Bila tidak ada pilihan lain, tentu orang akan menerima apa yang ada. Tetapi selagi ada kesempatan memilih, maka pilihan akan dijatuhkan kepada yang terbaik dari yang baik-baik, akan memilih yang baik daripada yang buruk, akan memilih yang manis daripada yang pahit, akan memilih suka daripada duka dan sebagainya.

Hal demikian juga berlaku dalam mencari urang sumando. Calon orang sumando sebagai manusia tentu mempunyai pembawaan atau sifat sendiri-sendiri. Ada yang cekatan dan gesit dan ada pula yang takapilai (tak berkemauan) dan sembilu upieh tumpul; ada yang sederhana dan ada pula yang sombong dan pongah, yang suka membangga-banggakan kekayaannya; ada yang jasmani dan rohaninya sehat, tetapi ada pula yang sakit-sakitan; ada yang penyabar tetapi ada pula yang parabo (lekas naik darah) dan suka menangani isterinya; ada yang jujur tetapi ada pula yang pendjudi dan sebagainya.

Umumnya calon orang sumando yang jadi idaman ialah yang gesit dan cekatan; yang sederhana, yang jasmani dan rohaninya sehat, yang penyabar, yang jujur dan yang keturunannya dari orang baik-baik dan sebagai orang yang beragama, tentu yang taat menjalankan syariat ajaran agamanya. Tentu saja jarang yang ada bahwa segala kumpulan yang baik itu terdapat pada seseorang. Itu sudah menjadi pembawaan manusia. Ada positif dan negatifnya. Kata akhir tergantung dari ketepatan dalam memilihnya.

Pria yang terbaik jadi idaman atau diidamkan sebagai orang sumando karena bila pria demikian jadi orang sumando tentu dia dapat diharapkan menjadi kakanti1 Ninik-mamak. Artinya jadi orang sumando oyang menghiraukan suka-duak kehidupan rumah-tangganya, yang kehadirannya membawa jarum dan kelindan. Yang jika robek akan dipertarutkannya, jika tidak akur akan diseia-sekatakannya; bila kurang akan ditambahina, bila tak cukup akan dicukupkannya.

Bila bukan pria idaman yang diperoleh sebagai orang sumando, maka bisa terjadi orang sumando itu hanya sebagai “bapak paja” (bapak anak), yaitu orang yang bertingkah sebagai penjantan belaka, kehadirannya hanya akan menambah jumlah anak. Anak akan dibiarkannya sesuka hati anak sendiri, kehidupan anak dan isterinya tidak dihiraukannya.

Bila bukan menjadi orang sumando “bapak paja”, mungkin jadi orang sumando “kacang miang”, yang kehadirannya hanya membikin onar dan memecah belah saja. Atau mungkin menjadi orang sumando “langau hijau”, yaitu suka kepada barang yang kotor dan busuk. Baranak satu, cerai, kawin lagi. Dan bila telah beranak pula, cerai lagi. Suka meninggalkan “bongah” (kotoran). Atau mungkin jadi orang sumando “lapiek buruak” yang tingkah lakunya hanya menguras kekayaan isteri. Kehadirannya bukan menambah harta benda isteri, melainkan meludeskannya.

Karena itulah sebelum suatu keluarga gadis hendak mendatangi seseorang untuk diambil sebagai orang sumando, akan diamati benar lebih dulu, agar jangan diperoleh pria yang bukan idaman. Sampai dimana hasil pengamatan, tergantung dari ketajaman pengamatan atau memang tak ada pilihan lain.

Demikianlah cara mencari orang sumando dikala peranan Ninik-mamak sangat dominan dalam menentukan siapa yang akan menjadi teman hidup anak kemenakannya. Sudah tentu akan lain halnya bila yang mencari teman hidup itu, gadis yang bersangkutan sendiri. Mungkin yang diutamakannya dimana hatinya terpaut (tak perduli latar belakang atau asal-usul calon suaminya itu), mungkin tergiur karena melihat kekayaan atau kegagahan jasmani calon suami, mungkin juga karena faktor lain. Jarang terjadi ditelusurinya lebih dulu asal usul calon suaminya, sebelum pilihan dijatuhkannya. Bukankah ada ungkapan “cinta itu buta ?”

Catatan kaki :
1. Selama ini dikalangan orang awak banyak yang mengatakan bahwa orang sumando itu “ka ganti Ninik-Mamak”. Padahal sesungguhnya bukan “ka ganti”, melainkan “kakanti”.

Jauh bedanya antara “ka ganti” dengan “ka kanti”. “Ka ganti” berarti ia akan menjadi penukar sesuatu yang tak ada atau hilang. Padahal Ninik-mamak yang akan diganti masih tetapi ada dan tidak hilang. Karena itu istilah “ka ganti” tidaklah tepat.

Sedang “ka kanti” berarti ia akan menjadi teman, kawan atau rekan dari Ninik-mamak. Itu adalah wajar.

Mengenai hal ini Chaidir Taher Sampono Mudo dan Rusli Taher Sampono Gagah dalam bukunya “Mambangkik Tareh Tarandam” mengatakan : “Nan sabananyo urang sumando tu bukan ka ganti niniek jo mamak doh, cuma ka kanti (kawan) niniek mamak” (halaman 12).

Sumber :

Silungkang dan Adat Istiadat oleh Hasan Sutan Maharajo