaikan dalam kampuang itu sendiri dengan segenap perangkat kampuang yang ada.

 

Bila hal tersebut tak bisa diselesaikan dalam kampuang tersebut, barulah bisa naik ketingkat Suku dan apabila masih tak juga mampu diselesaikan maka baru bisa naik ke tingkat nagari dan begitu seterusnya sampai ke tingkat tertinggi.

 

Tidak seperti yang berlaku sekarang di Silungkang dengan sistim pemerintahan desanya – hampir semua urusan diselesaikan di kantor polisi atau pengadilan – sehingga fungsi niniak mamak, codiak pandai dan alim ulama semakin kabur dan pada akhirnya sirna dengan sendirinya – musnah.

 

Tentu, kita tak ingin hal tersebut berlaku di tanah leluhur kita tercinta ini.

 

Lantas, apa saja yang dikerjakan lembaga Kerapatan Adat Nagari ?

 

Banyak ! Kami dapat memastikan, lembaga KAN telah berbuat banyak untuk Silungkang dan warganya.

 

Hanya saja, entah kenapa lembaga yang tumbuh dari bawah ini selalu saja mendapat cibiran dan perlakuan sinis dari warga masyarakat.

 

Banyak warga yang enggan memanfaatkan lembaga ini bahkan keberadaannya sering dianggap bak angin lalu saja.

 

Mana mungkin, saya bisa menjalankan roda KAN ini seorang diri” kata Ketuanya dalam suatu kesempatan berbincang santai.

 

Banyak warga masyarakat dan pengurus yang ada di dalam KAN bila diundang rapat tidak mau hadir, jadi …. yah saya terpaksa kerja sendiri sebatas kemampuan yang ada.”

 

Jangan sekali-kali mencap saya sebagai ketua yang tidak kooperatif apalagi mau menjadi single fighter – otoriter – karena saya telah mencoba bekerja sebaik mungkin sesuai ketentuan yang ada dan selalu menghimbau agar setiap warga untuk memanfaatkan keberadaan lembaga KAN dan meminta seluruh pengurus KAN untuk aktif bersama-sama” tambahkan lagi dengan serius.

 

Jadi, KAN itu … berhasil atau gagal ?

 

Penilaian setiap orang tentu berbeda, apalagi KAN ini adalah lembaga pelayanan masyarakat, tentu sangat kompleks permasalahan yang dihadapinya.

 

Apapun penilaian Anda – apapun hasil yang telah dicapai – KAN adalah sebuah lembaga yang telah berbuat banyak untuk kita – untuk negeri kita tercinta – untuk kerapatan adat nagari.

 

“Malewakan pangulu pucuak ini adalah sebuah upaya guna menghidupkan kembali sesuatu yang sudah tak pernah kita nikmati lagi” kata ketua koordinator seluruh acara – Irwan Husein.

 

Mudah-mudahan dengan cara Malewa Pangulu Pucuak nan Balimo, yang Insya Allah akan dilaksanakan 11 dan 12 Desember 2002, kita dapat mengoptimalkan kembali fungsi niniak mamak jo codiak pandai saroto alim ulamo nan redup selama era berselang.

 

Sekarang era reformasi, Bung !

 

Ayo, kita reformasi nagori kita demi kemaslahatan anak cucu.

 

Langkah pertama, reform diri kita sebelum memulai sebuah rencana besar – mengembalikan Silungkang menjadi nagari sebagai nagari pertama dalam sebuah kota madya yang kembali kepemerintahan nagari.

 

Jadilah pionir !

 

Buktikan bahwa Kenagarian Silungkang yang pernah hilang dan meliputi wilayah Silungkang Oso, Duo, Tigo dan Muarokalaban bukanlah sebuah nagari pecundang walau sedikit terlambat bila dibanding saudara kembar kita Padang Sibusuak atau Taratak Bancah yang dulu sempat bernaung dibawah panji kenagarian Silungkang.

 

Late is better than nothing, toh ….

 

Pasan Mandeh,

Tanyai diri Anda – apa yang bisa Anda perbuat untuk Silungkang, bukan apa yang bisa Silungkang perbuat untuk Anda. (plagiat dari ucapan mendiang John F.Kennedy).

 

SUSUNAN PANITIA PENYELENGGARA MALEWA PANGULU NAN BALIMO

SILUNGKANG 11 – 12 DESEMBER 2002

 

PANITIA PENGARAH

KOORDINATOR ACARA, Drs. IRWAN HUSEIN.

KOORDINATOR SEMINAR ADAT, Ir. IRLAND Y. M, MM.

KOORDINATOR PUBAS, Drs. JHONY REFF ALBERT

 

PENANGGUNG JAWAB : PKS JAKARTA (Persatuan Keluarga Silungkang)

 

DEWAN PAKAR : ABDULLAH USMAN, HASAN RAID, PROF. DR. AMRI MARZALI, KOL. (PURN) H.M. ARIEF, Drs. DASLI NOERDIN, Msc, PROF. DR. AZHAR KASIM

 

KETUA PELAKSANA : H. FAUZI HASAN, BA

WAKIL KETUA : H. RIJAL JALIL, SE

SEKRETARIS : Drs. AL FEBRI

 

BIDANG NASKAH PIDATO ADAT

KOORDINATOR : Ir. H. HUSSEIN YUNUS

ANGGOTA : AKMAN BURHAN, H. MUNIR TAHER, H. MUSTAFA KAMAL, H. NAWIR SAID

 

BIDANG PENDANAAN

KETUA : H. DJAMARAN TURUT

WAKIL KETUA : H. HEFRIZAL HASMIR

 

BIDANG HUBUNGAN MASYARAKAT

KETUA : BUYA DAMRA MA’ALIM

WAKIL KETUA : H. DASTONI

 

BIDANG DOKUMENTASI

H. ARSAL CHAIPADMOOL, YAHDI JAMHUR

 

BIDANG ACARA

PROTOKOL : Drs. SABIRIN SARIN

ANGGOTA :

KOORDINATOR MAAGHAK PANGULU : H. MARWIN UMAR

KOORDINATOR MEDAN NAN BAPANEH : YOES CHAIDIR

KOORDINATOR MEDAN NAN BALINDUANG : H. HELMY YAN JALIL

 

 

Catatan :
Pelaksanaan Malewa Pangulu Pucuak Nan Balimo dinyatakan dengan sukses dan meriah.

 

Sumber : bulletin dwi bulanan Silungkang, edisi 7, 1 Oktober 2002 tahun ke 2, anniversary edition

 

Dalam Edisi Juli – Agustus 2002 telah dibahas pula tentang acara ini. Berikut isinya :

Malewa berasal dari bahasa Silungkang asli atau setidak-tidaknya adalah bahasa yang sudah umum dipakai di Ranah Minang, alam Minangkabau yang penuh pesona.

 

Malewa mungkin bisa berarti mengangkat, memaklumatkan, mengabarkan, memproklamirkan, memasyarakatkan, merilis, me-launching dan atau apa saja yang senada dengan itu (mohon ma’af kalau salah).

 

Pangulu bukanlah penghulu seperti yang lazim kita pahami sehari-hari. Kalau Penghulu yang lazim kita ketahui adalah petugas dari Kantor Urusan Agama yang bertugas menikahkan pasangan calon suami istri sehingga menjadi pasangan suami istri yang syah menurut hukum adat dan agama.

 

Pangulu adalah Ketua Adat dalam satu Suku atau kaum, mungkin juga bisa atau layak disebut Kepala Suku, seperti Pangulu Pucuak Suku Dalimo, Pangulu Pucuak Suku Patopang, Pangulu Pucuak Suku Malayu, Pangulu Pucuak Suku Payaboda dan Pangulu Pucuak Suku Supanjang dan lainnya.

 

Pangulu atau di bagian lain Minangkabau yang super demokrasi ini biasa disebut dengan “Datuak” adalah pimpinan strata tertinggi dalam kepemimpinan Adat Alam Minangkabau.

 

Untuk itulah, para Pangulu atau Datuak dipilih melalui seleksi yang amat ketat atau dengan kata lain tak sembarang orang bisa menjadi Pangulu atau Datuak ini.

 

Gelar dan atau jabatan yang pangku oleh para Pangulu atau Datuak ini biasa diberikan kepada seorang lelaki dalam sebuah suku yang telah dikenai dan telah teruji dedikasi, ilmu pengetahuan, kepiawaian dan tentu pengetahuan.

 

Oleh karena itulah tak sembarang orang bisa memakai gelar-gelar tersebut, kalaupun dalam suatu kurun waktu gelar tersebut “harus” berpindah kepada yang tidak memiliki garis keturunan langsung, itu biasanya hanya untuk kurun waktu yang sementara saja karena gelar tersebut pada waktunya harus dikembalikan ke keturunan langsung si empunya.

 

Kalau saja Malewa dapat kita artikan mengangkat dan memproklamirkan, maka arti Malewa Pangulu adalah mengangkat dan memproklamirkan Kepala Suku.

 

Jelas ini bukan sebuah pekerjaan yang ringan. Perhelatannya tentu juga bukan sebuah helat atau hajat yang kecil, Iko Baolek Godang !

 

Tak terbayangkan, di Silungkang, yang konon menurut sejarah belum pernah ada acara Malewa Pangulu sejak setengah abad berselang, yang artinya generasi Silungkang yang berusia 60 tahun pada tahun 2002 ini mungkin belum pernah mengalami peristiwa akbar seperti ini kalaupun pernah berkesempatan melihat tentu belum dapat menarik arti dan peristiwa tersebut – kesibukan yang akan dialami panitia penyelenggara yang mau tidak mau harus bekerja kerja mulai dari tahap penyeleksi Bakal Calon Penghulu sampai pada penentuan “Calon Jadi” sesuai tahapan-tahapan dan kaidah-kaidah yang berlaku sampai pada mempersiapkan sebuah penghelatan besar yang akan melibatkan kelima suku yang di Silungkang.

 

Bisa jadi solusinya yang diambil adalah melibatkan semua unsur yang tersedia di Silungkang dan mengambil lokasi di Cintomoni – stadion utama Silungkang semata wayang – yang posisinya memang terletak di tengah-tengah Kenagarian Silungkang karena populasi warga Silungkang tersebar mulai dan Silungkang Oso yang berbatas dengan Kabupaten Solok, Silungkang Duo, Silungkang Tigo sampai ke Muarokalaban berbatas dengan Padang Sibusuak dan kota Sawahlunto – mungkin saja.

 

Namun bila ditilik dan hari H-nya atau hari pelaksanaannya yang bertepatan dengan awal bulan Syawal 1423 H, sekitar awal Desember, yang berarti adalah masa liburan hari raya Idul Fitri, sebuah momen yang tak pernah ditinggalkan oleh warga Silungkang di perantauan untuk melaksanakan acara pulang kampuang atau pulang basamo, sementara jauh-jauh hari Ikatan Generasi Muda Silungkang (IGMS) di Jakarta telah memaklumatkan dan menyebarkan brosur tentang jadual pelaksanaan PULBAS IGMS 2002 yang akan berlangsung pada tanggal 7 s/d 16 Desember 2002. Bisa dibayangkan betapa hiruk pikuknya Silungkang yang akan dibanjiri oleh perantauan yang akan dibanjiri oleh perantaunya sendiri karena beberapa momen penting yang melibatkan banyak orang akan berlangsung pada kurun waktu yang bersamaan.

 

Silungkang baolek godang, koordinasi dan komunikasi tentu adalah kunci utamanya, dedikasi yang tinggi segenap panitia dan masyarakat perantau serta penduduk setempat sangat dibutuhkan untuk keselamatan dan kemashatan perhelatan akbar ini.

 

Demi menghindari pergesekan yang bukan mustahil bisa terjadi antara para perantau yang pulang kampuang, Mudikers, yang pasti tentu sudah banyak lupa dan atau malah sama sekali tidak mengerti adat istiadat dan kebiasaan yang boleh atau lazim berlaku di tanah leluhur mengingat kebiasaan yang telah berlangsung lama selama di kota-kota besar adalah sangat sulit untuk dihilangkan begitu saja, kiranya perlu diantisipasi oleh panitia untuk membuat semacam buku saku tentang “Apa yang harus dan Apa yang Jangan Diperbuat selama di Silungkang” (seperti “Do’s and Don’t”nya Brunei Darussalam yang dengan mudah bisa didapat pada outlet penjualan karcis pesawat udara Brunei Air Lines dan travel bironya), sebab penduduk setempat tentu tak ingin adat istiadat dan kebiasaan serta kepatutan yang telah berlaku turun temurun dan telah berurat berakar tidak diindahkan keberadaannya.

 

Yang tak kalah penting, tentu akan banyak penduduk setempat yang akan memanfaatkan peristiwa akbar ini misalnya dengan berjualan aneka penganan khas dan souvenir agar dihimbau untuk tidak menaikkan harga berlipat ganda, mengingat hal tersebut bisa merugikan si pedagang tersebut, karena tentu para mudikers akan berpikir panjang sebelum membeli, betapa ironisnya bila uang rupiah yang dibawa para mudikers yang notabene adalah dun sanak awak juo harus beredar di kota Sawahlunto, Solok, Bukittinggi, Padang dan kota-kota lainnya sebab selang beberapa tahun terakhir gejala tersebut mulai terlihat nyata. Bijaksanalah !

 

Naikkanlah pendapatan dengan cara menjual sebanyak-banyaknya barang dagangan namun tetaplah pada harga standard yang sudah berlaku sehari-hari agar para mudikers menjadi betah dapat merasakan kenikmatan yang tak terlupakan selama berada di tanah leluhurnya tanpa mengeluarkan biaya yang semestinya ia keluarkan atau dengan kata lain pra mudikers tak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk kenikmatan yang sama pada acara akbar tersebut.

 

Tentu peran para petugas keamanan akan sangat penting adanya. Betapa tidak, bila diprediksi pada mudikers tahun 2002 ini sebanyak 2.000 orang saja maka akan ada sekitar 500 – 600 buah kendaraan dengan berbagai jenis dan ukuran.

 

Sementara areal parkir utama yang ada di Silungkang adalah sepanjang jalan lintas Sumatera yang melintasi Silungkang. Tingginya volume kendaraan yang melintas di Silungkang – ingat Silungkang adalah jalur vital Trans Sumatera jalur tengah. Ini tentu sangat riskan !

 

Disampaikan oleh Buya

Revisi oleh admin

 

Jari-jemarinya sudah tidak selincah dulu lagi. Jemari itu kini sudah banyak ditutupi kulit yang mengeriput. Meski demikian, jari-jemari itu masih tetap terampil menjalankan alat tenun bukan mesin.

Usia Mariani memang tidak muda lagi, sudah tiga perempat abad. Namun, keahliannya menenun, tidak luntur dimakan usia. Dengan semangat, ia masih terus menyelesaikan tenunan kainnya yang baru saja dikerjakan.

[lanjutan ….]

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya, lain daerah lain pula kebiasaannya. Setiap daerah punya ciri khas, baik bahasa, seni dan budaya. Barangkali tak salah pepatah mengatakan bahwa “Bahasa menunjukkan bangsa”.

Begitu pula negeri kita, Silungkang. Kita punya Rabona Marapulai, Pidato Adek, kain songket, sapu ijuak, ale-ale dan ulek-ulek, dan lain-lain. Kesenian Silungkang asli yang saat ini tak lagi dapat kita nikmati dan tak mustahil generasi yang saat ini berusia dibawah lima puluh tahun tidak pernah mengenal dan mendengarnya. Kesenian itu adalah “Talempong Botuang dan Ratok Silungkang Tuo” yang lebih dikenal sebagai “Marungguih”.

Talempong Botuang dan Ratok Silungkang Tuo adalah kesenian lama Silungkang yang dahulunya dimainkan oleh kaum ibu di rumah, di sawah atau di ladang untuk sekedar menghilangkan kepenatan setelah bekerja seharian. Biasanya kesenian ini dimainkan di dangau sambil berleha-leha. Syairnya sangat didominasi oleh pantun parosaian dan pantun kerinduan pada anak dan suami tercinta nun jauh di rantau orang (diera tersebut perantau Silungkang jarang sekali yang menyertakan istri dan kalau ada – anak lelakinya – sementara si istri ditinggal di kampung dengan segala penderitaannya – lahir batin – karena tak jarang “mungkin karena terpaksa keadaan” sang suami” Taposo bauma lo” di rantau urang.

Kato rang saisuak : “Lautan sakti rantau batuah”

Perlu diketahui di zaman itu merantau di Sawahlunto atau di Solok saja (yang jaraknya tak menjadikan kita musafir, sudah dianggap merantau).

Di era tahun 50 an “Talempong Botuang jo Ratok Silungkang Tuo”, ini pernah disosialisasikan kepada kerabat muda. Tapi sayang … umurnya pun muda. Sejak tahun 1955, kedua keseninaan itu seperti lenyap ditelan bumi.

Rupanya, nasib masih berpihak pada Silungkang. Saat ini, siapa saja yang ingin menikmati kesenian yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara ditabuh tersebut sudah dapat menikmatnya kembali. Hal ini dimungkinkan karena Silungkang masih menyisakan seorang seniman yang masih konsisten untuk tetap memelihara dan melestarikannya. Beliau itu adalah Datuak Umar Malin Parmato.

Bersama Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto beliau saat ini telah membina sebuah grup kesenian Talempong Botuang jo Ratok Silungkang Tuo, di Sungai Cocang. Dan sudah pula dimasukkan ke dalam pelajaran ekstra kurikuler di SD No. 13 Sungai Cocang.

Kiprahnya cukup membanggakan. Selain penampilan perdananya di Sawahlunto pada acara Pekan Seni dan Budaya, juga telah dipergelarkan pada Acara EXPO 2000 dan Pergelaran Seni dan Budaya se Sumatera Barat di Taman Budaya Padang pada tahun 2001.

Ratok berarti Ratap – maratok artinya meratap – meratapi. Karena pada mulanya kesenian ini memang diperuntukan sebagai sarana untuk meratapi atas meninggalnya seseorang. Caranya dengan menyebut-nyebut sambil mendendangkan bersama-sama oleh para karib kerabat, bako dan tetangga, semua perangai/tingkahlaku si mayit semasa hidupnya hingga wafat.

Lahirlah istilah “Ratok Pertolongan” karena apabila dalam keluarga si mayit tidak ada yang dapat melantunkan Ratok maka harus dimintai tolonglah pada orang/kelompok profesional, dengan membayar sejumlah uang – kira-kira – mungkin seperti “seksi ngangis” pada upacara prosesi kematian orang Tionghoa.

Tahun batuka, musim bagonti (Tahun bertukar, musim berganti). Misi kesenian ini yang pada mulanya hanya untuk meratapi kematian akhirnya berubah. Setelah berganti nama dengan nama menjadi “Marungguih” kesenian ini lebih identik untuk “Baibi-ibo” (mengiba-iba), meratapi nasib dan peruntungan nasib dan peruntungan baik yang tidak berpihak padanya. Kaum muda memanfaatkan Marunguih ini untuk bersenandung ria demi sekedar melepaskan beban rindu dendam yang menyesakkan dada pada sang kekasih. Ini juga perlu diketahui oleh pembaca, bahwa pada zaman itu, bagi sepasang kekasih, jangankan untuk bercengkrama – berpapasan dijalan saja sudah diterima sebagai suatu karunia yang amat besar, laksana mukjizat.

Dengan segala kebersahajaannya, kini grup Marungguih dan Talempong Botuang di Sungai Cocang yang minim peralatan, kostum dan pembinaan ini tetap mencoba untuk tampil dalam setiap event yang ada. Uluran tangan siapa saja sangat didambakan oleh grup ini, agar bisa dipoles sehingga punya nilai jual. sy

oleh : Syahruddin – Kades Silungkang Oso

Diambil dari Buletin Koba PKS (Media Komunikasi Interaktif PKS Jakarta)

Edisi Adiak Nan Jolong Tobik – Desember 2001

Catatan :

Ale-ale adalah makanan kecil/jajanan pasar seperti kue serabi tapi tidak menggunakan kuah santan. Bahan utamanya tepung beras, santan dan gula pasir sebagai pemanis. Masaknya di tempat cetakan serabi. Paling enak dengan membakar diatas bara api.